Anda di halaman 1dari 18

Makalah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam

Rethinking Islam
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Quddus, MA.

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 13
Neli Pitria Anwari (200101107)
Shalahudin Adi Wicaksono (200101109)

JURUSAN PENDIDKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Perkembangan Pemikiran Dalam Islam di Universitas Islam Negeri Mataram.

Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada bapak
dosen kami Dr. Abdul Quddus, MA. yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa makalah kami masih banyak kekurangan baik dari
segi penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik
maupun saran dari semua pihak sangat kami harapkan, agar dapat menyempurnakan pembuatan
makalah ini.

Lombok Barat, 6 Desember 2021

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................i

Daftar Isi..............................................................................................................................ii

BAB I Pendahuluan.............................................................................................................iii

A. Latar Belakang.........................................................................................................iii

B. Rumusan Masalah....................................................................................................iii

C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................iv

BAB II Pembahasan............................................................................................................1

A. Biografi dan Pemikiran Fazlur Rahman..................................................................1

B. Biografi dan Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd......................................................3

C. Biografi dan Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri...............................................5

D. Biografi dan Pemikiran Muhammad Arkoun..........................................................8

E. Biografi dan Pemikiran Muhammad Syahrur..........................................................10

BAB III Penutup..................................................................................................................13

Kesimpulan..........................................................................................................................13

Daftar Pustaka......................................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan bathin. Terdapat berbagai
petunjuk di dalam al-Quran tentang bagaimana seharusnya manusia menyikapi kehidupan ini
secara lebih bermakna dalam arti yang luas.
Tema-tema pembicaraan al-Qur’an mengenai berbagai kehidupan manusiamerupakan
sesuatu yang sangat ideal dan luar biasa. Islam mengajarkan bagaimana menghargai akal melalui
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap hidup yang penuh keseimbangan
dalam memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual, mengajarkan kehidupan yang
dinamis dan progresif, kebebasan beragama, memiliki kepedulian sosial, menghargai waktu,
mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan, dan masih banyak lagi petunjuk al-Qur’an
mengenai sikap-sikap positif lainnya.
Pada prinsipnya antara isi/tema pembicaraan al-Qur’an yang satu dengan yang lain saling
mendukung/memperkuat dalam membangun sebuah bangunan alQur’an yang utuh dan
konprehensif. Gambaran mengenai Islam dengan seperangkat ajarannya yang ideal di atas
sebenarnya dalam lintas sejarah peradaban Islam telah di buktikan oleh para-para cendikiawan
dan tokoh-tokoh muslim waktu itu dan bahkan hasilnyapun telah dirasakan oleh semua umat di
dunia.
Kenyataan Islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari citra ideal. Ibadah yang
dilakukan umat Islam, seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya nampaknya berhenti pada
sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambang kesalehan, buah dari ibadah yang berdimensi
esoteris (rohani) yang berimplikasi terhadap prilaku keseharian baik sebagai individu maupun
social sudah nampak berkurang.
Situasi keberagaman umat Islam secara umum masih cenderung menampilkan kondisi
keberagaman yang legalistik formalistic. Agama hanya dimanifestasikan dalam bentuk ritual
formal sehingga muncul formalism keagamaan yang lebih mementingkan "bentuk" dari pada
'isi". Akibatnya agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang
bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan.

iii
Akibat dari kesalahpahaman memahami simbol-simbol keagamaan itu, maka agama lebih
dihayati sebagai penyelamat individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama.
Seolah-olah Tuhan tidak hadir dalam problematika sosial, kendati namanya sering disebut.
Pesan spiritual agama menjadi mandek atau terhenti, mengkristal dalam sekumpulan mitos dan
ungkapan simbolis tanpa makna. Agama tidak muncul dalam sebuah kesadaran kritis terhadap
situasi aktual. Sehingga muncul para tokoh pemikir pembaharu dalam Islam yang mampu
merubah pola piker umat Islam saat ini. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa tokoh pemikir
pembaharu dalam Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biogarfi dan Pemikiran dari Fazlur Rahman ?
2. Bagaimana biografi dan Pemikiran dari Nasr Hamid Abu Zayd ?
3. Bagaimana biografi dan Pemikiran dari Muhammad Abid al-Jabiri ?
4. Bagaimana biografi dan Pemikiran dari Muhammad Arkoun ?
5. Bagaimana biografi dan Pemikiran dari Muhammad Syahrur ?

