Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH TENTANG BAGAIMANA MEMBUMIKAN

ISLAM DI INDONESIA

Disusun oleh

YAYA THEA SUHANDIKA


NIM D0123142

KELAS F (KPT)
PROGRAM STUDI PGSD
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA
KALIMANTAN BARAT
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan karunianya saya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Dengan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan kepada
pembaca tentang Bagaimana Membumikan Islam di Indonesia
Terima kasih kepada dosen pengasuh yang telah memberikan kesempatan
kepada saya untuk dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik.
saya sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan
demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya karena
saya telah menyelesaikan penulisan makalah ini dari awal sampai akhir Semoga
Allah SWT selalu memberi Kesehatan kepada kita semua. Amin

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

Cover ……………………………………………………………………….. i
Kata Pengantar ……………………………………………………………... ii
Daftar Isi …………………………………………………………………… iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ……………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 3
C. Tujuan ………………………………………………………………. 3
Bab II Pembahasan
A. Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak
Keberagamaan ……………………………………………………… 3
B. Corak Keberagaman Masyarakat Muslim Indonesia Sebagai Wujud
Kekayaan Alam Nusantara …………………………………………. 6
C. Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan 10
D. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis
tentang Pribumisasi Islam …………………………………………... 11
Bab III Penutup
A. Kesimpulan …………………………………………………………. 21
B. Saran ………………………………………………………………... 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam hadir di Nusantara ini sebagai agama baru dan pendatang.
Dikarenakan kehadirannya lebih belakang dibandingkan dengan agama
Hindu, Budha, Animisme dan Dinamisme. Dinamakan agama pendatang
karena agama ini hadir dari luar negeri. Terlepas dari subtansi ajaran Islam,
Islam bukan merupakan agama asli bagi bangsa Indonesia, melainkan agama
yang baru datang dari Arab. Sebagai agama baru dan pendatang saat itu,
Islam harus menempuh strategi dakwah tertentu, melakukan berbagai adaptasi
dan seleksi dalam menghadapi budaya dan tradisi yang berkembang di
Indonesia.
Dalam konteks sejarah penyebaran Islam di Nusantara tepatnya pada
aba ke -15 dan khususnya di tanah Jawa, Walisongo mempunyai peran yang
cukup besar dalam proses akulturasi Islam dengan budaya. Budaya dijadikan
sebagai media dalam menyebarkan Islam dan mengenalkan nilai dan ajaran
Islam kepada masyarakat secara persuasif. Kemampuan memadukan kearifan
local dan nilai-nilai Islam mempertegas bahwa agama dan budaya lokal tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Secara sosiologis, keberadaan
Walisongo hampir semua berada di titik tempat pusat kekuatan masyarakat,
yaitu di Surabaya, Gresik, Demak, dan Cirebon. Bahkan kerabat mereka pun
memiliki peran yang signifikan juga dalam penyebaran Islam secara kultural.
Dalam konteks praktik keagamaan yang dijalankan masyarakat Indonesia
yang berhubungan dengan gerakan dakwah Walisongo dtampak sekali
terdapat usaha membumikan Islam. Fakta tentang pribumisasi Islam yang
dilakukan Walisongo dalam dakwahnya terlihat sampai saat ini. Sejumlah
istilah local yang digunakan untuk menggantikan istilah yang berbahasa
Arab, contohnya Gusti Kang Murbeng (Allahu Rabbul Alamin), Kanjeng
Nabi, Kyai (al-Alim), Guru (Ustadz), bidadari (Hur), sembahyang (shalat),
dan lain-lain.

1
Sejak masa Wali Songo, Islam di Indonesia memiliki dua model di atas.
Kelompok formalis lebih mengutamakan aspek fikih dan politik kenegaraan,
sedangkan kelompok esensialis memprioritaskan aspek nilai dan kultur dalam
berdakwah. Di era kemerdekaan sampai dengan era pascareformasi, polemik
antara kedua model keberagamaan ini masih tetap ada. Dalam masyarakat
yang pluralistik saat ini diperlukan pengembangan kiat-kiat baru bagi para
pendakwah dengan menyelaraskan dengan kemajuan tekhnologi dan
modernitas. Penggunaan media massa dan internet dirasa sangat pas dalam
menyebarkan dakwah yang lebih luas lagi. Artinya, metode seperti ini juga
menandakan sama dengan para Walisongo pada zaman dahulu menggunakan
media tradisional. Tuntutan modernitas dan globalisasi menuntut model
pemahaman agama yang saintifik, yang secara serius memperlihatkan
berbagai pendekatan, Pendekatan Islam monodisiplin tidak lagi memadai
untuk menjawab tantangan zaman yang dihadapi umat Islam di pelbagai
tempat. Agar diperoleh pemahaman Islam yang saintifik di atas diperlukan
pembacaan teks-teks agama (Quran, Al-Hadts, dan turats) secara integratif
dan interkonektif dengan bidang-bidang dan disiplin ilmu lainnya.
Di sisi lain, Islam yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, mau
tidak mau, harus beradaptasi dengan nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal).
Sebagai substansi, Islam merupakan nilai-nilai universal yang dapat
berinteraksi dengan nilai-nilai lokal (local wisdom) untuk menghasilkan suatu
norma dan budaya tertentu. Islam sebagai ramatan lil amin terletak pada nilai-
nilai dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang dibangun atas dasar
kosmologi tauhid. Nilai-nilai tersebut selanjutnya dimanifestasikan dalam
sejarah umat manusia melalui lokalitas ekspresi penganutnya masing-masing.

