Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

ILMU KALAM
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4
2.1 Bagaimana Ilmu Kalam Di Awal Sejarah Pemikiran Islam..........................................4
2.2 Bagaimana Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam......................................................6
2.3 Bagaimana Sebab-Sebab Penamaan Ilmu Kalam..........................................................9
2.4 Bagaimana Pengertian Ilmu Kalam.............................................................................11
2.5 Bagaimana Sejarah Ilmu Kalam..................................................................................12
2.6 Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik.....................................................................12
2.7 Perkembangan Ilmu Kalam Modern............................................................................13
BAB III PENUTUP......................................................................................................................15
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................15
3.2 Saran............................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu kalam dalam agama mempunyai kedudukan yang sama dengan logika dalam
filsafat. Dalam mengkaji agama (al-Qur’an), baik ayat-ayat yang muhkam maupun yang
mutasyabihat sebagai otoritas teks yang bersumber dari Tuhan, diperlukan sebuah metode
untuk menangkap pesan-pesan-Nya. Ulama-ulama klasik menggunakan ilmu kalam
sebagai metode untuk memantapkan hati dan membela kepercayaan-kepercayaan agama
dengan menghilangkan berbagai macam keraguan. Ilmu kalam pada akhirnya menjadi
sebuah keniscayaan untuk dipelajari. Filsafat dan logika digunakan oleh sebagian ulama-
ulama Islam klasik sebagai senjata untuk menangkis serangan-serangan lawannya, yaitu
orang-orang Atheis, Yahudi, Masehi dan Majusi, yang terus menggelitik kepercayaan-
kepercayaan orang Islam dengan menggunakan senjata yang sama. Senjata itulah yang
kemudian menjadi dasar pertama dalam mengkaji ilmu kalam (Abdullah, 2021)

Keyakinan yang benar tidak bisa tumbuh kecuali dari pengetahuan yang benar dan
pengetahuan yang benar tidak akan bisa lahir kecuali dari cara berpikir yang benar,
sementara cara berpikir yang benar hanya bisa terjadi dari metode berpikir yang benar.
Artinya, metodologi adalah sesuatu yang sangat penting. Barangsiapa yang tidak menguasi
metodologi, berarti ia tidak akan mendapatkan sesuatu secara benar dan tidak akan bisa
mengembangkan apa yang dimiliki. Ilmu kalam secara etimologi berarti perkataan, ucapan,
firman atau sabda. Adapun secara terminologi ilmu kalam yaitu ilmu tentang perkataan
mengenai akidah (keagamaan) Islam dengan menggunakan metode jadal (dialektika) dan
dipergunakan untuk mempertahankan akidah Islam dari serangan non-Mslim yang
dianggap sesat.

Banyak pendapat-pendapat yang timbul pada saat pemikiran kalam klasik dan
pendapat inilah sebagai pijak dasar pikiran-pikiran teologi klasik, seperti khawarij,
murjiah, jabariyah, qadariyah, dan aliran ini berkembang dengan berbagai bentuknya tetapi

1
masih memperdebatkan prinsip-prinsip dasar dalam Islam seperti Asy‟ariyah, Mu‟tazilah,
Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyah Bazdawi, aliran-aliran pemikiran klasik
memiliki kecenderungan ada yang lebih cenderung berpikir kepada sandaran wahyu dan
ada yang lebih cenderung menyandarkan pemikirannya tersebut menyandarkan kepada
akal. Hal ini kemudian berkembang dari waktu ke waktu dan senantiasa mengalami
pergeseran (Abdullah, 2016)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan lengkapnya permasalahan pada latar belakang masalah di atas, yang


menjadi rumusan masalah dalam makalah yang penulis susun adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Ilmu Kalam di Awal Sejarah Pemikiran Islam?
2.   Bagaimana Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam?
3. Bagaimana sebab-sebab penamaan ilmu kalam?
4. Bagaimana pengertian ilmu kalam?
5. Bagaimana sejarah ilmu kalam?
6. Bagaimana perkembangan pemikiran kalam klasik?
7. Bagaimana perkembangan pemikiran kalam modern?

1.3 Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalaah diatas yang menjadi tujuan masalah dari makalah
yang penulis susun adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana ilmu kalam di awal sejarah
pemikiran islam
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana sejarah lahir dan definisi
ilmu kalam
3. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana sebab-sebab penamaan ilmu
kalam
4. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana pengertian ilmu kalam
5. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana sejarah ilmu kalam

2
6. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Bagaimana perkembangan pemikiran
kalam klasik
7. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Bagaimana perkembangan pemikiran
kalam modern

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bagaimana Ilmu Kalam Di Awal Sejarah Pemikiran Islam