D. Tujuan Penulisan
Mengetahui biografi dan pemikiran Islam dari tokoh-tokoh tersebut.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi dan pemikiran Fazlur Rahman


1. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman Malik dilahirkan pada 21 September 1919 M/1338 di distrik Hazara, Punjab,
suatu daerah di anak benua Indo-Pakistan yang sekarang terletak di sebelah barat laut Pakistan.1
Ia dibesarkan dalam suatu keluarga dengan tradisi keagamaan mazhab Hanafi yang cukup kuat.
Oleh karenanya, sebagaimana diakuinya sendiri bahwa ia telah terbiasa menjalankan ritual-ritual
agama, seperti shalat dan puasa secara teratur sejak masa kecilnya dan tidak pernah
meninggalkannya.2
Dasar pemahaman keagamaan keluarganya yang cukup kuat itu dapat ditelusuri dari ayahnya
yang bernama Maulana Shihab ad-Din, seorang ulama tradisional kenamaan lulusan Dar
al-‘Ulum, Deoband. Maulana Shihab ad-Din sendiri adalah seorang ulama modern, meskipun
terdidik dalam pola pemikiran Islam tradisional.3 Ayahnya ini memiliki keyakinan bahwa Islam
melihat modernitas sebagai tantangan-tantangan dan kesempatan-kesempatan yang harus
dihadapi. Keyakinan seperti ini pulalah yang kemudian dimiliki dan mewarnai kehidupan dan
pemikiran Fazlur Rahman.4
Bekal dasar tersebut di atas memiliki pengaruh signifikansi yang cukup berarti dalam
pembentukan kepribadian dan intelektualitas Fazlur Rahman pada masa-masa selanjutnya.
Melalui didikan ayahnya, Fazlur Rahman menjadi sosok yang cukup tekun untuk menimba
pengetahuan dari berbagai sumber dan media, termasuk karya-karya Barat. Pengajaran dan
pendidikan tradisional ilmu-ilmu keislaman pada waktu kecil beliau terima dari ayahnya
Maulana Shihab ad-Din di rumah. Pada usia 10 tahun, Rahman pun dapat menghafal Alquran.
Selanjutnya pada usia 14 tahun, ia sudah mulai belajar filsafat, bahasa Arab, teologi, hadits dan
tafsir. Apalagi setelah beliau menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa Persia, Urdu,

1
Taufik Adnan Amal (Peny.), Metode dan Altematif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993),
hlm. 13.
2
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago & London: university of Chicago Press; Scond Edition, 1979), hlm. 35.
3
Pengertian tradisional disini adalah kepenganutan seseorang terhadap salah satu mazhab fiqh yang empat:
Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Dalam hal ini corak keberagamaan ayah Fazlur Rahman mengikut faham
Hanafi.
4
Abd. A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: jejak Fazlur Rahman dalam wacana Islam Indonesia (Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 2003), hlm. 33.

1
Inggris, Perancis, Jerman, Latin dan Yunani, semakin memperteguh kualitas intelek-tualitasnya.5
Pengaruh ayah dan ibunya tersebut sangat kuat dalam membentuk kerangka pemikiran dan
pengamalan keagamaan Fazlur Rahman. Sang ayah yang dididik dalam pola pemikiran Islam
tradisional namun toleran terhadap nilai-nilai modernitas sebagai kenyataan sehari-hari. Dari
ibunya diajarkan nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, ketabahan dan cinta. Kedua orangtuanya ini
ikut memberikan bekal yang cukup signifikan dan mendasar terhadap pembentukan kepribadian
dan keintelektualan Fazlur Rahman pada masa selanjutnya.6
Hal lain yang mempengaruhi Fazlur Rahman adalah tradisi mazhab Hanafi yang dianut oleh
keluarganya dan ini yang membentuk pola pemikirannya dalam hal keagamaan. Tradisi mazhab
Hanafi dikenal sebagai salah satu mazhab Sunni yang mengedepankan akal-logika. Ini menjadi
modal landasan berpikir Fazlur Rahman untuk selalu berada di lajur pemikiran keagamaan yang
bercorak rasional. Meskipun demikian, beliau tidak mau dikungkung oleh satu mazhab tertentu.7
2. Pemikiran Fazlur Rahman
Pemikiran keagamaan Fazlur Rahman juga banyak dipengaruhi pola pemikiran kalangan
modernis dan sedikit tokoh-tokoh liberal Pakistan sebelumnya sebagaimana yang diajarkan oleh
Syah Waliyullah ad-Dihlawi (1703-1762 M), Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), Sayyid Amir
Ali (1849-1928 M), dan Muhammad Iqbal (1977-1938 M), pada masa ini umat Islam di India
sedang bergejolak dan berjuang membentuk negara sendiri yang bebas dari India, yaitu suatu
negara yang berlandaskan ajaran Islam. Sehingga Islam tercermin dari ungkapannya berikut:
“Bila bahan bakar minyak bumi lenyap dari dunia, mungkin ada gantinya. Tetapi bila Islam yang
lenyap, gantinya tidak akan ada lagi.”8 Hal ini menunjukkan komitmen dan keprihatinan Fazlur
Rahman terhadap kondisi pendidikan dan intelektual umat Islam pada masa itu.
Salah satu perhatian Fazlur Rahman dari pemikirannya yakni metode pemahaman Sunnah.
Masalah-masalah mendasar mengenai metodologi penafsiran terhadap kedua sumber pemikiran
Islam, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak lagi dibicarakan secara adil oleh kaum muslimin
bahkan oleh pembaharu pemikiran Islam. Hal inilah yang membuat Fazlur Rahman beranggapan
bahwa krisis dan problematika yang dialami kaum muslim tersebut hanya akan bisa