Maka atas dasar latar belakang di atas, kita dapat menyimpulkan


bahwa islam datang ke Indonesia jauh setelah agama lain datang ke
Indonesia. Kemudian islam menyebar ke segala penjuru Indonesia melalui
budaya Masyarakat local yang ada di Indonesia untuk itu penulis mencoba

2
mendalami masalah ini dalam bentuk makalah yang berjudul “Bagaimana
Membumikan Islam di Indonesia”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Membumikan Islam di Indonesia
2. Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak
Keberagamaan
3. Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan
4. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang
Pribumisasi Islam

C. Tujuan
1. Mengetahui Bagaimana Membumikan Islam di Indonesia
2. Mengetahui Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak
Keberagamaan
3. Mengetahui Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik Keberagamaan
4. Mengetahui Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang
Pribumisasi Islam

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. BAGAIMANA MEMBUMIKAN ISLAM DI INDONESIA


1. Menelusuri Transformasi Wahyu dan Implikasinya terhadap Corak
Keberagamaan
Wahyu difirmankan untuk memperpendek proses pembacaan
terhadap alam. Apabila manusia diberi kesempatan untuk membaca dan
memahami alam dengan segenap potensi nalar, rasa, dan jiwa yang
dimilikinya, ia akan membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai
jawaban final. Namun berkat Wahyu, proses yang panjang dan berliku
tersebut dapat disingkat sedemikian rupa sehingga manusia tidak perlu
bersusah payah untuk mendapatkan jawaban final kehidupan.
Wahyu Allah yang terbentang dalam alam geografis dan sosial
budaya Arab, akan ditangkap oleh nabi berkebangsaan Arab dan
dibesarkan dalam tradisi intelektual Arab, otomatis akan menjadi Wahyu
yang berbahasa Arab lengkap dengan kultur Arab pada masa wahyu
difirmankan. Contohnya AlQuran sangat dipengaruhi oleh kultur Arab
Nabi Muhammad karena ia diturunkan kepada Nabi Muhammad yang
berkebangsaan Arab. Namun seiring berjalannya waktu dan ruang,
Wahyu akan menyesuaikan dengan keadaan budaya pada suatu tempat
dan waktu tertentu sehingga munculnya keberagaman corak pemahaman
agama.
Bila dalam sebutan pertama islam adalah agama wahyu yang
seolah seolah berada di langit dan keeradaannya bersifat mutlak, maka
pada sebutan kedua islam telah berada di bumi menjadi agama
masyarakat dan kebenarannya pun menjadi relatif. Implikasinya, pada
dataran ini islam berubah menjadi “Islams”.
Dalam ajaran islam, wahyu Allah selain berbentuk tanda-tanda
(ayat) yang nirbahasa, juga bermanifestasi dalam bentuk tanda-tanda
(ayat) yang difirmankan. Untuk memudahkan pemahaman, kita bedakan

4
antara istilah wahyu (dengan “w” kecil) dan Wahyu (dengan “W” besar ).
Wahyu dengan w kecil menyaran pada tanda-tanda, instruksi, arahan,
nasihat, pelajaran, dan ketentuan Tuhan yang nirbahasa, dan mewujudkan
dalam alam semesta dan isinya, termasuk dinamika sosial budaya yang
terjadi didalamnya. Adapun Wahyu dengan W besar menyaran pada
tanda-tanda, instruksi, arahan, nasihat, pelajaran, da ketentuan Tuhan
yang difirmankan melalui utusan-Nya (malaikat) dan diakses secara
khusus oleh orang-orang pilihan yang disebut sebagai nabi atau rasul
(meskipun kedua istilah ini sebenarnya berbeda, namun sementara ini
dianggap sama).
Wahyu (dengan W besar) difirmankan untuk menjawab beberapa
permasalahan yang tidak ditemukan jawabannya dalam tanda-tanda
Tuhan yang terbentang, untuk memotivasi manusia agar makin detil
dalam membaca dan memahami alam yang terbentang, sehingga ia bisa
memperoleh makna dari setiap fenomena yang dialaminya. Tidak hanya
itu, Wahyu difirmankan juga untuk memperpendek proses pembacaan
terhadap alam (wahyu yang terbentang). Apabila manusia dieri
kesempatan untuk membaca dan memahami alam dengan segenap
potensi nalar, rasa, dan jiwa yang dimilikinya, ia akan membutuhkan
waktu yang lama untuk mencapai jawaban final. Namun berkat Wahyu,
proses yang panjang dan yang berliku tersebut dapat disingkat
sedemikian rupa sehingga manusia tidak perlu bersusah payah untuk
mendapatkan jawaban final kehidupan.
Islam telah membeli kontribusi yang amat signifikan bagi
keindonesiaa dan perabadan, baik dalam bentuk nilai-nilai maupun
bengunan fisik. Islam Indonesia ternyata tidak kalah penting
dibandingkan dengan islam di Timur Tengah. Fazhlurrahman bahkan
mengatakan bahwa islam indonesia merupakan corak islam masa depan.
Sepak masa Wali Songo, silam di indonesia memiliki dua model diatas.
Kelompok formalis lebih mengutamakan aspek fisik dan poltik
kenegaraan, sedangkan kelompok esensialis memprioritaskan aspek nilai

