Anda di halaman 1dari 35

JATI DIRI SAYYED HUSSEIN AN-NASR

Disusun Oleh:

Ega Viorenti Nabilla (0304193198)


TBI-5 Semester VI

Dosen Pengampu:
Dr. Zulham, MA

TADRIS BAHASA INGGRIS


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2022

i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita bersyukur kepada Allah swt. yang telah memberikan
kita begitu banyak nikmat, salah satunya nikmat sehat yang masih dapat kita rasakan
sampai sekarang, serta rahmat dan keberkahan-Nya jugalah yang membuat kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Judul dari makalah ini adalah “Jati Diri Sayyed Hussein An-Nasr”. Dalam
proses pembuatan makalah ini, terdapat banyak tantangan dan kesulitan, akan tetapi
Alhamdulillah dengan bantuan Allah swt. kesulitan itu dapat terlewati. Makalah ini
kami buat untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak Dr. Zulham, MA sebagai
dosen di mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.

Dalam menyusun makalah ini, kami meminta maaf jika ada banyak kesalahan
dalam hal penulisan maupun penyusunan makalah yang telah kami buat ini. Kami harap
kritikan dan saran dari dosen dan pembaca dapat membantu dalam menyempurnakan
makalah kami selanjutnya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna dan membantu penulis dan
pembaca.

Medan, 19 Mei 2022

Ega Viorenti Nabilla

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................... 3

A. Riwayat Hidup dan Karya-karya Seyyed Hossein Nasr................................. 3


B. Pemikiran Seyyed Hossein Nasr.................................................................... 3

BAB III PENUTUP ................................................................................................. 11

A. Kesimpulan ................................................................................................... 11
B. Saran .............................................................................................................. 11

REFERENSI ............................................................................................................ 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan (terutama


Islam) dengan berbagai coraknya berorientasi memberikan bekal kepada manusia
(peserta didik) untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
semestinya pendidikan (Islam) selalu diperbaharui konsep dan aktualisasinya dalam
rangka merespon perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta
didik dalam pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan hidup setelah
mati (eskatologis), tetapi kebahagiaan hidup di dunia juga bisa diraih.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu
pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya.

Al-Attas tidak hanya sebagai intelektual yang mencurahkan perhatian dan


kekhawatiran kepada pendidikan dan persoalan umum umat Islam, tetapi juga pakar
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia juga dianggap sebagai tokoh penggagas
Islamisasi ilmu pengetahuan yang mempengaruhi banyak tokoh lainnya. Ia secara
sistematis merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan
untuk umat Islam.
Al-Attas telah dikenal sebagai filosof pendidikan Islam yang sampai saat ini terkenal di
kalangan umat Islam dunia dan juga sebagai figur pembaharu (person of reform) dalam
dunia pendidikan Islam. Respon positif ataupun negatif dari para intelektual yang
ditujukan kepada Al-Attas menjadikan kajian terhadap pemikiran Al-Attas semakin
menarik.

A. Rumusan Masalah

Untuk mengarahkan diskusi pada makalah ini, terdapat beberapa pertanyaan yaitu:

1. Jelaskan biografi dan riwayat dan karya-karya Sayyed Hussein An-Nasr?


2. Bagaimana pemikiran Sayyed Hussein An-Nasr tentang pendidikan Islam?

1
B. Tujuan

Adapun tujuan dirampungkannya makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui biografi dan riwayat dan karya-karya Sayyed Hussein An-
Nasr
2. Untuk mengetahui pemikiran Sayyed Hussein An-Nasr tentang pendidikan
Islam?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup dan Karya-karya Seyyed Hossein Nasr

Seyyed Hossein Nasr dilahirkan diTeheran, Iran dan mendapatkan pendidikan


dasarnya di kota kelahirannya sendiri, pendidikan tingginya ditempuh di Amerika di
Massachusetts Institut of Technology (MIT), disana berhasil mendapatkan diploma B.S.
(Bachelor of Science) dan M.A. (Master of Arts) dalam bidang fisika. Prestasi yang
disandangnya belum memuaskan dirinya. Lalu Seyyed Hossein Nasrmelanjutkan
Universitas Harvard menekuni History of Science and Philosophy, di Perguruan tinggi
ini Nasr berhasil memperoleh gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) pada tahun 1958.

Seyyed Hossein Nasr adalah salah seorang diantara muslim yang mempunyai
keahlian dalam bidang kajian Islam yang menembus hambatanhambatan ilmiah untuk
menggali Islam sebagai pengkajian secara obyektif dan jujur.

Sejak tahun 1958, Nasr mengajar di Universitas Teheran, dimana Nasr mendapat
gelar Professor dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat. Tahun 1962 beliau
menjadi dosen tamu di Harvard University dan tinggal disana sampai tahun1965. Tahun
1994 – 1965 Nasr menjadi pimpinan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada American
University of Beirut. Nasr juga memberikan ceramah dan kuliah di beberapa negara
antara lain : Amerika, Eropa, Timur Tengah, Pakistan, India, Jepang dan Australia, Nasr
mengarang lebih dari dua belas buku dan sejumlah artikel. Hasil karyanya telah
diterjemahkan kedalam lebih dari sepuluh bahasa asing. Ceramah-ceramahnya berkisar
pada pemikiran Islam dan problem manusia modern.

Reputasinya sebagai Guru Besar dalam kajian sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat
menunjukkan kedalaman dan ketajaman pemikirannya. Nasr juga ilmuwan muslimyang
melanjutkan kritik sedemikian hebatnya, kepada dunia Barat dan peradaban modern
pada umumnya, dengan menggunakan pedang intelektualnya.

Sebagai ilmuwan yang sekarang hidup dalam status “setengah pengasingan” karena
dahulu bersedia bekerja sama dengan Shah Reeza Pahlevi di Teheran dalam mendirikan

3
dan kemudian memimpin sebuah institut pengkajian filsafat dan menerima gelas
kebangsawanan dari sang raja diraja itu, reputasi Nasr tidak menurun hanyasaja Nasr
meninggalkan Iran dan menetap di salah sebuah universitas di Amerika Serikat. Selama
ilmuwan tidak menjual pengetahuan yang dimilikinya untuk melenyapkan,
mengaburkan atau menutupi kebenaran, selama itu pula integritas ilmunya tidak
terganggu sama sekali.

Kedudukannya sebagai pemimpin Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Amerika
University of Beirut, menunjukkan reputasinya dalam pemikiran Islam dalam karya-
karyanya yang cemerlang. Nasr yakin bahwa tugas dalam Aga Khan Chair yang
dipimpinnya adalah memperkenalkan Islam dalam khasanah kehidupan
intelektualnyasecara “setia” dalam bahasa yang kontemporer tanpa menyimpang dari
sudut tradisional, juga untuk mengadakan dialog dengan agama lain di luar Islam,
terutama Kristen yang berdiri berdampingan dengan Islam di Libanon, serta untuk
mengadakan studi tentang aliran-aliran Islam yang bersama-sama mewakili di Negeri
ini.

Ada dua metode yang mendukung pengembangan Nasr, pertama metode komperatif
yaitu sutau metode yang diperlukan untuk melakukan studi perbandingan yang berarti
antar tradisi-tradisi religius dan metafisis timur dan barat, kedua metode historis yaitu
melangkah ke lembaran sejarah kemudian membandingkan sumber-sumber dari
berbagai filsafat sain yang diadopsi oleh filsafat Islam dari filsafat Yunani kemudian
melangkah kedepan untuk membandingkan filsafat Islam di tranfisi dari filsafat barat.

Seyyed Hossein Nasr berjasa dalam meyakinkan bahwa pemikiran dan kebudayan
Islam tersebut masih  hidup dengan kuatnya. Nasr juga menyarankan semua itu
dipandang dengan menjauhkan dari sikap rasional dan sekuler faham Helenistis, dengan
pengunduran diri dari ujian dan gejolak sejarah, timbul kesadaran yang lebih dalam
akan pangilannya sendiri sebagai umat religius Timur dekat.] Seyyed Hossein Nasr
sebagain tokoh pemikir Islam dengan bahasa kontemporer tanpa meninggalkan sisi
tradisional itu sendiri, berusaha menghadapi dan memberikan jawaban terhadap
pandangan orientalis yang banyak berpijak pada pemikiran modern seperti
materialisme, scientisisme dan sebagainya.

4
Karya-karyanya yang tertulis dalam bahasa Eropa yang meniliti Islam dari sudut
pandangnya sendiri, pandangan tradisional sedang karya-karyanya yang tertulis dalam
bahasa yang dapat dimengerti oleh dunia Islam, meskipun yang biak biasanya
didasarkan pada argumentasi-argumentasi yang ditujukan kepada intelegensi muslim
tradisional yang kesulitan dam keraguan sekelompok masayarakat yang telah
dimodernisir. Argumentasi dan otoritas agama yang tradisional adalah sepenuhnya
memiliki validitas dan bahasa mereka adalah apa yang seharusnya digunakan. Lebih
tepat, keadaan luar biasa pada saat itu telah membawa situasi yang mana bahasa-bahasa
dan jalur argumentasi harus diubah untuk menjadikannya menarik dan dimengerti.

Demikianlah perjalan hidup Seyyed Hossein Nasr yang mencurahkan segala tenaga
dan pikirannya demi tegaknya agama Islam di muka bumi ini.

