Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH FILSAFAT KOMUNIKASI

KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................3
2.1 Sejarah Suku Batak................................................................................................................3
2.2 Tinjauan Penyebaran Suku Batak..........................................................................................5
2.3 Sifat Suku Batak.....................................................................................................................7
2.4 Mata Pencaharian Suku Batak...............................................................................................8
2.5 Penyebaran Agama Suku Batak.............................................................................................9
2.6 Tempat Tinggal Suku Batak................................................................................................10
2.7 Kebudayaan dan Adat Istiadat Suku Batak Toba.................................................................11
2.8 Tradisi Suku Batak...............................................................................................................14
2.9 Peribahasa Suku Batak…………………………………………………………………. 15
2.10 Pakaian Suku Batak...........................................................................................................17
2.11 Dongeng Suku Batak.........................................................................................................18
BAB III PENUTUP......................................................................................................................20
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................20
3.2 Saran.....................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan
berkeluarga, orang batak selalu peduli. Dibalik setiap sifat yang keras dan suara yang
lantang, sebenarnya suku batak adalah suku yang memiliki segala keunikan.
Suku Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang
dapat menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang dapat berbeda-beda.
Adat budaya Batak ini memiliki tujuh nilai inti yaitu kekerabatan, agama, hagabeon,
hamoraan, uhum dan ugari, pangayoman, dan marsisarian. Nilai kekerabatan atau
keakraban berada di tempat paling utama dari tujuh nilai inti budaya utama
masyarakat batak. Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, beranak,
bercucu yang banyak, dan baik-baik. Nilai hamoraan (kehormatan) terletak pada
keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada pada diri seseorang. Nilai uhum
(law) mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin pada kesungguhan dalam
penerapannya dalam menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari
keta’atan pada ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Pengayoman
(perlindungan) wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat. Marsisarian artinya
saling mengerti, menghargai, dan saling membantu (Linda et al.,2021).
Menurut Adi et al., (2012) pentingnya mengenal asal-usul atau sejarah dan budaya
serta adat-istiadat suku sendiri sangatlah baik. Bagaimana asal-usul, agama, tempat
tinggal, pekerjaan serta budaya dan adat istiadat suku kita sendiri. Banyak permasalah
yang sering kita jumpai dalam suku batak toba. Seperti dalam hal perkawinan, sering
salah. Hal inilah terjadi bukan karena kekeliruan belaka, tetapi lebih pada hal
tidaktahuan kita pada suku kita sendiri. Berdasarkan hal inilah penulis mencoba
menjelaskan tentang suku batak toba.

1
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan lengkapnya permasalahan pada latar belakang masalah di atas, yang


menjadi rumusan masalah dalam makalah yang penulis susun adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana asal-usul suku batak ?
2. Bagaimana sifat suku batak ?
3. Secara umum apa mata pencaharian atau pekerjaan suku batak toba ?
4. Bagaimana penyebaran suku batak toba ?
5. Dimana dan bagaimana tempat tinggal suku batak toba ?
6. Bagaimana suku batak toba menyebar ke kota ?
7. Bagaimana budaya dan adat istiadat suku batak toba ?
8. Bagaimana tradisi suku batak ?
9. Bagaimana pribahasa suku batak ?
10. Bagaimana pepatah suku batak ?
11. Bagaimana pakaian suku batak ?
12. Bagaimana alat & senjata suku batak ?
13. Bagaimana dongeng suku batak ?

1.3 Tujuan Masalah


Tujuan yang ingin dicapai penulis, setelah menyusun makalah ini adalah:
1. Memberikan gambaran tentang suku batak toba;
2. Memberikan penjelasan mengenai budaya dan adat istiadat suku batak toba
3. Memberikan penjelasan mengenai mata pencaharian atau pekerjaan suku
batak toba
4. Memberikan penjelasan mengenai penyebaran suku batak toba
5. Memberikan penjelasan mengenai bagaimana tempat tinggal suku batak toba
6. Memberikan penjelasan mengenai Bagaimana suku batak toba menyebar ke
kota
7. Memberikan penjelasan mengenai Bagaimana tradisi suku batak
8. Memberikan penjelasan mengenai Bagaimana pribahasa suku batak
9. Memberikan penjelasan mengenai Bagaimana pepatah suku batak
10. Memberikan penjelasan mengenai Bagaimana pakaian suku batak
11. Memberikan penjelasan mengenai Bagaimana alat & senjata suku batak
12. Memberikan penjelasan mengenai Bagaimana dongeng suku batak