5
dan kultur dalam berdakwah. Di era kemerdekaan sampai dengan era
pascareformasi, polemik antara kedua model keberagaman ini masih
tetap ada. Coba anda telusuri lebih lanjut kedua model diatas sejak masa
kemerdekaan sampai pascareformasi, lalu kenali karakteristik masing-
masing model diatas.
Tuntutan modernitas dan globalisasi menuntut model pemahaman
agama yang saintifik, yang secara serius memperlihatkan berbagai
pendekatan. Pendekatan islam monodisiplin tidak lagi memadai untuk
menjawab tantangan zaman yang dihadapi umat islam di berbagai
tempat. Agar diperoleh pemahaman islam yang saintifik diatas
diperlukan pembacaan teks-teks agama (baca:Al Quran, Al Hadist, dan
turats) meminta maaf dan memaafkan adalah ajaran islam yang universal,
diJawa pemohonan maaf si anak kepada orang tua diekspresikan dengan
‘sungkem’ sedangkan komunitas Betawi tentunya tradisi tersebut tidak
dikenal. Uraian diatas menunjukkan bahwa ekspresi tentang islam tidak
bisa tunggal. Hal itu dikarenakan islam tidak lahir diruang hampa
sejarah. Tabiat, karakter, tradisi, budaya, lingkungan, dan lain-lain
menjadi penentu dan pembeda corak berfikir, cara bersikap, dan bentuk
ekspresi seseorang, bahkan masyarakat. Islam mengajarkan untuk
bertutur kata halus dan penuh makna. Ini tidak berarti orang Batak atau
orang Arab harus berbicara dengan nada lembut seperti orang Jawa.
2. Corak Keberagaman Masyarakat Muslim Indonesia Sebagai Wujud
Kekayaan Alam Nusantara
Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan
lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia
sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai
identitas nasional.
a. Corak islam di Aceh
Pembangunan masjid di Bali sejak abad XIV hingga
sekarang mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur tradisional

6
Bali atau menyerupai stil wantilan. Akulturasi dua unsur seni yang
diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci
umat Islam di Bali tampak berbeda dengan bangunan masjid
di Jawa maupun daerah lainnya di indonesia

Pemeluk agama Islam di Aceh merupakan mayoritas,


dibandingkan dengan agama-agama lain. Salah satu contoh corak
keberagamaan masyarakat muslim di Aceh terlihat dari Parlemen
Aceh yang akhirnya mengesahkan Qanun Hukum Jinayah sebagai
pedoman baru pelaksanaan syariat Islam. Penerapan hukum Islam
berupa cambuk dan denda emas bagi pelanggar syariat, termasuk
non-muslim dan anak-anak, segera berlaku di provinsi itu. Peraturan
tersebut tentu berbeda dengan peraturan yang ada di provinsi selain
Aceh.
Dengan disahkannya Qanun Hukum Jinayah, maka di Aceh
akan berlaku hukuman cambuk atau denda dengan bayar emas murni
bagi pelaku pemerkosaan, perzinaan, pelecehan seksual, praktik gay,
lesbian, mesum, perjudian, mengonsumsi minum keras dan
bermesraan dengan pasangan bukan muhrim. Bukan hanya pelaku,
orang yang ikut menceritakan ulang perbuatan atau pengakuan
pelaku jarimah secara langsung atau melalui media juga dikenakan
hukuman cambuk.

Sanksi cambuk bukan hanya berlaku bagi mereka yang


beragama Islam. Warga non-muslim, anak-anak dan badan usaha
yang menjalankan bisnisnya di Aceh, jika melakukan pelanggaran

7
syariat, juga akan dikenakan hukuman dalam qanun ini. Hanya saja
bagi non-muslim diberi kelonggaran yakni bisa memilih apakah
diproses dengan qanun atau hukum nasional yang berlaku.
Selain itu corak keberagamaan muslim di aceh terlihat dari
tradisi orang Aceh yang menganggap musholla lebih signifikan
dibandingkan dengan masjid. Menurut Andrew Beatty, karena hidup
berkeluarga adalah arena utama dari kehidupan social dan bidang di
mana tindakan moral dibentuk dan dinilai, maka musholla memiliki
arti penting praktis yang lebih besar. Sebuah desa di Aceh dapat
bertahan tanpa masjid karena shalat Jumat dilakukan di sebuah
mesjid kemukiman. Tetapi tanpa mushalla (Meunasah), maka
kesalehan akan terhenti menjadi patokan normatik: kewajiban
skriptual tetap kewajiban, tetapi solidaritas sesame muslim akan
memudar.
b. Corak Islam di Sidodadi
Sidodadi merupakan salah satu gampong yang ada di
kecamatan Simoang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh,
Indonesia. Kenyataannya muslim Sidodadi memang memiliki
sebutan tersendiri terkait orientasikeagamaan mereka, yakni orang
Sunnah dan orang Yasin.
 Istilah orang Sunnah terkadang digunakan secara bertukaran
dengan istilah orang Pengajian
 istilah orang Yasin juga digunakan bertukaran dengan orang
Perwiridan (muslim tradisionalis
Perbedaan
Orang Sunnah Orang Yasin
Tidak menyelenggarakan tahlil Secara berkala membaca tahlil
bersama, termasuk tahlil untuk orang
meninggal
Seorang muslim tidak Mentradisikan orang lebih muda
membungkukkan badan sedikitpun