Karya-karya Seyyed HosseinNasr, antara lain :

1.    Buku terdiri atas :

a.    Islam and The Plinght of ModernMan (Islam dan Nestapa Manusia Modern)

Buku ini berisi tentang masalah-masalah penting yang dihadapi oleh manusia
modern. Buku ini jugamembahas cara-cara penerapan ajaran warisan intelektual dan
spiritual Islam. Selain juga alternatif besar ajaran Islam tersebut untuk mencari jalan
keluar dari kedudukan manusia modern melalui penerapan ajaran Islam.

b.    Ideals and Realities od Islam (Islam Dalam Cita dan Fakta)

Buku menggambarkan sebagai aspek yang esensial dalam Islam sebagai kekuatan
yang tetep hidup dan ditujukan kepada orangorang yang terbiasa dengan dialektika
pemikiran modern. Buku ini juga menjawab berbagai serangan terhadap Islam yang
dilakukan beberapa ahli Barat yang berkisar pada keimanan.

c.    Science and Civilation in Islam (Sains dan Peradaban di Dalam Islam)

Buku ini bertujuan untuk menyadarkan manusia muslim mengenai apa yang harus
dibenahi dalam menyerap Ilmu Pengetahuan barat yang didominasi dunia sekarang ini
karena ilmu pengetahuan modern mengalami krisis. Salah satusumbernya adalah

5
anggapan yang netralitas ilmu dari konteknya yakni hikmat dan wahyu. Berpijak dari
hikmat dan wahyu, maka bumi ini menjelaskan kembali peran ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam menetralisir pendapat tersebut.

d.   Living Sufism (Tasawuf Dulu dan Sekarang)

Buku ini berisi beberapa persoalan masa kini yang dihadapi dunia modern pad
aumumnya dan dunia Islam khususnya yaitu persoalan yang penyelesaiannya
tergantung pada pemahaman dan pemakaian prinsip-prinsip tasawuf secara
keseluruhannya. Buku ini diharapkan dapat menjadi kuci untukmembuka sejumlah pintu
meuju gudang perbendaharaan tasawuf sejak dulu hingga sekarang.

e.    Knowledge and The Sacred (Pengetahuan dan Kesucian)

Buku ini bermaksud untuk menggambarkan kekuatan yang berbahaya yang dimiliki
manusia, yaitu bahwa kemampuan rasional dapat menajadi kekuatan setan jika
dipisahkan dari intelek wahyu yang memberikan kualitas pengetahuan dan kandungan
sucinya. Manusia sebagai makhluk yang diberkati dengan intelegensi penuh yang
berpusat pada Yang Absolut, manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Menjadi
manusia mengetahui pada akhirnya berarti mengetahui dan juga melebihi diri sendiri.
Mengetahuipada akhirnya berarti mengetahui Substansi Tertinggi (sumber dari segala
sesuatu).

f.     A Young Muslim’s Guide to The Modern World (Menjelajah Dunia Modern)

Buku ini memberikan bimbingan kepada kaum muda muslim dalam menjelajahi
dunia modern, agar mampu memahami lebih dalam lagi tentang peradaban Barat dan
pemikiran modern yang telah mempengaruhi dunia Islam selama kurang dua abad
belakangan ini. Diharapkan pula agar kaum muslim menjadi akrab dengan agama dan
akar-akar budaya sendiri, sehingga makna pandangan moral dan intelektual yang
diperlukan untuk bertahan dan berperan dalam dunia modern tanpa kehilangan
keimannya. Bahkan lebih jauh dari itu menekankan sebagai keyakinan dan pandangan
hidup.

6
Selain karya karya yang telah disebutkan diatas ada beberapa buku atau karya-karya
lain seperti : Islam Tradisi, Intelektual Islam, Three Muslim Sages, Islamic of Art and
Spirituality.

2.    Makalah, terdiri atas :

Islam in the Islamic worls and today, Dedance, Deficition and Renaissance in The
Context of Contemporary, Philosophia Perennis and Study of Religion, dan Dunia Barat
dan Tantangan-tantangan terhadap Islam.

B. Riwayat Pendidikan Naquib Al-Attas

1.    Hakikat Pengetahuan
Berbicara masalah pengetahuan, tidak lepas dengan adanya istilah tradisi.
Pengetahuan dan tradisi keduanya sangat erat hubungannya, karena pengetahuan berada
dalam setiap jantung tradisi, dan tradisi berasal dari agama.
Tradisi sebagaimana yang dipergunakan oleh para tradisionalis, menyiratkan
sesuatu yang sakral, seperti yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu maupun
pengungkapan pengembangan peran sakral itu dalam sejarah kemanusiaan tertentu,
dalam satu cara yang mengimplikasikan baik kesinambungan horizontal dengan Sumber
maupun rantai-antai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang
sedang diperbincangkan dengan relaitas transender. Tradisi bisaberarti ad-din dalam
pengertian yang seluas-luasnya yang mencakup semua aspek agama dan peradabannya,
bisa pula di sebut as-sunnah, yaitu apa yang didasarkan pada mode-mode sakral, bisa
juga diartikan as-silsilah yaitu mata rantai yang mengkaitkan setiiap periode, episode
atau tahap kehidupan dan pemikiran dunia tradisional kepada sumber (Tuhan).
Istilah tradisi dalam penggunaan secara teknis, dalam karya ini atau yang lain,
berarti kesejatian-kesejatian, atau prinsip-prinsip dari Yang Asal Ilahi (The Divine
Origin) yang diwahyukan atau dibeberkan kepada manusia dan keseluruhan wilayah
kosmos alam, melalalui berbagai figur yang lain, beserta percabangan dan aplikasinya
dalam berbagai wilayah realitas yang mencakup hukum dan struktur sosial, seni,
simbolisme serta berbagai cabang ilmu pengetahuan Suprim sekaligus cara-cara
mendapatkannya.

7
Tradisi dalam pengertian yang lebih universal, dapat dianggap memasukkan
prinsip-prinsip yang mengikat manusia ke surga atau ke langit yang disebut juga agama.
Tradisi di lihat dalam maknanya yang essensial atau hakikat adalah prnsip-prinsip yang
ditampakkan surga (yang diwahyukan itu sendiri) yang berfungsi mengikat
manusiakepada permulaanya (dengan yang Asal). Tradisi dalam pengertian yang
konkrit dapat dianggap sebagai aplikasi prinsip-prinsip tersebut, tradisi
mengimplikasikan adanya kesejatiankesejatian yang berkarakter supra individual yang
berakar pada hakikat Realitas. Tradisi bukanlan mitologi kekanak-kanakan dan usang,
tetapi sebuah ilmu yang benar-benar nyata. Tradisi sebagaimana juga agama terdiri dari
dua unsur utama yaiti kesejatian dan kehadiran tradisi berasal dari sumber yang
sekaligus menjadi tempat kembalinya segala sesuatu, ibaratnafas Yang Maha Pengasih
yang mana tradisi para sufimerupakan inti akar dan hakikat eksistensi.
Kata tradisi secara etimologi berkenaan dengan transmisi pengetahuan, praktek-
praktek, teknik-teknik, hukum-hukum, bentuk-bentuk dan lain-lain, baik secara lisan
maupun tulisan. Tradisi seperti kehadiran yang hidup yang menimbulkan cap namun
tidak sesuatu yang terkena capnya. Sesuatu yang ditransisikan dapat berupa kata-kata
yang ditulis di atas perkamen, bisa juga berupa kesejatian yang diturunkan ke dalam hati
manusia, dengan pentranmisian yang dapat berlangsung yang dapat berlangsung
selembut tarikan nafas dan secepat kedipan mata.
Pemaknaan tradisi lebih diarahkan kepada hikmah perennialdibanding yang lain,
yakni terdapat dalam jantung semua agama. Hikmah abadi ini merupakan elemen utama
penyusun tradisi, dan shopia perennis (hikmah abadi) berkaitan dengan konsep Tradisi
Promodial, yaitu eksistensi manusia. Bentuk-bentuk pewahyuan tersebut alah
perwujudan Tradisi primodial dalam dimensi manusiawi, yaitu dalam bentuk-bentuk
yang sesuai dengan lingkungan kontekstual tertentu dari manusia yang menjadi tujuan
pewahyuan tersebut.
Seyyed Hossein Nasr sependapat dengan Steuco mengatakan bahwa Hikmah
Abadi berasal dari Yang Asal Ilahi, yaitu pengetahuan sakral yang diberikan oleh Tuhan
kepada Adam, namun semakin banyaknya jumlah manusia, pengetahuan menjadi kabur
dan akhirnya tidak lebih dari mimpi atau dongeng. Berpijak dari keterangan di atas
bahwa pengetahuan senantiasa memiliki hubungan dengan Realitas promodial yang
merupakan kesucian dan Sumber dari segala yang suci melalui aliran sungai waktu yang

8
menurun, pengetahuan tentang Realitas yang merupakan Substansi Tertinggi, oleh
karena itu pada hakikatnya pengetahuan itu suci atau disebut juga scientia sacara.
Sebelum membahas tentang apa maksud Nasr tentang scientia sacraakan di bahas
tentang proses desakralisasi Ilmu Pengetahuan yang ia bahas dalam bab awalnya di
buku Knowlegde and Sacred.
2.    Desakralisasi Ilmu Pengetahuan
Mencermati perkembangan ilmu pengetahuan memang sangat menarik karena
dengannya kita bisa tahu dan lebih mengerti keagungan dan keanggunan ciptaan Tuhan,
semisal fenomena alam semesta, seperti planet, tata surya, galaksi dan bintang-bintang.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak diantara ilmuan
besar dan berpengaruh seperti Laplace, Darwin dan Freud dengan pengetahuan yang
mereka yang mendalam tentang fenomena alam justru menolak keberadaan Tuhan.
Selanjutnya teori ilmu pengetahuan barat tidak merumuskan visinya mengenahi
kebenaran dan realitas berdasarkan pengetahuan yang diwahyukan tapi mengandalkan
pemikiran yang lahir dari tradis-tradisi rasional dan sekuler bangsa Yunani dan Roma,
dan spekulasi-spekulasi metafisis. Para pemikir yang menganut faham evolusi
kehidupan dan penjelasan psikonalitik tentang kodrat manusia. Hasilnya adalah
sekulerisasi pengetahuan atau meminjam istilah S.H Nasr Desakralisasi Pengetahuan.
Dalam ceramahnya di Gifford lecture tahun 1981 Nasr menulusuri sejarah
desakralisasi pengetahuan yang berlangsung berangsur-angsur di barat, menurutnya
ketika pemikiran Ibn Sina dan Ibn Rusd memasuki dunia Eropa dan memberi inspirasi
dan dorongan karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sepotong-sepotong,
sehingga kehilangan kandungan spritualnya. Di timur Ibn Sina merupakan tokoh
spritual dan kerohaniaan yang besar filsafatnya menjadi dasar teori ilumnis dari
Shihabuddin al-Suhrawardi akan tetapi dibarat yang di ambil dari Ibn Sina adalah teori
nominalnya, demikian pula di barat Ibn Rusd menjadi lebih rasionalistik dari pada
timur.
Kecendrungan-kecendrungan rasionalistik yang sudah mulai tumbuh di barat
memperoleh kekuatan baru pasca abad pertengahan, ilmu-ilmu fisikakimia bersama-
sama disiplin biologi dan psikologi yang beriman kepada eksprementasi dan
matematisasi pengetahuan membunyikan lonceng kematian bagi pandangan yang kudus
tentang pengetahuan.

