Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

TOKOH, LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN


KALAM SALAFIYAH DAN KHALAFIYAH

MATA KULIAH ILMU KALAM


Dosen Pengampu : Bpk. Syukron Makmun, S.Pd.I

DISUSUN OLEH :
M.SIMBAR RAMADHANDI
FATHIA ASHEILA SALMA
SUTI WAHYUDI
FADHILATUROMADONI JIDAN
ANNISA SEPTIANI
AZZAHRA NUR SELVIA

INSTITUT AGAMA ISLAM NASIONAL IAIN LAA ROIBA


Jl.Raya Pemda No.41,Sukahati,Kecamatan Cibinong,Kabupaten
Bogor,Jawa Barat

I
2022

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................3
A. Latar Belakang....................................................................................3
B. Rumusan Masalah...............................................................................3
C. Tujuan Penelitian................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................5
A. Salafiyah.............................................................................................5
1. Pengertian.......................................................................................5
2. Pemikiran Teori Imam Ahmad Bin Hambal...................................7
B. Khalafiyah...........................................................................................9
1. Pengertian.......................................................................................9
2. Riwayat singkat Abu Al-Hasan Al-Asy’ari....................................9
3. Doktrin doktrin Teologi Al-Asy’ari..............................................10
4. Doktrin-doktrin Al-Maturidi.........................................................13
BAB III PENUTUP.....................................................................................18
A. Simpulan...........................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................20

II
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita curahkan kehadirat Allah SWT atas segala
rahmat-Nya dan karunia-Nya yang telah di berikan sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi
kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 05 Oktober 2022

Tim Penyusun

III
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ilmu kalam dalam agama mempunyai kedudukan yang sama dengan logika
dalam filsafat. Dalam mengkaji agama (Al-Qur’an), baik ayat-ayat yang
muhkam maupun yang mutasyabihat sebagai otoritas teks yang bersumber
dari Tuhan, diperlukan sebuah metode untuk menangkap pesan-pesan Nya.
Ulama-ulama klasik menggunakan ilmu kalam pada akhirnya menjadi
sebuah keniscayaan untuk dipelajari.

Ilmu kalam secara etimologi berarti perkataan, ucapan, firman atau sabda.
Adapun secara terminologi ilmu kalam yaitu ilmu tentang perkataan
mengenai akidah (keagamaan) Islam dengan menggunakan metode jadal
(dialektika) dan dipergunakan untuk mempertahankan akidah Islam dari
serangan non-Muslim yang dianggap sesat.

B. RUMUSAN MASALAH

Sejalan dengan latar belakang diatas,maka penulis merumuskan rumusan


masalah sebagai berikut:

a) Apa yang dimaksud Salafiyah dan Khalafiyah?


b) Apakah yang melatar belakangi munculnya Salafiyah dan
Khalafiyah?
c) Pemikiran-pemikiran apa yang dibawa oleh tokoh-tokoh Salafiyah
dan Khalafiyah?

IV
C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara


konprehensip mengenai aliran teologi aliran Salafiyah dan
Khalafiyah,bagaimana aliran ini muncul dan apa saja pemikiran yang
dibawa oleh tokoh aliran Salafiyah dan Khalafiyah,sehingga makalah ini
bisa dijadikan rujukan ilmiah khusnya bagi penulis umumnya bagi pembaca.

V
BAB II
PEMBAHASAN

A. SALAFIYAH

1. Pengertian

Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi


"terdahulu", Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, Salaf artinya ulama
terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat,
tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuka abad ke-3 H., dan para pengikutnya
pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan lainnya. Salaf
berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama Islam.

Sedangkan menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang


dikemukakan oleh para pakar mengenai arti salaf, diantaranya adalah:

Menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan


ta’wil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasabbihat) dan tidak mempunyai
faham tasybih (antropomorphisme).

Mahmud Al-Bisybisyi menyatakan bahwa salaf sebagai sahabat, tabi’in,


dan tabi’ tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya menampik penafsiran
yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk mensucikan dan mengagungkan-Nya.

Pada zaman modern, kata Salaf memiliki dua definisi yang kadang-
kadang berbeda. Yang pertama, digunakan oleh akademisi dan
sejarahwan, merujuk pada "aliran pemikiran yang muncul pada paruh
kedua abad sembilan belas sebagai reaksi atas penyebaran ide-ide dari
Eropa," dan "orang-orang yang mencoba memurnikan kembali ajaran

VI
yang telah di bawa Rasulullah serta menjauhi berbagai ke bid'ah an,
khurafat, syirik dalam agama Islam”.