8
saat bersalaman mencium tangan orang lebih tua.
Bersalam-salaman tidak harus Melakukan salaman setelah shalat
dilakukan setelah selesai shalat
Kontestasi kesalehan antara kedua kelompok berlangsung
dinamis, dalam beberapa kasus memunculkan ketegangan sosial dan
rekonsiliasi antara kedua belah pihak.
· Orang Yasin misalnya mendukung tradisi pesejeuk (kenduri) saat
mendirikan rumah, baca yasin bersama, tahlilan, membacakan talkin
untuk mayat yang barudikuburkan, sampai dengan pementasan orgen
tunggal dalam acara resepsi pernikahan.
· Orang Sunnah menentang semua tradisi tersebut karena tidak
ditemukanlandasan hukumnya dalam al-Qur'an dan hadist. Tradisi
baca yasin bersama menurutorang sunnah sama bid'ahnya dengan
pementasan orgen tunggal saat resepsi pernikahan.
Meskipun orientasi keberagamaan orang Sunnah berbeda dari
orang Yasin, keduanya masih tetap berpijak pada landasan yang
sama. Al-Quran dan hadis tetap dijadikan acuan utama dalam
membangun otoritas kehidupan agama. Definisi serta wilayah
cakupan agama juga diturunkan oleh keduanya melalui dua sumber
ajaran Islam ini. Tetapi masing-masing pihak ingin merealisasikan
ideal yang terkandung dalam teks suci ke dalam kehidupan nyata
dalam versinya masing-masing. Kedua belah pihak menempuh jalan
yang berbeda dalam menghampiri Islam.
3. Menanyakan Alasan Perbedaan Ekspresi dan Praktik
Keberagamaan
Terdapat dua hal yang secara dominan mempengaruhi
dinamika dan struktur sosial masyarakat, yaitu agama dan budaya
lokal. Dalam masyarakat Indonesia, dua hal tersebut memiliki
peranan penting dalam membentuk karakter dan perilaku sosial yang
kemudian sering disebut sebagai”jati diri” orang Indonesia. Karakter

9
tersebut mewarnai hampir semua aspek sosial masyarakat Indonesia
baik secara politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Agama diyakini memiliki nilai-nilai transenden sehingga
sering dipahami sebagai satu dogma yang kaku. Namun, nilai-nilai
budaya relatif dipandang lebih fleksibel sesuai kesepakatan-
kesepakatan komunitas untuk dijadikan sebagai standar normatif.
Karena adanya perbedaan karakter agama dan budaya itulah maka
sering kali nilai-nilai agama dipertentangkan dengan nilai-nilai
budaya lokal yang sebenarnya telah mempengaruhi perilaku sosial
seseorang. Waktu masuknya Islam ke Indonesia (Nusantara) masih
diperdebatkan. Ada yang berpendapat bahwa sejak sebelum hijrah
telah ada orang Arab yang tinggal di kepulauan ini. Lalu pada abad
ke-13 muncullah untuk pertama kali sebuah komunitas Islam, ang
selanjutnya mengalami perkembangan pesat pada abad ke-15. Pada
abad ke-17/ke-18 bahkan mayoritas penduduk Jawa da Sumatera
telah memeluk Islam. Mulanya Islam masuk ke Indonesia melalui
pedagang dari Gujarat dan Malabar India. Lalu belakangan masuk
pula pedagang dan dai-dai Islam dari Hadramaut, disamping
saudagar-saudagar Islam dari Cina. Islam disebarkan dengan cara-
cara damai dengan aliansi politik dan pembiaran terhadap budaya-
budaya lokal yang sudah ada sebelumnya, selama sejalan dengan
prinsip-prinsip Islam. Unsur-unsur budaya lokal non-islam (Arab)
bahkan melekat dalam karakter, pemikiran, dan praktik keagamaan
umat Islam sufistik yang memang memiliki karakteristik terbuka,
damai, dan ramah terhadap perbedaan.
Model akulturasi budaya lokal dengan Islam ini sering
dianggap sebagai penyebab munculnya karakter Islam abngan di
kalangan mayarakat Jawa. Sebagai orang bahkan menilai bahwa para
Wali Songo sebagai ikon dai-dai awal islam di Indonesia dianggap
belum berhasil sepenhnya untuk mengislamkan Jawa. Beberapa
bukti disodorkan untuk memperkuat tesis tersebut , diantarana

