Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“Keislaman dan kajian ilmu sosial”


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam
DOSEN PENGAMPU ;Muhammad Kanzul Fikri S.E, M.E.I.

Disusun Oleh:

Ahmad Agus Munandar (2113111046)

Muhamad Dian Arzeqi

Abdulah Hafidz

Program Study Ekonomi syariah

Institut Agama Islam Darussalam (IAIDA)

Blokagung Tegalsari Banyuwangi

Tahun : 2021
KATA PENGANTAR

Sembah puji bagi Allah Yang Maha Kaya, yang mencukupi segala rizqi kefakiran

semesta alam raya. Salam sanjungan dan ta’dhim kepada Nabi yang telah mengajari umatnya

menjadi manusia kaya yang bermanfaat, atau menjadi manusia miskin namun bermartabat,

Rasulullah Muhammad SAW. Berkat rahmat dan karunia-nya pula, kami dapat

menyelesaikan Makalah Perusahaan Dagang yang insyaallah tepat pada waktunya.

Terimakasih kami ucapkan kepada Bapak Dosen Muhammad Kanzul Fikri S.E, M.E.I.
Mata Kuliah Pengantar Studi Islam, yang telah memberikan arahan terkait tugas

makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau mungkin, kami tidak akan dapat menyelesaikan

tugas ini sesuai dengan format yang telah di tentukan.

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami

mengharapkan kritik dan saran pembaca demi kesempurnaan makalah untuk kedepannya.

Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.

Banyuwangi, 1 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................................1

B. Rumusan masalah.................................................................................................1

C. Tujuan Pembelajaran............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Menjelaskan Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ilmu Islam...........................................2

B. Membedakan Islamic student Model barat dan Orientalis...................................3

C. Mendeskripsikan Islam Sebagai Kajian Akademik (Islamologi).........................7

D. Menjelaskan Kajian Islam Dengan Pendekatan Ilmu Sosial................................

E. Menjelaskan Islam Vs Ilmu Keislaman................................................................

F. Menjelaskan Konsep Ilmu Dan Tradisi Islam......................................................

G. Mendeskripsikan Rekonstruksi Keilmuan Dalam Islam......................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................................10

B. Saran.....................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberadaan agama diharapkan dapat berperan aktif dalam memecahkan berbagai persoalan
yang terjadi di tengah umat. Agama bukan hanya sekedar simbol ketaatan, apalagi berhenti pada
formalitas verbal dalam setiap ceramah, tetapi seyogyanya secara konsepsional memberikan
solusi yang paling efektif dalam setiap permasalah tersebut.

Harapan terhadap agama yang sedemikian rupa dapat terjawab apabila pemahaman agama
tidak hanya menggunakan pendekatan teologis, tetapi juga memerlukan pendekatan lainnya,
yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Ada banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam upaya memahami agama yang secara
fungsional berdampak pada kebermanfatan dan terasakannya keberadaan agama oleh
penganutnya.

Bermacam pendekatan tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis,


psikologis, historis, kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan
pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu
yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.

Walupun Islam lahir di tanah Arab, tetapi ia bukanlah murni milik dan dipengaruhi oleh fenomena
yang berada di daerah Timur  Tengah saja. Islam berkembang di Asia Tenggara dan Benua
lainnya dengan kekuatan yang memberikan pengaruh besar. Proses sosialisasi dan simbolisasi
Islam dengan lingkungan, di mana Ia tumbuh yang meliputi keyakinan, budaya, bahkam ideologi
sekuler, membuat Islam sebagai agama menjadi aspek yang terpenting dalam kajian agama
secara general (Martin, 1985: 10).

Studi tentang Islam dapat dimulai dengan telaah analitis mengenai tabiat atau karakternya. Studi
jenis ini bermaksud mengurai, menerangkan, menjabarkan dan mungkin pula menjelaskan kata
atau proposisi yang tidak jelas. Penulis akan menguraikan topik-topik tentang ilmu keislaman
dan studi keislaman bagi masyarakat Barat dengan menggunkan pendekatan ilmu sosial.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ilmu Islam.
2. Apa Bedanya Islamic student Model barat dan Orientalis.
3. Bagaimana Islam Sebagai Kajian Akademik (Islamologi).
4. Bagaimana Bentuk Kajian Islam Dengan Pendekatan Ilmu Sosial.
5. Bagaimana Jika Islam Vs Ilmu Keislaman.
6. Bagaimana Konsep Ilmu Dan Tradisi Islam.
7. Bagaimana Bentuk Rekonstruksi Keilmuan Dalam Islam.
C.Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ilmu Islam
2. Mengetahui Islamic student Model barat dan Orientalis
3. Mengetahui Islam Sebagai Kajian Akademik (Islamologi)
4. Mengetahui Kajian Islam Dengan Pendekatan Ilmu Sosial
5. Menyetahui Islam Vs Ilmu Keislaman

1
6. Menyetahui Konsep Ilmu Dan Tradisi Islam
7. Mengetahui Rekonstruksi Keilmuan Dalam Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ilmu Islam
Sejarah awal kelahiran, Islam telah memberikan penghargaan begitu besar terhadap ilmu.
Pandangan Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan kelahirannya Islam itu
sendiri. Ketika Rarulullah SAW menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan
kepadanya ‘membaca’. Pada masa kejayaan umat Islam, khususnya pada masa pemerintahan
dinasti Umayah dan dinasti Abasyiah, ilmu Keislaman tumbuh dengan sangat pesat dan maju.
Kemajuan ilmu Keislaman telah membawa Islam pada masa keemasannya.

Dalam sejarah ilmu Keislaman, kita mengenal nama-nama tokoh ilmu di antaranya Al-Mansur,
Harun Al-Rosyid, Ibnu Kholdun, dan lain sebagainya yang telah memberikan perhatian besar
terhadap ilmu Islam. Pada masa itu proses penterjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam
bahasa arab berjalan dengan pesat. Sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu Keislaman, baik
dalam bidang tafsir, hadits, fiqih dan disiplin ilmu ke-Islam yang lain. Tokoh-tokoh dalam bidang
tafsir, antara lain Al-Thabary dengan karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an al-Bukhary,
dengan karya yang diciptakan yaitu Al-Jami’ al-Shahih, Muslim, Ibnu Majah, dan lain sebagainya
(Yahya, 1993: 274).

Periode awal Islam ini sering juga disebut sebagai fase yang mana kitab suci AlQur’an baru
diturunkan di tengah-tengah umat manusia. Periode ini dimulai dari abad ke 7 sampai abad ke
13 Masehi. Periode ini bermula dengan ditandainya kemajuan kepustakaan Arab, pengajaran
Islam dan penyebaran pokok-pokok peradaban Islam (hadlârah Islâmiyyah)
yang merangkul tiga unsur penting dalam peradaban, yaitu: keagamaan (aqîdah), kesukuan
(qabaliyyah), dan aristokratik (aristhuqrâthiyyah) (Siti Maryam, 2002). Corak perkembangan
peradaban Islam pada periode ini lebih cenderung meramu antara peradaban Islam dengan
konsep-konsep imperium Timur sebelumnya, baik dari sisi ekonomi maupun monoteistik
yang telah ada. Kemajuan periode tersebut ditandai dengan adanya kreativitas umat untuk
mendirikan sebuah konsep Negara baru dan institusi kemasyarakatan yang bisa berjalan
selaras antara institusi Negara dengan agama. Kemudian dari sini, lahirlah kebijakan-
kebijakan baru dari kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Alaihisalam—masa khulafâ’
râsyidûn— yang mampu membawa kebijakan Islam bisa diterima luas di seluruh kalangan
(Siti Maryam, 2002). Setelah islam mengalami ekspansi wilayah lebih luas, tentu pemeluk
Islam semakin banyak seiring bertambahnya waktu. Serta kehidupan masyarakat kian pesat
dan meningkat dalam sektor ekonomi. Pun para pemikir yang datang silih berganti dari
seluruh penjuru kota, menjadi faktor utama terhadap cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan
dalam Islam. Serta kemunculan permasalahan-permasaahan masyarakat yang semakin
komplek menuntut para khalifah turun langsung ke pemukiman warga untuk mengajarkan
Islam. Dalam periode ini, perkembangan ilmu pengetahuan Islam lebih cenderung kearah
ilmu-ilmu syari’at (ulûm naqliyyah, ulûm syar’iyyah) dibanding ilmu-ilmu logika (ulûm
aqliyyah). Ilmu syari’at yang bertumpu paada sumber primer Islam, Al-Qur’an dan Hadis,
mampu menjawab permasalahan-permasalahn seputar ibadah (‘ubudiyyah) paska sepeninggal
Rasulullah Alaihisalam. Termasuk juga munculnya ilmu qirâ’at yang erat kaitannya dengan
cara membaca dan memahami kandungan Al-Qur’an. Dalam rangka penyebaran ilmu qirâ’at
ini, khalifah Umar mengirim beberapa delegasi untuk menyebarkan bacaan yang benar.
Antara lain, Muadz Ibn Jabal ke Palestina, Ubadah Ibn Shamit ke kota Hims, Abu Darda’ ke
Damaskus, sementara Ubay Ibn Ka’b dan Abu Ayub tetap di Madinah. (RI, 1981-1982)
Tokoh-tokoh besar di atas, di samping memeliki keahlian dibidang ilmu Al-Qur’an, mereka