5
Nurcholish Madjid, “Fazlur Rahman dan Rekonstruksi Etika Al-Qur’an” dalam Islamika, No. 2, Oktober-Desember,
1993, hlm. 23-24.
6
Fazlur Rahman. “An Autobiograpchal Note,” dalam Journal of Islamic Reseach, Vol. 4, 1990, hlm. 27.
7
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago & London: university of Chicago Press; Scond Edition, 1979) hlm. 36.
8
Fazlur Rahman, Islam dan Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of
Chicago press, 1982), hlm. 117.

2
disembuhkan dengan suatu metodologi yang sistematis dan komprehensif dan metodologi inilah
yang nampaknya menjadi karakteristik utama yang membedakannya dari gerakan pembaharuan
Islam lainnya.
Dalam kajiannya tentang evolusi sunnah dan hadits, meskipun ia menemukan perbedaan
pemahaman terhadap sunnah pada generasi muslim awal dengan generasi berikutnya khususnya
setelah kuatnya gerakan hadits, tetapi pada akhirnya Rahman mengakui bahwa satu-satunnya
tradisi Nabi yang tertinggal dan sampai pada kita adalah hadits, di mana menurut Fazlur Rahman
banyak yang tidak historis dan sintetis.
Dari sini Rahman menawarkan alternatif berupa penafsiran situasional terhadap hadits-hadits
teknis tersebut melalui pendekatan historis dan kritis, karena kebutuhan umat Islam dewasa ini
adalah menuangkan kembali atau mencairkan kembali hadits-hadits yang ada ke dalam bentuk
sunnah yang hidup. Dalam konteks ini Rahman mengemukakan: tentu saja harus dikemukakan
secara tegas bahwa suatu reevaluasi terhadap aneka ragam unsur dalam hadits dan
reinterprestasinya yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosiomoral
dewasa ini mesti dilakukan. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui suatu studi historis terhadap
hadits dengan mereduksinya menjadi sunnah yang hidup dan dengan membedakan secara tegas
nilai-nilai nyata yang terkandung di dalamnya latar belakang situasionalnya. Walhasil penafsiran
situasional dengan metode pendekatan historis ini mengisyaratkan adanya langkah-langkah
strategis; pertama, memahami makna hadits tersebut kemudian memahami latar belakang
situasionalnya termasuk memahami asbâb al wurûdnya. Dari sini dapat difahami dan dibedakan
nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio legal) dari ketetapan legal spesifiknya.
Dan dengan demikian, bisa dirumuskan prinsip ideal-moral dari hadits tersebut. Kemudian
langkah selanjutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni dari prinsip ideal-moral yang
didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang
dimaksud dengan pereduksian hadits menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian penafsiran
situasional Rahman ini mengkombinasikan metoda pendekatan historis dengan metoda
pendekatan sosiologis.

B. Biografi dan Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd


1. Biografi Nasr Hamid Abu Zayd

3
Nasr Hamid Abu Zayd, memiliki nama lengkap Nasr Hamid Rizk Abu Zayd dilahirkan di
Desa Qahafah dekat Kota Thantha Mesir pada 10 Juli 1943. Dia hidup dalam sebuah keluarga
yang religiu. Ia belajar menulis dan menghafal al-Quran di Kuttab dimulai sejak umur empat
tahun. Dan pada usia delapan tahun, berhasil menghafal al-Quran, dan karena kepandaiannya itu
ia dijuluki sebagai “Syaikh Nasr”.
Pada 1954 Nasr Hamid Abu Zayd masuk dalam organisasi ikhwa al muslimin, dan sempat
dimasukkan ke dalam penjara. Setelah selesai pendidikan dasar di Thantha, serta lulus dari
sekolah teknik Thantha pada 1960, ia bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada organisasi
komunkasi nasional di Kairo sampai 1962. Pada 1964 tulisannya tentang kritik sastra
dipublikasikan dalam jurnal pimpinan Amin al Khuli.
Pendidikan tinggi Nasr Hamid Abu Zayd ini dari S1 sampai S3 selalu masuk jurusan sastra
Arab, diselesaikannya di Universitas Kairo, sekaligus tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak
1972. Karena kebijakan jurusan mengharuskan mengambil bidang utama dalam riset Master dan
Doktor, dia merubah kajiannya dari linguistik dan kritik sastra menjadi studi Islam, khususnya
al-Quran. Sejak itu ia melakukan studi tentang problem interpretasi dan hermeneutika.
Nasr Hamid Abu Zayd pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat
memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies,
University of Pennsylvania, Philadelphia. Karena itu ia menguasai bahasa Inggris lisan maupun
tulisan. Ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar
Bahasa Arab selama empat tahun (Maret 1985- Juli 1989). Saat di Belanda Abu Zayd justru
mendapat sambutan lebih hangat dan diperlakukan istimewa. Rijksuniversiteit Leiden langsung
merekrutnya sebagai dosen sejak kedatangannya (1995) sampai sekarang. Ia bahkan diberi
kesempatan dan kehormatan untuk menduduki the Cleveringa Chair in Law Responsibility,
Freedom of Religion and Conscience, kursi profesor prestisius di universitas itu. Tidak lama
kemudian, Institute of Advanced Studies (Wissenschaftskolleg) Berlin mengangkatnya sebagai
Bucerius/ZEIT Fellow untuk proyek Hermeneutika Yahudi dan Islam. Pihak Amerika tidak mau
ketinggalan.
Pada 8 Juni 2002, the Franklin and Eleanor Roosevelt Institute menganugrahkan "The
Freedom of Worship Medal" kepada Abu Zayd. Lembaga ini menyanjung Abu Zayd terutama
karena pikiran-pikiranya yang dinilai 'berani' dan 'bebas' (courageous independence of thought)