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Suku Batak

Menurut sejarah, kakek moyang suku bangsa batak pada mulanya berdiam
disekitar danau toba. Perkampungan leluhur batak (siraja batak) adalah Sianjur mula-
mula, di kaki gunung Pusut Buhit tidak berada jauh dari kota Pangururan sekarang.
Dari tempat inilah keturunanya menyebar, mula-mula ke daerah sekitarnya dan lambat
laun ke seluruh penjuru tanah Batak, menurut Destien & Nasrun (2015) menyebutkan
bahwa Tanah Batak (de Bataklanden) tersebut berada diantara 0,5-3,5 Lintang Utara
dan 97,5-100 Bujur Timur dengan luas wilayah 50.000 km . selama beberapa abad
lamanya , pergaulan mereka dengan suku-suku bangsa Indonesia lainnya sangat
terbatas, sehingga baru kemudian hari terdapat keanekaragaman dalam suku bangsa
tersebut.
Masuknya pengaruh dunia luar terhadap masyarakat batak antara lain melalui
perdagangan. Bandar Barus sebagai pelabuhan ekspor kapur barus dan kemenyan
menjadi terkenal di dunia sampai ke Eropah. Melalui Barus inilah kebudayaan asing
mulai mempengaruhi kebudayaan Batak. Selain dari barus ada juga yang datang dari
sebelah selatan Tapanuli dan Pantai Timur Sumatera. Pada waktu itu orang Batak
masih menganut agama suku dan system pemerintahanya bersifat kerajaan demokratis.
Setiap kampung (huta) merupakan kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan rajanya
dipilih sendiri oleh rakyatnya. Di atas kerajaan-kerajaan ada Raja Sisingamangaraja
sebagai pengikat yang merupakan kepala kerohanian dan keduniawian. Selain sebagai
tali pengikat, Sisingamangaraja merupakan lambang persatuan lambang persatuan, dan
dipuja sebagai dewa. Masyarakat hidup dalam rasa kekeluargaan dan untuk melakukan
sesaji dilaksanakan melalui musyawarah. Rasa kekeluargaan dalam satu kampung
tumbuh dengan erat, solidaritas terpupuk terus dan silsilah dapat dipelihara dengan
baik (Lamria & Lestari: 2018)
Perjumpaan dengan agama Kristen dan peradaban Barat membawa berbagai
kemajuan bagi penduduk daerah Tanah Batak bagian Utara. Kedatangan Missioner

3
Jerman ke Tanah Batak khususnya Dr. I.L. Nommensen yang diutus oleh Rheinische
Missionsgesellschshaft (RMG) mempunyai peranan sentral terhadap perkembangan
social suku Batak. Nommensen memulai pekerjaanya dari luar daerah Tapanuli Utara,
kemudian memilih rura silindung sebagai basisnya, pada saat mana Sisingamangaraja
XI yang bermarkas di Bakara menjadi raja dan lambang persatuan di Tanah Batak.
Dalam perjalananya dari Bungabondar de Silindung, Nommensen beristirahat di
daerah antara Pansurnapitu dan Lumbanbaringin. Beliau tertegun melihat Rura
Silindung yang indah permai itu, daerahnya cukup luas dengan persawahan yang
terbentang hingga ke Sipoholon. Di daerah itu juga sudah melihat banyak kampung.
Di masa istirahat tersebut, Nommensen berdoa: “Mangolu manang mate pe ahu,
sandok di tonga- tonga ni bangso on ma ahu maringanan, laho pararathon Hatam
dohot harajaonMi ! Amwn” Artinya, sisa hidupnya akan digunakan untuk
memberitahukan kerajaan dan berita keselamatan dari Allah bagi orang Batak
(Debora:2012).
Bagi suku Bangsa Batak Toba, tanah merupakan salah satu factor produksi
yang terpenting dan merupakan sumber pencaharian utama demikianpula adat-istiadat
berhubungan erat dengan tanah dan usaha pertanian tersebut, kepadatan dan keceptan
pertumbuhan penduduk di satu pihak dan potensi sumber-sumber-sumber daya yang
tersedia di pihak lain, merupakan pusat perhatian dalam strategi pembangunan
regional maupun nasional. Perkembangan yang tidak seimbang dan diversifikasi
pembagunan antara daerah dapat menyebabkan perpindahan penduduk dan perubahan
arahnya, yang pada giliranya menimbulkan masalah baik di daerah yang ditinggalkan
maupun daerah yang dituju. Daya tarik kota, kesempatan kerja, kesempatan
memperoleh pendidikan, wiraswasta dan penawaran jasa lainnya sebagai bagian dari
proses modernisasi, antara lain merupakan komponen yang dapat memperbesar arus
perpindahan itu, baik untuk tujuan sementara menetap atau mungkin perpindahan
sirkuler (Perna & Handayani: 2020).
Adalah merupakan kenyataan sejarah, bahwa beberapa dasawarna terakhir ini
suku bangsa Batak Toba telah menyebar luas ke berbagai daerah dan hampir di
seluruh nusantara. Ada yang tetap bertani dan banyak juga yang bekerja ke luar
pertanian. Mereka tinggal di kota-kota besar, kota kabupaten dan kecamatan serta

4
dipedesaan di berbagai sudut wilayah Republik Indonesia termasuk ke beberapa
Negara tetangga seperti Singapura dan Malasya.