9
Spinoza (1632-1677 M) umpamanya membuat keseluruhan sistem pemikiran
menjadi ilmu ukur yang segalasesuatunya dapat dideduksikan dari beberapa aksioma
akibatnya apabila seseorang filosof bicara tentang intuisi maka yang dimaksud adalah
bukan intuisi yang sesungguhnya melainkan bentuk akal yang lebih tinggi.
Filsafat atau kajian ilmiah telah terjadi apa yang disebut Nasr dengan
philosophical doubt, keraguan terhadap validitas dan otoritas filsafat, filsafat mulai
dicurigai dan sedikit demi sedikit di tinggalkan dan diganti oleh kaum ockhamis dengan
apa yang di sebut “teologi nominalis”. Sekularisasi terjadi misalnya terhadap kosmologi
tradisional dengan melenyapkan malaikatmalaikat dari alam semesta sehinggaalam
menjadi sekuler dan meratakan jalan bagi revolusi kopernican, karena menurut Nasr
revolusi seperti itu hanya bisa terjadi pada kosmos yang telah kehilangan makna
simbolis dan spiritual sehingga dijadikan sebagai obyek fisika biasa.
Titik puncak dari sekulerisasi adalah dengan mencampakkan manusia dari pusat
segala sesuatu, astronomi baru tidak memberikan kepada manusia dimensi transenden,
manusia telah kehilangan sifat theomorfisnyaakhirnya manusia renaisan menjadi
sepenuhnyamanusia, bukan separuh manusia separuh malaikat mel;ainkan yang kini
terikat sepenuhnya pada bumi, manusia hanya menjadi khalifah saja bukan khalifatullah
sehingga apa yang dikatakan Nasr bahwa manusia Eropa telah kehilangan surga era
keimanan.
Manusia modern telah menderita teraliensi dan anomi yang gawat, ada kekacauan
dan tidak keseimbangan roh, manusia telah menjadi korban sizofreni spiritual yang
tidak bisa disembuhkan kecuali apabila manusia kembali kepada sumber segala sumber
dan wawasan tentang yang kudus dihidupkan kembali.
Hilangnya visi keilahian masyarakat modern karena telah tumpul penglihatan
intelektusnya dalam melihat realitas hidup dan kehidupan, istilah intelektusmempunyai
konotasi kapasitas mata hati, satu-satunya elemen yang ada pada diri manusia yang
sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta.
Karena intelektuasnya disfungsional maka sesungguhnya pengetahuan apapun
yang diraih manusia modern tidak lebih dari pengetahuan yang terpecah-pecah
(fragmented knowledge)sehingga wawasan pengetahuan tidak lagi membawa kearifan
terhadap alam semesta. Untuk mengembalikannya agar intelektusnya fungsionalmaka
tiada jalan lain harus melalui pengetahuan pusat  (centre) atau  aximkarena pengetahuan

10
kini sekaligus mengandung pengetahuan tentang yang ada di pinggir-pinggir dan di ruji-
ruji yang menghubungkannya. Pengetahuan sempurna hanya ada bila ia mendapat
bantuan ilmu Tuhan.
Ada dua istilah yang digunakan Nasr untuk membedah manusia modern
yakni axim (centre) atau rim (periphery) dalam orientasi hidup tandasnya, manusia
modern telah berada di  rim (periphery) atau pinggir existansinya dan bergerak menjauh
dari pusat baik yang menyangkut dirinya maupun dalam lingkungan kosmisnya. Mereka
telah cukup dengan perangkat ilmu dan tekhnologi sebagai hasil gerakan renaisan abad
ke-16, sementara pemikiran dan faham keagamaan yang bersumber pada ajaran wahyu
kian ditinggalkan.
Menurut Nasr alam jangan dijadikan sebagai terminal terakhir orientasi kehidupan
(sebagaimana yang dilakukan manusia modern) dan hendaknya segala ilmu serta usaha
manusiayang telah dibangunnya berupa “kepingan-kepingan”itu diikatkan pada centre
(titik pusat) agar keberadaan manusia tidak terpelanting kewilayah rim, upayaini bisa
dilakukan bila mnusia mempunyai kesadaran religius dan ketajaman visi intelektusnya,
suatu ketajaman intuitif yang mengatasi ketajaman rasio.
Sayang, demikian Nasr, porsi intelektus ini tidak mendapat tempat wajar dalam
pengembangan kajian ilmiah Barat kontemporer terutama sejak berkembangnya
aliran  cartesian-dualism. Sejak rasionalisme yang tersistemasikan ini berkembang,
manusia lalu dilihat hanya memiliki tiga dimensi: psikis, fisik dan rasio sementara
dimensi spiritualnya tercampakkan.
Padahal konsepsi filsafat atau kajian ilmiah pada mulanya merupakan “ilmu yang
suci” (scientia sacra) atau pengetahuan keilahian (divine knowledge) bukannya filsafat
atau kajian ilmiah yang profan seperti berkembang di Barat, menurut Nasr filsafat Barat
semestinya berintikan “kecintaan kepada kebajikan” (the love of wisdom) beralih pada
“kebencian pada kebajikan” (the hate of wisdom).
Dengan demikian menurut Nasr kalau masyarakat modern kalau ingin mengakhiri
ketersesatannya yang mereka timbulkan sendiri, lantaran semakin dilupakannya
dimensi-dimensi keilahian, maka mau tidak mau pandangan serta sikap hidup
keagamaan harus dihidupkan kembali, ungkapnya “hajat untuk menangkap kembali
pandangan tentang pusat (centre) bagi manusia modern menjadi lebih mendesak”.

11
Akibat konsep sekularisme, manusia modern telah teraliensi baik dalam dirinya,
lingkungan dan Tuhannya, manusia modern sengaja membebaskan dirinya dari tatanan
ilahiyah (theomorphisme) untuk selanjutnya membangun tatanan yang semata-mata
berpusat pada manusia (antrophormophisme), intinya manusia modern ingin menjadi
raja yang bebas dan menentukan nasibnya sendiri tanpa disibukkan oleh persoalan yang
bersifat spiritual-transendental.
Menyadari kondisi masyarakat modern yang demikian pada abad XX terutama
sejak beberapa dekade terakhir ini muncul suatu gerakan yang mencoba menggugat dan
mengkritik teori-teori modernisme. Mereka sadar bahwa kehidupan modern tidak hanya
ditandai dengan kehidupan yang semakin materialistik dan dedoinistik, mereka
mencoba untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut dengan kembali pada hikmah
spiritual yang dalam agama otentik memikirkan kembali hubungan antara yang suci
(sacred) dan yang profan, merajut kembali antara-meminjam istilah Fritjof
Schon- scientia sacra (pengetahuan suci) atau  philosophia perenialis (filsafat
keabadian) dengan scienti profan (pengetahuan rendah) atau philosophia
materialis (filsafat material).
Sementara dikalangan modernis Islam, gerakan pembaharuan dan pemikiran
dalam Islam sejak fase 60-anhingga dua dasa warsa terakhir ini telah mencoba bersikap
kritis terhadap ide-ide modernisasi sebelumnya dengan memunculkan gerakan
kelompok paradikma dan epistemologi bermacam-macam misalnya:
1). Fundamentalis atau juga disebut neo revivalis Islam yang menghendaki agar semua
persoalan dikembalikan kepada acuan alQur’an dan al-Sunnah dan kehidupan para
sahabat dalam pengertian tekstual. 2). Neo modernis yang berusaha mencari relevansi
Islam bagi dunia modern, ia kritis terhadap sejarahnya sendiri sekaligus terhadap idiom
kemodernan. 3). kiri Islam atau yang disebut sosialisme Islam atau marxisme
Islam yang berkecenderungan ke arah humanistik dan rasionalistik, liberalistik,
berkepentingan membela masyarakat tertindas dan menampilkan Islam sebagai
kekuatan revolusioner-politik.
Namun dari berbagai tindakan yang mereka lakukan (dengan konsep Barat) guna
keluar dari pemikiran modern Barat tak jarang pula mereka malah terkontiminasi atau
terpengaruh pemikiran itu sendiri dalam derajat yang berbeda.