4
serta sikapnya yang apresiatif terhadap tradisi falsafah dan agama Kristen, modernisme dan
humanisme Eropa.
2. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Salah satu pemikiran dari Nasr Hamid Abu Zayd adalah tentang Teks Al-Qur’an. Pada awal
pembahasan tentang al-Qur’an sebagai sebuah “teks”, Abu Zayd menyatakan bahwa peradaban
Arab Islam merupakan sebuah “peradaban teks”.9 Artinya, dalam perkembangan dasar-dasar
ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas suatu landasan di mana “teks”
menjadi pusatnya. Meski demikian, bukan berarti “teks” yang membangun peradaban dengan
sendirinya, justru interaksi dialektika antara manusia dan “teks” dan segala realitas yang ada
berperan penting dalam membentuk ekonomi, sosial, budaya, dan politik dan seluruh aspek
kehidupan.10
Untuk mendapatkan pengertian yang bisa menjelaskan tentang teks, kemudian Abu Zayd
membedakan antara nass (teks) dan mushaf (buku). Menurutnya, nass (teks) berarti dalalah
(makna) dan memerlukan pemahaman, penjelasan, dan interpretasi. Sedang mushaf (buku)
tidaklah demikian, karena dia telah tertransformasikan menjadi sesuatu (syai’), baik itu berupa
karya estetik, ataupun alat untuk mendapatkan berkah Tuhan.11 Kemudian teks menurut Abu
Zayd terbagi menjadi dua, teks primer (al-nass al-asliy) dan teks sekunder (al-nass al-tsanawiy).
Teks primer adalah al-Qur’an dan teks sekunder adalah sunnah Nabi yang berperan sebagai
komentar tentang teks primer. Sedangkan teks-teks keagamaan yang dihasilkan dari ijtihad-
ijtihad para ulama, ahli fiqh, mufasir dianggap sebagai teks sekunder.12
Dengan istilah lain, al-Qur’an telah menjadi sebuah produk budaya (muntaj tsaqafi) yang
berada dalam genggaman manusia (textus receptus) seperti yang dia jelaskan di atas, serta
terbuka terhadap berbagai macam penafsiran yang ingin dicapai oleh siapa saja yang berminat
untuk menafsirkan al-Qur’an.13

C. Biografi dan Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri


1. Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri
9
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nass, (Kairo: Al-Hai’ah al-Misriyyah al- ’Ammah li al-Kutub, 1990), 11.
10
Ibid., 11
11
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nass, 15.
12
Nashr Hamid Abu Zaid, Al-Imam al-Syafi wa Ta’sisu al-Idiyulujiyyah alWasatiyyah, (Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi
al-’Arabi, 2007), 22.
13
Lalu Nurul Bayanil Huda, Kritik Studi a-lQur’an Nashr Hamid Abu Zaid, (Ponorogo: Centre for Islamic and
Occidental Studies, 2010), 31

