Di Susun Oleh :
KELOMPOK 1
ALQORIYANI (2114480011)
KHUSNUL.K. NASUTION (2114480006)
ANTIKA (2114480020)
Dosen Pengampu :
Suwandi, M.Pd.
PERDAGANGAN-SIMALUNGUN
2022/2023
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala karena berkat
rahmatnya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Pengertian Pemikiran Islam”,
diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Islam.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna
oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Munculnya pemikiran Islam sebagai cikal bakal kelahiran peradaban Islam pada
dasarnya sudah ada pada awal pertumbuhan Islam, yakni sejak pertengahan abad ke-7 M,
ketika masyarakat Islam sipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Perkembangan pemikiran dan
peradaban Islam ini karena didukung oleh para khalifah yang cinta ilmu pengetahuan dengan
fasilitas dan dana secara maksimal, stabilitas politik dan ekonomi yang mapan. Hal ini
seiring dengan tingginya semangat para ulama dan intelektual muslim dalam melaksanakan
pengembangan ilmu pengetahuan agama, humaniora dan eksakta melalui gerakan penelitian,
penerjemahan danpenulisan karya ilmiah di berbagai bidang keilmuan.
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan Masalah
Tujuan kami dalam pembuatan makalah ini yaitu untuk memperluas wawasan
mahasiswa agar mengetahui Pengertian, Manfaat, Ruang Lingkup, dan Karakteristik
Pemikiran Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis, pemikiran berasal dari kata dasar pikir, yang berarti akal budi,
ingatan, angan-angan. Dan ketika kata dasar tersebut mendapatkan imbuhan awalan
ber-, maka akan mempunyai makna menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, atau menimbang-nimbang dalam
ingatan. Adapun kata pemikiran sendiri mempunyai pengertian proses, cara atau
perbuatan memikir.1
Sedangkan kata Islam secara etimologi berasal dari bahasa Arab, didefinisikan
dari “salima” yang berarti selamat dari bahaya atau aslama yang berarti yang lebih
selamat, aman. Adapun islam dalam bentuk noun atau kata benda berarti ketundukan,
kepatuhan, agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.2
Dari kata “aslama” tersebut yang berarti “memelihara dalam keadaan yang
selamat sentosa”. Dan juga berarti “menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat”. Kata
aslama itulah yang menjadi kata pokok dalam “Islam”. Mengandung segala arti yang
ada dalam arti pokoknya. Sesungguhnya Islam itu adalah agama sepanjang sejarah
kehidupan manusia, agama yang diseru oleh Nabi dan Rasul yang pernah di utus oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok
manusia.3
Dengan demikian pengertian Islam dapat diambil dari ungkapan Dawam
Rahardjo sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur4, bahwa Islam dalam
wujudnya memiliki dua bentuk. Pertama, Islam sebagai sistem keagamaan yang
bersifat transendental yang ideal. Yaitu sebagaimana tertuang dalam berbagai ilmu
keislaman yang merupakan hasil interpretasi atau pemahaman secara kontekstual para
ulama’ terhadap Al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
1
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal.
682-683
2
A. W. Munawir , Kamus Al-Munawar Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997, hal. 656
3
Amin Syukur, Pengantar Study Islam, CV. Bima Sejati, Semarang, 2000, hal. 27-28
4
Ibid, hal. 5
2
Kedua, Islam yang tercermin dalam realitas sejarah kebudayaan, peradaban dan
masyarakat muslim.
Ini artinya bagaimana Islam sebagai agama yang memuat ajaran-ajaran Ilahi
dapat dibahasakan dan dilaksanakan oleh manusia, sehingga untuk dapat
menerjemahkan pesan Tuhan yang disabdakan melaui Al-Qur’an sebagai kitab
tuntunan umat Islam, maka perlu adanya suatu pemikiran atau kajian ilmu untuk
memahami pesan yang disampaikan Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an dapat membumi
di masing-masing hati sanubari umat Islam. Oleh karena itu semua pemikiran umat
Islam tentang agama, sudah barang tentu adalah Al-Qur’an.5
Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama
setelah pemukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam dipandang
sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa
ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi dan
sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-
pemimpin Islampun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru itu.
Dengan jalan tersebut diharapkan akan dapat melepaskan umat islam dari suasana
kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.6
Kita tidak dapat mengetahui diri kita sendiri tanpa mengetahui dari mana kita berasal.
Tidak tahu dari mana kita berasal dari meninggalkan kita tanpa rasa kedewasaan kita.