Berbeda dengan aliran mu’tazilah yang cenderung menggunakan metode


pemikiran rasional, aliran salaf menggunakan metode tekstual yang
mengharuskan tunduk dibawah naql dan membatasi wewenang akal
pikiran dalam berbagai macam persoalan agama termasuk didalamnya
akal manusia tidak memiliki hak dan kemampuan untuk menakwilkan
dan menafsirkan al-Qur’an. Kalaupun akal diharuskan memiliki
wewenang, hal ini tidak lain adalah hanya untuk membenarkan,
menela’ah dan menjelaskan sehingga tidak terjadi ketidak cocokan antara
riwayat yang ada dengan akal sehat.

Namun dalam penerapannya di kalangan para tokoh aliran ini sendiri,


metode ini tidak selalu membuahkan hasil yang sama. Hal ini disebabkan
mereka tidak luput dari pengaruh situasi kultural dan struktural pada
masanya. Misalnya, di kalangan aliran salaf ada golongan yang disebut al-
Hasyawiyah, yang cenderung kepada anthropomorfisme dalam
memformulasikan sifat-sifat Tuhan, seperti mereka berpandangan bahwa
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang bersifat mutasyabbihat harus difahami
menurut pengertian harfiyahnya. Akibatnya ada kesan bahwa Tuhan
memiliki sifat-sifat seperti bertangan, bermuka, datang, turun, dan
sebaginya.

Aliran salaf mempunyai beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh


Ibrahim Madzkur sebagai berikut:

a. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli).


b. Dalam persoalan pokok-pokok agama dan persoalan cabang-cabang
agama hanya bertolak dari penjelasan al-Kitab dan as-sunnah.

VII
c. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (Dzat Allah)
dan tidak mempunyai faham anthropomorphisme (menyerupakan
Allah dengan makhluk).
d. Mengartikan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya dan
tidak berupaya untuk mentakwilnya.

Apabila melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di


atas, tokoh-tokoh berikut ini dapat dikatagorikan sebagai ulama salaf,
yaitu Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin Umar (74 H), Umar bin
Abdul Al-Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ja’farAhs-Shadiq (148 H),
dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi,i, dan
Ahmad bin Hanbal).[10] Menurut Harun Nasution, secara kronologis
salafiyah bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal. Lalu ajarannya
dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh Imam
Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia Islam
secara sporadis.

Bila Salafiyah muncul pada abad ke-7 H, hal ini bukan berarti tercampuri
masalah baru. Sebab pada hakikatnya mazhab Salafiyah ini merupakan
kelanjutan dari perjuangan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal. Atau
dengan redaksi lain, mazhab Hanbalilah yang menanamkan batu pertama
bagi pondasi gerakan Salafiyah ini. Atas dasar inilah Ibnu Taimiyah
mengingkari setiap pendapat para filosof Islam dengan segala
metodenya. Pada akhir pengingkarannya Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa tidak ada jalan lain untuk mengetahui aqidah dan berbagai
permasalahannya hukum baik secara global ataupun rinci, kecuali dengan
Al-Qur’an dan Sunnah kemudian mengikutinya. Apa saja yang
diungkapkan dan diterangkan Al-Qur’an dan Sunnah harus diterima,
tidak boleh ditolak. Mengingkari hal ini berarti telah keluar dari agama.

VIII
2. Pemikiran Teori Imam Ahmad Bin Hambal

a. Tentang Ayat-ayat Mutasyabihat.

Dalam memahami ayat Al-Quran Ibnu Hanbal lebih suka


menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil.
Dengan demikian ayat Al-Quran yang mutasyabihat diartikan
sebagaimana adanya, hanya saja penjelasan tentang tata cara (kaifiat)
dari ayat tersebut diserahkan kepada Allah SWT. Ketika beliau
ditanya tentang penafsiran surat Thaha ayat 5 berikut ini :

‫الَّرْح َم ُن َع َلى اْلَع ْر ِش اْسَتَو ى‬

Artinya: yaitu yang Maha Pengasih Yang Bersemayam di atas Arsy


(Q.S. Thaha:5).