Pada awal-awal sejarah pemikiran Islam, ilmu kalam, tidak seperti ilmu fikih,
kurang mendapat perhatian bahkan tidak disetujui di kalangan muslimin. Sikap umat
tersebut tidak lepas dari pengaruh pola pembinaan keimanan di masa-masa awal Islam
itu sendiri, yaitu masa Rasulullah dan para sahabatnya. Pada masa Rasulullah SAW,
penamaan, pembinaan, dan cara penerimaan keimanan cukup melalui hati, al-tashdiq
bi al-qalb. Sementara itu, suatu keimanan sudah di pandang cukup dengan mengimani
apa yang harus diimani secara global, tanpa membicarakannya lebih jauh dan
mempertanyakannya secara detail dan mendalam. Para sahabat tidak pernah
mempertanyakan lebih jauh masalah-masalah keimanan. Mereka telah puas
mengimani melalui pembenaran hati terhadap apa yang di sampaikan oleh
Rasulullah, tanpa mempersoalkan dan mempertimbangkannya melalui analisis aka. Di
masa Rasulullah, tidak seorang sahabat pun mempertanyakannya, misalnya,
bagaimana cara Allah ber-istiwa di ‘arasy, seperti yang di kemukakan di dalam QS.
Thaha (20):5. (Djazimah, 2016)
Sekiranya ada yang dipertanyakan hal tersebut, demikian Ahmad Mahmud Shubhi,
niscaya ia akan menerima jawaban seperti yang diberikan oleh Imam Malik, bahwa
“istiwa” itu telah jelas, bagaimananya tidak dapat diketahui, mempertanyakannya
adalah bid’ah dan mengimaninya adalah wajib. Kenyataan Rasulullah tidak pernah
membicarakan masalah keimanan secara perinci, melainkan menganjurkan umat cukup
mengimaninya tanpa banyak bertanya, menyebabkan para sahabat dan tabi’in tidak
berkenan bahkan melarang membicarakan masalah masalah keimanan secara kalami,
dalam arti memperbincangkannya secara detail berdasarkan argumen dan analisis
rasional. Bagaimana Imam Malik misalnya, salah satu tokoh tabi’in, menyampaikan
fatwa kepada para muridnya seraya berkata : “mereka adalah yang
memeperbincangkan perihal nama, sifat, kalam, ilmu dan kekuasaan Allah; mereka
membicarakan apa yang sengaja tidak dibicarakan oleh para sahabat dan tabi’in. sikap

4
senada diperlihatkan oleh Imam Abu Hanifah dalam ungkapannya : “Allah melaknat
Umar Ibn ‘Ubaid, tokoh Mu’tazilah sezaman washil, karena ia telah membuka jalan
bagi umat untuk membicarakan masalah-masalah yang tidak berguna dibicarakan.
Demikian, kalam sama sekali tidak mendapat tempat di masa-masa awal islam.
Pada zaman Rasulullah, sahabat, dan generasi tabi’in mengimani materi pokok akidah
dan keimanan secara kalami yang berdasarkan analisis mendalam dan argument
rasional. Para sahabat dan tabi’in mengimani materi pokok akidah yang disampaikan
oleh Rasulullah secara global dan sepenuh hati, tanpa mempertanyakan secara detail
dan perinci, apalagi mempermasalahkan dan memperdebatkannya. Sebagaimana yang
terjadi di dalam sejarah setiap agama, penamaan dan pembinaan keimanan pada masa
awal islam memang sudah dirasa cukup dengan mengimani materi akidah secara
global dan meyakininyaq melalui hati. Seseorang misalnya, cukup mengimani sepenuh
hati akan keberadaan Allah Yang Maha Esa, dan tanpa mempertanyakan bagaimana
konsep keesaan tersebut seharusnya dipahami dan dijelaskan (Hidayat & Firdaus,
2018)
Umat pada masa awal-awal Islam belum merasakan arti penting dan perlunya
mengetahui lebih jauh dan memperbincangkan masalah-masalah yang bersifat teoritis,
seperti yang dibicarakan di dalam ilmu kalam. Masalah-masalah yang dirasakan sangat
perlu diketahui adalah yang dibicarakan dalam ilmu fikih. Dengan kata lain,
membicarakan dan mempersoalkan masalah-masalah teoritis ketika itu dirasa tidak ada
manfaatnya bagi umat, karena yang diperlukan di dalam keberagamaan sehari-hari
mereka adalah masalah yang bersifat amaliah. Dengan demikian, tidak adanya
kepedulian membicarakan masalah-masalah kalam secara teoritis rasional pada
periode-periode awal ini, sangat mungkin bukan karena hal itu terlarang melainkan
karena belum diperlukan. Keberadaan ilmu kalam ketika itu belum diperlukan.
Keberadaan ilmu kalam ketika itu belum dirasa perlu, karena masalah bahasannya
tidak atau kurang menyentuh kebutuhan keberagamaan keseharian umat, yang ketika
itu lebih mengutamakan tindak ketaatan yang bersifat ibadah amaliah.
Membuka peluang pembahasaan kalam di kalangan Muslim tidak menguntungkan
secara sosiologis. Masyarakat Muslimin pada periode awal ini sangat membutuhkan
persaudaraan dan persatuan, dan ini bisa terancam apabila Muslimin sudah tenggelam