10
paham sinkretisme yang tampak masi dominan dikalangan
masyarakat Jawa. Walaupun bagi pihal yang mendukung metde
dakwah Wali Songo di ats, praktik-praktik yang sering dituduh
sebagai sinkretisme tersebut bukan sepenuhnya amalan yang
bertentangan dengan Islam dan dapat siperjelaskamelalui perspektif
mistiisme Islam.
4. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Teologis, dan Filosofis tentang
Pribumisasi Islam
a. Menggali Sumber Historis
a) Indonesia Sebagai Modal Dasar
Indonesia sebenarnya merupakan bangsa yang pada
dasarnya telah berhasil menahan gejolak kekerasan yang terjadi
atas nama agama tersebut. Indonesia memiliki kebudayaan
adiluhung, di mana itu merupakan sebuah ruang dialog bagi
adanya hal-hal keberbedaan. Ini dapat dilihat, dari falsasah
keberbangsaan yang berbunyi, bhineka tunggal ika. Bukankah
slogan itu merupakan hasil galian para founding father bangsa
Indonesia dari khazanah kebudayaan yang ada. Artinya, secara
historis, Indonesia merupakan bangsa yang mempu
menyeleseikan keberbedaan itu secara harmonis. Jadi, kekuatan
harmonisasi keberagaman di Indonesia itu melalui ruang budaya.

Dapat pula dijumpai dalam sejarah perkembangan Islam di


Nusantara ini melalui jalur kebudayaan. Hasilnya, Islam
menyebar tidak lewat konflik. Malah, pada gilirannya Islam
dijalankan dengan formulasi baru yang khas Indonesia. Inilah
yang disebut dengan gagasan pribumisasi Islam. Di mana islam
didialogkan dengan konteks kebudayaan Indonesia. Maka, jadilah
format Islam-Indonesia.
Pada sisi yang lain, para pelaku tindak kekerasan atas
nama agama tidak terlihat sebagai kelompok yang mengakomodir

11
budaya lokal asli Indonesia. Alih-alih, dalam pandangannya,
berbagai budaya asal Indonesia dinilainya sebagai sesuatu yang
tahayul, khurafat, bid’ah, klenik, dsb.
Maka dari itu, tulisan ini dapat dipahami sebagai upaya
menengok kembali relasi agama dan kebudayaan dalam
menciptakan format keberagamaan di Indonesia yang tanpa
kekerasan, sebagimana halnya kerap terjadi pada fenomena
keberagamaan di masyarakat modern.
b) Menawarkan Gagasan Pribumisasi Islam
KH. Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Gus Dur, telah berupaya menjawab tantangan itu sejak
tahun 1980 yang lalu, lewat konsepsi pemikirannya mengenai
“Pribumisasi Islam”. Melalui gagasannya ini, Gus Dur merespon
secara intens dengan mengajukan alternatif antitesa sebagai
penyelesaian atau mungkin juga ‘wacana counter’ terhadap gejala
keagamaan masyarakat modern yang kering, paradoks, ahistoris,
eksklusif, dlsb. sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
Ia masih melirik akan pentingnya tradisi, kebudayaan lokal
Indonesia. Karena itu, yang ditawarkan adalah lokalisasi Islam,
bukannya artikulasi dari keislaman yang harus serba seragam,
apalagi serba arab. Dia seolah yakin bahwa Islam akan lebih
mudah dihayati oleh masyarakat mad’u (objek dakwah), apabila
para da’i atau muballigh (penyebar agama) terlebih dahulu
memperhatikan kebudayaan setempat pada saat Islam disebar dan
ditafsirkan ulang. Keberislaman yang disampaikan dengan cara
seperti ini akan lebih mampu mengakomodir cipta, rasa, dan karsa
para pemeluknya, sesuai dengan penghayatan budayanya yang
sudah terjadi selama berabad-abad.
Ide “Islam Pribumi” lahir untuk melawan gagasan
otentifikasi Islam, yang tidak jarang mengarah pada
fundamentalisme keberagamaan. “Islam Pribumi” meyakini tiga

12
sifat, yaitu: sifat kontekstual, Islam dipahami sebagai ajaran
mengalami perubahan dan dinamika dalam merespon perubahan
zaman. Kedua, Islam dipahami sebagai agama yang progresif,
kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman
penyimpangan terhadap ajaran Islam melainkan sebagai pemicu
untuk melakukan respon kreatif secara intens. Ketiga, “Islam
Pribumi” memiliki karakter membebaskan, yaitu ajaran yang
mampu menjawab problem-problem kemanusiaan secara
universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnis [14].
Gagasan “Pribumisasi Islam” benar-benar merangsang
perlunya negosiasi dan akulturasi antara agama, tradisi, lokalitas,
dan kemodernan sekaligus. Karena itu, keberislaman dipahami
bukan hanya ritualisme, tetapi lebih dari itu. Akomodasi tradisi
dan kultur lokal melakukan “penafsiran silang” yang saling
menghargai dan menyempurnakan. Keberislaman ditafsirkan
untuk kerja kemanusiaan, kemaslahatan, kesetaraan, dan
keadaban [15] .
Karena itu Gus Dur dengan konsep “Pribumisasi Islam”nya
tidak sependapat kalau proses Islamisasi di Indonesia diarahkan
pada proses Arabisasi. Sebab, itu hanya akan membuat
tercerabutnya masyarakat Indonesia dari akar budayanya sendiri.
Namun, “Prubumisasi Islam”, menurut Gus Dur, bukan
jawanisasi dan sinkritisme. Sebab, “Pribumisasi Islam” hanya
mempertimbangkan kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-
hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukan
meninggalkan norma demi budaya. Tetapi agar norma-norma itu
menampung kebutuhan dari budaya, dengan menggunakan
peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash
(ketentuan) dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqih
dan kaidah fiqih.