Hilangnya identitas meninggalkan kita tanpa tujuan, seperti kapal tanpa tujuan, atas belas
kasihan angin tanpa ampun. Hilangnya identitas ini telah disebutkan dalam Quran sebagai
hukuman dari Allah:
5
Baca H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hal. 1-3
6
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hal 12
3
Orang yang melupakan siapa mereka mungkin lupa siapa mereka seharusnya. Hal ini
menyebabkan arogansi. Allah mengingatkan setiap manusia berulang-ulang tentang
‘sejarah’ pribadinya, untuk mengusir mereka dari ketidakpercayaan dan kesombongan
mereka:
َ َعلَقَةً فَ َخلَقَ ف
س َّو َٰى َ ث ُ َّم ك
َ َان
“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), (37)
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan
menyempurnakannya, (38)” [Surat Al-Qiyamah, 75: 37-38],
ٌ س ُن أَنَّا َخلَ ْق َٰنَهُ ِمن نُّ ْط َف ٍّة فَ ِإذَا ُه َو َخ ِصي ٌم ُّم ِب
ين ِ ْ أ َ َولَ ْم يَ َر
َ َٰ ٱْلن
“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari
setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” [Surat Yasin,
36:77]
Di Surat Al-Fil dan Surat Quraisy, Allah mengingatkan orang-orang Quraisy atas
nikmat-Nya pada mereka di masa lalu, mendorong mereka untuk belajar pelajaran moral
dari filsafah mereka:
ِ ِ َِل ْي َٰل
ف قُ َر ْي ٍّش
ِ ۚ ص ْي
ف ِ َاٖ َٰل ِف ِه ْم ِرحْ لَة
َّ الشت َ ۤا ِء َوال
ِ ب َٰهذَا ا ْل َب ْي
ت َّ فَ ْل َي ْعبُد ُْوا َر
4
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada
musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik
rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” [QS. Quraisy, 106: 1-4]
Allah berulang kali memerintahkan umat Islam di dalam Quran untuk mengamati,
mempertimbangkan, dan merenungkan pelajaran dari pemikiran bangsa-bangsa yang
telah berlalu. Menginstruksikan orang-orang Muslim dalam pemikiran moral dan
spiritual bangsa-bangsa sebelumnya tampaknya menjadi salah satu penekanan utama
Quran.
Fakta bahwa mayoritas Pesan Akhir Allah terdiri dari cerita perjuangan moral orang-
orang sebelumnya merupakan indikasi pentingnya pemikiran belajar, dan
mempelajarinya dengan perspektif yang tepat untuk mencari pelajaran pemikiran islam.
Dengan kata lain, Allah menuntut kita untuk melihat terlebih dahulu dan terutama
aspek moral dari pemikiran suatu bangsa. Bangsa-bangsa jatuh, misalnya, bukan karena
kegagalan ekonomi, namun karena kegagalan moral spiritual untuk secara tepat
mengeluarkan keadilan ekonomi berdasarkan kepercayaan dan ketaatan yang benar
kepada Allah.
5
۟ ُض َو َٰلَ ِكن َكذَّب
وا ِ س َما ِْٓء َو ْٱْل َ ْر ٍّ علَ ْي ِهم َب َر َٰ َك
َّ ت ِم َن ٱل َ وا َوٱتَّقَ ْو ۟ا لَفَتَحْ نَا
۟ َُولَ ْو أ َ َّن أَ ْه َل ٱ ْلقُ َر َٰ ْٓى َءا َمن
َ ُسب
ون ِ وا يَ ْك ۟ ُفَأ َ َخ ْذ َٰنَ ُهم ِب َما كَان
َ ض َّرع
{ ُون َّ اء لَعَلَّ ُه ْم َي َّ اء َوال
ِ ض َّر ِ سَ ْ س ْلنَا فِي قَ ْريَ ٍّة ِم ْن نَبِي ٍّ إَِل أ َ َخ ْذنَا أَ ْهلَ َها بِا ْلبَأ َ َو َما أ َ ْر
س َّرا ُء
َّ ض َّرا ُء َوالَّ س آبَا َءنَا ال َّ ع َف ْوا َو َقالُوا قَ ْد َم َ س َنةَ َحتَّى َ س ِيئ َ ِة ا ْل َح َ ) ث ُ َّم بَ َّد ْل َنا َمك94(
َّ َان ال
ْ }فَأ َ َخ ْذنَا ُه ْم بَ ْغتَةً َو ُه ْم ََل َي
َ شعُ ُر
95( ون
Kemudian Kami ganti kesusahan itu dengan kesenangan hingga keturunan dan harta
mereka bertambah banyak, dan mereka berkata: “Sesungguhnya nenek moyang kamipun
telah merasai penderitaan dan kesenangan”, maka Kami timpakan siksaan atas mereka
dengan sekonyong-konyong sedang mereka tidak menyadarinya.” [Surat Al-A’raf, 7:
94-95]
Berbicara ruang lingkup pemikiran Islam, maka tidak terlepas dari mana Islam tersebut
lahir. Tanah Arab adalah cikal bakal tumbuh dan berkembangnya agama Islam, sehingga
untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemikiran Islam, maka perlu kiranya
menelisik sumber aslinya hingga masa sekarang.