5
dalam saling pendapat dan berdebat hujat, yang berpotensi menimbulkan pertentangan
dan perpecahan. Tidak menguntungkan bagi islam dan umatnya, yang pada tahap awal
perkembangannya, sudah harus menghadapi suasana perdebatan dan silang pendapat
yang dapat menjurus kepada perpecahan; laksana tunas yang baru ditanam lalu dilanda
banjir hujan deras.
Dengan demikian, tidak adanya perhatian, bahkan adanya perhatian, bahkan
adanya larangan terhadap pembicaraan tentang masalah akidah secara kalami di masa
Rasulullah dan para khulafa al-rasyidin tidak harus dipahami sebagai larangan  mutlak
terhadap ilmu kalam dan atau dijadikan alasan untuk menolak keberadaan ilmu
tersebut. Kenyataan yang demikian rasanya lebih tepat dipahami secara kontekstual
dari sudut pandang metode pembinaan umat yang ditempuh oleh Rasulullah dan para
sahabat. Pada masa awal Islam ini, yang diperlukan adalah terwujudnya umat yang
satu dan bersatu di bawah kualitas pemahaman dan intensitas rasional terhadap
masalah-masalah keagamaan, lebih-lebih masalah akidah yang sangat abstrak, yang
dibuka sejak dini jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan agama islam yang
baru lahir. Perbincangan rasional terhadap persoalan keagamaan otomatis
menimbulkan perbedaan, dan perbedaan dan perpecahan umat jelas merupakan sebuah
petaka. Pendek kata, baik secara agamais, maupun politis, keberadaan ilmu kalam di
awal sejarah islam memang belum diperlukan. Bahkan keberadaannya ketika itu dapat
merugikan islam dan umatnya (Jamaluddin et al, 2020)
Namun adalah hal yang sangat wajar apabila pada perkembangan berikutnya, umat
islam segera pindah dari tahap penerimaan akidah melalui hati kepada tahap
penerimaan akidah melalui pemikiran dan analisis rasional. Kondisi tersebut
dikarenakan kecenderungan mempertanyakan dan menganalisis suatu masalah,
termasuk masalah keimanan, adalah suatu hal yang sangat alami pada manusia.
Dengan kata lain, setiap orang pada dasarnya memiliki kecenderungan dan kesiapan
melakukan penalaran rasional dan berfikir filosofis.

2.2 Bagaimana Sejarah Lahir dan Definisi Ilmu Kalam

Ketika dunia islam berada pada era Dinasti Bani Abbas, suasana perkembangan
pemikiran umat mulai memperlihatkan kecenderungan baru. Pada penghujung abad

6
pertama atau awal abad kedua Hijriah, muncul diskusi sistematis dan silang pendapat
di sekitar persoalan kalam, seperti masalah iman dan kufur, pelaku dosa besar, dan
masalah qadha qadr. Diskusi ini masih diikuti oleh para sahabat generasi akhir. Diskusi
ini pula yang pada gilirannya melahirkan ilmu kalam yang memusatkan materi
bahasan pada aspek akidah dengan metode sendiri, metode nasional (Pakatuwo, 2020)
Dan sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pada masa awal kelahirannya
sebagai ilmu yang berdiri sendiri, ilmu kalam memang belum dapat diterima oleh
seluruh umat islam. Mayoritas umat masih mencurigai bahkan memandang ilmu yang
baru lahir ini sebagai bid’ah. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam
mengalami perkembangan dan kemajuan yang lebih pesat dan mulai mendapat
sambutan yang lebih pesat dan mulai mendapat sambutan lebih baik dari mayoritas
umat dengan lahirnya system kalam mazhab Ahl al –Sunnah wa al-Jama’ah, yang
dipelopori oleh tokoh Ismail Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Kedua tokoh ini, terutama al-Asy’ari sangat berjasa dalam memperkukuh posisi ilmu
kalam di mata umat. Dengan lahirnya mazhab ahl al-Sunnah wa al-Jamaah, ilmu kalam
seakan sudah menjadi barang halal dan diterima oleh seluruh umat islam.
Menurut Sari (2019) lmu kalam, seperti ilmu keislaman lainnya, juga mempunyai
dasarnya sendiri dari sumber Al-Qur’an, baik menyangkut aspek metode maupun
materi. Secara metodologis, berpikir rasional sama sekali bukan hal terlarang. Al-
Qur’an menganjurkan Muslimin menggunakan daya pikir atau nalar dan sebaliknya,
mencela orang-orang yang tidak mau melakukan aktivitas berpikir. Di dalam Al-
Qur’an cukup banyak ayat yang dikemukakan dalam bentuk pertanyaan dan
mengisyaratkan pentingnya aktivitas pemikiran dan penalaran, seperti firman Allah ‫افال‬
‫ افال تنظرون‬,‫ افال تتفكرون‬،‫ تعقلون‬di samping ayat-ayat lain seperti yang terdapat di dalam
QS. Ali Imran: 190-191.
Begitu pula bila dilihat dari aspek materinya, tema atau materi bahasan ilmu kalam
sama sekali tidak bergeser dari materi pokok akidah islamiah yang digariskan dan
dititik beratkan oleh Al-Qur’an yaitu masalah Allah dan tauhid. Masalah ini pula yang
menjadi tema pokok dalam kajian ilmu kalam. Tujuan para mutaklim atau teolog
Muslim tidak lain adalah untuk memperkenalkan, menamkan, dan membela kebenaran
akidah tauhid. Karena itu, ditinjau dari segi metode maupun materinya, keberadaan