3
juga ahli di bidang fikih (faqîh) ulung pada masanya. Sebab ilmu fikih merupakan suatu ilmu
yang mengupas tentang permasalaahn sehari-hari yang bersumber utama dari AlQur’an dan
Hadis. Makanya tidak heran ketika para ahli Al-Qur’an tersebut juga ahli dalam ilmu fikih.
Seperti halnya juga sahabat-sahabat lain yang ahli Al-Qur’an juga ahli dalam fikih, yaitu:
Umar Ibn Khatab, Ali Ibn Abi Thalib, Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn
Mas’ud, Anas Ibn Malik, Muadz Ibn Jabal dan Abdullah Ibn Amru Ibn Ash. Di samping
perkembangan kajian ilmu naqliyyah pada abad ini berkembang pesat, pemahaman ilmu
aqliyyah juga sudah mulai dipandang serius oleh masyarakat pada masa itu.
Pembangunan dalam Islam juga mengalami perkembangan pesat di luar Mekah. Seperti
pembangunan kota Basrah pada tahun 14-15 H. dengan arsiteknya Ubay Ibn Gazwah dan
dibantu 800 pekerja lainnya. Dalam pembangunan kota ini, khalifah Umar sendiri yang
mengusulkan lokasinya yang berjarak 10 mil dari pengaliran sungai Tigris supaya warga bisa
memanfaatkan peraairan air sungai dengan mudah. Di Mesir, juga terdapat pembangunan
sebuah kota yang bernama Fusthat. Kota ini dibangun pada tahun 21 H. atas ketidak setujuan
khalifah Umar untuk Iskandariyah sebagai propinsi Mesir yang telah diusulkan gubernur
Amru Ibn Ash. Ketidak setujuan Khalifah Umar ini beralaskan adanya sungai Nil yang
membatasi kota tersebut dengan Madinah. Sehingga kota Fusthat dibangun di sebelah timur
sungai Nil yang sekarang ramai dengan rumah-rumah penduduk.
Sebutan Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Sayms Ibn Abdi Manaf,
salah satu seorang pemimpin suku Qurays pada zaman Jahiliyah (pra-Islam). Bani Umayyah
baru masuk Islam setelah Rasulullah berhasil menaklukan kota Mekah (fathu makkah).
Sepeninggalnya Rasulullah, Bani Umayyah bercita-cita ingin mengganti jabatan Rasulullah
sebagai khalifah. Namun keinginan itu tidak mereka buka secara terang-terangan, lantaran
khalifah yang ditunjuk langsung oleh masyarakat yaitu Abu Bakar dan kemudian digantikan
Umar Ibn Khatab. Setelah diangkatnya Usman Ibn Affan sebagai khalifah, di sinilah Bani
Umayyah mulai menyebarkan misi-misinya untuk meletakkan dasar-dasar khilafah
Umayyah. Dan masa inilah, Umayyah berusaha sekuat tenaga untuk memperkuat posisinya
agar bisa menaklukan kota Syam tunduk di bawah kendalinya. (Salabi, 1983) Ketika Ali Ibn
Thalib menjabat sebagai Khalifah menggantikan Usman, Mu’awiyah selaku gubernur di
Syam membentuk kekuatan partai yang sangat kuat, serta membangkang pada seruan-seruan
Ali di Madinah. Kemudian Mu’awiyah mendesak Ali agar membalaskan dendam terhadap
pembunuh Usman, atau kalau Ali tidak bergerak, maka Mu’awiyah mengancam akan
menyerang kedudukan khilafah-khilafah dengan bantuan kekuatan tentara Syams. Kemudian
peristiwa ini meledak dalam suatu pertempuran yang kemudian dikenal dengan perang
Shiffin (37 H/657 M). Demikian ini sisi gelap yang tercatat sejarah yang pernah melekat pada
kepemimpinan Bani Umayyah. Namun terlepas itu semua, banyak sekali kemajuan-kemajuan
kekuasaan yang di bawah kepemimpinan mengalami kemajuan yang amat pesat. Seperti
peran Ali alQali yang berhasil membumikan bahasa Arab di Andalusi, Cordova. Pada tahun
330 H/ 941 M. ia memenuhi undangan Al-Nashir untuk menetap di Cordova dan
mengembangkan ajaran Nahwu sampai akhir hayatnya (358 H/ 969 M). Ali Al-Qali banyak
sekali meninggalkan karya-karyanya yang sanagt bermanfaat di Cordova dan yang menjadi
cikal bakal berkembangnya Bahasa Arab di sana. Karangannya antara lain, al-Amâli dan al-
Nawâdlir. (Amin, 1969). Tokoh lain di bidang Fikih yang tidak kalah terkenal di Andalusia
antara lain, Abu Bakar Muhammad Ibn Marwan Ibn Zuhr (w. 422 H). Ia merupakan sosok
sastrawan besar pada masanya yang pernah ada di Andalusia. Selain itu, Abu Muhammad Ali
Ibn Hazm (w. 455 H). yang memiliki karya al-Fashl; fi al-Milâl wa al-Ahwâ’ wa al-Nihal
yang merupakan masterpiece yang fenomenal hingga saat ini. Semula Ibn Hazm menganut
mazhab Syafi’I, namun seiringnya waktu ia talfiq pada mazhab Daud Azzahiri. Kemudian
pengalaman dalam kedua mazhab ini mampu menginspirasi penduduk Andalusia secara