Dalam hal ini, Ibnu Hanbal menjawab

‫ِإْسَتَو ى َع َلى اْلَع ْر ِش َكْيَف َش آَء َو َك َم ا َش آَء ِبَال َح ٍّد َو َالِص َفٍة ُيْبِلُغ َها َو اِص ٌف‬

Artinya: Istiwa di atas Arasy terserah kepada Allah dan bagaimana


saja Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang
sanggup menyifatinya.

Dan dalam menanggapi Hadits nuzul (Tuhan turun ke langit dunia),


ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di akhirat), dan hadits
tentang telapak kaki Tuhan, Ibnu Hanbal berkata: “Kita mengimani
dan membenarkannya, tanpa mencari penjelasan cara dan maknanya”.

IX
Dari pernyataan di atas tampak bahwa Ibnu Hanbal bersikap
menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat
kepada Allah dan Rasul-Nya serta tetap mensucikan-Nya dari
keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan
pengertian lahirnya.

B. KHALAFIYAH

1. Pengertian

Kata Khalaf bisanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir
setelah abad 3H, dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan
apa yang dimiliki salaf. Menurut Siradjuddin Abbas, Ahlussunnah ialah
penganut sunnah Nabi Muhammad saw. Sedangkan Wal jama’ah ialah
penganut I’tiqad sebagai I’tiqad jama’ah sahabat-sahabat Nabi
Muhammad saw.

Dari beberapa definisi diatas, maka ungkapan Ahlussunnah atau


yang sering disebut Sunni ini dapat dibedakan menjadi dua pengertian,
yaitu umzsum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan
dari kelompok syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah
lawan dari kelompok mu’tazilah. Pengertian Sunni secara khusus inilah
yang akan kami pakai dalam pembahasan selanjutnya,yang mana nama
Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyyah dan
Maturidiyyah.

2. Riwayat singkat Abu Al-Hasan Al-Asy’ari

X
Nama lengkapnya adalah Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin
Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin
Abi Musa Al-Asy’ari atau yang sering disebut dengan Syekh Abu
Hasan ‘Ali al-asy’ari. Beliau dilahirkan di Bashrah Irak pada tahun 260
H/875 M, dan wafat ketika hijrah di Baghdad pada tahun 324 H/935 M.
Pada waktu kecilnya, ia berguru pada seorang tokoh mu’tazilah terkenal
yang bernama Al-Jubbai. Aliran ini terus diikutinya sampai ia berumur
40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang
buku ke-mu’tazilahan.

Menurut suatu riwayat, ketika ia berumur 40 tahun, ia mengasingkan


dirinya dirumahnya selama 15 hari. Setelah itu ia pergi ke masjid besar
Bashrah dan melontarkan kata-kata sebagai berikut: ”Saya tidak lagi
mengikuti paham aliran mu’tazilah dan saya harus menunjukkan
keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya.” Boleh jadi, ia
telah lama mengadakan peninjauan terhadap paham mu’tazilah, dan
tempo 15 hari tersebut merupakan puncaknya, sebab sebelumnya ia
banyak mengadakan perdebatan-perdebatan dengan gurunya tentang
dasar-dasar paham aliran mu’tazilah.

Suatu unsur utama bagi kemajuan aliran Asy’ariyyah ialah karena


aliran ini mempunyai tokoh-tokoh kenamaan. Tokoh-tokoh tersebut
antara lain; al-Baqillani, ibnu Faurak, ibnu ishak al-isfaraini, Abdul
kahir al-Baghdadi, imam al-haramain al-juwaini, abdul mudzaffar al-
isfaraini, Al-Ghazali, ibnu Tumart, as-Syihritsani, ar-Razi, Al-Iji, al-
Sanusi.

3. Doktrin doktrin Teologi Al-Asy’ari

Doktrin-doktrin Al-Asy’ari yang terpenting adalah :

a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

XI
Al-Asy’ari menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat
(bertentangan dengan mu’tazilah) yang tidak identik dengan zat-
Nya. Sifat Tuhan berbeda dengan sifat makhluk. Ia juga menyatakan
bahwa orang yang meyakini keberadaan sifat-sifat Tuhan itu bukan
termasuk musyrik, karena sekalipun dengan sebutan yang berbeda,
akan tetapi sifat tersebut menyatu dengan zat, sebagaimana yang
telah diungkapkan oleh Al-Asy’ari:

‫َفَيْثُبُت هذه الِّص َفاُت َقاِئَم ًة ِبالَذ اِت اَل ِهَي ُهَو َو اَل ِهَي َغْيُر ُه‬

“Sifat itu tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat, dan bukan
pula lain dari zat”.

b. Kebebasan Dalam Berkehendak.