5
Muhammad Abed al-Jabiri lahir di Figiug (Feji), bagian tenggara Maroko pada tahun
1936. Dia tumbuh dalam keluarga yang terpandang, ayahnya sebagai pendukung perjuangan
partai Istiqlal dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan di bawah penjajahan Prancis dan
Spanyol.
Pada masa kanak-kanak, Muhammad Abed al-Jabiri sudah mengenyam masa pendidikan yang
bernuansa agama (Madrasah ad-Diniyah) sebelum ia sekolah swasta yang nasionalis. Setelah
mengenyam sekolah tingkat dasar, al-Jabiri melanjutkan studinya ke jenjang menengah yakni
setingkat SMA di Casablanca. Barulah setelah Maroko merdeka, ia mendapatkan gelar diploma
tingkat Arab dalam bidang ilmu pengetahuan (science). Dalam rangka mengembangkan
keilmuannya, al-Jabiri memilih untuk masuk dalam bidang penerbitan.
Muhammad Abed al-Jabiri melanjutkan studinya pada Universitas Damaskub di Syiriā
dalam bidang filsafat. Akan tetapi, di sana ia tidak puas dan kembali lagi ke negerinya untuk
melanjutkan pendidikannya pada Fakultas Adab di Universitas Muhammad V Rabat Maroko
dalam bidang filsafat yang lagi mencapai puncak kejayaan dalam sektor kualitas pendidikan dan
keilmuannya. Akhirnya ia mencapai gelar doktoralnya dalam bidang filsafat pada tahun 1970
dan mulai mengajar dalam bidang filsafat di sana pula. Maka tidak heran, ketika al-Jabiri dijuluki
filsuf kontemporer di wilayah Barat, karena salah satu indikatornya adalah disertasi yang ia tulis
berbicara tentang pemikiran Ibnu Khaldūn di bawah bimbingan Najib Baladi.
Prototipe al-Jabari tidak hanya dipandang sebagai seorang pemikir (Mufakkir) dan
ilmuwan (Mustaqqaf) an Sich. Sebagai seorang mutsaqqaf ia banyak terjun dalam bidang
penerbitan, bidang evaluasi dan perencanaan (explaining and staffing) maju mundurnya sebuah
pendidikan. Banyak artikel yang ia terbitkan dan buku-buku yang berbicara tentang epistemologi
baik tentang matematika, rasionalitas dan perkembangan ilmu (Science) ilmiah.
Akan tetapi di lain sisi, sosok Muhammad Abed al-Jabiri juga mempunyai prototipe
sebagai seorang politisi ulung. Aktifitasnya pada kegiatan-kegiatan yang bernuansa politik dan
pengangkatan terhadap harkat manusia (humaniora) sangat tinggi. Gerakan partai Istiqlal yang
terwadahi dalam UNFP adalah suatu gerakan yang ia dirikan sebagai bentuk perlawanan
terhadap para penjajah, kaum imperium, kaum borjuis, dan para penguasa yang tidak memihak
kepentingan rakyat. Negara adalah pesta demokrasi, negara tidak hanya ajang komoditas
kepentingan kaum elit dan legitimasi kekuasaan (power) semata, negara adalah kadaulatan
rakyat, negara harus menyuarakan dan mementingkan aspirasi rakyat.

6
Muhammad Abed al-Jabiri sebagai seorang ilmuwan, agamawan, politisi, dan Intelektual
serta filosof banyak menuangkan dan meninggalkan karya-karyanya. Adapun karya-karyanya itu
sebagian besar ditulis sendiri baik ketika masih dalam proses belajar maupun ketika sudah
mengajar serta ketika ia terjun dalam penelitian-penelitian.
Dengan popularitasnya yang tinggi, dan namanya lagi naik daun, terus dikaji
(didiskusikan) dan multi interpretatif terutama dalam konteks transformasi pemikiran,
intellectual discourse dan sebagai paradigma berfikir (padigm of thought) yang dalam istilah al-
Jabiri dipolarisasikan menjadi tiga grand paradigma berfikir. Ketiga paradigma berfikir itu
adalah berfikir secara nalar bayani (tekstual), berfikir Gaya (style) Irfani (gnostis dan żauq) dan
berfikir dengan paradigma burhani (demonstratif-filosofis).
Adapun Karya-karyanya yang pernah beredar dan dituangkan dalam bentuk jurnal,
majalah, maupun buku-buku, diantaranya Durus fi al-Falsafah, Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah
wa Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyah fi at Tarih al-Islami (Pemikiran Ibn Khaldun,
Asabiyah dan negara: Rambu-Rambu Paradigma Pemikiran Ibn Khaldfn dalam Sejarah Islam,
Al-Khitdb al- ‘Arabi al-Mu’agir (Wacana Arab Kontemporer: Studi Kritik Analitik). Dan masih
banyak karyanya yang lain.
2. Pemikiran Muhammad Abid Al-Jabiri
Kritik nalar Arab merupakan proyek pemikiran yang digagas oleh Muhammad Abid Al-
Jabiri, seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko. Kritik nalar Arab merupakan studi kritis
yang dilakukan oleh Al-Jabiri terhadap pemikiran sebagai perangkat untuk menelurkan produk-
produk teoritis yang dibentuk oleh kebudayaan yang memuat sejarah peradaban Arab,
mencerminkan realitas, dan ambisi-ambisi masa depan. Titik tekan perhatiannya terletak pada
pemikiran sebagai perangkat berpikir, bukan pemikiran sebagai sebuah produk.14 Dengan
demikian wilayah kritik yang dikembangkan oleh Al-Jabiri merupakan wilayah epistemologi.
Al-Jabiri memulainya dengan meletakkan nalar arab dalam posisi yang setara dengan nalar
Yunani dan Eropa. Ada kesamaan karakteristik dalam nalar Arab, Yunani, dan Eropa. Ketiganya
dibangun oleh pemikiran teoritis – rasional dalam menjelaskan hubungan antara Tuhan, manusia,
dan alam. Perbedaannya terletak pada pemahaman tentang keberadaan Tuhan. Pada nalar
Yunani, konsep Tuhan dalam “akal universal” baru muncul setelah adanya alam.15 Sedangkan