4
khusus daan pada masyarakat sekitar secara umum. Ibn Hazm merupakan ulama yang sangat
produktif sekali dalam menulis karya-karya ilmiah. Karyanya yang berhasil tercatat, terdapat
sekitar 400 judul buku. Baik dalam bidang sejarah, teologi, fikih, sastra, Hadis dan lain-lain.
(Hitti, 1970). Selain maju di bidang agama, ilmu filsafat juga sudah mulai dijamah di kota
Andulisia. Luthfi Abdul Badi’ mengemukakan, bahwa Muhammad Ibn Abdillah Ibn
Missarah al-Bathini, ialah orang pertama kali yang menekuni bidang filsafat di Andulisia. Hal
ini berarti, ilmu filsafat sudah dikenal sebelum al-Jabali. Dan ilmu itu berkembang pesat pada
masa al-Nashir dan sampai pada puncaknya di masa al-Mustanshir. Seiring berkembangnya
filsafat, berkembang juga ilmu-ilmu pasti. Ilmu pasti yang digemari bangsa Arab bersumber
pada buku India Sinbad yang di-Arab-kan oleh Ibrahim alFazari pada tahun 771 M. dengan
perantara ini bangsa Arab lebih mengenal dan menggunakan angka-anagka India yang di
Eropa angka itu dikenal dengan angka Arab (Fakhrudin, 1979). Pembesar Andalusia pada
periode ini antara lain, Abu Ubaidah Muslim Ibn Ubaidah al-Balansi. Ia seorang astrolog dan
pakaar di bidang ilmu hitung. Untuk kalangan masyarakat waktu itu, ia dikenal dengan
sebutan shâhib al-Qiblat (ahli mendirikan sholat). Di samping maju di di bidang ilmu pasti,
Andalusia juga diperkaya dengan sarjana-sarjana pribumi yang pakar di bidang ilmu
kedokteran. Seperti, Ahmad Ibn Ilyas al-Qurthubi dan alHarrani yang hidup pada masa
kekuasaan Muhammad I Ibn Abdurrahman II al-Ausath, Yahya Ibn Ishaq yang hidup pada
masa Abdullah Ibn Mundzir, yang kemudian diangkat menteri oleh al-Nashir. Selain tokoh di
atas, Andalusia juga memeliki dokter ahli bedah, yaitu Abu Qasim al-Zahrawi yang dikenal
dengan sebutan Abulcasis. Kemahirananya selain di bidang bedah, ia juga mahir di bidang
penyakit telinga dan spesialis kulit. Karya fenomalnya yang berjudul, al-Tashrîf li Man
‘Ajaza ‘An Ta’lîf pada abad XII M. yang kemudian diinggriskan oleh Gerard of Cremona
dan dicetak ulang di Genoa (1497), Basle (1541), dan di Oxford (1778). (Poeradisastra, 1986)
Masa Abbasiyah Peradaban Islam mengalami puncak kejayaan pada masa Daulah
Abbasiyah. Ilmu pengetahuan pada masa ini sangat maju secara pesat. Kemajuan ilmu
pengetahuan pada masa ini disebabkan adanya gerakan terjemah besar-besaran terhadap
naskah-naskah asing ke dalam bahasa Arab terutama naskah-naskah Yunani. Meskipun
gerakan terjemah naskahnaskah asing sudah dimulai sejak masa Umayyah, namun puncak
keemasan ada pada masa Abbasiyah. Upaya penerjemahan yang dilakukan Abbasiyah tidak
hanya bersumber dari naskah Yunani saja, melainkan sumber lain, seperti bahasa Persia ke
dalam bahasa Arab. Para penerjemah juga bukan hanya dari kalangan muslim saja, namun
banyak juga ditemukan penerjemah-penerjemah (mutarjim) Nasrani Syiria dan Majusi Persia.
Kemajuan ilmu pada masa Abbasiyah yang paling menonjol dibanding masa Umayyah, yaitu
adanya perpustakaan dan observatorium Baitul Hikmah. Tempat ini berfungsi sebagai
perpustakaan sekaligus tempat pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Institusi ini
merupakan lanjutan dari institusi di masa Imperium Sasania Persia yang bernama
Jundisaphur Academy. Namun bedanya, istitusi ini pada masa Harun Arrasyid direbuh
menjadi khizânah al-Hikmah (pusat filsafat). Serta objek penelitian pada masa Imperium
Sasania Persia hanya focus pada penyimpanan puisi-puisi dan cerita raja-raja, di masa Harun
Arrasyid diperluas penggunannya pada semua ilmu pengetahuan. Pada masa ini juga,
perkembangan mazhab-mazhab Islam juga sangat banyak bermunculan. Antaranya, Imam
Auza’I (w. 774 M). yang merupakan pendiri mazhab Auza’I di Syiria. Pendiri Mazhab besar
kedua, Malik Ibn Anas (w. 795 M), yang memiliki karya agung di bidang Hadis kitab al-
Muawaththa’. Dan lahir juga pendiri mazhab islam besar ketiga, Imam Syafi’I (w. 820 M)
yang telah berhasil merapikan kaidah-kaidah Ushul fikih dalam kitabnya Arrisalah. Serta
pendiri mazhab besar keempat, Imam Ahmad Ibn Hanbal (w. 855 M), yang memiliki
kumpulan-kumpulan Hadis dalam Musnad Ibn Hanbal yang berisi 30.000 Hadis Nabi. Selain
kaya akan pengembangan bidang agama, pada masa ini juga bidang perekonomian juga
berkembang pesat. Ekonomi imperium Abbasiayah digerakkan oleh perdagangan barang-
5
barang mewah dan bahan-bahan pokok. Selain melakukan transaksi sesama imperium,
Abbasiyah juga membuka gerbang perekonomian dengan Dinasti T’ang di China.
Masa Modern Periode modern ini secara umum dimulai dari akhir abad ke delapan belas
hingga saat ini. Tentu dalam perjalanan perkembangan ilmu pengetahuan di semua Negara
memiliki corak dan pembaharu masing-masing. Seperti Indonesia, perkembangan
pengetahuan Islam di Negara ini tidak bisa lepas dari peran dua organisasi masyarakat besar,
yaitu Muhammadiyyah dan Nahdlatul Ulama. Muhammadiyyah yang didirikan Muhammad
Darwisy atau kemudian dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan, secara garis besar membawa
misi ingin mengajak umat Islam Indonesia disamping belajar ilmu-ilmu agama juga
mendalami ilmu-ilmu umum. Keinginan itu kemudian diejawantahkan dengan membangun
lembaga-lembaga formal yang diajarkan dengan sistem dan model seperti sekolah pada
zaman kolonialisme. Dalam lembaga tersebut, KH. Ahmad Dahlan mengenalkan pemikiran
para reformis Islam terkemuka, seperti Jamaludin Afghani, Rasyid Ridlo, Muhammad Abduh
dan sebagainya. (Windy, 2005) Kemudian, organisasi besar kedua yaitu Nahdlatul Ulama
yang diprakarsai KH. Hasyim Asy’ari. Secara umum, organisasi ini—dalam bidang
pendidikan—lebih menfokuskan pengajaran-pengajaran dengan sistem klasik, yaitu
mengajarkan kitab-kitab kuning (turats) di lembaga non-formal atau yang lebih umum
disebut pesantren. Kemunculan organisasi NU telah membuka pintu besar di Indonesia
terhadap kajian-kajian ke-Islam-an dengan pelbagai mazhab. Secara garis besar, dalam
mazhab fikih NU menganut mazhab Syafi’i. Namun mazhab-mazhab Islam yang lain juga
diajarkan dalam sistem pendidikan NU. Di sini kemudian NU mengajarkan para pengikutnya
bisa bersikap lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan. Dalam dunia kampus Islam di
Indonesia, juga terdapat inovasi-inovasi baru dalam wacana keislaman. Sebagai contoh,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga menyeru gagasan pendidikan Islam integrasi
interkoneksi yang diusung Prof. Amin Abdullah rektor kampus sebelumnya. Amin Abdullah
mengilustrasikan ide besarnya ini dengan jaring labalaba. Yang mana ditengah-tengah jaring
itu sebagai symbol al-Qur’an sebagai dasar utama. Disusul jaring kedua yaitu symbol dari
Sunah, dan disusul ilmu-ilmu pengetahuan yang lain pada setiap jaring berikutnya.
Disamping bentuk jaring laba-laba (scientific spider web), ide Amin Abdullah juga
ditampilkan dalam bentuk fisik bangunan di setiap kampus UIN Yogyakarta yang saling
berkatan antara bangunan satu dengan yang lain. Maksud dari arsitek ini melambangkan,
ilmu pengetahuan selalu terjadi relasi dengan ilmu-ilmu yang lain, sekalipun ilmu agama
dengan ilmu sains. Intinya, secara teoritis konsep keilmuan Islam integrasi interkoneksi
merupakan sebuah konsep keilmuan yang terpadu erat dan terkait antara keilmuan agama (al-
Din) dan keilmuan sosial dan masyarakat (al-Ilm) dengan harapan mencetak output yang
mampu menyeimbangakan etis filosofis dan agama. (Arif , Diakses pada tanggal 09 Oktober
2012)
B. Islamic student Model barat dan Orientalis
Masa Islamic studies model barat dan orientalis dimulai bersamaan dengan munculnya
Negara-negara Barat ke pentas dunia, setelah mengalami masa gelap (dark ages) yang cukup
lama. Masa ini pula merupakan permulaan Negara-negara barat, yaitu Eropa mempunyai
keinginan bertemu dengan masyarakat Islam di Negara-negara lain, yang berujung dengan
penjajahan mereka terhadap Negara-negara di timur (meliputi Indian, Cina, Birma yang
masyarakatnya pemeluk agama-agama Hindu, Budha atau lainnya dengan cara mengirimkan
para sarjana yang mendapat sebutan dengan orientalis.
Para orientalis biasanya membagi dunia menjadi dua yaitu Barat (west atau occident) dan
Timur (east atau orient) (Azizy, 2003: 91), yang berfungsi sebagai doktrin politik untuk