Menurut Asy’ariyah, kehendak Allah itu maha meliputi. Allah


juga maha berkuasa, maka Dia berhak untuk tidak menjalankan
janji-janji maupun ancamannya. Perbuatan manusia diciptakan oleh
Allah, dan manusia hanya memperoleh perbuatan tersebut.

c. Kriteria Baik dan Buruk

Al-Asy’ari mengatakatan bahwa baik dan buruk harus


berdasarkan pada keterangan syari’ah atau petunjuk wahyu,
sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal.

d. Qodimnya Al-Qur’an

Al-Asy’ari mengataka bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas


kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi
Allah dan tidak qadim.

e. Melihat Allah

Al-Asy’ari mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi


tidak dapat digambarkan atau dilihat dengan cara dan arah tertentu.

XII
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau bilamana Ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

f. Keadilan

Pada dasarnya, Al-Asy’ari sependapat dengan mu’tazilah bahwa


Allah itu adil. Mereka berbeda pendapat dalam memaknai keadilan.
Menurut mu’tazilah, Allah harus seimbang dalam memberikan
pahala amal perbuatan manusia. Sedangkan menurut al-Asy’ari,
Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa
Mutlak.

g. Kedudukan Orang Berdosa

Al-Asy’ari mengatakan bahwa Mukmin yang berbuat dosa besar


adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena
dosa selain kufur. Oleh karena itu, mukmin yang fasik itu berada
pada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Dia akan
mengampuni dan memasukkannya kedalam surga. Dan jika
berkehendak lagi, maka Allah akan menyiksa kefasikannya
kemudian memasukkannya ke surga.

h. Riwayat Singkat Al-Maturidi

Nama lengkapnya adalah Abu Mansur Muhammad ibn


Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi dilahirkan di Samarkand
(daerah Uzbekistan, sovyet) pada pertengahan abad ketiga hijrah. Ia
wafat pada tahun 333 H/944 M. dan wafat tahun 333 H. tidak banyak
diketahui riwayat hidupnya.

Ia mencari ilmu pada pertiga akhir dari abad ketiga hijrah, dimana
aliran mu’tazilah mulai mengalami kemunduran. Diantara gurunya
adalah Nashr bin yahya al-Balakhi (wafat 268H). Pada masa al-

XIII
Maturidi, terjadi perdebatan antara aliran fiqh hanafiyah dan fiqh
syafi’iyyah. Dan dalam masalah fiqh, maturidi mengikuti madzhab
hanafi.

Ia adalah pengikut abu hanifah, faham-faham teologinya banyak


persamaan dengan faham-faham Abu Hanifah. Sistim pemikiran
teologi yang ditimbulkan Abu Manshur termasuk dalam golongan
Ahlussunnah wal Jama’ah dan dikenal dengan nama al-
Maturidiyyah.

Kebanyakan ulama’ maturidiyyah terdiri dari orang pengikut aliran


fiqh hanafiyyah, seperti; Fachruddin al-Bazdawi, at-Taftazani, an-
Nasafi, Ibnul Hummam, dan lain-lain.

4. Doktrin-doktrin Al-Maturidi

Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi adalah sebagai berikut:

a. Akal dan wahyu

Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada


Al-Qur'an dan akal dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui
Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kalau akal tidak mempunyai
kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak
akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak
mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan
mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban. Namun akal
menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-
kewajiban lainnya.

Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa


penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti

XIV
ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi
demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan pembimbing.

Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam,


yaitu:

1) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.


2) Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu.
3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali
dengan petunjukajaran wahyu.

Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu
buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada
pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.

b. Perbuatan manusia.

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan


Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya.
Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai
perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan
manusia. Dengan demikian tidak ada peretentangan antara Qudrat
Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada
pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam diri
manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia
sendiri dalam arti yang sebenarnya.

c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala


sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan
Allah Swt.

XV
Menurut Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang
(absolut), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai
dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.

d. Sifat Tuhan.