7
ilmu kalam bukan yang terlarang dalam islam. Bahkan ilmu kalam mutlak diperlukan
demi terbangunnya keimanan yang kukuh di atas bukti dan argument yang kuat. Tanpa
ilmu kalam dengan metode rasionalnya, kaum muslim akan sulit membela dan
memperkenalkan kebenaran akidah islamiah di hadapan orang-orang terutama kaum
non-muslim yang terbiasa berpikir rasional.
Ilmu kalam tetap diperlukan sebagai hal yang sentral di dalam Islam. Arti penting
ilmu ini bukan dan jangan dilihat dari sejarah awal keberadaannya yang lebih dominan
berperan membela akidah islamiah di hadapan orang-orang yang menentang atau
mengingkarinya (Ulum, 2016). Ilmu kalam utamanya lebih dimaksudkan untuk
menanamkan akidah yang kuat di kalangan intern umat. Lagi pula persoalan akidah
yang menjadi pokok bahasan ilmu kalam bukan untuk satu atau beberapa generasi
semata, melainkan untuk semua generasi dari zaman ke zaman.
Para mutakalim zaman sekarang memang tidak seharusnya mengulang dan
memperdebatkan masalah-masalah kalam yang dimunculkan oleh para mutakalim
zaman klasik. Yang paling penting adalah harus mampu menjawab dan menjelaskan
persoalan-persoalan kekinian umat dalam perspektif akidah. Oleh sebab itu, materi
kalam harus dikembangkan dari yang bermuatan teosentris semata kepada persoalan-
persoalan yang menyentuh kehidupan umat manusia. Demikian ilmu kalam telah lahir
di dunia Islam dengan materi, metode, dan karakternya sendiri, yang membedakannya
dengan disiplin keislaman lainnya. Para ahli pun telah mencoba mengidentifikasi ilmu
ini dengan mengemukakan beberapa definisi konkret, antara lain sebangai berikut:
secara Bahasa kata kalam (Bahasa Arab) berarti “susunan kata” yang mempunyai arti
tertentu. Kata kalam ini kemudian digunakan bukan dalam arti asal kebahasaannya,
melainkan dalam arti menunjuk kepada salah satu sifat Allah, yaitu sifat kalam yang
pernah menjadi tema perdebatan hangat di Kalangan mutakalim. Perdebatan tersebut
yang kemudian melahirkan ilmu yang diberi nama ilmu kalam, yang membahas ajaran
bidang akidah, seperti tentang zat Allah dan sifat-sifat-Nya, membicarakan hal-hal
mumkinat yang berhubungan dengan mabda’ dan ma’ad, berdasarkan ajaran Islam.
Terdapat dua karakteristik utama bagi ilmu kalam. Pertama, materi pembahasan
ilmu ini terpusat pada masalah akidah, seperti masalah ketuhanan, kenabian, dan
masalah pokok keimanan lainnya. Kedua, ilmu kalam dalam pembahasannya,

8
menggunakan argumen rasional dan bukti-bukti yang kuat. Penggunaan argumen
rasional dan bukti-bukti kuat ini merupakan suatu keharusan bagi ilmu kalam, karena
tujuan ilmu ini tidak hanya sekedar memperkukuh dan mempertebal keyakinan,
melainkan sekaligus untuk membela akidah islam dengan mengemukakan argument
dan sanggahan terhadap orang-orang yang menyimpang. Al-Farabi, misalnya,
mengemukakan bahwa al-kalam adalah disiplin yang dengannya seseorang dapat
membela pendapat dan tindakan tertentu, sepanjang diperbolehkan oleh Allah, serta
mampu menangkis setiap pertanyaan yang menentang. Imam al-Ghazali juga
mengemukakan pernyataan senada, bahwa ketika ilmu kalam lahir dan berbagai
diskusi semakin meluas, para mutakalim semakin bersemangat membela al-Sunnah
dengan membahas hakikat berbagai masalah serta melibatkan diri dalam pembahasan
lebih jauh tentang jauhar dan ‘ard (Zaini, 2015)