6
menguasai timur yang merupakan ngara atau masyarakat yang lebih lemah dibandingkan
dengan Barat.
Setelah tujuan penjajahan berkurang atau bahkan sudah tidak ada, Islamic studies di Barat di
tempatkan pada kajian akademik, dimana pelakunya lebih merasa adanya tuntutan akademik,
bukan lagi tuntutan politis dan kalau kita amati secara seksama dan menyeluruh. Menurut
Martin, (1985: 2-3) Islamic studies di Barat dilakukan dengan melalui salah satu dari empat
pendekatan yaitu:
Pertama, menggunakan metode ilmu-ilmu yang masuk di dalam kelompok humanities,
seperti filsafat, filologi ilmu bahasa, dan sejarah terkadang dimasukkan ke dalam
bagian social sciences.
Kedua, menggunakan pendekatan yang biasa dipakai dalam Divinity schools yakni berupa
disiplin atau kajian teologi agama-agama, studi Bible dan sejarah gereja,. Oleh Karena itu
tidak aneh kalau banyak orientalis adalah juga pastur, pendeta, uskup atau setidaknya
missionaries.
Ketiga, menggunakan metode ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik
dan psikologi (ada yang mengelompokkan psikologi ke dalam humanities). Oleh karena itu
mereka bisa disebut dengan orientalis atau ahli di dalam ke-Islaman setelah mendapatkan
pendidikan di dalam jurusan atau fakultas disiplin-disiplin tersebut dengan
mengadakan kajian/penelitian, khususnya untuk penulisan disertasinya, tentang Islam atau
masyarakat Islam.
Keempat, menggunakan pendekatan yang dilakukan di dalam department-department, pusat-
pusat atau hanya committes, untuk area studies seperti Midate Eastern
Studies / near, Eastern Languages and Civilizations dan South Asian Studies.
Keunggulan studies Islam dibarat adalah pada aspek metodologi dan juga strategi, yang
dimaksud strategi disini adalah tentang bagaimana cara untuk menguasai materi yang begitu
banyak dapat dipergunakan seefisien mungkin.
C. Islam Sebagai Kajian Akademik (Islamologi)
Islam sebagai sebuah agama merupakan sebuah topik yang menarik dikaji, baik oleh
kalangan intelektual Muslim sendiri maupun sarjana-sarjana Barat, mulai tradisi orientalis
sampai pada sebutan Islamist (ahli pengkaji keislaman), atau sebutan lain sebagai Islamolog.
Dengan kata lain, ditinjau dari pelaku pelaksanaan studi Islam, subjek studi Islam dapat
dikategorikan atas dua macam: subjek yang berasal dari kalangan internal umat Islam dan
subjek yang bukan Muslim. Meminjam ungkapan Fazlur Rahman, sebagaimana dijelaskan
oleh Bustaman, kajian Islam, dilihat dari subjeknya, dapat dibedakan atas dua kutub yang
berlainan: orang dalam (insider) dan orang luar (outsider). Kedua kelompok ini tentunya
sangat berlainan. Dan dalam konteks ini, subjek pengkaji Islam dari kalangan orientalis oleh
Rahman dikategorikan sebagai “orang luar” (outsider) dan ilmuwan Islam dianggap sebagai
“orang dalam” (insider).( Yogyakarta: Galang Press, 2002), 13. Cara pandang dua kelompok
tersebut, ditelaah oleh Rahman melalui beberapa tulisan dalam buku itu yang sebenarnya
merupakan makalah-makalah dalam simposium mengenai “Islam dan Sejarah Agama-
agama”, yang diselenggarakan oleh Departement of Religious Studies, Arizona State
University, Januari 1980. Satu hal yang menarik dalam tulisan Rahman ini adalah dibutuhkan
pendekatan interdisipliner.
Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa pengkajian Islam jika dilihat dari sisi para
pengkajinya, dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok outsider dan

7
insider. Pertama, kajian keislaman yang dilakukan oleh para pengkaji atau sarjana-sarjana
Barat atau dari kalangan non-Muslim, adalah masuk kategori outsider. Memang harus diakui
bahwa kajian mereka adalah kajian Islam kritis dalam berbagai aspeknya sesuai dengan minat
dan disiplin ilmu yang didalaminya. Kedua, kajian keislaman dalam pandangan para sarjana
dari kalangan Muslim. Dalam tradisi lama, kajian keislaman dalam perspektif insider lebih
bersifat transmisi karena mereka melakukan kajian dan penelitian lebih banyak mengulang
dari apa saja yang telah disampaikan oleh gurunya. Jika diperbandingkan dengan sarjana
Barat, tulisan dari kalangan insider—menurut sebagian komentar—kering akan analisis kritis
dalam penyajian pembahasannya.
D. Islam Dengan Pendekatan Ilmu Sosial
Pengkajian terhadap agama sesungguhnya sudah memperoleh tempat yang sangat lama dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Agama sudah menjadi pusat perhatian para ilmuwan
semenjak dahulu. Dimulai dengan usaha ilmiah yang dilakukan oleh E.B. Taylor, J.J. Frazer,
R.R. Marett hingga Karl Marx, Durkheim, Weber dan juga Bellah. Kajian tersebut tentunya
tidak melihat agama sebagai doktrin akan tetapi melihat agama di dalam kehidupan
masyarakat. Taylor, Frazer disebut sebagai ahli-ahli antropologi, sedangkan Marx, Durkheim,
Weber dan Bellah adalah ahli sosiologi. Mereka menempatkan agama sebagai subject
matter kajiannya (Nur Syam, 2009).
Islam sebagai agama merupakan mekanisme integrasi sosial  yang memiliki hubungan yang
erat dengan suatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol/nomena.
Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana
mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial.
Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana
mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan
tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan
teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada
masa kini,dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya.
Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan
terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori 
sosial tersebut bersifat transformative (Kuntowijiyo, 1991: 337).
Sebagaimana diungkapkan oleh Bagder (1996:23), ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan
penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis
terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil
keputusan dan para perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta
bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai
metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.
Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan
tidak juga dianggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif
ataupun subyektif .
Pendekatan yang dilakukan oleh para ilmuwan sosial dengan displin ilmu yang ditekuninya
memberikan suatu kejelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan fenomena agama
dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, stimulus dan respon.
Ada dua hal yang mendasari ketika agama (termasuk Islam) dijadikan sebagai objek kajian,
yaitu:

8
1. Mengkaji adalah melakukan obyektivitas dalam obyek kajiannya, artinya dalam
kajian agama tidak hanya orang lain yang diteliti tetapi sang peneliti harus terlibat di
dalamnya (Martin, 1985: 7). Karena agama merupakan hal sangat pribadi dan
mendalam bagi manusia, sehingga hanya dapat diamati dengan hati-hati.
2. Secara tradisional, agama dianggap suatu yang sakral, suci, dan agung. Maka
permasalahan yang akan muncul adalah ketika peneliti bersinggungan atau
mengkritisi hal-hal yang terkait dengan masalah tersebut. Apabila hal itu terjadi, maka
dianggap sebagai bentuk pelecehan, bahkan dianggap merusak nilai tradisonal agama.