Dalam hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati


faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-
Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah
menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Tuhan mempunyai sifat-sifat,
seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada
bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat
wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat,
sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada
bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).

Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung


mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan
terhadap adanya sifat Tuhan.

e. Melihat Tuhan.

Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat


Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur'an, antara lain firman
Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23. namun melihat
Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena
keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f. Kalam Tuhan.

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun


dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang

XVI
sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi
Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah
baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya
bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak di ketahui,
kecuali dengan suatu perantara.

g. Perbuatan manusia.

Menurut Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam


wujud ini, kecuali semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada
yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan kecuali karena ada
hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri.
Oleh karena itu, tuhan tidak wajib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah
(yang baik dan terbaik bagi manusia). setiap perbuatan tuhan yang
bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan
kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di
kehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :

1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada


manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai
dengan keadilan, dan manusioa juga di beri kemerdekaan oleh
tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2) Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan
tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.

h. Pelaku dosa besar.

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar


tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati
sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan sudah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan

XVII
perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang
yang berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain
syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka.
Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah
menjadikan seseorang kafir atau murtad.

i. Pengutusan Rasul.

Pandangan Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan


mutazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-
tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat
baik dan terbaik dalam kehidupannya.

Pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa


mengikuti ajarannya wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia
telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya
kepada akalnya.

XVIII
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Salafiyah

Salaf bukanlah suatu “harakah”, bukan pula manhaj hizbi (fanatisme


golongan), dan bukan pula manhaj yang mengajarkan taklid, kekerasan.
Tetapi manhaj Salaf adalah ajaran Islam sesungguhnya yang dibawa
oleh Nabi SAW dan difahami serta dijalankan oleh para salafush-
shalih-radhiyalahu ‘anhum, yang ditokohi oleh para sahabat, kemudian
oleh para Tabi’in dan selanjutnya Tabi’i Tabi’in.

Imam Hanbali adalah salah seorang tokoh ulama salaf yang mempunyai
ciri khas dalam pemikirannya yaitu lebih menerapkan pendekatan
Lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, kemudian beliau
menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadits mutasyabihat
kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian ulama salaf lainnya adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Taimiyah


merupakan tokoh salaf yang ekstrim karena kurang memberikan ruang
gerak leluasa pada akal. Ia adalah murid yang muttaqi, wara, zuhud,
serta seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani. Ibnu
Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat- ayat mutasyabihat.
Menurutnya, ayat atau Hadist yang menyangkut sifat-sifat Allah harus
diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan cacatan tidak men-
tajsim-kan, tidak menyerupakanNya dengan makhluk, dan tidak
bertanya-tanya tentangNya.

XIX
2. Khalafiyah.

Ahlussunnah (Sunni) dapat dibedakan menjadi 2 pengertian, yaitu


umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan dari
kelompok syi’ah. Adapun Sunni dalam pengertian khusus adalah lawan
dari kelompok mu’tazilah.

Ajaran Ahlusunnah meliputi:

a. Bahwa sesungguhnya mereka tidak meniadakan sifat-sifat Allah


yang telah disifatkan oleh-Nya, dan tidak mengajukan pertanyaan
“bagaimana itu” dan tidak menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-
sifat makhluk-Nya.

b. Bahwa mereka beri’tikad (berkeyakinan) bahwa Allah SWT tidak


ada yang melebihi, tidak dapat disaingi dan tidak bisa diukur dengan
makhluk-Nya.

c. Dan Alus sunnah mereka tidak menyimpang dari apa yang dibawa
para Rasul dari hadirat Tuhan seru sekalian alam.

d. Pendapat dalam penetapan sifat terhadap Allah SWT, bagi Ahlus


sunnah, seperti pendapat mereka tentang dzat Allah yang berbeda dari
makhluk-Nya.

e. Sifat-sifat Allah dalam al-Quran banyak sekali, begitu pula dalam


sunnah rasul Saw, kesempurnaan-Nya tidak terbatas dan hakikat-Nya
tidak bisa dicapai oleh akal manusia.

XX
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak, Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Balukia Syakir. Ahlus Sunnah wal Jamaah. Bandung: Sinar Baru. 1992.
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UIP. 1986.
http://duniacemoro.wordpress.com/2012/03/19/ilmu-kalam/

XXI
22

Anda mungkin juga menyukai