2.3 Bagaimana Sebab-Sebab Penamaan Ilmu Kalam

1. Sebab Penamaan Ilmu Kalam Dinamakan Ilmu Kalam


Ilmu Kalam dinamakan dengan Ilmu Kalam, yaitu dikarenakan dua alasan yaitu sebagai
berikut:
a) Dalam membahas masalah-masalah ketuhanan tidak lepas dari pada dalil-dalil akal
yang sesuai dengan logika, dimana penampilannya melalui perkataan (Kalam) yang
jitu dan tepat. Ahli-ahli ilmu kalam adalah orang-orang yang ahli dalam berbicara,
ahli dalam mengemukakan argumentasi dalam persoalan yang dibahasnya.
b) Persoalan yang terpenting dan ramai dibicarakan serta diperbincangkan pada masa-
masa pertama Islam, terutama diawal pertumbuhan ilmu Kalam ialah Firman Allah
(kalam Allah), yaitu Al Qur’an. Apakah kalam Allah itu Qadim atau Hadist.
2. Sebab Penamaan Ilmu Kalam Dinamakan Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, soal-soal yang wajib,
Mustahil, dan Jaiz bagi Allah dan Rasul-Nya, serta mengupas dalil-dalil yang mungkin
sesuai dengan akal, guna membuktikan adanya zat yang mewujudkan, kemudian juga
mengupas dalil-dalil Sam’iyat guna mempercayai sesuatu dengan yakin. oleh karena itu
ilmu kalam dinamai pula dengan ilmu Tauhid sebab ilmu ini membahas keesaan Allah.
Baik dhatnya sifatnya serta Afalnya.

9
3. Sebab Penamaan Ilmu Kalam Dinamakan Ilmu Ushuluddin
Ushuluddin adalah serangkaian kata yang terdiri dari ushul dan ad-din. Ushul adalah
jama’ dari ashl yang berarti pokok, dasar, fundamen sedangkan ad-din artinya adalah
agama. Jadi perkataan Ushuluddin menurut loghatnya berarti pokok atau dasar-dasar
agama. “Ilmu Ushuluddin adalah ilmu yang membahas padanya tentang prinsip-prinsip
kepercayaan agama dengan dalil-dalil qath’I dan dalil-dalil akal fikiran”. Alasan dinamai
dengan ilmu Ushuluddin yaitu karena ilmu ini membahas tentang prinsip-prinsip agama
Islam.
4. Sebab Penamaan Ilmu Kalam Dinamakan Ilmu Aqoid
Aqaid artinya simpulan – buhul, yakni kepercayaan yang tersimpul dalam hati. Aqaid
adalah jama’ dari aqidah. M.Hasby as Sidiqi menjelaskan dalam bukunya tentang maudhu’
tauhid, dia mengatakan bahwa maudhu’tauhid adalah pokok pembicaraan ilmu tauhid yaitu
aqidah yang diterangkan dalil-dalilnya. Syekh Thahir Al Jazairy menerangkan: “Aqidah
Islam ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang Islam, artinya mereka menetapkan atas
kebenarannya”. Jadi, ini dinamakan dengan ilmu Aqaid disebabkan ilmu ini berbicara
tentang kepercayaan Islam.
5. Sebab Penamaan Ilmu Kalam Dinamakan Ilmu Ma’rifah
Ilmu kalam disebut dengan ilmu Ma’rifah karena ilmu ini membahas terhadap hal-hal
yang berkenaan dengan sifat-sifat-Nya yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi-Nya.sedangkan
Ma’rifah artinya adalah pengenalan atau mengenal.
6. Sebab Penamaan Ilmu Kalam Dinamakan Ilmu Teologi Islam
Penulis-penulis barat banyak menggunakan sebutan theology Islam, tentang ilmu
Kalam, baik dari segi loghat maupun istilah. Theology terdiri dari dua kata yaitu “theos”
yang berarti Tuhan dan “logos” yang berarti ilmu. Oleh karena itu theology bermakna ilmu
tentang tuhan atau ilmu tentang ketuhanan. Teologi Islam merupakan istilah dari ilmu
kalam, yang diambil dari bahasa Inggris, theority William Reese mendefinisikannya
dengan discourse or reason concerning God (diskusi atau pemikiran tentang Tuhan).
Dengan mengutip kata-kata William Reese lebih jauh mengatakan, “Theology to be a
discipline resting truth and independent of both philosophy and science”. (Teologi

10
merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independent filsafat
dan ilmu pengetahuan). Sementara itu, Gove menyatakan bahwa teologi adalah penjelasan
tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.
7. Sebab Penamaan Ilmu Kalam Dinamakan Ilmu Fiqhul Akbar
Abu Hanifah menyebut ilmu ini dengan Fiqhul Akbar. Menurut persepsi beliau, hukum
Islam yang dikenal dengan istilah Fiqh terbagi atas dua bagian, pertama Fiqh al-Akbar,
membahas keyakinan atau pokok-pokok agama atau ilmu Tauhid. Kedua, Fiqh Al-Asghar,
membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama,
tetapi hanya cabang saja. Oleh karena itu abu hanifah cs menamakan ilmu kalam dengan
nama Fiqh Al-Akbar. Yang artinya membahas dan mengkaji keyakinan atau pokok-pokok
agama atau ilmu Tauhid.