14
Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana
Intereligius, hlm. 23.
15
Ibid., hlm. 38

7
dalam nalar Barat, tidak ditemukan konsep tentang Tuhan. “Akal universal” yang dipersepsikan
sebagai Tuhan dalam nalar Yunani, oleh nalar Barat diposisikan sebagai “hukum mutlak bagi
akal manusia”.16 Sementara dalam nalar Arab, alam memainkan peran sebagai petunjuk bagi
manusia untuk menyingkap Tuhan dan menjelaskan hakekatnya. Akal diharapkan merenungkan
alam agar sampai pada penciptanya, yaitu Allah Swt.17
Al-Jabiri kemudian mengusulkan penulisan ulang sejarah konstruksi opini nalar Arab.
Selama ini, sejarah yang dituliskan dan diajarkan di sekolah-sekolah hanyalah sejarah opini.
Sejarah opini adalah sejarah tentang pertentangan dan perpecahan. Ada kalanya pertentangan itu
bersifat akademis, namun sering kali bersifat politis. Catatan sejarah yang ada membiarkan
siatuasi ini dalam ketumpang tindihan. Karena itulah perlu disusun kembali sejarah keilmuan
Arab yang berorientasi pada nalar keilmuan.18
Al-Jabiri mengusulkan agar titik tolak sejarahnya adalah era kodifikasi. Dengan meletakkan
era kodifikasi sebagai titik tolak sejarah, Al-Jabiri kemudian membagi sejarah nalar Arab
menjadi masa sebelum kodifikasi, selama kodifikasi, dan setelah kodifikasi. Era kodifikasi
menjadi kerangka referensial bagi nalar arab.19 Segala hal yang diketahui sebelum era kodifikasi,
dibentuk dan dikonstriksi pada era kodifikasi, demikian juga dengan segala hal setelah era
kodifikasi, tidak bisa dipahami kecuali dengan mengaitkannya dengan era kodifikasi. Benang
merah yang merangkai gambaran sebelum, selama, dan setelah era kodifikasi inilah yang disebut
dengan nalar Arab. Benang merah itu membentuk gambaran dalam kesadaran Arab, dan
membentang hingga membentuk realitas kultural umum dalam kebudayaan Arab.20

D. Biografi dan Pemikiran Muhammad Arkoun


1. Biografi Muhammad Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabiliah, yang
merupakan suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Kondisi
demikian membuatnya menggunakan tiga bahasa, bahasa Kabiliah dalam kehidupan sehari-hari,
bahasa Prancis digunakan di dalam sekolah dan dalam urusan administratif, adapun bahasa Arab

16
Ibid., hlm. 40
17
Ibid., hlm. 53
18
Ibid., p. 85
19
Ibid., hlm. 115
20
Ibid., hlm. 102

8
digunakan ketika duduk di bangku sekolah menengah di Oran, kota utama di Aljazair bagian
barat.
2. Pemikiran Muhammad Arkoun
 Kritik Nalar Islam
Dalam melakukan “kritik nalar Islam” ini, Arkoun menggunakan metode kritik sejarah,
Arkoun melihat perlunya metode kritik untuk membaca sejarah pemikiran Arab-Islam. Dengan
historisme dimaksudkan untuk melihat seluruh fenomena sosial dan budaya melalui perspektif
historis, bahwa masa lampau harus dilihat menurut strata historikalnya. Studinya atas teks-teks
klasik adalah untuk mencari makna lain yang tersembunyi di balik teks-teks itu. Dengan kata
lain, untuk menuju rekontruksi (konteks), harus ada dekontruksi (teks), dalam teks-teks ini
Arkoun mengacu pada pandangan Francouis Furet.21 Arkoun menggunakan metode ini untuk
diterapkanya terhadap al-Qur’an, yaitu bagaimana memahami Al-Qur’an secara kritis dan
mendalam dari pelbagai segi.
 Bagaimana cara membaca al-Qur’an
Arkoun mengajak pembaca untuk membaca al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu metode
yang dapat diterapkan pada semua teks doktrinal, yaitu: a) mengangkat makna dari teks al-Qur'an
dan penafsiran teks untuk pengujian agar menghilangkan kerancuan, memperlihat kesalahan,
penyimpangan, ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu
berlaku. b) Menetapkan suatu kriteriologi22 yang di dalamnya akan dianalisis motif-motif yang
dapat dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk
mempertahankan konsepsi-konsepsi yang dipelajari.23
 Dialog Antaragama
Dalam pandangan Arkoun, dialog antaragama harus berangkat dari pengalamanpengalaman
empiris yang berpijak pada realitas sejarah. Arkoun menyarankan konsep “Islamologi Terapan”,
istlahnya untuk memahami, mencermati, dan menganalisis kontruksi keilmuan dan pemikian
Islam yang harus menggunakan berbagai metode ilmu-ilmu sosial.24 Dalam hal ini, Arkoun
memberikan empat hal untuk dialog antaragama:
21
Francois Furet, seorang sejarawan Prancis yang kerap membicarakan Revolusi Prancis dalam bukunya Penser la
revolution Francaise (Gallimard, 1978).
22
Kriteriologi (kriteriologi) adalah himpunan dari berbagai kriteria atau ukuran (critere); Arkoun mengatakan
misalnya, semua teks Arab dari abad pertengahan mematuhi kriteriologi yang ketat, yaitu himpunan keyakinan
yang membentuk berbagai pra-anggapan dari setiap tindak pemahaman pada periode tersebut
23
Mohammed Arkoun. Berbagai Pembacaan Qur’an (Jakarta: INIS),50
24
Johan Hendrik Meuleman. Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun (Yogyakarta: Lkis), 4.