Terjadi perbedaan pendapat, apakah Islam,  sudah cukup dikaji dengan ilmu-ilmu yang
betul-betul bersumber dari Islam itu sendiri atau dengan melihat kondisi yang komplek pada
masa sekarang, seyogyanya, Islam membutuhkan alternatif pendekatan ilmu dari luar Islam
untuk mengkaji Islam sebagai sebuah agama.
Dalam hal ini, adanya dialog antara ilmu keislaman dan ilmu sosial dalam mengakaji Islam
sebagai suatu agama, seyogyanya adalah suatu kebutuhan yang sulit untuk dipungkiri. Hal itu
perlu terjadi, karena Islam tidak hanya memilki sisi normatif saja, tetapi juga memilki sisi
historis. Pada aspek historis inilah, Islam tidak lepas dari penganutnya yang tentunya
memiliki perilaku yang saling berbeda antara individu yang satu dengan individu yang, atau
antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
Menurut Martin, ada beberapa pendekatan yang bisa dijadikan alternatif dalam kajian Islam
yaitu: Pertama, menggunakan metode ilmu-ilmu yang masuk di dalam kelompok humanities;
kedua, menggunakan pendekatan yang biasa dipakai dalam Divinity schools; ketiga,
menggunakan metode ilmu-ilmu sosial,; keempat, menggunakan pendekatan yang dilakukan
di dalam department-department, pusat-pusat atau hanya committes, yang disebut dengan
Istilah area studies
E. Islam Vs Ilmu Keislaman
Sebagaimana dikemukakan Nash, berbagai cabang ilmu dan bentukbentuk ilmu pengetahuan
dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu, yakni tidak dikenal pemisahan
esensial antara ilmu agama dengan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan perspektif
intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu, tetapi
hierarki itu pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang Hakikat Yang Maha Tunggal
yang merupakan substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para pemikir
dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-
peradaban non-Muslim ke dalam hierarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dan ini pulalah
alasan kenapa para ulama, pemikir, filosof, dan ilmuwan Muslim sejak dari Al-Kindi, Al-
Farabi, Ibnu Sina, sampai Al-Ghazali, Nashir AlDin Al-Thusi, dan Mulla Shadra sangat
peduli dengan klasifikasi ilmuilmu ” (Medan: Fakultas Sastra USU, 2005), hlm3.
Perpustakaan dalam mengelola berbagai jenis bahan pustaka disusun juga menurut tata urutan
tertentu sebelum sampai ke tangan pengguna. Rowley ( Brookfield, Vt., U.S.A: Gower Pub.
Co, 1987).
menyatakan bahwa kegiatan klasifikasi bahan pustaka merupakan bagian dari kegiatan
katalogisasi yang bertujuan mempermudah sistem temu kembali informasi. Di dalam
klasifikasi dipergunakan penggolongan dengan ciri tertentu dan yang menjadi dasar
penggolongan yang sering dipergunakan adalah berdasarka isi dan subyek buku.
Penggolongan ilmu keislaman, terutama di Indonesia, dalam rangka penyeragaman pedoman

9
klasifikasi Islam, Departemen Agama (Kemenag) telah mengadakan penerbitan “Daftar
Tajuk Subjek Islam dan Sistem Klasifikasi Islam: Adaptasi dan perluasan DDC seksi
Islam”tahun 1987. Demikian juga, Perpustakaan Nasional menerbitkan pedoman klasifikasi
Islam dengan judul “Klasifikasi Islam Adaptasi dan perluasan notasi 297 DDC”pada tahun
2005. Dibuat dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Perpustakaan Nasional RI sebagai
instansi Pembina yang bertanggung jawab menyediakan pedoman yang baku, standar dan taat
azas untuk pengolahan semua jenis bahan pustaka, termasuk di dalamnya menyediakan
pedoman klasifikasi untuk agama Islam. Selain itu, dibuatnya pedoman tersebut adalah untuk
mengatasi kelemahan dan menyeragamkan penggunaan penggunaan bagan klasifikasi
dibidang agama Islam di perpustakaan seluruh Indonesia, serta untuk memenuhi kebutuhan
bangsa Indonesia yang mayoritas agama Islam ( Dewey Decimal Classification, DDC),” n.d.,
48–65.
Pedoman klasifikasi Islam pertama kali diterbitkan oleh perpustakaan Nasional adalah
―Klasifikasi Bahan Pustaka tentang Indonesia Menurut DDC oleh Soekarman dan J.N.B
Tairas”, diterbitkan pada tahun 1993 dan menggunakan notasi 2X0. Pada tahun 2005
Perpustakaan Nasional kembali menerbitkan pedoman klasifikasi Islam dengan judul
“Klasifikasi Islam: Adaptasi dan Perluasan Notasi 297 Dewey Decimal Classification (DDC).
Berbeda dengan edisi sebelumnya, notasi yang digunakan adalah 297. Penerbitan pedoman
klasifikasi Islam tersebut dilatarbelakangi oleh perkembangan literatur bidang agama
khususnya agama Islam cukup besar. Selain itu, dalam sistem klasifikasi persepuluhan
Dewey (edisi 22), kelas agama Islam menempati seksi (297) yang kecil dan terbatas. Dalam
berbagai kajian penggunaan klasifikasi persepuluhan Dewey bidang agama Islam notasinya
dirasa kurang memadai, terbukti dari segi posisinya hanya menempati suatu seksi, struktur
notasi kurang mencerminkan pengembangan ilmu bidang agama Islam maupun kelengkapan
subjek. Pada tahun berikutnya, Perpustakaan Nasional menyusun kembali Daftar Tajuk
Subjek Islam. Kedua pedoman ini menjadi produk yang dibakukan oleh Perpustakaan
Nasional dan Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan diterbitkan pada tahun 2006 dengan
judul ―Daftar Tajuk Subjek Islam dan Klasifikasi Islam: Adaptasi dan Perluasan Notasi 297
Dewey Decimal Classification Ibid., 53.
Penyusunan bagan klasifikasi Islam ini didasarkan pada struktur yang ada dalam DDC.
Bagan ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu bagan yang memuat istilah-istilah subjek dalam
bidang kajian Islam dengan disertai notasi dasar dari 297–297.9, tabel-tabel dan indeks untuk
membantu pemakai dalam mencari notasi subjek. Dengan berdasarkan prinsip persepuluhan
seperti DDC, dalam menyusun bagan klasifikasi, Namun bagan klasifikasi Islam ini membagi
seksi menjadi sepuluh kelas sub seksi, dan dari sepuluh kelas sub seksi dibagi lagi menjadi
sepuluh sub-sub seksi kelas, dan seterusnya. Selanjutnya notasi dasar 297 mengalami
adaptasi dengan mengambil notasi dasar 297 yang dipendekkan dengan menyingkat 97
menjadi X, sehingga menjadi 2X0 dan penyusunan pedomaan ini tetap mengikuti kaidah-
kaidah yang ada dalam DDC, seperti penggunaan tabel tambahan yang ada dalam DDC yaitu:
1. Tabel 1 Sub Divisi Standar (Standard Subdivisions) 2. Tabel 2 Wilayah (Area Notations)
3. Tabel 3 Subdivisi Kesusastraan 4. Tabel 4 Subdivisi Bahasa 5. Tabel 5 Etnik dan
kelompok bangsa 6. Tabel 6 Bahasa-bahasa Penggunaan instruksi-instruksi yang ada dalam
bagan juga mengikuti sistem yang ada di dalam DDC. Buku pedoman ini juga dilengkapi
dengan indeks relatif yang digunakan untuk memudahkan penggunaannya. Dalam
penyusunan pedoman klasifikasi Islam, ilmu keislaman dibagi dalam kelompok besar