2.4 Bagaimana Pengertian Ilmu Kalam

Menurut Mustapha et al, (2019) ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama,
antara lain:ilmu ushuluddin, ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu
ushuluddin karena karena ilmu ini membahas pokok-pokok agama. Disebut ilmu tauhid
karena ilmu ini membahas ke-Esaan Allah SWT. Teologi Islam merupakan istilah lain dari
ilmu kalam, yang diambil dari Bahasa Inggris, theology. William L. Reese
mendefisinikannya dengan discourse or reason concerning Good (diskursus atau pemikiran
tentang Tuhan).
Sementara itu Musthafa Abdul Raziq berkomentar, “ilmu ini (ilmu kalam) yang
berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas argumentasi-argumentasi
rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah Islami ini bertolak atas bantuan nalar”.
Sementara itu Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut: “ilmu kalam adalah
disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin,
mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang
berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara
filosofis” Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut: “ilmu kalam adalah
disiplin ilmu yang mengandung berbagai aargumentasi tentang akidah imani yang
diperkuat dalil-dalil rasional” (Nafiuddin, 2018) Adapun ilmu ini dinamakan ilmu Kalam,
disebabkan:

11
a) Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan
hijriah ialah apakah Kalam Allah (Al-qur’an) itu qadim atau hadits.
b) Dasar ilmu Kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil fikiran ini tampak jelas
dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang mempergunakan dalil naqli (Al-
Qur’an dan hadits), kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih
dahulu berdasarkan dalil-dalil fikiran.
Dinamakan Ilmu Kalam karena pembicaraan tentang Tuhan dibahas dengan logika.
Maksudnya menggunakan dalil-dalil aqliyah ; dari permasalahan masalah sifat-sifat kalam
bagi Allah.

2.5 Bagaimana Sejarah Ilmu Kalam

Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik
yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin affan yang berbuntut pada penolakan
Muawwiyah atas kekhalifahan Ali bin abi Thalib. Ketegangan tersebut mengkristal
menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali
menerima tipu muslihat Amr bin Al ash, utusan dari pihak Muawwiyah dalam tahkim.
Kelompok yang awalnya berada dengan Ali menolak keputusan tahkim tersebut mereka
menganggap Ali telah berbuat salah atas keputusan tersebut sehingga mereka
meninggalkan barisannya, kelompok ini dikenal dengan nama khawarij, yaitu orang yang
keluar dan memisahkan diri (Zuhri & Ula, 2015)
Diluar pasukan yang membelot Ali, adapula yang sebagian besar tetap mendukung Ali.
Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syiah. Harun lebih jauh melihat
bahwa persoalan kalam yang pertama muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa
yang bukan kafir. Sementara itu menurut Dr. M. Yunan yusuf masalah ilmu kalam ini
timbul berawal dari masalah politik yaitu ketika Utsman bin Affan wafat terbunuh dalam
suatu pemberontakan. Sebagai gantinya Ali dicalonkan sebagai khalifah namun pencalonan
Ali ini banyak mendapat pertentangan dari para pemuka sahabat di Mekkah. Tantangan
kedua datang dari Muawwiyah, gubernur Damaskus salah seorang keluarga dekat Utsman
bin Affan. Ia pun tidak mau pengangkatan Ali sebagai khalifah. Muawwiyah menuntut
untuk menghukum para pembunuh Utsman bin Affan.

12
2.6 Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik

Ilmu kalam klasik adalah teologi islam yang pokok pembahasannya lebih
cenderung kepada pembahasan tentang ketuhanan. Pembahasan pokok teologis yang
terdapat dalam ilmu kalam klasik telah jauh menyimpang dari misinya yang paling
awal dan mendasar, yaitu liberasi dan emansipasi umat manusia..Padahal semangat
awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi islam (tauhid) sebagaimana
tercermin di masa Nabi SAW sangatlah liberatif, progresif, emansipatif, dan revolutif.
4 Ilmu kalam menjadi suatu rangkaian kesatuan sejarah, dan telah ada di masa lampau,
masa sekarang dan akan tetap ada di masa yang akan datang. Beberapa aliran yang
akan diuraikan adalah Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Mu‟tazilah, Ahlussunnah
Waljamaah, Syiah.5Banyak pendapat-pendapat yang timbul pada saat pemikiran kalam
klasik dan pendapat inilah sebagai pijak dasar pikiran-pikiran teologi klasik, seperti
khawarij, murjiah, jabariyah, qadariyah, dan aliran ini berkembang dengan berbagai
bentuknya tetapi masih memperdebatkan prinsipprinsip dasar dalam Islam seperti
Asy‟ariyah, Mu‟tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyah Bazdawi, aliran-
aliran pemikiran klasik memiliki kecenderungan ada yang lebih cenderung berpikir
kepada sandaran wahyu dan ada yang lebih cenderung menyandarkan pemikirannya
tersebut menyandarkan kepada akal. Hal ini kemudian berkembang dari waktu ke
waktu dan senantiasa mengalami pergeseran (Sahin, 2020)