12
Menurut Nasr jalan keluar dari masalah di atas tidak harus mengambil konsep-
konsep Barat, imbuhnya konsep Barat bertentangan dengan Islam karena watak
sekuleristik dan modernistik maka itu Nasr menganjurkan agar mereka mengambil
ataukembali ke tradisionalisme Islam, dari sini dapat dimengerti mengapa Nasr
mengecam modernis-modernis Islam semisal al-Afghani, Abduh, Ahmad Khan, Amir
Ali, dan Muhammad Iqbal, kelompok ini menurut Nasr pionir-pionir Barat dalam
menyebarkan sekulerisme serta kecenderungan apolegotik lainnya terhadap Islam, Amir
Ali misalnya ia merasa malu dengan konsep Islam tentang wanita, semata-mata karena
tidak cocok dengan konsep Barat,demikian juga dengan Iqbal yang cenderung
dipengaruhi oleh filsafat Barat dan tidak berakar pada tradisi pemikiran Islam, ironisnya
para pemikir pakistan sekarang bertaklid pada Iqbal, ujar Nasr. Akibatnya kebekuan
pemikiran semacam ini pemikir muslim tidak eksis dalam peta intelektual dunia dan
tidak mempunyai bobot menjawab tantangan modernisme Barat.
Tradisionalisme tak lain adalah gerakan yang ingin mengembalikan bibit yang
asal atau prinsip-prinsip yang asal yang hilang dari pemikiran modern, tradisionalisme
mengingatkan bahwa tidak akan menerima suatu pola pikir yang tidak mempunyai
parfum yang sakral dan yang mengganti tatanan ilahi dengan inspirasi murni manusia,
karena didalam Islam manusia berfikir dan bertindak dalam fungsi homo
sapien dan homo fabernya sebagai abdullah dan tidak sebagai mahluk yang telah
memberontak atau melawan Tuhan.
Inti di dalam Tradisionalisme adalah bahwa segala macam pemikiran dan aktivitas
intelektual selalu bernuansa sakral dampaknya terlahirlah sejenis peradaban, senu,
filsafat atau keseluruhan cara berfikir yang sepenuhnya theosentris yang berdiri
menetang antromophorphisme yang menjadi ciri khas modernisme.
Jadi dapat difahami kehadiran yang sakral dalam berbagai aktivitas intelektual
ahirnya membawa ke scientia sacra yaitu pengetahuan suci yang berada didalam jantung
setiap wahyu, ia hadir sebagai pengetahuan segera yang bersifat langsung, dapat
dirasakan dan dialami ruhaniyahnya, tradisi Islam menyebutnya sebagai pengetahuan
yang hadir “Ilmu Hudluri”
Manusia dimungkinkan memiliki pengetahuan ini dan berhubungan dengan
aspek-aspek realitas, karena pada kenyataan ahir pengetahuan adalah pengetahuan

13
tentang realitas absolut dan kecerdasan memiliki karunia ajaib ini memungkinkan
mengetahui bagian-bagian wujud.
Pada pusat sains-sains alam begitu juga antropologi, psikologi dan estetika ada
scientia sacra yang berisipringsip-pringsip yang Realitas dan sains-sain ini hanya ada
dalam tradisi Islam, maka untuk menjawab tantangan modernisme tak ada jalan lain
kecuali kembali kepemikiran tradisional Islam, menurut Nasr adalah sangat mungkin
pada saat ini untuk mengembangkan ilmu-ilmu pasti dalam program studi Islam karena
Islam mempunyai dan memiliki warisan banyak dalam bidang tersebut.
3.    Scientia Sacra
Pengetahuan suci (Scientia Sacra) adalah pengetahuan yang berada dalam jantung
yang berada dalam jantung setiap waktu Pengetahuan Suci bukanlah buah dari spekulasi
kecerdasan manusiawi atau penalaran atau bisa dikatakan pengetahuan suci bukan
kontruk mental yang akan berubah dengan berubahnya gaya budaya suatau jaman, atau
dengan munculnya penemupenemuan baru dari pengetahuan dunia material.
Pengetahuan ini berisi pengalaman seperti dilahirkan dari sumber pengatahuan yakni
intelek. Berpijak dari sudut lain, dimana Diriyang berada pad apusat setiap diri sumber
pengetahuan suci diturunkan pada manusia yangmerupakan pusat kecerdasan manusia
sendiri yang pada akhirnya pengetahuan tentang substansi itu sendiri.
Metafisika atau pengetahuan suci adalah pengetahuan atau ilmu tentang Yang
Real atau lebih khusus pengetahuan denganarti dimana manusia dapat membedakan
anatara yang Real dengan ilusi, dan cara mengetahui sesuatu secara esensial yang
berarti mengethaui secara paripurna tentang Realitas. Pengetahuan tentang Prinsip yang
sekaligus realitas Absolut dan tidak terbatas adalah pusat metafisika. Metafisika
memperhatikan tidak hanya Prinsip dalam diri sendiri dan dalam manifestasinya. Pada
pusat ilmu pengetahuan tradisional tentang kosmos (alam) ada scientia sacra yang berisi
prinsip-prinsip yang merupakan pengetahuan suci.
Pengetahuan tidak lain adalah mengetahui Realitas Tertinggi, dalam hal ini Allah
berfirman dalam surat Al Hadid ayat 3 sebagai berikut:
Artinya: Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin dan Dia
Maha mengetahui segala sesuatu.

Kata “Yang Awal” berarti, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, “Yang
Akhir” adalah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah. “Yang Dzhahir” adalah

14
yang nyata adanya karena banyak bukti-buktinya atau Yang Maha Tinggi, tidak di atas-
Nya suatu apapun, “Yang Bhatin” adalah yang tidak sesuatupun yang menghalangiNya
dan Dia lebih dekat kepada makhlukNya daripada makhluk itu sendiri kepada DiriNya.
Metafisika tradisional atau pengetahuan suci tidaklah hanya penjelasan teoritik
tentang pengetahuan realitas.Tujuannya membimbing manusia, dan mengijinkannya
mencapai kesucian. Pengertian lain juga menyebutkan bahwa pengetahuan suci berisi
bibit dan buah dalam hati dan pikiran manusia, bibit yang jika dipelihara atau dibina
melalui latihan-latihan spiritual dan kebajikan akan menjadi tanaman yang akhirnya
berbunagn dan berbuah lebat.
Pengetahuan yang pada hakikatnya adalah suci kini pada gilirannya lebih bersifat
eksternal dalam arti telah lepas dari Sumbernya, sehingga hilang predikatnya sebagai
pengetahuan yang hadir (al-ilm al huduri), untuk mendapatkan kesejatian dan kebenaran
pengetahuan yang suci maka kembali pada tradisi yang bisa mengantarkan ke
Sumbernya.
4.    Sumber Pengetahuan
Berbicara mengenai sumber pengetahuan Seyyed Hossein Nasr menganggap
bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia bukan pengetahuan melalui pencapaian (al-
ilm al-husuli) tetapi lebih menekankan bahwa pengetahuan itu adalah pemberian (al-ilm
al-huduri), maka sebagai sumber pengetahuan bukan hanya melalui rasio murni tetapi
juga melalui wahyu dan intelek serta intuisi.
Sumber wahyu dalam Islam adalah malaikat Jibril atau Intelek Universal. Intelek
(al-aql al-kulli menurut bahasa, hadis) dan kata aql (akal) sendiri secara etimologis
menandakan baik nal yang mengikat atau membatasi Yang Mutlak menurut petunjuk
penciptaan maupun yang mengikat manusia kepada kebenaran, Tuhan sendiri.
Kata Al-Aql di dalam bahasa Arab. Selain berarti pikiran dan intelek, juga
digunakan untuk menerangkan sesuatau yang mengikat manusia dengan Tuhan. Salah
satu arti akar kata aql adalah ikatan. Tuhan menyebutkan di dalam Al-Qur’an, manusia
yang ingkar itu sebagai orang yang tidak bisa berfikir “la ya’qilun” manusia yang tidak
bisa menggunakan akal dengan baik. Sangat ditekankan di dalam Al-Qur’an bahwa
runtuhnya iman tidak disamakan dengan timbulnya kehendakyang buruk, melainkan
dengan tidak adanya penggunaan akal secara baik.

15
Sebahagian dunia (terutama dunia barat), istilah “intelek” dianggap sinonim
dengan istilah “akal” atau “nalar” dan “intuisi” yaitu indra “biologis” keenam yang
mampu menangkap kejadian-kejadian dimasa mendatang, oleh karena itu sukarlah
dipahami makna “intelek” dan “intuisi”, sebagai dua fakultas atau indra yang mendasari
ilmu, dalam konteks pemikiran Islam. Istilah al-aql manusia menjadi manusia dan
memiliki sebagian dari ilmu, al-‘ilm yang akhirnya hanya akan menjadi milik Allah
semata.
Fungsi intelek hanya terlibat pada cahaya kemampuannya dalam membentangkan
kebenaran-kebenaran wahyu. Wahyu atau risalah dijadikan alat untuk mencapai
kebenaran dan wahyupun menerangi intelek serta memungkinkannya untuk berfungsi
sebagaimana mestinya. Perkawinan antara wahyu dan intelek ini sesungguhnya telah
memungkinkan untuk berperan serta dalam kebenaran melalui fi’il (tindakan) atau
langkah yang lazim disebut intuisi dan tidak terpisahkan dari iman yang memingkinkan
tersiptanya ilmu kebenaran ini.
Intelek yang sesungguhnya disebut juga wahyu khusus (partikular) atau wahyu
sebagian (parsial) atau wahyu al-juz’i, sedangkan wahyu obyektif  yang menyebabkan
berdirinya suatu agama baru disebut wahyu semesta (Universal) atau al-wahyu al-kulli.
Hanya melalui wahyu yang obyektif dan universal inilah seganap kemampuan intelek
dapat diaktualisasikan atau diwujudkan. Hanya dengan berserah diri kepada wahyu
obyektif inilah wahyu subyektif pada diri manusia dapat berbentuk intelek itu dapat
benar menjadi mampu diri, tidak saja mampu menelaah atau menganalisa tetapi juga
mampu membuat sintesis dan unifikasi.
Intelek adalah pusat cahaya yang merupakan wakil yang menurun pada dunia.
Intelek adalah firman, dengannya semua tercipta, manusia dan agama. Intelek adalah
pengetahuan Tuhan tentang dirinya sendiri dan pertama dalam makhluk-Nya.[30]
Berbicara tentang intelek ada kaitannya dengan kosmos, karena disamping sumber
wahyu juga penghubung manusia dengan kosmos (alam), dimana kosmos sumber
pengetahuan. Hubungan seorang gnosis bersifat intelektif (kompletatif) yang tidak
abstrak, tidak analitis. Alam bagaikan selembar buku penuh lambang-lambang yang
harus dibaca menurut maknanya. Al-Qur’an adalah persamaan teks tersebut dalan kata-
kata manusia, kalimat-kalimatnya disebut ayat (tanda-tanda), persis seperti fenomena

16
alam. Alam dan Qur’an kedua-duanya menegaskan kehadiran dan pemujaan
Tuhan. Allah berfirman dalam surat al-Fushilat ayat 53:
Artinya:Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu?