10
meliputi: Islam (Umum), Tafsir, Hadis, Aqaid dan ilmu kalam, Fiqih, Akhlak dan Tasawuf,
Sosial dan Budaya Islam, Filsafat dan perkembangan Islam, Aliran dan Sekte dalam Islam,
serta sejarah Islam.
F. Konsep Ilmu Dan Tradisi Islam
Istilah “ilmu” sering dipahami sebagai sesuatu yang sama dengan sciencedalam bahasa
Inggris, wissenschaft (Jerman) dan etenschap (Belanda), yang bermakna “tahu”. Term “ilmu”
berasal dari kata ‘alima’ (Arab) yang berakna mengetahui. Dengan demikian secara bahasa
ilmu kata ilmu berakna pengetahuan. Namun demikian secara istilahi terdapat perbedaan
yang cukup jelas antara pengertian atau definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan pada
umumnya a, dengan pengertian yang dikemukakan oleh saintis muslim khusunya.
Ilmu dalam islam Imam al-Ghazali membagi ilmu ke dalam dua kelomok, yakni ilmu
fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardu ‘ain adalah ilmu yang diwajibkan atas tiap-
tiap individu sedangkan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang diwajibkan kepada umat Islam
secara kolektif. Jadi fardhu ‘ain adalah kewajiban individu per individu sedangkan fardhu
kifayah adalah kewajiban umat Islam secara keseluruhan. Implikasi dosa jika ilmu farhu ‘ain
tidak dilaksanakan adalah ditanggung individu, sementara implikasi dosa jika ilmu fardhu
kifayah tidak dilaksanakan ditanggung bersama-sama anggota mayarakat.
1. Ilmu Fardhu ‘ain Sebagaimana disampaikan oleh ulama salaf, ilmu yang bersifat fardhu
untuk dipelajari oleh setiap muslim adalah ilmu yang mau tidak mau harus dipelajari oleh
umat Islam. Ilmu fardhu ‘ain wajib bagi semua manusia, baik bagi masyarakat awam atau
para ulama.
a.Dimensi Pertama Ilmu Fardhu ‘ain Dimensi pertama llmu fardhu ‘ain adalah ilmu tetang
aqidah yaitu, ilmu yang membenarkan segala sesuatu yang benar, yang disampaikan Allah
kepada Rasulullah dengan i‘tiqad yang kuat tanpa keraguan. Dimensi pertama ilmu fardhu
‘ain ini juga disebut dengan ilmu tauhid, karena ruang lingkupnya adalah berupa m
a’rifatullah. Tingkat kedalaman ilmu yang wajib dipalajar oleh seoang muslim yang satu
dengan muslim yang lain berbeda-bedaan sesua dengan keadaan masing-masing. Ada orang-
orang sampai membutuhkan argumen-argumen rasonal-logis-filosofis untuk sampai kepada
sebuah keyakinan yang kuat. Namn ada pula orang-orang yang hanya cukup medapatkan
penjelasan dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah untuk samai
kepada sebuah keyakinan yang kuat. Demikian pula karena buah daripada iman adalah
akhlakul karimah, maka ilmu fardhu ‘ain ini mencakup hal-hal yang bersifat lahiriyah dan
ruhaniah sekaligus.
b. Dimensi kedua Ilmu Fardhu ‘ain Dimensi kedua ilmu fardhu ‘ain adalah berhubungan
dengan hal-hal yang wajib dilaksanakan oleh seorang mukallaf. Terkait dengan hal ini
berlaku beberapa ketentuan berikut ini:
1) Ketentuan Pertama Bahwa kewajiban seorang mukallaf mengalami perkembangann sesuai
dengan bertambahnya usia, sehingga kewajiban mempelajari ilmu fardhu ‘ain tentang ha-hal
yang wajib dilaksanakan bersifat dinamis. Ilmu-ilmu fardhu ‘ain amal apa saja yang harus
dipelajari seseorang berbeda-beda, karena perbedaan keadaan, kedudukan, dan perbedaan
kebutuhan hidup seeorang (Adi Setia, 2007).

11
2) Ketentuan Kedua Ketentuan kedua untuk menentukan ilmu-ilmu fardhu ‘ain yang
behubungan dengan amal yang wajib dikerjakan adalah adanya ketentuan “larangan bagi
mukallaf untuk melakukan sesuatu sebelum dia memahami ketentuan-ketentuan di dalam
agama”. Misalnya, seseeorang boleh melakukan praktik perdagangan jika yang bersangkutan
sudah memahami dengan benar hukum-hukum yang berkaitan dengan mu’amalah dalam
Islam. Seseorang boleh terjun ke dunia perpolitikan jika sudah memahami hukum-hukum
Islam yang berhubungan dengan fiqih syiyasyah dan lain-lain. Jika ilmu fardhu ‘ain yang
berhubungan dengan aqidah mutlak wajib untuk setiap orang kapanpun dan dimanapun, maka
ilmu fardhu ‘ain yang berkenaan dengan amalan-amalan tertentu sebagaimana contoh di atas,
hanya diwajibkan kepada siapa-siapa yang hendak melaksanakannya.
c. Dimensi Ketiga Ilmu Fardhu ‘ain Dimensi ketiga ilmu fardhu ‘ain adalah berhubungan
dengan apa-apa yang dilarang oleh Allah Swt untuk melaksanakannya. Dengan kata lain
adalah ilmu-ilmu tentang dan filsafat ilmunya, ke dalam bidang ilmu-ilmu fardhu kifayah.
Semua ilmu tersebut harus diserasikan dengan kerangka Pandangan Hidup Islam. “
Kewajiban atas ilmu fardhu kifayah ditanggung bersama-sama secara kolektif oleh
masyarakat. Jika beberapa mukallaf ada yang mempelajari ilmu fardhu kifayah tersebut,
maka kewajiban tersebut telah dipenuhi, dan anggota masyarakkat terbebas dari dosa.
Sebaliknya, jka tidak ada seorangpun yang menuntut ilmu fardhu kifayah tersebut, maka
semua mukallaf yang ada di komunitas tersebut menanggung dosa. Ilmu-lmu tersebut wajib
dipelajari oleh umat Islam, akan tetapi Allah tidak memerintahkan kepada semua individu
untuk menimbanya. Semua anggota masyarakat boleh menimba ilmu-ilmu tersebut.
Kebutuhan dan kemaslahatan umat akan tercukupi dengan adanya sebagian individu yang
menguasai ilmu-ilmu tersebut, jadi tidak perlu semua orang untuk menekuni ilmu-ilmu
tersebut. Individu yang mempunyai minat dan bakat serta kemampuan dana yang memadahi
untuk mendalami ilmu fardhu kifayah mejadi wajib baginya untuk mendalaminya. Orang
yang terjun untuk mendalami ilmu fardhu kifayah tertentu, maka bagi yang bersangkutan
menjadi fardhu ‘ain untuk mendalamninya. Bahkan jika orang terebut kurang mampu secara
finansial, masyarakat secara bersama-sama berkewajiban untuk membantunya agar orang
tersebut dapat menyelesaikan studinya. Dalam hal ini pemerintah wajib memenuhi kebutuhan
dana untuk studinya. Jika kewajiban menimba ilmu fardhu kifayah sampai dilupakan, yang
mengakibatkan kemaslahatan masyarakat menjadi terabaikan, orang-orang yang
berkemampuan menanggung dosanya, demikian juga orang-orang yang tidak berkemampuan
menjadi ikut menaggung dosa dikarenakan untidak mensuport masyarakat untuk ikut
mendukungnya. (Zaidi Ismail, 2007). perkara-perkara yang diharamkan Allah Swt. Dalam hal
ini juga berlaku ketentuan dinamis sebagaimana ilmu yang berkaitan dengan hal-hal yang
wajib dilaksanakan. Artinya kewajiban untuk mempelajari ilmu-ilmu tentang perkara yang
wajib ditinggalkan pun berkembang sesuai dengan keadaan seseorang. Misalnya ada masalah
yang wajib ditinggalkan oleh orang yang normal berbeda dengan yang harus ditinggalkan
oleh orang bisu dan tuli, dan sebagainya. Kewajiban untuk mempelajari hal-hal yang
diharamkan juga meliputi hal-hal yang bersifat jasmaniah dan ruhaniah sekaligus. Takabur,
kufur nikmat, tafakhur, riya, ghibah, tajassus, dan lain-lain adalah beberpa contoh perbuatan
yang wajib ditinggalkan yang harus dipelajari secara mendalam sehingga umat Islam terjauh
dari sifat-sifat negatif tersebut.
2. Ilmu Fardhu Kifayah Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu fardhu kifayah memiliki
dua kriteria. Kreteria pertama, yaitu ilmu-ilmu yang menjadi prasyarat bagi tegaknya urusan