2.7 Perkembangan Ilmu Kalam Modern

Secara teologis Islam merupakan sistem nilai yang bersifat ilahiyah, tetapi dari
sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam
kehidupan manusia.ia tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan sosial lain, yaitu
perubahan apalagi, di lihat dari pandanganajaran islam sendiri, perubahan adalah
sunnatullahyang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara
keseluruhan.Pandangan umat islam terhadap modernitas barat dapat dipologikan
menjadi 3 kelompok, yaitu modrnis (ashraniyyun hadatsiyun), tradisionalis atau salafi
(salafiyyun) dan kaum elektis (tadzabdzub).Yang pertama menganjurkan adopsi
modernitas berat sebagai model yang tepat bagi masa kini. Artinya sebagai model
secara historis memaksakan dirinya sebagai paradigma peradaban modern untuk masa

13
kini dan amasa depa. Sikap kaum salafi sebaliknya berupaya mengembalikan kejayaan
islam masa lalu sebelum terjadinya penyimpangan dan kemunduran. Sedangkan yang
terakhir (kaum elektif) berupaya menghadapi unsur-unsur yang terbaik, baik yang
terdapat dalam model barat modern maupun dalam islam masa lalu , serta menyatukan
diantara keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi kedua model tersebut.Era
modern secara umum dimulai ketika masyarakat Eropa menyadari tentang pentingnya
kembali berfikir filsafat. Para pemikir Eropa kembali bergelut dalam dunia ide yang
dikembangkan dalam tataran praktis menjadi gerakan penciptaan alat-ala yang mampu
memudahkan segala urusan manusia. Mereka menyebutnya dengan „moda‟ atau
„modern‟. Era ini terjadi pada awal-awal abad ke-16, yang dikenal dengan istilah
‘renaissance’.
Sementara dalam islam, bermula dari kesadaran umat Islam untuk bangkit dari
ketepurukan pasca keruntuhan Bani Abbasiyah. Periode modern ini terjadi sejak tahun
1800-an hingga sekarang. Pada periode ini, muncul banak tokoh yang menyerukan ide-
ide sekaligus gerakan pembaharuan yang bermuatan visi peradaban islam. Mereka
inimerupakan para pendakwah rasional.Berbicara tentang corak pemikiran kalam
modern, tentu saja akan sangat bervariasi, sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakanya. Pada masyarakat yang maju, barangkali pemikiran kalamnya
cenderung ke arah rasional, yang mengharuskan segala sesuatu dapat bersifat logis dan
empiris. Pada masyarakat berkembang, kemungkinan besar berada pada garis
tengahnya. Sementara pada masyarakat tertinggal, pemikiran kalam akan cenderung
mengarah pada konsep jabariyah yang pasrah pada segala sesuatu yang saat itu ada di
hadapannya.
Hal ini dapat dilihat dari corak pemikiran kalam para tokoh muslim di abad
modern, seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, Ismail Raji Al-Faruqi,
Hasan Hanafi dan lain sebagainya. Masing-masing menunjukkan corak yang berbeda
dalam memahami teks-teks agama, yang kemudian melahirkan paham kalamnya
sendiri.Salah satu tokoh kunci yang namanya tak pernah luput dari perhatian adalah
Muhammad Abduh, yang diperkenalkan oleh muridnya yang terkenal, yaitu Rasyid
Ridha. Tokoh yang satu itu, juga banyak disorot terkait dengan pemikiran kalamnya.
Ajaran Islam, yang kristalnya berupa Al-qur‟an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat

14
Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh kurun zaman.
Modernitas yang telah menjadi arus utama peradaban dunia di abad 19 dan seterusnya
telah menawarkan berbagai jani-janji kebahagiaan. Namun dalam praktikya
modernitas justru banyak menimbulkan persoalan baru. Peradaban modern justru
banyak melakukan dehumanisasi kehidupan manusia itu sendiri. Dengan citacita
kemajuan, peradaban modern banyak melakukan kerusakan dan bencana yang
menyengsarakan orang banyak. Manusia hanya dipandang sebagai entitas fisik yang
tak berdimensi spritual, maka peradaban modern justru menjadikan makhluk yang
teralienasi, dilanda klebingunagan dan kemapanan makna.akibat modernisasi yang
lepas dari dimensi spiritual, maka seperti yang dikatakan oleh Doni Gahral Adian,
manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia kehilangan kontrol atas hidupnya di
mana ia terdeterminasi oleh hukum-hukum biorkasi, mekanisme pasar, hukum besi
sejarah dan lain sebagainya.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah suatu
ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil aqliyah (rasional ilmiah) dan
sebagai tameng terhadap segala tantangan dari para penentang dan sejarah dalam
pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah perpecahan prinsip teologi umat islam
yang masih ketika itu dipicu persoalan politik dan kedangkalan ukhuwah dalam prilaku
perebutan singgasana kekuasaan dan ilmu kalam tidak lepas dari ilmu tauhid , ilmu tauhid
adalah salah satu cabang ilmu study keislaman yang lebih memfokuskan pada pembahasan
wujud allah dengan segala sifat nya serta tentang para rasul nya , sifat – sifat dan segala
perbuatannya dengan berbagai pendekatan.