13
“Pribumisasi Islam” yang digagas Gus Dur pada akhir
tahun 80-an itu menggambarkan bagaimana Islam sebagai ajaran
yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam
budaya yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya
masing-masing. “Pribumi Islam” menjadikan agama dan budaya
tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar
keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik
dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang
selama ini memisahkan antara agama dan budaya [16]. Dengan
demikian tidak ada lagi pertentangan antara agama dan budaya.
“Pribumisasi Islam” memberikan peluang bagi keanekaragaman
interpretasi dalam kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah
yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang
secara tunggal, melainkan majemuk. Tidak lagi ada anggapan
bahwa Islam yang di Timur-Tengah sebagai Islam yang murni
dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami
historisitas yang terus berlanjut.
“Pribumisasi Islam” sesunggguhnya mengambil semangat
yang telah diajarkan walisongo dalam dakwahnya ke wilayah
Nusantara sekitar abad ke-15 dan ke-16 di pulau Jawa. Dalam hal
ini walisongo telah berhasil memasukan nilai-nilai lokal dalam
Islam yang khas indonesia. Kreatifitas walisongo ini melahirkan
gagasan baru nalar Islam Indonesia yang tidak harfiah meniru
Islam di Arab. Tidak ada nalar Arabisasi yang melekat dalam
penyebaran Islam awal di Nusantara. Walisongo
mengakomodasikan Islam sebagai ajaran agama yang mengalami
historisasi dengan kebudayaan.
Sejarah terus berulang menjadi kesadaran-kesadaran baru.
Pada era 1990-an kritik terhadap model keberagamaan umat yang
masih bercorak puritan kembali menguat. Kiri Islam-nya Hassan
Hanafi, dan gagasan post- tradisionalisme Islam yang mengambil

14
jalan pemikiran Muhammad Abed al-Jabiri, Mohammad Arqoun,
Nashr Hamid Abu Zayd, dan Muhammad Shahrur telah menjadi
rujukan utama dari kelompok Islam tradisional untuk melakukan
kritik nalar Islam, sekaligus menjadikan tradisi sebagai jembatan
emas menuju pemikiran Islam yang membebaskan. Pada
gilirannya, usaha-usaha ini melahirkan gagasan “Islam Pribumi”
sebagai kelanjutan dari pemikiran-pemikiran Islam yang telah
berkembang dalam denyut nadi perubahan [17].
Charley H. Dood yang mengungkapkan bahwa komunikasi
antar budaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta
komunikasi yang mewakili pribadi, antar pribadi, antar kelompok
dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang
mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta. (Liliweri, 2003:
12).
Sampai di sini, “Pribumisasi Islam” dipahami menjadi
sebuah kebutuhan praksis (berupa keterampilan pada proses
komunikasi/ dakwah/ tabligh antar budaya), sekaligus sebagai
kebutuhan paradigmatik pemikiran (berupa kontekstualisasi
paham keislaman untuk historisitas ruang dan waktu yang
berbeda, di mana syariah didialogkan dengan berbagai konteks
yang melingkupinya). Penulis merasa akan pentingnya konsep
“Pribumisasi Islam” ini. Sebab, konsepsi “Pribumisasi Islam”
sepertinya akan sangat membantu bagi berkembangnya
pemahaman Islam yang pantas untuk diterapkan dalam konteks
Indonesia maupun keindonesiaan itu sendiri. Dari situ,
membangun masyarakat yang religius juga kultural akan lebih
mudah terwujud, tanpa kehilangan kebinekaannya, tetap
harmonis, toleran dan menganut pluralisme yang dewasa.
b. Menggali Sumber Sosiologis
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim
terbesar di dunia. Fenomena ini tentu tidak bisa dilepaskan dari jasa

15
para dai muslim sepanjang sejarah masuknya Islam di Indonesia.
Mereka berasal dari Arab, Persia, India bahkan dari Cina. Kedatangan
mereka ke Indonesia tidak saja untuk memeperkenalkan Islam, tetapi
juga dengan membawa seperangkat keilmuan Islam yang sudah
mengalami proses pengembangan di tanah asalnya, Timur Tengah.
Sebelum Islam datang, penduduk Indonesia (baca. Nusantara) telah
menganut agama, baik yang masih primitif seperti animisme-
dinamisme maupun yang sudah berbentuk agama formal seperti Hindu
atau Buddha. Namun demikian, berdasarkan catatan sejarah yang ada,
kedatangan Islam tidak disertai dengan konflik sosial-keagamaan yang
cukup berarti. Keberhasilan islamisasi generasi awal setidaknya
disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor strategi dakwah dan faktor
daya tarik ajaran Islam itu sendiri. Gerakan Wahabi ternyata berimbas
ke Indonesia. Jika pada masa lampau, kaum Paderi di Sumatera Barat
yang menjadi agennya, dan juga Muhammadiyah, maka pada era
sekarang ini, pengimpor utama paham Wahabi adalah kelompok
Salafiyun.
Secara sosiologis, potret Islam Indonesia sangat toleran dengan
tradisi dan komunitas lain yang berbeda keyakinan, menerima Bhineka
Tunggal Ika. Islam Indonesia menghargai pluralitas etnis, agama dan
gender. Membela kaum minoritas, kaum mustad’afin, dan kaum
terpinggirkan lainnya. Islam Indonesia sangat memahami sosio-kultural
kebangsaan, ketimbang memaksakan normatifitas teks yang
verbalisitik. Dalam masalah praktik sosial kemasyarakatan, Islam
Indonesia bisa menerima Pancasila sebagai Dasar Negara guna
memersatukan segenap entitas bangsa Indonesia. NKRI sudah final bagi
Islam Indonesia. Peningkatan Sumberdaya Manusia dan kedisiplinan
yang perlu ditingkatkan, punctuality (ketepatan),keteraturan, social
justice, pengorganisasian, kepekaan sosial, etos kerja, kompetisi positif,
sportivitas, komitmen, trust, dan lain-lain.