2.2 Tinjauan Penyebaran Suku Batak

Menurut sejarah, terutama dari para tetua orang batak toba bahwa suku
bangsa batak berasal dari dua orang anak manusia ciptaan mulajadi nabolon yang
dinamakan siraja ihatmanisia (laki-laki) dan siboru ihatmanisia (perempuan). Siraja
ihatmanisia mempunyai tiga orang anak, salah seorang diantaranya bernama raja
miok-miok. Kemudian anak raja miokmiok adalah engbanua dan engbanua
mempunyai tiga orang anak bernama raja bonangbonang. Raja bonangbonang
mempunyai tiga orang anak bernama guru tantan debata , si asi, dan si jau (tidak
diketahui identitasnya). Guru tantan debata mempunyai mempunyai seorang anak
bernama siraja batak siraja batak. Siraja batak mepunyai dua orang anak bernama
guru tatea bulan dan raja isumbaon (Tifani & Hamid:2015)
Pada generasi berikutnya guru tatea bulan mempunyai lima orang anak laki-laki
bernama siraja biakbiak, tuan sariburaja, limbongmulana, sagala raja, malauraja dan
tiga orang anak perempuan bernama siboru pareme, siboru anting sabungan dan
siboru biding laut. Tuan sariraja melakukan kawin sumbang (incest) dengan adik
perempuannya ( ibotonya)siboru pareme mempunyai tiga orang anak bernama siraja
lontung, siraja borbor dan babiat. Raja isombaon mempunyai satu orang anak laki-laki
bernama tuan sori mangaraja. Tuan sori mangaraja mempunyai tiga orang anak, yaitu
tuan sorba di julu, tuan sorba dijae dan tuan sorba dibanua.
Dalam garis besarnya, Vergouwen (1964: 5-16, dalam Purba) membagi
aketurunan siraja batak menjadi 2 bagian besar. Yang pertama disebut belahan lontung
yang merupakan himpunan dari borbor dan sejumlah marga yang lebih kecil, berasal
dari keturunan guru tatea bulan. Kemudian belahan sumba yang kedalamnya
termasuk kelompok marga turunan raja isumbaon. Dalam bukunya yang tereknal itu,
the social organization and customary law of the toba batak of Northern Sumatra yang
terbit tahun 1964, Vergouwen menyajikan suatu daftar tentang marga dan
penggolonganya dalam kaitanya dengan marga yang mendiami suatu daerah serta

5
yang dikenal dengan sebutan marga yang memerintah. Vergouwen juga
mengemukakan bahwa mobilitas orang batak toba terjadi sejak munculnya marga-
marga dari kedua kelompok tersebut di atas.
Dewasa ini suku batak dapat digolongkan kepada 6 puak, yaitu batak toba,
batak angkola, batak mandailing, batak simalungun, batak pakpak dairi dan batak
karo. Mereka mendiami wilayah yang berbeda tetapi berdekatan di sumatera utara.
Tanah toba terletak disebelah selatan danau toba. Tanah angkola berada disebelah
selatan tanah toba dan paling selatan terletak tanah mandailing. Sedangkan tanah
simalungun terletak di sebelah timur danau toba, dairi di sebelah Barat dan tanah karo
di sebelah utara danau tersebut. Batak toba mendiami sekitar Danau toba yaitu daerah
tingkat II Tapanuli Utara,ae Batak Angkola dan Mandailing di daerah tingkat II
Tapanuli selatan, Batak Simalungun , Pakpak Dairi di Daerah Tingkat II Dairi dan
Tanah Karo di Daerh Tingkat II Karo. Dalam abad ini sebagian dari penduduk daerah
ini sudah berteampat tinggal di daerah lain. Perpindahan ini dilatarbelakangi berbagai
motif dan sebab.
Persebaran Batak Toba (Marserak)
Membicarakan perpindahan batak toba dari Tapanuli Utara tidak dapat
dilepaskan dari pembicaraan nilai-nilai filosofis mereka yang masih dipegang teguh
hingga dewasa ini. Ada beberapa nilai, sering hanya 3 disebutkan, yaitu hagabeon,
hamoraon dan hasangapon, tetapi kadang-kadang ditambah dengan sahala. Setiap
keluarga mendabakan banyak keturunan dan panjang umur, gabe, kekayaan dan
sejahtera mamora, wibawa social, sangap dan memiliki kemampuan berkuasa, sahala
harajaon serta kemampuan untuk dihormati, sahala hasangapon.
Pertambahan jumlah penduduk yang pesat bukan hanya menimbulkan tekanan
terhadap lahan pertanian, tetapi juga bagi perkampungan. Keluarga-keluarga muda
yang baru berdikari, manjae, dapat mendorong pendirian rumah-rumah baru di
kampong yang sama bahkan pembukaan kampong baru beserta lahan-lahan pertanian
baru. Di kampung baru tersebut pendirinya akan mendapat jabatan kepala raja atau
raja huta. Bagi seseorang kepala, sahala harajaon dan sahala hasangapon Nampak dari
ciri khusus perwatakan atau kualitas yang menonjol. Sahala ini dapat pudar atau
hilang dari seseorang kepala dengan tanda-tanda sebagai berikut:

6
“Dulu, pertanda lahiriah hilangnya sahala harajaon dan sahala hasangapon adalah
menyusutnya jumlah kekuatan galur kepala (karena rendahnya angka kelahiran atau
tingginya angka kamatian), penyakit sang kepala, kehancuran malalui judi, panen
buruk yang dialami wilayah, kalah perang dan sebagainya.

2.3 Sifat Suku Batak

Batak adalah suku yang ada dinumi khatulistiwa ini. Suku bangsa yang
dikategorikan sebagai Batak adalah : Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing,
Batak Pakpak, Batak Simalungun dan Batak Angkola. Mayoritas orang Batak
beragama Kristen. Ras Batak yang banyak beragama Islam adalah Batak Mandailing
dan Batak Angkola. Ini disebabkan karena pada awal abad ke 19 semasa Perang
Paderi pasukan Minangkabau menyerang Tanah Batak dan melakukan pengislaman
besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola
Seperti layaknya suku bangsa lain di tanah air yang kaya raya ini, orang Batak
pun memiliki kelebihan dan kekurangan. Meskipun kelebihan dan kekurangan ini
sifatnya relatif. Tergantung dari sudut pandang mana kita mau melihatnya. Para
penekun kejernihan mengatakan jika anda cukup baik maka yang burukpun bisa
terlihat baik, (Purba, 1996: 52-53)
Kekurangan kalau boleh dikatakan seperti itu yang sering kita lihat pada diri
orang Batak adalah sifatnya yang cenderung kasar, temperamental dan untuk sebagian
orang kurang santun. Banyaknya profesi copet yang dijalani oleh sebagian kecil orang
Batak juga membuat citra negatif pada suku yang konon berasal dari pulau Formosa
ini. Orang Batak juga cenderung sulit mengontrol emosi dan tak jarang mengeluarkan
kata-kata kasar atau kalau istilah orang Medan “cakap kotor”.
Orang batak itu adalah orang dengan sikap yang spontan. Jika mereka tidak
suka, maka mereka akan berkata secara langsung walaupun itu menyakitkan untuk
didengar. Mereka seperti itu memiliki maksud baik agar orang yang ditegur itu tidak
melakukan tindakan yang ceroboh atau pun yang tidak mengenakkan. Mereka juga

7
sering mengeluarkan kritikan pedas tapi bermaksud untuk membangun bukan untuk
menghancurkan karakter seseorang.
Kebiasaan orang Batak berjudi di terminal-terminal juga melekatkan citra kurang
baik pada suku yang sebagian kecil masih menganut agama Malim dan menganut
kepercayaan animisme [Sipelebegu, Parbegu] ini. Sampai-sampai ada yang menulis
pada sebuah blog untuk menjauhi dan jangan kawin dengan orang Batak. Suatu
anjuran yang sama sekali tidak bijak. Apapun yang kita lihat dan dengar kita tidak bisa
men-generalisasikan suatu suku bangsa [suku apapun itu].
Di samping kekurangan-kekurangan yang sudah tersaji diatas, orang Batak juga
memiliki banyak sekali kelebihan yang patut mereka banggakan. Salah satunya adalah
sistem kekerabatan mereka yang begitu kuat kemanapun mereka pergi selalu ada
perkumpulan orang-orang Batak. Tarombo adalah kelebihan lain dari orang Batak.
Tarombo adalah pemikiran hebat dari para raja-raja Batak terdahulu. Mereka berpikir
agar kelak anak cucu dari keturunan-keturunannya tidak putus rantai persaudaraan dan
dapat mengenal serta mengetahui dengan baik dari mana mereka berasal.
Salah satunya adalah sistem kekerabatan mereka yang begitu kuat kemanapun
mereka pergi selalu ada perkumpulan orang-orang Batak. Tarombo adalah kelebihan
lain dari orang Batak. Tarombo adalah pemikiran hebat dari para raja-raja Batak
terdahulu. Mereka berpikir agar kelak anak cucu dari keturunan-keturunannya tidak
putus rantai persaudaraan dan dapat mengenal serta mengetahui dengan baik dari
mana mereka berasal. Tarombo ini mempunyai silsilah raja-raja pertama sampai
sekarang.
Jujur, terus terang, terbuka dan tidak bertele-tele serta berbelit-belit adalah sisi
positif lainnya dari orang Batak. Anak bagi orang Batak adalah kekayaan yang amat
berharga “Anakhon hi do hamoran di au”. Sifat pekerja keras dan tegar pendirian
diaplikasikan para inang-inang untuk bersusah payah dan jungkir balik agar anak-
anaknya dapat bersekolah tinggi. Konon etnis Batak adalah etnis dengan tingkat
pendidikan tertinggi.
1. Pekerja keras dan pantang menyerah.
2. Orang batak adalah orang yang ditanamkan sikap sebagai pemenang
3. Orang batak itu adalah orang yang ramah