12
agama, seperti ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, dan
sebagainya (Zaidi Ismal, 2007). Hal ini merupakan pengejawantahan dari firman Allah di
dalam al-Qura’an: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan juang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam ilmu agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah : 122)
Ilmu yang diwajibkan sebagai prasyarat khusus memiliki perbedaan dengan wajib pada
umumnya mukallaf. Misalnya adalah hal-hal yang terkait dengan rukun iman dan hal-hal
yang berkaitan dengan dasar-dasar syari’at Islam. Wajib untuk ilmu-ilmu prayarat berbeda
antar orang yang satu dengan yang lain bergantung pada konteks zaman, kebutuhan masing-
masing, tingkat keerdasan dan lain-lain. Setiap muslim diwajibkan untuk belajar ilmu-ilmu
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mukallaf secara secara umum diwajibkan untuk mengkaji
ilmu syari’at berdasarkan pada tingkat kebutuhan masyarakat guna memahami sumber ajaran
Islam, tanpa harus memasuki masalah-masalah yang berat dan rumit. (Zaidi Isma’il, 2007).
Masuk dalam kategori ilmu fardhu kifayah selanjutya adalah ilmu-ilmu yang dewasa ini
sering disebut sebagai ilmu-ilmu umum, seperti ilmu kedokteran, ilmu keperawatan, ilmu
teknik, ilmu ekonomi, ilmu peternakan, ilmu pertanian, dan lain-lain. Ilmu-ilmu terebut
meskipun bukan ilmu agama tetapi keberadaannnya sangat dibutuhkan guna memenuhi
kebutuhan duniawiah masyarakat muslim. Jika ilmu-ilmu tersebut idak dikuasai oleh umat
Islam dipastikan umat Islam akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan ekistensi
hidunya. Terutama ketika harus berkompetisi dengan umat lain yang sangat serius dalam
mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
F. Rekonstruksi Keilmuan Dalam Islam
Gagasan Ihwal Sains Islam Jalan penting untuk menyelami pengetahuan maupun
keterbatasan pengetahuan banyak diperoleh dari acuan dalam Alqur’an dan hadis. Banyak ide
yang bermunculan tentang Tuhan yang memiliki pengetahuan, yakni pengetahuan atas segala
sesuatu yang berkaitan kepada Dia, mengetahui hal-hal yang berubah dan tidak cocok dengan
keabadian-Nya. Sains merupakan subjek yang mengalami perkembangan terusmenerus.
Teori-teori yang kita terima sekarang boleh jadi tersungkur di masa depan, atau setidak-
tidaknya ia akan dijabarkan dalam kerangka yang lebih luas daripada penjelasan-penjelasan
teori saat ini. Ada hal yang menjadi problem besar tentang kesesuaian antara sains dan agama
lantaran agama pada pokok lazimnya menjadi standardisasi atau sebagai gudang kebenaran
yang hakiki, sedangkan sains alam (natural science) bersifat dugaan dan berubah-ubah.
Kendati kebenaran sains memang mengesankan, ia tidak akan pernah menyamai kesan dari
kebenaran pokok agama yang abadi, jika memang kita menganggap agama sebagai fokus
kebenaran mutlak. Motivasi ilmiah para ilmuan Muslim menurut Nasution, sesungguhnya
mengalir dari kesadaran mereka akan tauhid. bagi Ummat Islam kesadaran akan keesaan
Tuhan merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental. Sehingga aktivitas apapun
(keagamaan atau kebudayaan) dalam kehidupan mereka senantiasa dinafasi oleh prinsip dan
semangat monotheisme (Nasution, 1996: 43- 44). Kaum Muslimin dewasa ini telah bersikap
lebih kritis terhadap sains. Bahkan, ada percobaan menafsirkan sains dalam perspektif Islam
karena pada perinsipnya Islam menegaskan perlunya menafsirkan segenap aspek kehidupan
selaras dengan keimanan. Tidak bisa orang membahas sains seakan-akan ia adalah bidang
pengetahuan yang sepenuhnya mandiri lantaran itu berarti setidaktidaknya menyetarakan
nilai-nilai sains sekuler dengan agama. Sains perlu dipahami dalam kerangka nilai-nilai

13
spritual Islam. Hanya dengan begitu sains akan mampu menarik minat kaum Muslimin. Lagi
pula anggapan bahwa sains alam melambangkan sistem kebenaran murni dan langsung, tidak
lagi populer pada masa kini. Bahkan sains, kerap dipandang berideologi sama dengan agama
itu sendiri. Kejanggalan ide ini muncul dikarenakan sains itu hanyalah rangkaian kebenaran
dan teori yang bekerja sesuai dengan dalildalilnya sendiri. Namun demikian sebagai seorang
yang memahami nilai ketauhidan maka dalil-dalil tersebut tetap akan terteropong melalui
konteks spritual yang lebih luas. Problem yang paling mendasar dalam wilayah sains sebagai
bidang penyelidikan yang sama sekali mandiri adalah kenyataan bahwa tidak ada sesuatu
yang terlepas bebas dari sudut agama, sebab alam dan segala isinya merupakan ciptaan Tuhan
dengan segala bentuknya. Tujuan utama para pendukung sains Islam adalah menegaskan
bahwa Islam atau pun sains, sama-sama bersandar pada sikap tertentu tentang rasionalitas.
Jenis rasionalitas yang digunakan oleh sains melibatkan kepercayaan yang sama dengan yang
ada pada agama. Pada saat-saat tertentu, perlu adanya pendekatan yang berbeda terhadap
sains yang selaras dengan masyarakat sekitarnya. Karena itu, sains tidak lebih meyakinkan
dari agama itu sendiri. Keduanya samasama melibatkan keyakinan tertentu pada serangkaian
asas yang tak berdalil. Orang dapat mengatakan bahwa sains tampaknya berhasil, tetapi
demikian pula halnya dengan agama.
Dengan demikian sangat diperlukan keselarasan dalam memahami kedua aspek tersebut
(sains dan agama). Sesuatu yang paling menarik dan merupakan keunggulan utama gagasan
sains Islam adalah wataknya yang permisif, sehubungan dengan metodologi. Artinya, ia
memperluas konsep pengetahuan yang mencakup berbagai pengetahuan. Akibatnya, pada
saat bersamaan ia bisa melahirkan ragam sains yang lebih kaya. Islam membenarkan banyak
jalan untuk mengetahui sesuatu secara sahih. Sekalipun sebagiannya boleh jadi terasa sangat
personal dan subjektif. Yang lain pula boleh dianggap bahwa agama memandang sains
sebagai suatu cara mengetahui dan bekerja dalam perspektif yang lebih luas. Dibolehkannya
untuk menerima teori pengenalan sains melalui perspektif agama, sangat memerlukan acuan
yang terperinci dan akurat. Persoalannya adalah kaidah-kaidah yang akan kita lewati dalam
sains itu sendiri, yang mengharuskan adanya perbedaan kaidahkaidah sains Islam dan kaidah-
kaidah sains non Islam. Hal yang paling menonjol adalah adanya prinsip pada kedua kaidah
tersebut. Sains Islam bersifat pluralis dan terbuka pada semua beragam pendekatan dalam
kerja saintifik. Islam meletakkan sains sebagai bentuk alternatif ibadah dan bekerja dalam
konteks sosial dan spritual. Sedangkan sains Barat bersifat positivistik, dan membebaskan
sains untuk berlaku semaunya, yang berwatak individualis dan mempercayai bahwa semua
hal dapat dijadikan sebagai objek kajian. Dalam Islam, di luar konteks ibadah sains tidak
bernilai apa-apa. Asas Tauhid tidak memberi ruang untuk melepaskan bagian kehidupan kita.
Kita adalah pengemban khalifah, penjamin kesejahteraan alam, yang menjalakan peran
sebagai wakil Tuhan (Leaman, 2002: 63).
Islam dan Tantangan Kontemporer Wadah yang tersedia pada perguruan tinggi Islam
merupakan wahana pendidikan dan pelayanan masyarakat pada level tinggi dan wadah
potensial bagi munculnya sumberdaya manusia, seharusnya mampu mengantisipasi
persoalan-persoalan dan berbagai tantangan dunia saat ini. Daya pikir dan nurani merupakan
potensi yang harus dikembangkan oleh setiap individu. Dunia pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi Islam, merupakan tempat strategis untuk membantu para mahasiswa
mengembangkan potensi tersebut melalui kegiatan pembelajaran. Dengan nada yang hampir