16
Islam Indonesia juga inhern dengan nasionalisme. Bahkan NU
sebagai cerminan Islam Indonesia terlibat aktif dalam perjuangan
kemerdekaan dari penjajahan dan delegasinya KH.Wahid Hasyim,
menjadi tokoh kunci terbangunnya bangsa Indonesia, ketika terjadi
perdebatan apakah negara Indonesia akan berlandaskan Pancasila atau
Islam. Ketika sekelompok delegasi dari Islam Modernis menginginkan
negara Islam, dan Soekarno yang ingin Pancasila. Ketika perdebatan
menegang, tiba-tiba warga di Indonesia Timur bermaksud merdeka
ketika Indonesia menjadikan Islam sebagai dasar negara. KH. Wahid
Hasyim, selaku anggota perumus dari NU, pulang ke rumah menemui
KH, Hasyim Asy’ari, dan hasilnya diterima Pancasila sebagai dasar
negara demi utuhnya NKRI yang baru didirikan. Kelompok Islam
Modernis walau jengkel dengan sikap tersebut tetapi tidak bisa berbuat
banyak karena yang akhirnya bisa menegangkan perdebatan dasar
negara.
Dari kejadian itu, ditemukanlah bagaimana komunitas NU
mendefinisikan kekuasaan, negara dan bangsa. Betapa nasionalisme NU
sudah terbukti. Bahkan, pada Muktamar NU tahun 1938 di Menes,
Banten, ada dua pertanyaan searah yang jawabannya saling kontradiksi.
Pertanyaan pertama adalah, bahwa penjajah Belanda menawari NU
untuk masuk menjadi anggota Volskraad, dengan itu maka NU akan
menjadi bagian dari struktur kekuasaan dan pemerintahan Belanda di
Hindia-Belanda. Namun ketika diadakan voting, hasilnya 54 menolak
dan 4 setuju masuk Volksraad. Jadi NU menolak masuk lembaga
perwakilan rakyat versi penjajah itu. Pertanyaan kedua adalah, apakah
Hindia-Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar? Jawabannya
adalah wajib karena Hindia-Belanda, menurut hasil Muktamar itu,
merupakan dar al-islam (bukan daulah Islam). Yaitu, kawasan yang
mayoritas penduduknya pemeluk Islam, pernah dikuasai kerajaan-
kerajaan Islam dan umat Islam tidak dibatasi dan dilarang untuk
menjalankan ibadahnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa,

17
keikutsertaan NU dalam Volksraad adalah masalah politik dan
kekuasaan, oleh karena itu bisa ditolak dan bisa juga diterima
seandainya hasil voting itu menghasilkan sebaliknya. Tetapi masalah
kawasan Hindia-Blanda adalah masalah negara dan bangsa, karena itu
harus dipertahankan dengan basis argumen Islam. Dalam konteks inilah
bisa dipahami ketika KH Hasyim Asy’ari sebagai Rois Akbar PBNU
mengeluarkan fatwa “resolusi jihad” pada Oktober 1945 yang
mewajibkan kepada seluruh umat Islam dan bangsa Indonesia
sebagai wajib ‘ain dalam jarak tertentu dari Surabaya yang sedang
berperang untuk mempertahankan kemerdekaan seiring dengan
masuknya tentara seklutu (NICA) yang diboncengi Belanda. Masuknya
tentara sekutu tersebut tentu membahayakan Indonia yang baru belum
ada dua bulan merdeka. Maka terjadilah Perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya.
Dari uraian tersebut, jelaslah NU sebagai bagian penting dari Islam
Indonesia sudah mampu membangun definisi hubungan agama, bangsa
dan negara dalam Islam Indonesia yang kosmopolit. Dari catatan ini
pula adanya keterkaitan erat antara berdirinya NU dan proses
terbangunnya negara-bangsa Indonesia. Di era Gus Dur, Islam
Indonesia juga mampu menyeimbangkan ketegangan antara pemerintah
rakyat, militer – sipil, mayoritas – minoritas. Islam Indonesia juga
sangat perhatian dengan isu-isu demokrasi, HAM, gender, kemiskinan,
ekonomi neo-liberal, civil society, advokasi, misalnya, yang sudah
dikembangkan oleh NU sejak masa otoritarianisme Orde Baru, yang
waktu itu gerakannya bahkan dilakukan secara “undergorund.” Topik-
topik tersebut tidak hanya menjadi gerakan pemikiran tetapi juga
gerakan praktis. Demikian juga dengan masalah hak-hak perempuan,
korupsi, dan hak-hak minoritas muncul menjadi pergulatan intensif saat
ini, sehubungan dengan kian derasnya arus fundamentalisme yang anti
kesetaraan perempuan dan anti pluralisme dan multikulturalisme serta
maraknya korupsi sejak Orde Baru. Dengan kata lain, evolusi pemikiran