9
1. Melakukan pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat
untuk menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial.
2. Melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis yang eksekutif menuju kritisisme
radikal tanpa konsepsi terhadap “akal religius” sebagaimana fungsinya dalam seluruh tradisi
agama-agama tersebut.
3. Kita harus melampaui pembagian antara akal religius dan akal pencerahan.
4. Perlunya studi agama secara historis-antropologis.
 Masyarakat Kitab
Tanggung jawab ilmuan sekarang adalah menemukan suatu cara untuk menghindar dari
ilusi yang sekian lama bertahan tanpa menciptakan ilusi baru. Dengan demikian Arkoun
menawarkan konsep masyarakat kitab untuk memikirkan ulang konsep lama mengenai Ahl
alKitab tanpa tergantung pada definisi polemis dan teologis.

E. Biografi dan Pemikiran Muhammad Syahrur


1. Biografi Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur Deyb lahir di Salihiyyah, salah satu distrik di kota Damaskus Syria
pada 11 Maret 1938. Syahrur terlahir dari pasangan Dib ibn Dib Shahrūr (1902 — 2002) dan
Siddiqah bint Salih Falyun dari sebuah keluarga menengah. Dari hasil pernikahannya dengan
istri tercintanya, Azizah, Syahrur dikaruniai lima orang anak dan masing-masing diberi nama
Thariq, Lays, Basil, Masun dan Rima. Sejak kecil, Syahrur menerima pendidikan dasar dan
menengah formal non keagamaan ketika ayahnya memilih tidak mengirimnya ke lembaga
pendidikan Islam tradisional (kuttab ataupun madrasah), melainkan menyekolahkannya di
lembaga pendidikan Abd al-Rahmān al-Kawākibī yang terletak di al-Midan, sebelah selatan kota
Damaskus sejak tahun 1945 hingga 1957. Selepas lulus dari pendidikan menengah, dalam usia
19 tahun, Syahrur meninggalkan Syria untuk melanjutkan studi sarjananya dalam bidang tehnik
sipil pada Moscow Institute of Engineering di Saratow Moskow dengan beasiswa dari
pemerintah sejak Maret 1959 hingga 1964. Berada di Moskow, minat Sahurpada filsafat Marx
dan Hegel mulai terbentuk ketika ia banyak berkesempatan menghadiri berbagai diskusi tentang
pemikiran keduanya.25
2. Pemikiran Muhammad Syahrur
25
Nur Mahmudah, “Al-Quran Sebagai Sumber Tafsir Dalam Pemikiran Muhammad Shahrur,”
Jurnal Hermeneutik 8 (2014), 262.