Ahli-ahli hukum beranggapan, alam hanya ada dalam pikiran manusia sebagai
panggung yang dibutuhkan bagi tindakan manusia, bagi seorang gnostik atau sufi ayat
Qur’an tersebut juga lambang. Jika tradisi penafsiranpenafsiran simbolis ayat-ayat kitab
suci tidak ada lagi dan karenanya masih akan tahu kewajibannya, tapi “teks kosmos” itu
tak akan dapat dipahami. Fenomena alam akan hilang hubungannya dengan tingkat
relaitas yang lebih tinggi, jika hilang hubungan antar mereka, semua itu akan menjadi
fakta. Semangat Islam menekankan kesatupaduan alam, yang menjadi tujuan sains
kosmologi (pengetahuan alam).
Tujuan pengetahuan suci adalah pengetahuan tentang kesucian itu sendiri, yaitu
Relitas yang teletak  dibelakang manifestasi kosmos, yang sucinya terdapat dalam
lembar-lembar yang terpancar dari buku alam semesta, dalam hal ini kosmos (alam)
adalah sebuah buku yang berisi wahyu Primordial yang paling bermakna dan masusia
adalah kepribadian yang esensial yang direfleksikan pda cermin kosmik. Pengetahuan
suci harus memasukkan suatu pengetahuan tentang kosmos tidak suatu pengetahuan
empirik.
Melihat kosmos dengan intelek adalah melihat kosmos bukan sebagai kenyataan-
kenyataan yang dieksternalisasikan namun sebagai kenyataan dimana tersermin aspek-
aspek sifat Ilahi seperti teofani (manifestasi) dari Realitas yang tinggal di pusat
kepribadian manusia itu sendiri. Melihat kosmos sebagai teofani adalah melihat
cerminan kedirian dalam kosmos.
Islam memandang korespondensi antara manusia, kosmos (alam), dan kitab suci
adalah sentral dari agama secara luas. Kitab suci Islam adalah AlQur’an yang tertulis
dan tersusun sebagaimana Al-Qur’an kosmos. Kosmos memanifestasikan dirinya
sendiri sebagai teofani dan fenomena alam ditransformasikan ke dalam ayat yang
disebut Al-Qur’an. Aspek teofani dari alam perawan (asli) membantu manusia
menemukan akan keadaan batinnya sendiri. Alam adalah dirinya sendiri, sebuah

17
perwahyuan Ilahiah dengan mentafsirkan sendiri. Manusia yang diberkahi pengetahuan
suci, sehingga dpat membaca pesan gnosis yang tertulis dengan cara yang paling halus
pada jurang-jurang dari gunung-gunung yag tinggi, daun dan pepohonan, wajah-wajah
binatang dan bintang-bintang dilangit. Jadi kosmos identik dengan wahyu karena
merupakan manifestasi sifat-sifat Tuhan sebagai sumber yang tidak lain memahami
Realitas Tertinggi sebagai sumber segala sesuatu.
5.    Jalan Memperoleh Pengetahuan
Pengetahuan dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr adalah pengetahuan yang
esensial yaitu pengetahuan yang didasarkan identitas diantara yang mengetahui dan
diketahui, dan berdasarkan bahwa yang diketahui itu hilang di dalam api pengetahuan
itu sendiri. Pengetahuan esensisl atau gnosis yang berada di jantung wahyu yang
termanifestasi baik di dalam kosmos (alam) maupun pada diri manusia. Berbeda dengan
pengetahuan menurut anggapan empirisme dan rasionalisme yang sifatnya terkotak-
kotak, dimana sarana untuk memperolehdengan menggunakan indra dan akal semata.
Pengetahuan tersebut adalah pengetahuan tidak langsung. Karena berada di pinggiran
pusat eksistensi. Pengetahuan pada hakikatnya terletak (lokus) pada kecerdasan Ilahi
menurun pada manusia lewat pancaran intelek. Tujuan akhir manusia adalah
memperoleh lebih bersifat kompletatif, yang dasar-dasarnya lebih konkrit, sedangkan
penalaran dasarnya abstrak.
Manusia terdiri dari jasmani dan intelek, intelek inilah berada di atas dan dipusat
eksistensi manusia. Essensi manusia atau hal yang esensial didalam sifat manusia,
hanya dapat dipahamioleh “mata hati”. Intelek tersebut disamping berada di pusat
eksistensimanusia juga mencakup atau meliputi setiap level (tingkat) eksistensinya.
Begitu mata hati tertutup, kesanggupan intelek akan mengalami kemandegan maka
manusia tidak mungkin mencapai pengetahuan yang essensial tentang manusia. Refleksi
intelek (akal fikiran atau akal budi) di dalam jiwa dan pikiran, yang disebut akal (nalar,
rasio, reason) tidak dapat mencapai essensi dari manusia maupun dari hal-hal lainnnya,
betapapun intelek itu mengadakan eksperimen dan observasi atau betapapun intelek
melakuakn fungsi-fungsi yan tepat untuk memcahkan dan menganalisa, yaitu fungsi
yang rasio yang tepat untuk memecah dan menganalisa, yaitu fungsi rasio yang tepat
dan sewajarnya. Intelek hanya mempeoleh pengetahuan yang tidak penting, yaitu
pengetahuan mengenai aksiden, efek-efek, dan tingkah laku eksternal namun tidak dapat

18
memperoleh pengetahuan mengenai ossensi. Begitu juga, jika akal tidak memperoleh
penerangan atau bimbingan intelek, maka akal hanya dapat mengakui eksistensi dari
noumene-noumena dari realitas esensi. Penjelasan tadi memberikan pemahaman bahwa
intelek alat untuk memperoleh pengetahuan yang pada suatu ketika merupakan sumber
wahyu dan timbul secara mikrokosmik di dalam diri manusia.
Sarana mencapai wahyu, malaikat jibril, juga adalah roh kudus yang menerangi
intelek dan memungkinkannya memiliki indera intuisi. Intelek dalam cahaya wahyu
berfungsi bukan hanya sebagai intuisi intelektual yang apabila dikawinkan dengan
iman, memungkinkan manusia untuk menembusmakna agama dan, lebih khususlagi,
makna kalamIlahi yang terkandung di dalam Al Qur’an. Manusia mesti menguji
kecerdasannya untuk memahami wahyu Ilahi. Memahami wahyu Ilahi intelek terlebih
dahulu terlebih dahulu mesti diterangi oleh cahaya iman dan disentuh oleh rahmat yang
terpancar dari wahyu Ilahi.
Pengetahuan dalam hal ini gnosis  maka alat untuk mencapai pengetahuan tersbut
adalah intelek, akal (nalar) adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada dunia manusia.
Hubungan antara intelek dan akal tidak pernah putus. Intelek tetap mejadi dasar,dan
latihan akal sekiranya sehat dan normal dengan sendirinya akan sampaikepada intelek.
Ahli metafisika muslim cenderung mengatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah
akan membimbing manusia ke-Esaan Ilahi. Walau kenyataan spiritual itu tidak hanya
rasional, tidak hanya irrasional. Akal, lebih dipandang dari aspek akhirnya dari pada
aspek langsungnyadapat membawa orang ke gerbang dunia yang dapat dipahami, ilmu
rasional dengan cara yang sama dapat diintegrasikan ke dalam gnosis, meskipun
bersipat diskursip (terpisah-pisah) dan parsial sedangkan gnosis bersifat menyeluruh
dan intuitif. Begitu eratnya hubungan essensial antara akal intelek antara ilmu rasional
dengan gnosis inilah makna pencarian penjelasan  kausal dalam islam jarang sekali
diupayakan dan tidak pernah berhasil memuaskan ada diluar iman. Sciencia (ilmu
manusia) dianggap sah dan muliahanya selama ilmu manusia tunduk kepada sapientia
(kearifan).
Sayyed Hossein Nasr sependapat dengan Ibnu sina (tokoh mazhab masy-sya’i)
mengatakan setiap manusia memiliki kecerdasan dalam suatu bentuk tersembunyi,
kecerdasan ini disebut kecerdasan potensial atau material (bi al Quwwah). Bersamaan
dengan berkembangnya pengetahuan manusia, bentuk-bentuk yang pertama kali terlihat

19
dipindahkan dari atas ke dalam roh dan manusia mencapai derajat intelek aktual (bi al
Fi’il) dan akhirnya setelah proses ini selesai, kecerdasan perolehan (mustafad).
Akhirnya di atas semua tingkatan dan kedudukan ini terdapat intelek aktif (al-aql al fial)
yang bersifat Ilahiah dan menerangi akal melalui tindakan pengetahuan.
Pengetahuan suci tidak dapat dicapai tanpa inteleksi dan pemafaatan yang tepat
intelegensi dalam manusia. Penalaran yang terputus dari pacaran batin tidak hanya
menanggalkan ajaran-ajaran pengetahuan suci tetapi juga hanya menawarkan argumen-
argumen rasionalistik, inteleksi tidak dapat mencapai kebenaran sebagai akibat
pemikiran atau nalar profani (nalar murni), tetapi melalui suatu arah intuisi. Apabila
intelek bergerak terlalu jauh dengan sumber primordial (Yang Esa) yang menyebabkan
intelek tidak dapat mempergunakan fungsinya maka adanya wahyu
untukmengaktualisasikan intelek dalam diri manusia melakukan serangkaian ibadah
menyesiakan kunci yang mana manusia membuka pinti ruang batin keberadaannya.
Makna terlengkap dari intelek dan fungsinya yang universal harus dicari dalam
mari’fat atau gnosis, yang terdapat pada hati ajaran wahyu Islam dimana terdapat
adanya kecerdasan dan pengetahuan. Hati merupakan alat pengetahuan yang benar dan
apabila hati sakit maka akan timbul kebodohan dan kealpaan, oleh karena itu risalah
wahyu lebih ditunjukkan kepada hati dari pada akal, sebagaimana dijelaskan dalam Al-
Qur’an surat Yunus ayat 57 berikut ini :
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan
petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Demikian pula pengetahuan yang dicapai oleh hatilah yang diperhitungkan di
hadapan Ilahi. Ayat suci surat al-Baqarah 225 berikut ini menyatakan :
Artinya:  Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun

Pengetahuan hati (batin) dianggap penting untuk keselamatan karena orang yang
tidak mau mengenal hati dan jantung kehidupannya berarti menyia-nyiakan kesempatan
untuk masuk surga. Pengetahuan hati adalah pengetahuan yang mendasar yang dikenal
sebagai iman, oleh karena itu harus dihargai karena hati dapat menguasai pengetahuan.
Hati pada hakikatnya berarti tempat kedudukan pengetahuan atau alat untuk mencapai

20
pengetahuan. Mata hati (intelek) sebagaimana ketiga yang mampu mencapai
pengetahuan yang lain dari yang dicapai oleh kedua mata lahir dan tidak bersifat
langsung seperti penglihatan lahir.
Secara ringkas disimpulkan bahwa pengetahuan batin memiliki sifat langsung dari
pengetahuan inderawi yang berhubungan dengan dunia tidak kasat mata atau dunia
rohani. Berpijak dari pengetahuan pemberian atau pengetahuan batin ini bentuk
pengetahuan pada akhirnya menyamakan antara subyek dan obyek pengetahuan yang
paling kongkrit dari semua realitas tersebut Yang Maha Agung, segala sesuatunya
dianggap relatif abstrak. Mengetahui dalam artian terakhir berarti mengetahui Allah
melalui pengetahuan inteleksi maupun intuisi dalam makna tertinggi dari kedua istilah
itu.
6.    Pendidikan Dalam Pandangan Nasr
Sains dan pendidikan adalah masalah yang mencakup bentang ruang intelektual
dan waktu kesejarahan yang demikian luas, karena keduanya merupakan manifestasi
otentik Islam dan aspek utama peradaban Islam.
Pendidikan maupun sains yang berkembang di dalam peradaban Islam, dari
manapun asal-usul mereka peradaban Islam bisa hidup menelan dan menelaah serta
mencerna bermacam-macam jenis pengetahuan dari banyak sumber yang berlainan
yang sekedar dari Cina sampai ke Iskandaria dan Athena dan semua masih bertahan
dalam Organisme ini dicerna dan dirumbuhkan di dalam tubuh Islam yang hidup.
Apapun asal-usul material bagipendidikan maupun sains islam berhubungan
secara erat dengan prinsip-prinsip wahyu Islam dan semangat Qur’an, menurut
perspektif tradisi Islam, Al-Qur’an mengandung akar-akar semua pengetahuan tetapi
tentu saja tidakdetail, Al-Qur’an adalah Al-Qur’an yang disamping bacaan menurut
beberapa musafir juga berarti kumpulan yakni gudang yang didalamnya terkumpul
semua permata kearifan. Buku suci ini juga dinamakan Al-Furqan “Penilaian sebab ia
adalah instrumen terhandal pengetahuan dengan mana kebenaran dibedakan dari
kepalsuan, ia adalah Ummul Kitab “ibu semua buku” karenasemua pengetahuan otentik
yang terkandung didalamnya termuat, bukan  saja bimbingan moral tapi juga bimbingan
kependidikan, hidayah ataubimbingan yang mendidik seluruh wujud manusia dalam
pengertian yang paling mendalam dan juga paling lengkap, maka tak heran Al-

21
Qur’an  merupakan alpha dan omega dari pendidikan dan sains Islam sekaligus menjadi
sumber dan sasaran mereka, inspirasi dan pemandu mereka.
Sehingga apa yang menjadi landasan bagi pendidikan dan sains tersebut dapat
memola pikiran dan jiwa sang Muslim, didalam Islam, pengetahuan selalu disatukan
dengan yang sakral dan baik sistem pendidikan maupun sains-sains yang dimungkinkan
olehnya menafaskan semesta kehadiran sakral.
Apapun yang diketahui, mempunyai karakter religius yang mendalam, bukan saja
karena objek setiap jenis pengetahuan itu dicipta oleh Tuhan, tetapi sebagian besar
lantaran intelegensi dengan mana manusia mengetahui adalah karunia Illahi, fakultas
yang secara adikodrati (Supernatural) alamiah yang dimiliki mikrokosmat manusia,
bahkan kategori-kategori logika adalah refleksi kecerdasan Illahi pada tataran pikiran
manusia.
Berhubungan dengan kebenaran dan karenanya kemurnian, pendidikan Islam
mesti berkepedulian dengan seluruh wujud manusia laki-laki dan perempuan yang
diupayakan untuk dididik, tujuannya bukan hanya pelatihan pikiran melainkan juga
pelatihan seluruh wujud sang person. Itulah sebabnya mengapa pendidikan Islam
mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran atau penyampaian (ta’lim), tetapi juga
pelatihan seluruh diri siswa (tarbiyah). Guru bukan sekedar seorang mualim
“penyampai pengetahuan” tapi juga seorang murabbi “pelatih jiwa dan kepribadian”,
sejauh tertentu memang benar bahwa terma mu’alim sendiri pada waktu itu mulai
memperoleh makna etika yang didalam dunia modern hampir sepenuhnya semakin
terpisah dari persoalan pengajaran dan penyampaian pengetahuan, terutama pada
pendidikan tinggi.
Sistem pendidikan Islam tidak pernah memisahkan pelatihan pikiran dari
pelatihan jiwa dan keseluruhan pribadi seutuhnya, ia tidak pernah memandang alih
pengetahuan dan pemerolehan yang absah tanpa dibarengi pemerolehan kualitas-
kualitas moral dan spiritual.
Menurut Nasr pendidikan Islam meliputi seluruh kehidupan Muslim, hal ini
tampak dalam fase-fase dan periode-periode dalam keseluruhan organik. Pertama-tama,
dalam periode primer pendidikan keluarga masa awal baik bapak maupun ibu
memerankan peran guru didalam persoalan-persoalan keagamaan dan juga persoalan
yangberhubungan dengan agama, kebudayaan dan adat-istiadat.

22
Periode pertama adalah waktu dimana anak sedang tumbuh yang biasanya juga
dimasukkan ke pra taman kanak-kanak kemudian dilanjutkan ke salah satu sekolahan
agama, yang kurang lebih sejajar dengan sekolah dasar dan sekolah tingkat pertama,
kemudian ke madrasah yang dapat disetarakan dengan sekolah menengah tingkat atas
dan akademia serta akhirnya al-jami’ah atau tempat pendidikan formal tertinggi.
Di banyak kawasan dunia Islam, madrasah menyatu dengan al-jami’ah dan setara
dengan pendidikan tinggi menengah dan juga akademia, universitas, selain itu hampir
sepanjang waktu madrasah-madrasah dibangun secara seksama dalam tata letak yang
indah. Sampai sekarang ini di sebagian besar kota Islam, sesudah masjid adalah
madrasah yang secara geografikal mempunyai hubungan yang erat, oleh karena dalam
Islam pengetahuan tidak bisa atau tidak pernah dipisahkan dari yang sakral dan Islam
melihat didalam yang sakral terutama aspek nominalnya, suasana keindahan Illahi,
maka pendidikan Islam selalu ditanamkan dalam atmosfer yang indah. Diberikan secara
seksama dalam derajat yang tinggi untuk menciptakan suasana atmosfer dalam mana
kualitas sakral pengetahuan dan sifat religius seluruh cita-cita kependidikan dalam
konteks tradisional didukung dan tidak bisa disangkal.
Adapun mengenai kegiatan utama untuk sekolah agama yang awal tidak saja
memperkenalkan anak didik dengan dasar keagamaan bagi kehidupannya, masyarakat
dan peradaban tetapi juga berfungsi sebagai pengantar ke arah penguasaan bahasa.
Kendatipun suasana berbeda bagi anak-anak Arab dan non Arab, tidak syak lagi
bahwa dalam kedua kasus tersebut pengajaran dimuati dengan makna religius dan
proses membaca dan menulis dilihat sebagai aktivitas religius, perkataan “pena” (al-
qalam) sendiri melambangkan pelaksanaan menulis dengan bantuan si anak menuliskan
kata-kata pertamanya, juga melambangkan instrumen wahyu dimana Tuhan bersumpah
didalam AlQur’an.
Sedangkan kegiatan utama di madrasah-madrasah adalah pengajaran sains-sains
keagamaan (naqli) dan sains-sains intelektual (aqli), untuk contoh sains naqli adalah
terutama pengajaran al-syariah, ushul al-fiqh, fiqh dan lain sebagainya kajian ini
didasarkan pada studi yang seksama atas Qur’an beserta tafsir ta’wil dan hadis. Beserta
sejarah Islam yang bertautan dengan Al-Qur’an dan hadis yang pada gilirannya
memastikan terhadap penguasaan bahasa Arab dan kesusasteraan yang mengarah ke
kajian tentang teologi dalam aliran-aliran yang majemuk.