8
4. Bersikap tegas adalah kesukaan orang batak
5. Tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang sudah dilakukan

2.4 Mata Pencaharian Suku Batak

Mata Pencarian Hidup Sebagian masyarakat batak bercocok tanam di irigasi


dan ladang. Orang batak untuksebagian besar, masih mengarap tanahnya menurut adat
kuno. Diladang atau disawa-sawah, padihanya di tanam dan di panen sekali setahun.
Dalam bercocok tanam orang batak selalu bergotoroyong baik saat bertanam maupun
saat panen tiba. Di samping bercocok tanam, pertenakan jugamerupakan suatu mata
pencaharian yang penting bagi orang batak umumnya. Hewan yang biasaditernakan
ialah kerbau, babi, bebek, ayam, dan kambing. Di daerah pinggiran danau
toba,biasanya masyarakat Batak menagkap ikan dengan perahu lesung. Penangkapn
ikan dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, seperti bulan Juni sampai Agustus.
Hasil tangkapan ikan di jual kepasar.

2.5 Penyebaran Agama Suku Batak

Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan


kebudayaanya; mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang
Batak tidak suka terhadap orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap
sebagai penjajah. Selain itu, ada paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar
suku mereka adalah musuh, sebab masa itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum
Injil masuk, suku Batak adalah suku penyembah berhala. Kehidupan agamanya
bercampur, antara menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi. Ada
banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu djau (dewa yang
tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia
mati), begu siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang.
Mereka menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar ("onan") pada hari

9
tertentu. Di pasar mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti
membeli beras, garam, tembakau, dan lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu
kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan
dan terjadi saling balas dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah, seperti
pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Raja Si Singamangaraja yang
berada di Bakkara. Raja Si Singamangaraja kemudian datang dan melakukan upacara
untuk menolak "bala" dan kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat
yang kuat. Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki
anak hingga meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.

2.6 Tempat Tinggal Suku Batak

Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja
Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai dua
orang putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan
mempunyai 5 orang putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong
Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Sementara, Si Raja Isumbaon mempunyai 3
(tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang,
Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala
penjuru daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah
berbagai macam marga Batak. Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat
disebut sebagai asal mula orang Batak M.Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara,
Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba. Sejak
masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam
beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi
menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu:

 Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya); contoh: marga Simbolon, Sagala, dsb

10
 Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya);
contoh: marga Sitorus, Marpaung, dsb
 Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya);
contoh: marga Simatupang Siburian, Silaban, Sihombing Lumban Toruan,
Nababan, Hutasoit, dsb
 Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya); contoh: marga
Naipospos (Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta
Barat

2.7 Kebudayaan dan Adat Istiadat Suku Batak Toba

Kata kebudayaan seperti kata agama, sangat sulit untuk didefinisikan . dari satu
segi setiap orang adalah orang yang berasal dari satu kebudayaan lain. Kita masing-
masing memiliki system symbol kita sendiri dan cara-cara mendefinisikan hidup kita.
Dalam beberapa hal dua saudara dari keluarga yang sama secara cultural bisa sangat
berbeda satu samam lain. Dari sisi lainya, sekarang sudah lazim orang berbicara
tentang “globalisasi” dan “desa global” seolah-olah semua suku bangsa yang
berjauhan sama-sama memiliki suatu kebudayaan umum modern yang bersifat
tekhnologis kapitalistik.
Kebudayaan adalah suatu system terpadu dari kepercayaan-kepercayaan
(mengenai Allah, atau kenyataan, atau makna hakiki), dari nilai-nilai (mengenai apa
yang benar, indah, baik dan normative), dari adat istiadat (bagaimana berperilaku,
berhubungan dengan orang lain dengan orang lain, berbicara, berpakaian, bekerja,
bermain dan sebagainya), dan dan dari lembaga-lembaga yang mengungkapkan
kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan adat-istiadat ini (pemerintah, hokum,
pengadilan dan lain sebagainya) yang mengikat suatu masyarakat bersama-sama dan
memberikan kepadanya suatu rasa memiliki jati diri, martabat, keamanan dan
berkesinambungan, (Adeney: 2000:18-19)
Dalam masa agraris tradisional, sifat orang Batak dan yang mendasari
pemikiran mereka adalah lulu anak, lulu tano, yang berarti suka anak-anak, suka akan
tanah (siol di anak, siaol di tano). Tidak dapat disangsikan bahwa Batak memiliki