6
berhenti diturunkan. Masalah-masalah yang timbul di kalangan masyarakat diselesaikan
oleh wahyu, atau oleh Nabi Muhammad sebagai orang yang memperoleh “otoritas tasyri”
(menetapkan hukum). Bahkan dalam akidah terdapat kecenderungan agar tidak umat Islam
tidak mempertanyakan hal-hal yang memang bukan jangkauan atau otoritas akal untuk
membahasnya, misalnya seperti masalah takdir. Hal tersebut dikarenakan umat Islam pada
masa Nabi baru
saja dialihkan dari keyakinan syirik (politeisme) kepada keyakinan tauhid
(monoteisme), dan situasinya memang belum memerlukan penggunaan nalar
rasional.7
Dalam dunia Islam tradisional, subjek dan objek pengetahuan dipandang bersifat
hierarkis. Realitas objek bukan hanya dunia spasio-temporal (ruang-waktu) yang tersedia
yang bagi alat-alat indra saja. Yang pertama adalah Realitas Mutlak, Allah. Dia
sendirilah Yang Ada dalam pengertian mutlak kata itu. Kemudian terdapat alam
malakut, alam khayal yang dekat (‘alam al-khayal), dunia jin dan manusia, dan akhirnya
dunia alami. Al-Qur’an secara konstan menyebut realitas-realitas ini sebagai langit
dan bumi. Langit, perlu digaris bawahi, selalu dalam bentuk jamak. Dari sudut
7
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, Mizan, bandung, 1993, hal.20
8
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab Islam, LKis, Yogyakarta, 2001, hal. 1
7
Islam jelas bahwa ilmu yang berhubungan dengan Tuhan tidak mempunyai pijakan yang
sama dengan ilmu tentang jiwa manusia ataupun dengan ilmu tentang mineral. Ini kontras
sekali dengan sistem pendidikan modern di mana teologi, psikologi dan
geologi ditempatkan secara horisontal satu sama lain, sebagaimana laci-laci dalam sebuah
lemari kabinet yang masing-masing berisi sejumlah informasi.
Selanjutnya, dalam perspektif Islam terdapat hierarki dalam diri subjek yang
mengetahui. Manusia bukan hanya subjek Cartesian cogito yang
“mengetahui” pada satu dataran tunggal dari apa yang disebut dengan pikiran. Manusia
dapat mengetahui melalui indra, melalui daya khayal, melalui akal budi yang begitu sering
disinggung dalam Al-Qur’an dan akhirnya melalui wahyu yang merupakan mitra objektif
pengintelekan (inteleksi) melalui mata hati (‘ain al-qulub). Sebagai wahyu pemungkas
Kalam Tuhan, Al-Qur’an memuat segenap prinsip pengetahuan karena ia berada pada
puncak hierarki dalam cara dan sumber ‘untuk mengetahui’ yang kemudian disusul
secara hierarkis oleh caracara ‘untuk mengetahui’ yang lain.
Otoritas-otoritas intelektual Islam sepenuhnya sadar akan hierarki objek dan subjek
pengetahuan. Berdasarkan realitas-realitas ini mereka mencoba mengklasifikasikan
ilmu-ilmu yang dijabarkan hukan hanya dari Al-Qur’an dan hadits, tetapi juga yang
diwarisi oleh para ilmuan dan sarjana muslim dari peradaban-peradaban
terdahulu seperti, Yunani, Persia, dan India. Mereka mengembangkan
skema-skema klasifikasi ini menurut perspektif intlektual mereka sendiri, bukan
berdasarkan ulah atau khayalan individual, karena dalam tradisi Islam apa yang diucapkan
(maa qaala) selalu lebih didahulukan daripada siapa yang mengucapkan (man qaala). Ini
merupakan tradisi-tradisi intelektual utama yang amat penting dalam menentukan sisi-sisi
pemikiran Islam mengenai subjek tertentu.9
Dari perkembangan pemikiran Islam dari masa ke masa inilah, muncul pemikaran atau
gerakan Islam yang sangat bervariatif, sehingga di era modern ini Islam memiliki madzhab
(aliran) pemikiran yang banyak sekali. Akan tetapi kita tidak ingin menyoroti madzhab dan
aliran pemikiran tersebut kecuali dari sudut peranan dan sejauh mana keterkaitan
dengan dua sistem, yaitu elitisme (nakhbawiyah) dan populisme (jamahariyah),
sebagaimana kajian ini juga tidak ingin memasukkan pembahasan tentang
9
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Pen. Purwanto, Mizan, bandung, 1997, hal 12
8
madzhab-madzhab dan aliran-aliran pemikiran lain yang tidak membawa ‘misi perubahan’
secara sempurna.