23
Sedangkan sains-sains aqli diantaranya diajarkan  ilmu logika, matematika, fisika,
dam filsafat yang menurut pemikir-pemikir Muslim dapat dicapai dengan akal dan tidak
disampaikan dalam cara yang sama seperti sains religius, linguistik dan historikal.
Didalam kegiatan-kegiatan madrasah harus dilengkapi dan ditunjang dengan dua
jenis badan yang lain yaitu institusi-institusi keilmuan (laborat) dan perkumpulan-
perkumpulan pribadi.
Islam membangun lembaga-lembaga ilmiah (riset) seperti rumah sakit dan
observatirium untuk pendidikan dan penelitian yang didalamnya pendidikan kader
profesional dilaksanakan secara ekstensif.
Mengenai perkumpulan-perkumpulan pribadi, yang ada dewasa ini dirujuk
sebagai pengajaran atau pelajaran luar, mereka hadir sebagai sarana untuk mengajarkan
disiplin-disiplin  yang tidak begitu umum kepada kelompok-kelompok mahasiswa
pilihanbaik untuk menghindari kecaman resmi pihak ulama yang boleh jadi
berkeberatan terhadap mata kajian yang sedang diajarkan maupun untuk menciptakan
suatu lingkungan yang lebih akrab bagi penyampaian beberapa sains-sains aqli.
Institusi lain yang berdampak besar terhadap pendidikan Islam adalah pusat
kerajinan seni dan pusat sufi yang disebut zawiyah di dunia Arab dan khanaqah didalam
bahasa Persia, India, dan Turki, institusi ini adalah tempat bagi penyampaian
pengetahuan tertinggi yakni pengetahuan Illahi (al-ma’rifah atau irfan) atau apa yang
barangkali disebut scientia sacra, karena sufisme berkepedulian dengan pendidikan
sebagai tarbiyah pada tingkat yang paling tinggi.
7.    TRADISI PENDIDIKAN ISLAM
Menurut Nasr bahwa prinsip-prinsip yang mendasari pendidikan Islam pada
gilirannya mustahil untuk dipahami tanpa apresiasi atas pandangan para filosof
berkenaan dengan aspek pendidikan mulai dari tujuan hingga kandungannya dan dari
kurikulum hingga metode-metodenya.
Karena pandangan para ilmuan dan para filosof tentang pendidikan adalah sangat
esensial dewasa ini sehingga memungkinkan penegakan ulang sebuah sistem
pendidikan yang Islami sekaligus bercorak intelektual, menurut Nasr kalau ada saja
sitem pendidikan yang mampu menghasilkan seorang al-Biruni atau seorang Ibn Sina
pastilah ia – paling tidak – menerapkan secara serius pandanganpandangan yang mereka
pegangi tentang pendidikan, selama ratusan tahun Islam telah menghasilkan

24
menghasilkan muslim-muslim yang patuh sekaligus pemikirpemikir yang handal di
berbagai disiplin intelektual. Muslim-muslim masa kini yang berupaya mewujudkan
kembali sistem pendidikan Islam yang otentik tidak bisa tidak musti memperhitungkan
pandangan-pandangan parafilosof-ilmuan seperti ituberurusan dengan
kandungan,  tujuan, metode-metode dan makna pendidikan.
Karenanya musti dinyatakan sejak awal bahwa filsafat Islam seperti yang
berkembang selama ratusan tahun adalah berkarakter Islami dan merupakan bagian
integral dari tradisi intelektual Islam,  namun di tahun belakangan signifikansi filsafat
Islam di lupakan dan bahkan karakter Islaminya di sangkal oleh sebagian besar
fundamentalis yang atas nama sebuah Islam yang di intrepretasikan secara rasionalistik,
secara lahiriyah menentang hal-hal yang berbau barat, sementara pada saat yang sama
memberi peluang gagasan-gagasan yang berbau modernisme untuk mengisi kekosongan
yang tercipta dalam pikiran dan jiwa mereka sebagai akibat dari penolakan mereka atas
tradisi intelektual Islam.
Muslim-muslim masa kini yang berupaya untuk mewujudkan kembali sistem
pendidikan Islam yang otentik tidak bisa tidak musti memperhitungkan pandangan-
pandanganpara filosof-ilmuan yang berurusan dengan kandungan, tujuan,  metode, dan
makna pendidikan.
Untuk memahami sistem tradisi pendidikan Islam haruslah memperhatikan filsafat
pendidikan yang mendasari sistem itu, juga perlu mengkaji kurikulum yang ditetapkan
atau diterapkan pada madrasah-madrasah Tradisional. Yang menjadi ciri khas sistem
pendidkan Islam Tradisional maupun sains-sains yang diajrakannya adalah selalu
menafaskan semesta kehadiran yang sakral, apaun yang di ketahui selalu mempunyai
karakteristik relegius yang mendalam.
Karena berhubungan dengan yang sakral maka kemurnian pendidikan Islam musti
berkepedulian dengan wujud seluruh manusia yang di upayakan untuk didik, tujuan
pendidikan Tradisional bukan hanya pelatihan pikiran tetapi juga pelatihan seluruh
wujud sang person, itulah mengapa pendidikan Ilam mengimplikasikan bukan sekedar
pengajaran atau peyampaiaan ilmu (Ta’lim) tetapi juga pelatihan pelatihan seluruh diri
murid (Tarbiyah), gurupun bukan hanya sekedar Mu’allim, penyampai pengetahuan
tetapi juga seorang Murrabi pelatih jiwa dan kepribadian, sejauh tertentu memang benar
bahwa terma Mu’allim sendiri mulai memperoleh makna Murabbi juga dengan kata lain

25
ia mulai terisi dengan konotasi-konotasi yang didalam dunia modern hampir
sepenuhnya terpisah dari peyampaiaan pengetahuan.[55]
Dari berbagi corak pendidikan Nasr adalah banyak mengacu kepada tradisi masa
lalu dan ini memang corak pemikira yang didasrkan pada pemikiran tradisional Islam
dan ini mungkin bisa di jadikan jawaban atas krisi konseptual pendidikan Islam yang
merembes kekrisis kelembagaan pendidikan.
Pendikotomian kajian ilmu didunia pendidikan Islam merupakan masalah yang
kian pelik mengingat lagi dengan merembesnya sistem modernisme maka mau tidaknya
harus diakhiri, didalam konsep tradisi tidak di kenal istilah pembedaan kajian ilmu
profan dan sakral, semua ilmu yang di hasilakn dalm intelektual Islam adalah bercirikan
sakral, jadi sudah seharusnya sekarang pengajaran pendidikan Islam tidak hanya
membatasi pada ilmu-ilmu tertentu tapi mulailah diisi dengan berbagai kajian keilmuan
sebagaimana yang telah di hasilkan para ilmuan tradisi Islam.
Pendidikan Islam juga seharusnya membuka lembaga-lembaga seperti observasi
sebagai praktek dari teori yang di ajarkan dilembaga madrasah, mengingat para ilmuan
muslim dahulu banyak melakukan penelitian di laboratiriumya untuk menliti yang di
peroleh dari pengajaran di madrasah, juga perlu digalakan kelompok-studi yang
biasanya digunakan untuk diskusi masalah filsafat untuk menggali khazanah muslim
yang telah hilang karena dengan cara seperti itu mereka akan memahami filsafat yang
pada saat ini hampir tergusur dengan dunia filsafat barat.
8.    PENDIDIKAN ISLAM DAN MODERNITAS
Gagasan modernisme Islam yang menentukan momentumnya sejak awal abad 20
pada lapangan pendidikan modern yang di adopsi dari sisitem pendidika kolonial
penjajah.
Pada awal perkembangan adopsi modernisasi pendidikan Islam setidaktidaknya
terdapat dua kecendrungan pokok  dalam eksprementasi organisasi-organisasi Islam,
pertama adalah adopsi sisitem dan lembaga pendidikan modern secara hampir
menyeluruh, titik tolak modernisme pendidikan Islam disini adalah sistem, bukan
lembaga dan sisitem pendidikan Islam Tradisional.
Sejak awal perkembangan modrnisme, sebenarnya sebagian besar lembaga
(walaupun tidak sepenuhnya) tercerap oleh kekuatan modernisme dan pendidikan
modern mengikuti lembaga paling penting untuk pengembangan sistem nilai dunia

26
modern lebih jauh, untuk penyebaran sekulerisasi dan untuk pandangan dunia agama.
[56]
Modernisme dan modernisasi pendidikan Islam dilihat dalam perspektif
perkembangan kebudayaan dan kelembagaanpendidikan tradisional Islam sulit untuk
surviv tanpa modernisasi.dan sebagaimana dikemukakan di atas, modernisme dan
modernisasi kelembagaan pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak awala abad ini
dan nampaknya akan terus berlangsung pula dimasa-masa mendatang, tetapi
modernisme sistem dan kelembagaan pendidikan Islam berlangsung bukan tanpa kritik
yang berkembang di tengah masyarakat muslim khususnya dikalangan pemikir
pendidikan Islam dan pengelolaan itu sendiri kelihatanya semakin vokal.
Persoalan ini melambung dan berkembang ketika ada pandangan atas kegagalan
modernitas dan modernisasi barat yang sebagianya telah terlanjur di adopsi kaum
muslim, termasuk kedalam lapangan pendidikan dalm memenui janji-janjinya untuk
mensejahterakan  kehidupan manusia baik lahir atau batin melalui kemajuan ilmu
pengetahuan dan tehnologi.
Kegagalan modernisme dan modernisasi barat dengan segala ramifikasinya di
kalngan kaum muslimin sering dikaitkan dengan kekeliruan epistemologi ilmu
pengetahuan dengan epestimologi ilmu padaabad pertengahan yang bersifat
“Theosentris” sebaliknya epetimologi ilmu modern dan kontemporer lebih bersifat
“antroposentris”.
Jika di kalangan barat paradigma epistimologi “antroposentris” hampir seluruhnya
mengusur paradigma “theosntris” sebaliknya para pemikir Islam terjadi tarik menarik
yang cukup intens dim kalmngan pendukung masing-masing paradigma ini. Pemikir
modernisme seperti Muhammad Abduh, Seyyid Amir Ali dan seterusnya
mengembangkan epistemologi ilmu yang kurang lebuh bersifat “antroposentrisme”
sebaliknya pemikir Neo-Tradisionali seperi Seyyed Hossein Nasr selalu mengkritik
keras epistemologibarat dan pemikir modernitas muslim yang bersifat
antroposentrislantas menganjurkan epistemologi ilmu yang bersifat “teosentris”.repleksi
yang cukup jelas juga dari tarik tambang ini adalah upaya-upaya untuk keluar dari
epistemologi ini adalah adanya kemunculan gagasan Islamisasi pengetahuan yang
hingga kini masih dalam perdebatan.