11
peranan penting, karena seluruh norma ditujukan pad asistem pertahanan seperti
halnya dalam adat permargaon dalihan na tolu dan harajaon.”dompak partanoan
ido ditujuhon luhut ruhut-ruhut ni harentaon Batak isara songon ruhut-ruhut ni
parmargaon, dalihan na tolu dohot harajaon, (Hutagalung dalam Purba, 1996: 52)
Perkawinan pada orang batak pada umumnya merupakan suatu pranata yang
tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita , tetapi juga mengikat
dalam suatu hubungan tertentu, kaum kerabat dari sisi laki-laki dengan kaum kerabat
dari siwanita.
Karena itu menurut adat kuno seorang laki-laki tidak bebas dalam hal memilih
jodohnya. Perkawinan yang dianggap ideal dalam masyarakat batak adalah,
perkawinan antara orang-orang marpariban yang artinya seorang laki-laki dan seorang
perempuan saudara laki-laki ibunya. Maka demikian seorang laki-laki batak sangat
pantang kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga anak perempuan
dari saudara perempuan ayahnya. Pada zaman sekarang sudah banyak orang tidak
menuruti adat kuno ini.
Sebelum upacara perkawinan dapat dilakukan adalah suatu perundingan antara
kaum kerabat dari kedua belah pihak yang disebut marhata sinamot. Perundingan
mengenai sebagai soal-soal sebagai berikut:
 Jumlah maskawin, berupa uang, harta perhiasan dan kerbau atau babi, yang
harusnya diserahkan oleh kaum kerabat si laki-laki kepada kerabat perempuan.
 Jumlah harta yang akan diterima oleh saudara laki-laki ibu dari si gadis.
 Jumlah harta yang akan diterima saudara laki-lakinya ibunya ibu si gadis.
 Jumlah yang akan diterima oleh saudara-saudara perempuan dari ibu si gadis.
 Jumlah harta yang akan diperoleh oleh anak perempuan dari ayah si gadis.
 Jumlah harta yang akan diterima oleh saudara-saudara perempuan ibu si gadis.

Menurut ahli antropologi Amerika EM. Bruner di desa lintang nihuta, di balige,
ndi tanah toba, hanya 2,3% dari perkawinan-perkawinan menuruti konsep preprensi,
E.M. Bruner Kinship Organitatin Among The Urban Batak Ops Sumatera, New York
1959 halaman 120 ( dalam Setiawan dan Yunita, 2012:28-19). Pesta biasanya dihadiri
oleh kaum kerabat pengantin-pengantin kaum laki-laki, penganten wanita, dan oleh

12
penghuni kuta dimana pesta diadakan. Pada waktu itu maskawin dan harta lain
diserahkan kepada mereka yang menurut adat berhak menerimanya. Pada orang batak
toba sebelum perkawinan dilangsungkan pada suatu upacara yang berupa
pemberitahuan secara resmi kepada gereja akan diadakannya perkawinan itu. Setelah
adat ini yang disebut martupol, maka gerejalah yang akan mengumumkan maksud
perkawinan itu. Kecuali perkawinan dengan prosedur seperti terurai diatas maka pada
orang toba ada juga waktu lari atau mangalua. Hal itu terjadi karena misalnya tidak ada
persesuaian anatara salah satu, atau kedua belah pihak kaum kerabat. Pada waktu
seperti ini, dalam waktu kurang dalam satu hari, kaum kerabat laki-laki harus
megarahkan deliglasi kerumah orang tua sigadis untuk memberitahuakan bahwa anak
gadis mereka telah dibawa dengan maksud untuk dikawini (diparaja). Setelah selang
bebarpa lama akan dilakukan upacara manuruk-nuruk untuk minta maaf. Setelah
upacara ini dilalui barulah disusul oleh upacara perkawinan seperti yang diuraikan di
atas. Pada orang batak adajuga perkawinan leviral (mangabia) dan adat perkawinan
sororot (singkat rere), Stratifikasi social orang batak yang dalam kehidupan sehari0-
hari mungkin tidak amat jelas terlihatnya, berdasarkan prinsip adalah:
 Perbedaan tingkat umur
 Perbadaan pangkat dan jabatan
 Perbedaan sifat keaslian

Menurut Tifani & Hamid (2015) adapun system pelapisan social berdasrkan
perbedaan umur itu tampak pada perbedaan hak dan kewajiban terutama dalam
upacara adat tetapi juga dalam hal menerima warisan antara anak-anak dn pemuda-
pemuda (danak-danak), orang yang stengah usia (nanguda), dan orang-orang tua (tua-
tua). Dalam hal menetukan upacara adat, atau dalam hal urusan kekerabatan hanya
para tua tua yang berhak memajukan saran-saran dan mengambil keputusan. Adpun
para orang yang setengah usia dapat menjadi pelaksana sedangkan mereka yang masih
danak-danak tetap diperhitungkan bahwa kalau mereka menjadi ahli waris miswalnya,
mereka harus diwakili ibu mereka.