10
Pemikiran Syahrur berawal dari suatu kegelisahannya atas problematika sosial yang
berkembang di masyarakat, Syahrur melihat bahwa ayat-ayat suci Al-Quran yang di wahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW yang selama ini ditafsirkan oleh ulama terdahulu dalam konteks
penafsirannya masih sangat terbatas. Aktivitas dalam ilmu tafsir menekankan pada pemahaman
teks belaka, tanpa mau mendialogkannya dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu
dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, Ilmu tafsir tradisional tidak menempatkan teks
dalam dialetika konteks dan kontektualitasnya, inilah mengapa teks al-Quran sulit dipahami oleh
pembaca lintas generasi. Jika keterbatasan-keterbatasan ini dibiarkan terus menerus, selamanya
umat Islam tidak akan mampu menembus lautan makna yang terbentang di balik ayat-ayat al-
Quran.26
Namun demikian, ada pandangan yang tidak dapat dihindari bahwa tidaklah mungkin
seseorang itu memiliki pemahaman yang menyeluruh (kebenaran mutlak) terhadap makna ayat-
ayat Al-Quran, oleh karenanya maka menurut Syahrur perlu ada pembacaan ulang, sebab setiap
generasi memiliki kebebasan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sehingga setiap generasi
dapat menemukan pemahaman baru yang bisa jadi merupakan solusi atas berbagai persoalan
yang terjadi. Syahrur juga berpandangan bahwa Nabi Muhammad SAW sebenarnya adalah
mujtahid pertama yang juga telah berupaya memahami kandungan ayat-ayat Al-Quran.
Syahrur menawarkan segenap gagasan pemikiran dekonstruktif sekaligus rekonstruktif yang
unik. Keunikan ini tidak lepas dari background Syahrur yang merupakan seorang ahli ilmu alam
—khususnya matematika dan fisika, tidak seperti kebanyakan para pemikir Islam yang umumnya
memang berasal dari seting keagamaan.27 Meskipun tidak memiliki latar belakang keilmuan
keislaman yang kuat, namun ia berhasil menunjukkan pada semua kalangan tentang dasar Islam
yang terdapat dalam Al-Quran dan murni hasil dari proses kontemplasinya terhadap Al-Quran
sehingga dapat menghasilkan karya yang monumental yaitu al Kitab wa al Quran: Qiraah
Muashirah.

26
Mohammad Fateh, “HERMENEUTIKA SYAHRUR: (Metode Alternatif Interpretasi Teks-Teks Keagamaan),” Jurnal
Religia 13 (2010), 7
27
Fikria Najitama, “Jilbab Dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrûr,” Jurnal Musawa 13
(2014)

11
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari beberapa pemikiran para tokoh tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pemikiran yang
dilakukan oleh kelima tokoh tersebut, sangat berpengaruh pada dunia Islam modern saat ini.
Dimana mereka berhasil memikirkan hal-hal kecil yg belum sempat disampaikan oleh para
ulama terdahulu, sehingga umat Islam terbuka pandangannya dalam memahami Islam. Bahwa
Islam itu pemahamannya luas serta jangkauannya tidak terbatas, namun hal-hal yg kecil itulah
yang perlu juga di jadikan bahan pemikiran. Karena Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan setiap detail dan lini kehidupan manusia. Kemudian, pesan yang disampaikan
para tokoh tersebut yang terpenting adalah. Orang-orang muslim harus dinamis karena pasti
setiap zaman akan mengalami perubahan sehingga perlu menguasai berbagai disiplin ilmu untuk
memahami dan menyikapi persoalan yang ada.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abd. A’la. 2003. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: jejak Fazlur Rahman dalam wacana
Islam Indonesia. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina
Nashr Hamid Abu Zaid. 2007. Al-Imam al-Syafi wa Ta’sisu al-Idiyulujiyyah al-Wasatiyyah.
Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi
Lalu Nurul Bayanil Huda. 2010. Kritik Studi a-lQur’an Nashr Hamid Abu Zaid. Ponorogo:
Centre for Islamic and Occidental Studies
Nur Mahmudah. 2014. “Al-Quran Sebagai Sumber Tafsir Dalam Pemikiran Muhammad
Shahrur,” Jurnal Hermeneutik vol. 8
Mohammad Fateh. 2010. “HERMENEUTIKA SYAHRUR: (Metode Alternatif Interpretasi
Teks-Teks Keagamaan),” Jurnal Religia vol.13
Fikria Najitama. 2014. “Jilbab Dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad
Syahrûr,” Jurnal Musawa vol.13
Ajahari. 2016. Pemikiran Fazlur Rahman Dan Muhammad Arkoun. Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat. Volume. 12 No.2. IAIN Palangka Raya
Fauzan, Ahmad. 2015 Teks al-Qur’an dalam Pandangan Nashr Hamid Abu Zayd. Jurnal
Kalimah. Volume 13. No.1. Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor angkatan VIII
Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor
Mustakim, Bagus. 2019. PEMIKIRAN ISLAM MUHAMMAD ABED AL-JABIRI: Latar
Belakang, Konsep Epistemologi, Urgensitas dan Relevansinya Bagi Pembaruan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam. Journal of Research and Thought of Islamic Education. Vol. 2, No. 2.
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
Hidayat. Muhammad. 2018. Pemikiran Mohammed Arkoun,
https://www.researchgate.net/publication/329883989 (diakses tgl 7 Desember 2021)
Ulfiyati, Nur Shofa. 2018. PEMIKIRAN MUHAMMAD SYAHRUR (Pembacaan Syahrur
Terhadap Teks-Teks Keagamaan). Jurnal Et-Tijarie. Volume 5 no. 1. STAI Al- Yasini, Pasuruan

13

Anda mungkin juga menyukai