27
Setidaknya mulai abad 18 ketika didunia Islam mulai muncul bebrapa orang
modernis yang ingin merumuskankembali Is;lam melelui pendekatan rasionalis filosofis
gunamenemukan kembali akar-akar kejayaan padamasalampau yakni dengan usaha
mencari hubungan barat dan Islam. Tetapi karena usaha mereka tidak cukup steril dari
serangan-serangan internal bahkan di antara mereka memperoleh tuduhan sebagi agen
barat sekuler yang anti Islam, maka boleh dibilang sampai sekarang usaha paramodernis
belum cukup berhasil.
Karena teologi eklusif yang semula digugat dan di ganti dengan teologi
modernisme yang sejatinya ingin membebaskan mnausi dari dogmatika nilai agama
yang mmemasun kemerdekaan dan kreatifitas manusia dalam merespon dunianya, kini
bergeser menjadi sebuah sebuah paradigma yang hanya mengagung-agungkan dimensi
akal dan menafikan adanya realitas transendental dan dengan serta merta Tuhan
dimatikan.
Agama dan ajaran moralitas lainnya dipandang telah cukup gagal dalam
membangun kesadarn manusia, karena itu agama di tempatkan hanya pada level
subordinat dari sistem kesadaran. Dalam suasana demikian agama benar-benar tidak
memperoleh tempat sentral dalam sistem sosial polotik, ekonomi, budaya dan ilmu
pengetahuan. Dan teologi modernisme adalah justru melakukan desakralisasi atau
sekulerisasi peran agama.
Dengan demikian terjadilah imperialisme epestimologi sekaligus kultural dan
politik, yang hanya satu peradaban satukebudayaan dan satu sejarah yakni di tentukan
oleh superioritas rasionalisme dan progresifme barat dan pasti bercirikan Eropa sentris,
selanjutnya bisa di tebak paradigma epetimologi antroposentris menggusur teosentris.
Dengan demikian jelas bahwa pendidikan Islam yang sudah termodernisasi lama-
kelamaan di tengarai kehilangan identitas jati dirinya dalam ruh-ruh mendasarnya.

28
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab sebelumya dapat kami tarik kesimpulan


sebagai berikut:
1.    Ilmu Pengetahuan menurut konsep Seyyed Hossein Nasr adalah pengetahuan yang
esensial yitupengetahuan yang didasarkan identitas di antara yang mengetahui dan di
ketahui, maka dari itu Nasr berpendapat bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia
bukanlah melalui pencapaian saja (al-ilm al-hussuli) tetapi lebih menekankan bahwa
pengetahuan adalah pemberian (al-ilm alhudluri) maka sebagai sumbernya pengetahuan
bukan hanya melalui rasio murni tetapi jugamelalui wahyu dan intelek serta intuisi,
tetapi oleh harmonisasiantar akal dengan wahyu, rasio dengan hati yang ahirnya berupa
pengetahuan intelektus, mata hati yang sanggup menagkap bayang-bayang Tuhan lewat
isarat alam, sehingga bisa membawa membawa kepada kebahagiyaan manyatu dengan
alam dan Tuhanya. Pengetahuan itu tak lain adalah pengetahuan yang suci (scietia
sacra) yaitu pengetahuan yang selalu menekankan pada kesadaran yang merupakan
gnosisi dan tidak hanya pengetahuan insani tetapi pengetahuan Tuhan tentang DiriNya
2.    Pemikiran Seyyed Hossein Nasr berangkat dari keprihatinannya bahwa seolah-olah
teolog ditaklukkan oleh sains, teologi diubah demi untuk mempertimbangkan
penemuan-penemuan sains. Bagi Nasr, yang merupakan pendukung filsafat perennial,
yang sebaliknyalah yang semestinya harus terjadi, teologi menjadi tolok ukur teori-teori
ilmiah. Nama Seyyed Hossein Nasr sering disandingkan dengan Syed M. Naquin Al-
Attas, Ismail Razi Al-Faruqi dan Ziauddin Sardar. Al-Attas menyebut gagasannya
dengan "dewesternisasi ilmu", Ismail Razi al-Faruqi berbicara tentang "Islamisasi ilmu"
dan Sardar tentang penciptaan suatu "sains Islam kontemporer".
3.    Pemikiran sayyid Hussein nasr mengenai integrasi antara pengetahuan dan kesucian
yang beliau wujudkan dalam konsep mengenai tradisionalisme islam mengandung
semangat pembaharuan (tajdid) yang merupakan cita-cita Nasr untuk mengembalikan
Islam pada kedudukannya semula yang sekarang ini sudah banyak terkontaminasi
modernisasi barat yang sekuler, dan meninggalkan nilai-nilai Ilahiah dan insaniah. Nasr
kemudian mengindentikan tajdid dengan renaisans yang menurut pengertian yang
sebenarnya. Suatu renaisans dalam Islam berkaitan dengan tajdid, atau pembaruan, yang

29
dalam konteks tradisional diidentikan dengan fungsi dari tokoh pembaruan (mujaddid)
tersebut. seorang mujaddid berbeda dengan seorang tokoh reformasi karena ia bersedia
mengorbankan sebuah aspek tradisi agama, demi faktor ketergantungan tertentu yang
paling ditonjolkan mereka sebagai mereka sebagai hal yang sangat mempesona, karena
dikatakan kondisi zaman yang tak dapat dihindari atau ditolak.
4.    Pembaruan yang dilakukan Nasr adalah mengembalikan manusia pada asalnya
sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian dengan Tuhannya, dari kealpaan
tentang dirinya, sehingga membuat dirinya jatuh kedalam belenggu rasionalitasnya yang
meniadakan Tuhan. Manusia menurut Nasr, pada awalnya adalah makhluk suci, namun
karena penolakannya kepada Tuhan melalui tradisi Ilmiah telah membuat dirinya tak
mengenal siapakah sesungguhnya dirinya dihadapan Tuhannya. Nasr berpendapat
bahwa pembaruan tidak bisa hanya dilakukan dari sisi materi saja, tetapi juga yang
paling dasar adalah melakukan perubahan dari dalam dirinya sendiri, untuk kemudian ia
melakuan pembaruan terhadap realitas yang ada disekitarnya.

A. Saran

Maka, dari penjelasan diatas penulis mempunyai saran dalam materi makalah kali
ini, semoga pemaparan materi dalam makalah ini dapat memberikan wawasan baru bagi
para pembaca dan untuk lebih mendalamnya ada baiknya para pembaca mencari dan
menggunakan referensi lain yang berkaitan dengan topik ini.

30
REFERENSI

Abdurrahmansyah (2005). Wacana Pendidikan Islam (Khazanah Filosofis dan


Implementasi Kurikulum, Metodologi dan Tantangan Pendidikan Moralitas).
Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Ahyan Yusuf, Mohammad. (2017). Pemikiran Syed Muhammad Naquib Al-Attas


Tentang Pendidikan Islam. TAMADDUN: Jurnal Pendidikan dan Pemikiran
Keagamaan. ISSN 2722-2632. http://dx.doi.org/10.30587/tamaddun.v0i0.65

Al-Rasyidin., dan Nizar, Samsul. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: PT Ciputat Press. 2005.

Arifin, Rusdin. (2012). Islamisasi Sains Naquib Al-Attas.


https://rusdiarifin.blogspot.com /2012/01/ islamisasi-sains-naquib-al-
attas.html, pada tanggal 27 April 2022 pukul 11:27.

Aristyasari,Yunita Furi.(2013).Pemikiran Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib


Al Attas. Harmenia: Jurnal kajian Islam Inderdisipliner Vol.13
No.2.Yogyakarta :UIN Sunan Kalijaga.

Dawam, Ainurrofiq. (2003). Kritik Atas Epistemologi Modern (Upaya Islamisasi Ala
Naquib Al-Attas), Jurnal Studi Islam Mukaddimah No.14.

Hambaly,Hasan Muarif. et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2. Jakarta: PT Ichtiar


Baru Van Hoeve. 1996. Cet. ke-1.

Hinton, Darryl. (2021). Syed Muhammad Naquib al-Attas Wiki, Biography, Age,
Career, Relationship, Net Worth & Know About
Everything,https://wikitrusted.com/syedmuhammad naquib al-
attas/Wikipedia/,diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 11:07.

Ismail dan Wan Suhaimi, Adab dan Peradaban, (Malaysia: MPH Group Printing, 2012)

Mizan. 2003. Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam. Bandung: Media Kita

31
Novayani, Irma. (2017). Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut Pandangan Syed
M.Naquib al-Aattas dan Implikasi Terhadap Lembaga Pendidikan
Internasional Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC). Jurnal Al-
Muta'aliyah Vol. I No.1.ISSN:2502-2474.

Ragil, Muhammad. (2015). Konsep Tauhid Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad Naquib
Al-Attas dan Implementasinya Untuk Menghapuskan Dikotomi dalam
Pendidikan Islam. UMY Repository: Skripsi.
http://repository.umy.ac.id/handle/123456789/18522

Ramayulis., dan Nizar, Samsul. Ensiklopedia Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT


Ciputat Press. 2005.

Syafa’ati Sri. 2002. KONSEP PENDIDIKAN MENURUT MUHAMMAD NAQUIB


AL-ATTAS DAN RELEVANSINYA DENGAN SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan


Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Usman Abu Bakar dan Surahim. (2005). Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Safiria Insania.

Wan Mohd Nor Wan Daud. (1998). Filsafat dan Praktek Pendidikan. Bandung: Mizan.

32

Anda mungkin juga menyukai