Pembahasan di atas terlihat merupakan dasar-dasar dari pembahasan ilmu kalam itu
sendiri dan bagaimana peranannya atau korelasinya dengan kurikulum pendidikan agama
Islam. Dengan begitu diharapkan kita mampu meenguasai dasar pembahasan tentang ilmu
kalam dan korelasinya dengan kurikulum pendidikan Islam. Adapun tujuan utama dari ilmu
kalam adalah untuk menjelaskan landasan keimanan umat Islam dalam tatanan yang
filosofis dan logis. Bagi orang yang beriman, bukti mengenai eksistensi dan segala hal yang
menyangkut dengan Tuhan yang ada dalam al-Qur’an, Hadits, ucapan sahabat yang
mendengar langsung perkataan Nabi dan lain sebagainya, sudah cukup. Namun tatkala
masalah ini dihadapkan pada dunia yang lebih luas dan terbuka, maka dalil-dalil naqli
tersebut tidak begitu berperan. Sebab, tidak semua orang meyakini kebenaran al-Qur’an
dan beriman kepadanya.

3.2 Saran

16
Makalah ini menjelaskan tentang Ilmu Kalam. Untuk itu penulis menyarankan
kepada pembaca agar kiranya mengetahui silsilah Ilmu Kalam dan mampu
mempertahankanya, khususnya pembaca tentang Ilmu Kalam

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. R. (2021). Teologi Islam: Memahami Ilmu Kalam Dari Era Klasik Hingga
Kontemporer. Cv Literasi Nusantara Abadi.
Abdullah, M. A. (2016). Kontribusi Ilmu Kalam/Filsafat Islam dalam Pembangunan Karakter
Bangsa. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, 13(2), 97-117.
Djazimah, N. (2016). PENDEKATAN SOSIO-HISTORIS: Alternatif dalam Memahami
Perkembangan Ilmu Kalam. Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, 11(1), 43-60.
Hidayat, T., & Firdaus, E. (2018). Analisis Atas Terbentuknya Mazhab Fikih, Ilmu Kalam, dan
Tasawuf Serta Implikasinya dalam Membangun Ukhuwah Islamiyah. Al-Ishlah: Jurnal
Pendidikan, 10(2), 255-277.
Jamaluddin, N., Nurjamilah, M., & Mapahir, F. D. (2020). Wawasan Ilmu Kalam Terhadap
Sikap Keberagamaan Dalam Masyarakat. MADINATUL QUR'AN, 1(1), 99-115.
Mustapha, A. M., Hilmi, A. M. M., Ibhraim, M. R., & Isa, H. M. (2019). Resensi Penghujahan
ʻ aqli dalam Ilmu Kalam:: Kajian Terhadap Kitab Faridah al-Faraid fi ‘ Ilm al-‘
Aqaid. ALBASIRAH JOURNAL, 9(2), 53-65.
Nafiuddin, N. (2018). ISU-ISU ILMU KALAM M. RASYIDI. Waratsah: Jurnal Ilmu-ilmu
Keislaman dan Sosiolinguistik, 4(2), 43-64.
Pakatuwo, L. M. (2020). Sejarah dan latarbelakang Lahirnya Ilmu Kalam. Al-Ubudiyah: Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam, 1(2), 23-29.
Sahin, C. (2020). Integrasi Ilmu Kalam dan Tasawuf Menurut Said Nursi Dalam Tafsir Risâlah
(Analisis Konsep Teospiritual dalam Al-Quran) (Doctoral dissertation, Institut PTIQ
Jakarta).
Sari, K. P. (2019). Perkembangan Pemikiran Kalam Klasik dan Modern. Jurnal Ad-Dirasah:
Jurnal Hasil Pembelajaran Ilmu-ilmu Keislaman, 1.
Ulum, B. (2016). Dinamika Ilmu Kalam Sunni. EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan
Islam, 6(2), 22-33.
Zaini, A. (2015). Mengurai Sejarah Timbulnya Pemikiran Ilmu Kalam Dalam Islam. ESOTRIK:
Jurnal Akhlak Dan Tasawuf, 1(1), 167-187.
Zuhri, A., & Ula, M. (2015). Ilmu Kalam dalam Sorotan Filsafat Ilmu. RELIGIA, 162-186.

17
18

Anda mungkin juga menyukai