18
Islam Indonesia akan terus mengikuti arus perkembangan bangsa
Indonesia itu sendiri. Sejumlah isu juga sedang diyang belum
terangkum dalam disertasi ini, misalnya, gerakan tentang pertanian,
lingkungan, pengelolaan seumber daya alam dan tradisi lokal. Semua
ini menanti sebuah karya lanjutan berikutnya.
c. Menggali Sumber Teologis dan Filosofis
Secara filosofis pribumisasi Islam didasari oleh paradigma sufistik
tentang substansi keberagaman. Dalam paradigma sufistik, agama
memiliki dua wajah yaitu aspek esoteris (aspek dalam) dan aspek
eksoterik (aspek luar). Dalam tataran esoteris, semua agama adalah
sama karena ia berasal dari Tuhan Yang Tunggal. Dalam pandangan
sufistik, bahkan dikatakan semua yang maujud di alam ini pada
hakikatnya berasal dari Wujud Yang Satu (Tuhan Yang Maha Esa).
Alam ciptaan dengan pluralitas manifestasinya pada hakikatnya diikat
oleh sebuah kebenaran universal yang berasal dari Sang Pencipta Yang
Tunggal. Perbedaan maujud dalam ciptaan Tuhan semuanya dibingkai
dalam keesaan wujud. Tuhanlah satu-satunya wujud (la wujud illa
Allah). Perbedaan hanya tampak pada aspek eksoterik, yaitu unsur lahir
dan amalan kasat mata saja. Sejalan dengan pemahaman ini, maka
substansi keagamaan adalah satu, cara manusia dapat menyembah
(tunduk, patuh, dan berserah diri) kepada Tuhan sebagai kebenaran
universal. Adapun ekspresi keberagaman atau aksentuasi paham
keagamaan pasti berbeda-beda karena perbedaan kebutuhan dan
tuntutan fisik dan materi yang berbeda pula.
Secara teologis, tauhid bukan sekedar pengakuan atau persaksian
bahwa tiada illah selain Allah, tapi pemaknaan terhadap tauhid
melampaui dari sekedar pengakuan atas eksistensinya yang tunggal.
Jika kita tarik pemaknaan tauhid dalam ranah realitas ciptaan
(makhluk), maka tauhid berarti pengakuan akan pluralitas atas selain
Dia (makhluk-Nya). Hanya Dia yang tunggal, dan selain Dia adalah
plural. Al-Qur’an juga mengemukakan, bahwa Allah menakdirkan

19
pluralitas sebagai karakteristik makhluk ciptaan-Nya. Tuhan tidak
menakdirkan pluralitas dalam ciptaan untuk mendorong
ketidakharmonisan dan perang. Pluralitas sekaligus menjadi bukti
relativitas makhluk.

BAB III
PENUTUP

20
A. Kesimpulan
Bagaimana Membumikan Islam di Indonesia melalui
Perkembangan Islam di Nusantara ini karena berbagai pengalaman,
disebabkan adanya keberagaman budaya dan tradisi pada setiap pulau
tersebut. Bahkan dalam satu pulau saja bisa melahirkan berbagai budaya
dan tradisi. Perjumpaan Islam dengan budaya (tradisi) lokal itu seringkali
menimbulkan akulturasi budaya. Kondisi ini menyebabkan ekpresi Islam
tampil beragam dan bervariasi sehingga kaya kreativitas kultural-religius.
Realitas ini merupakan risiko akulturasi budaya, tetapi akulturasi budaya
tidak bisa dibendung ketika Islam memasuki wilayah baru. Jika Islam
bersikap keras terhadap budaya atau tradisi lokal yang terjadi justru
pertentangan terhadap Islam itu sendiri bahkan peperangan dengan
pemangku budaya, tradisi atau adat lokal seperti perang Padri di Sumatera.
Maka jalan yang terbaik adalah melakukan seleksi terhadap budaya
maupun tradisi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam untuk
diadaptasi sehingga mengekpresikan Islam yang khas. Ekpresi Islam lokal
ini cenderung berkembang sehingga menimbulkan Islam yang beragam.

B. Saran
Setelah menerangkan dengan rinci, penulis berharap semoga
penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kemudian
penulis memberi saran kepada pembaca agar dapat memahami dan
mempelajari makalah ini dengan baik sehingga kita semua dapat
membumikan Islam di daerah kita masing masing sehingga tradisi dan
ajaran agama islam tetap berkembang di daerah kita masing masing.

21

Anda mungkin juga menyukai