14
sama, Ahmad Syafi’i Ma’arif menyatakan bahwa ada tiga persoalan pokok yang dihadapi
pendidikan Islam.
1) Kaum Muslimin akan merasa bingung apabila diperhadapkan pada persoalan dunia yang
selalu berubah, sementara sistem pendidikan yang sedang berlaku tidak dapat menolong
keadaan. Kelemahan sistem pendidikan ini berakar pada rapuhnya pondasi filosofis yang
mendasar.
2) Banyak corak pendidikan dengan label Islam, tetapi orientasi spritualnya tidak jelas.
3) Rancuhnya penggunaan istilah ulama di dalam masyarakat. (Ma’arif, 1993: 150- 152)
Dalam dunia Islam, secara konseptual ilmu pengetahuan dan tekhnologi bukan merupakan
hal yang baru (tidak asing) melainkan sesuatu yang paling mendasar dari pandangan
dunianya. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila ilmu merupakan hal yang terpenting
bagi kaum Muslimin dewasa ini. Konseptualisasi ilmu yang mereka lakukan tampak dalam
upaya mendifinisikan ilmu yang tiada habishabisnya, dengan keprcayaan bahwa ilmu tidak
lebih dari perwujudan memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Membangun suatu
peradaban sangat membutuhkan pencarian pengetahuan yang menyeluruh.
Oleh karenanya setiap menjelaskan (diskursus) tentang metodologi haruslah dibangun di
atas sentuhan-sentuhan filsafat. Penulis meyakini benar tanpa “sense of philosophy”, maka
jangan berharap bahwa sebuah metodologi akan dapat bertahan dan bahkan akan kehilangan
substansinya. Pendidikan Iptek dan beberapa hasil yang mengikutinya masih kurang
menggambarkan teradopsinya nilai-nilai pembelajaran yang mewakili pola pikir, sikap, dan
tindakan modern ke dalam sistem dan struktur masyarakat. Intinya, masyarakat belum siap
untuk menyerap iptek dan menjadikannya nafas dalam kehidupan sehari-hari sehingga
menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika yang terjadi
demikian, bagaimana kita harus menciptakan suatu cultural change yang mampu memacu
kondisi dinamis, hingga lahir suatu bangsa Indonesia yang baru dan berpikir modern. Yaitu
yang rasional sekaligus bermoral yang berakar pada keyakinan agama yang kuat (Achir,
1997: 117-118).
Di era modern dan globalisasi, kita perlu mengembangkan ilmu Islam pada wilayah
praktis, bagaimana ilmu-ilmu Islam mampu memberikan konstribusi yang paling berharga
bagi kepentingan kemanusiaan. Berpadunya aspek idealisme dan realisme atau rasionalisme
dan empirisme dalam paradigma keilmuan Islam perlu dikembangkan. Bagaimana tidak,
karena adanya anggapan bahwa pendidikan Islam masih merupakan subsistem dari sistem
pendidikan secara umum haruslah dilihat dalam kapasitas rancang bangun bagi para pakar
pendidikan Islam untuk melakukan rekonstruksi pandidikan Islam tersebut. Konsep apa yang
relevan dengan pendidikan Islam untuk mengantisipasi masa depan.
Kita telah memiliki tradisi keilmuan yang sudah berusia 14 abad, yang berisi ajaran-ajaran
komprehensif tentang bagaimana kita harus berhubungan dengan Tuhan (teologis), dengan
sesama manusia dan juga alam semesta (antropologis-kosmologis). Tradisi keilmuan dengan
bimbingan wahyu harus dihidupkan kembali untuk menjawab tantangan modernitas. Masalah
sentral yang perlu segera diselesaikan menyangkut angkatan muda di dunia Islam adalah
bagaimana memberikan bekal cukup untuk mereka, dalam memahamkan pesan-pesan Islam
secara tepat dan benar. Memberikan pengertian kepada mereka bahwa betapa kaya khazanah
intelektual dan tradisi spritual Islam. Jangan membiarkan mereka terperangkap oleh slogan

15
dan gelombang peradaban Barat yang sekuler. Dengan kata lain kita berharap untuk dapat
mencetak generasi pemikir Islam yang handal yang memiliki wawasan luas dan jauh ke
depan, bukan generasi yang fantastis dan jumud.
A.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas,saya penyusun yang mengkaji keislaman dengan wilayah
telaah materi ajaran agama dan fenomena kehidupan beragama. Dalam dunia pengetahuan,
kita telah tahu bahwa satu teori yang kemarin di anggap benar bisa akn di ubah atau di tolak
oleh teori baru yang muncul hari ini. Artinya teori yang di dapatkan hari ini dan mungkin
akan di anggap yang paling kuat, tidak mustahil akan di tolak dan di ubah hari esok.
Disampuing kenyataan seperti ini, kita juga menyaksikan terjadinya perbedaan pendapat di
kalangan ilmuan, baik untuk sains, pengetahuan sosial, humanities, termasuk agama, dan
Ketika mereka para ilmuan menggunakan argumentasi, bisa terjadi argumentasi yang saling
berpolemik. Karna itu fikih, ilmu aqidah, ilmu tafsir, sejarah islam, psikologi islam,
antropologi islam, sosiologi islam dan lain lain.
B. Saran
Dengan disusunnya makalah tentang sejarah pemikiran ekonomi islam pada masa
khulafaur rasyidin ini, penulis mengharapkan pembaca mampu mengetahui bagaimana
pemikiran ekonomiyang diterapkan pada masa khulafaur rasyidin. pengelolaan keuangan
publik dimasa masa ketika Islam dan kehidupan menyatu dengan pengelolaan harta kekayaan
yang sesuai dengan hukum Islam.Gambaran kemakmuran dan kesejahteraan di bawah sistem
ekonomi Islam yang adil. Apabila dibandingkan dengan keadaan sekarang, sungguh sangat
memprihatinkan, rakyat miskin menjamur, harta dipegang oleh individu-individu tertentu,
intervensi negara asing dalam pengelolaan kekayaan, pendidikan dan perkembangan ilmu
pengetahuan yang me-marjinal-kan aspek agama, dsb.
Sudah saatnya negara muslim modern kembali kepada Islam dan menjadikan prinsip-
prinsip yang digunakan Rasul dan para Khalifah sebagai falsafah dalam semua kebijakannya,
baik politik, ekonomi, sosial dan budaya. Pola hidup sederhana juga sangat di perlukan untuk
diterapkan oleh jajaran pemerintah negara Muslim modern.
Di sini penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun utuk penulisan makalah selanjutnya

17
DAFATAR PUSTAKA
Azizy, Qodri, 2003,
Penghembangan ilmu ilmu keislaman,Surabaya; Direktorat Peguruan tinggi Agama Islam
IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2002 .
Pengantar Studi Islam,Surabaya;IAIN Sunan Ampel Press, Surabaya Azizy, Qodiri, 2003.
Maarif, A Syafi’i. 1993. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan
Nasution, Harun. 1996.
Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan. Rahman, Fazlur. 1985.
Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition diterjemahkan oleh Ahsin
Mohammad dengan judul Islam dan ModernitasTentang Transpormasi Intelektual, Bandung:
Pustaka
Azra, Azyumardi, and Idris Thaha. Pendidikan Islam: Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah
Tantangan Milenium III. Cet. 1. Jakarta: Kencana kerja sama dengan UIN Jakarta Press,
2012.
El-delpieronisme, Taufiq. “Science and Civilization in Islam” (n.d.). Accessed May 30, 2017.
http://www.academia.edu/9066807/ Science_and_Civilization_in_Islam.
Kailani Er, Muh. “Daftar Tajuk Subjek Islam Dan Klasifikasi Islam: Adaptasi Dan Perluasan
Notasi 297 Dewey Decimal Classification (DDC,” n.d.
Adaptasi Perluasan DDC Seksi Islam.” Jakarta: Departemen Agama RI, 1998. Nasr, Seyyed
Hossein.
“Science and Civilization in Islam.” New York: New American Library, 1968.
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jilid II: [...]. Cet. 6. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986.

18
19
20

Anda mungkin juga menyukai