Berdasarkan hal itu ada tiga madzhab pemikiran yang berkembang di Dunia Islam
secara Internasional.
9
Beliau juga menekankan akan pentingnya kualitas (anggota pergerakan) dalam
menghadapi sistem jahiliyah dan menetapkan syarat-syarat khusus yang tidak ringan
yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang disiapkan untuk kepentingan tersebut.
Hal itu tampak jelas berdasarkan pandangan beliau tentang ‘komunitas yang berkualitas’
sebagaimana yang beliau sampaikan kepada generasi pertama dari para aktifis: “anda
sekalian merupakan spirit baru yang mengalir dalam qalbu umat Islam untuk
membangkitkan kembali dengan Al-Qur’an. Dan merupakan cahaya baru yang
memancarkan untuk menghancurkan kegelapan materialisme dengan ma’rifatullah.
Serta merupakan suara yang menggema dan senantiasa menyerukan dakwah Rasulullah
SAW”.10
Dengan demikian dengan keragaman pemikiran Islam yang muncul ke permukaan
diharapkan akan membawa Islam mencapai Renaisans yang pada akhirnya akan
mencapai kejayaan umat Islam (Aufklarung).
A. Bersifat Komprehensif
Pemikiran Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia , seperti politik, sosial
kemasyarakatan, perekonomian, kebudayaan dan akhlak. Islam hadir dengan membawa
aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya
sendiri dan dengan orang lain. Aturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya tercakup dalam perkara akidah dan ibadah. Sedangkan aturan yang mengatur
hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri tercakup dalam hukum-hukum tentang
makanan, pakaian, dan akhlak. Selebihnya adalah aturan yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain, seperti perkara muamalah ekonomi dan sosial, sanksi-
sanksi hukum bagi para pelanggar hukum (uqubat), politik ketatanegaraan, pertahanan
dan keamanan, politik luar negeri dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Semua
persoalan dari sejak Islam turun ke bumi 15 abad yang lalu hingga hari kiamat, semua
masalah pasti tercakup dalam perkara yang dipecahkan oleh Islam. Kalau sekilas saja
kita membaca buku-buku fiqih, kita akan mendapatkan bahwa masalah yang dipecahkan
oleh syariah itu tidak hanya masalah ritual belaka, tapi seluruh masalah kehidupan.
10
Fathi Yakan, Islam Era Global (Kajian Proyek Islamisasi Ideal), Ababil, Yogyakarta, 1996, hal 63-65
10
B. Bersifat Luas
C. Bersifat Praktis
D. Bersifat Manusiawi
Islam menyeru kepada manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia, tanpa melihat
lagi ras atau warna kulitnya.Dan dalam seruannya menyuruh seluruh manusia agar
menyembah Allah Yang Satu. Orang-orang selain orang Arab pun telah beriman pada
agama ini, seperti Persia, Romawi, Asia Tengah, India, Indonesia dan sebagainya.
Demikianlah, Islam telah mengeluarkan mereka dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya
hidayah, dari keterpurukan menuju kebangkitan.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran Islam adalah pemikiran yang khas, lain daripada yang lain. Sebab
pemikiran Islam berasal dari wahyu atau bersandarkan pada penjelasan wahyu, sedangkan
pemikiran-pemikiran yang lain yang berkembang di antara manusia, baik itu berupa agama-
agama non samawi, ideologi-ideologi politik dan ekonomi, maupun teori-teori sosial sekedar
muncul dari kejeniusan berfikir manusia yang melahirkannya.
12
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik,
dan Ekonomi, Mizan, Bandung, 1993, hal.20
Amin Syukur, Pengantar Study Islam, CV. Bima Sejati, Semarang, 2000, hal. 27-28
A W. Munawir , Kamus Al-Munawar Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif,
Surabaya, 1997, hal. 656
Baca H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, hal. 1-3
Fathi Yakan, Islam Era Global (Kajian Proyek Islamisasi Ideal), Ababil,
Yogyakarta, 1996, hal 63-65
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hal 12
Ibid, hal. 5
Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi Gelegar Pemikiran Arab Islam, LKis,
Yogyakarta, 2001, hal. 1
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu,
Pen. Purwanto, Mizan, Bandung, 1997, hal 12
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hal. 682-683
13