13
System pelapisan social yang berdasrkan pangkat dan jabatan tampak dalam
kehidupan social sehari-hari. Lapisan yang paling tinggi adlah lapisan bangsawan,
keturunan raja-raja dan kepala wilayah-wilayah dulu. Lapisan ini disebut biak raja,
Dulu orang Batak juga mengenal lapisan orang budak (hatoban). Budak ini
berasal dari tawanan perang, atau orang yang karena terlampau banyak hutang yang
tak mampu membayarnya kembali, membudak kepada sipemberi hutangnya.
Perbudakan dihapuskan Belanda pada tahun 1860, sehingga sekarng tak ada sia-sianya
lagi.
Kepemimpinan dibbidang adat adalah meliputi persoalan perkawinan dan
perceraian, warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran anak dan sebagainya.
Kepemimpinan pada bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh tetapi
merupakan suatu musyawarah.

2.8 Tradisi Suku Batak

Sumatra Utara menjadi provinsi yang dihuni berbagai etnis. Batak menjadi salah satu
etnis mayoritas di Provinsi Sumatra Utara. Sampai terkadang, jika pergi tanah Jawa,
banyak yang mengira orang yang datang dari Sumut adalah Batak. Peradaban Batak, telah
banyak mewariskan berbagai tradisi. Tentunya, seluruh tradisi itu berkait paut dengan
kehidupan.

1. Gondang Naposo, Tarian Muda-Mudi Batak Untuk Mencari Jodoh


Gondang Naposo adalah tradisi mencari jodoh dalam adat Batak. Pesertanya
adalah para muda-mudi. Dulunya, jika di dalam kampung tertentu ada yang lama
mendapatkan jodoh, disepakatilah untuk menggelar Gondang Naposo. Nantinya,
para muda-mudi kampung lain datang  untuk melihat calon kekasihnya. Sebelum
pandemik COVID-19, Gondang Naposo merupakan festival rutin digelar di
Samosir. Menjadi salah satu acara unggulan dalam Festival Horas Samosir Fiesta.
Para muda-mudi beradu koreografi untuk menjadi pemenang.

2. Mangulosi, Menyematkan Kain Dengan Makna-Makna Khusus


14
Dalam tradisi Batak atau pun beberapa etnis lainnya seperti Simalungun,
Karo dan Dairi, mangulosi menjadi salah satu tradisi yang masih dipertahankan
hingga sekarang. Prosesnya adalah dengan mengalungkan kain Ulos ke pundak
orang lain. Dar berbagai sumber menyebut, mangulosi dinilai akan memberikan
perlindungan dari segala gangguan. Tradisi mangulosi dilakukan orang yang
dituakan kepada kerabat yang memiliki partuturan, kedudukan yang lebih rendah
seecara adat, seperti orang tua pada anak. Dalam upacara pernikahan Batak, ada
tradisi mangulosi dari tulang (Paman) kepada kedua pengantin, hal yang
menunjukkan kekhasan relasi dalam keluarga Batak. Ragam ulos pun begitu
banyak. Tergantung siapa yang memakai dan untuk apa peruntukan ulos. Masing-
masing ulos pun punya motif yang berbeda.

3. Mangokkal Holi, Cara Orang Batak Menghormati Leluhur

Mangokkal Holi, tradisi Batak yang kian sulit ditemui. Mangokkal Holi
adalah ritual menggali makam leluhur dan memindahkan tulang belulangnya ke
tempat yang baru. Ini dilakukan etnis Batak sebagai bentuk penghormatan kepada
para leluhur. Dalam menggelar Mangokkal Holi, dibutuhkan biaya yang besar.
Upacara Mangokkal Holi juga membutuhkan hewan yang akan dikurbankan.
Etnis Batak masih memercayai jika arwah orang yang sudah meninggal akan
hidup abadi. Sehingga, untuk menghormatinya, keluarga menaruh tulang-
belulangnya ke tempat yang lebih layak (tinggi) yang berarti mendekatkan arwah
itu kepada Penciptanya.
Mangongkal Holi juga bagian dari upaya menjaga silsilah keluarga. Tradisi
ini juga dianggap sebagai  simbol dari tingginya martabat dari sebuah keluarga di
Batak. Mangokal Holi dipercaya akan mengangkat martabat sebuah marga dengan
menghormati orang tua dan para leluhur. Semakin indah dan mahal sebuah
makam atau tugu, maka semakin jelas dan bergengsi status marga pemilik tugu
tersebut.

2.9 Peribahasa Suku Batak

15
Menurut Debora (2012) berikut delapan peribahasa Batak yang harus diterapkan
dan berlaku bagi orang Batak di dalam kehidupannya.

1. Ingkon sada do songon dai ni aek, unang mardua songon dai ni tuak
Maknanya adalah setiap orang harus memiliki rasa persatuan yang tinggi
meskipun hidup di dalam berbagai macam perbedaan pandangan dengan
orang lain, jangan saling terpecah belah. Peribahasa ini hampir sama
maknanya dengan "Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh".
2. Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, jolo sinukun marga asa
binoto partuturan
Seperti diketahui suku Batak tentunya memiliki berbagai macam marga.
Setiap orang Batak pasti memiliki marga yang diturunkan dari pihak orangtua
laki-laki (ayah). Marga-marga tersebut pasti memiliki hubungan antara yang
satu dengan yang lainnya. Baik itu hubungan dari marga orang yang
bersangkutan, marga dari pihak ibu, atau bahkan marga dari kakek atau
neneknya. Untuk itu, apabila orang Batak yang satu bertemu dengan orang
Batak yang lain wajib bertanya terlebih dahulu marga dari lawan bicaranya,
tidak boleh asal-asalan memanggil. 

3. Ingkon songon poting, lam marisi lam so marsuara


Makna dari peribahasa yang satu ini adalah semakin seseorang berilmu
pengetahuan, maka sebaiknya ia harus lebih menjaga setiap apa yang
diucapannya. Peribahasa ini memiliki makna yang terbalik dengan "Tong
kosong nyaring bunyinya". 
4. Molo litok aek di toruan, tingkiron ma tu julu
Makna Peribahasa ini sangat cocok untuk orang yang memiliki berbagai
permasalahan di dalam hidupnya. Apalagi setiap manusia pasti pernah
mengalami suatu permasalahan. Nah, untuk menyelesaikan permasalahan itu,

16
maka lebih baik carilah terlebih dahulu apa yang menjadi penyebab dari
permasalahan tersebut
5. Santau aek nuaeng, duaan tahu aek marsogot, na santahu i do pareahan
Makna dari peribahasa ini adalah sekecil apa pun yang kita dapatkan saat ini,
harus tetap kita syukuri. Karena kita tidak tahu apa yang kita dapatkan
dikemudian hari, bisa saja mendapatkan yang lebih banyak.
6. Tumit sitara tuit, tuit pangalahona. Molo tuit boru i mago ma ibotona
Makna dari peribahasa ini adalah segala tingkah laku atau perbuatan jelek
yang dilakukan oleh saudara perempuan akan mempermalukan saudara laki-
lakinya. Hal ini dikarenakan di dalam keluarga orang Batak, harga diri di
dalam suatu keluarga akan jatuh kepada anak laki-lakinya apabila orangtua
laki-laki (ayah) telah meninggal.

2.10 Pakaian Suku Batak

Pakaian adat Sumatera Utara didominasi oleh pakaian adat suku Batak
yang disebut ulos, karena mayoritas penduduk di provinsi beribukota Medan ini
berasal dari suku Batak. Ulos digunakan hampir semua sub suku Batak, hanya
saja penamaan dan fungsinya berbeda-beda. Sementara suku Nias dan Melayu
memiliki ciri khas pakaian adat tersendiri yang tak kalah unik.

1. Pakaian Adat Batak Toba


Pakaian adat Sumatera Utara khas Batak Toba terbuat dari kain ulos atau
kain tenun tradisional, mulai dari bagian atas sampai bawah. Pakaian adat pria
bagian atas disebut ampe-ampe dan bagian bawah disebut singkot. Sementara
untuk perempuan, bagian atas berupa hoba-hoba dan bagian bawah
adalah haen.

2. Pakaian Adat Batak Karo

17
Pakaian adat Sumatera Utara khas Batak Karo tampak serupa dengan Batak
Toba. Perbedaan yang paling menonjol adalah penggunaan kain tenun yang
disebut uis gara. Dalam bahasa Karo, uis berarti kain, dan gara berarti merah.
Disebut 'kain merah' karena uis gara didominasi dengan warna merah, atau
kadang dipadukan dengan warna lain seperti hitam dan putih, kemudian dihiasi
dengan tenunan benang berwarna emas dan perak yang membuatnya terlihat
mahal dan elegan. Dulunya, uis gara dipakai sebagai pakaian sehari-hari untuk
para perempuan Karo, namun sekarang hanya dikenakan saat upacara adat dan
pesta pernikahan

3. Pakaian Adat Batak Mandailing


Pakaian adat Batak Mandailing juga hampir serupa dengan Batak Toba
yaitu menggunakan kain ulos. Perbedaan yang paling terlihat ada pada kain
ulos yang dililitkan pada bagian tengah badan, juga pada hiasan kepala pada
pria dan wanita. Hiasan kepala pria Batak Mandailing memiliki bentuk khas
dan berwarna hitam yang disebut ampu. Sementara untuk wanita hiasan kepala
disebut bulang yang diikatkan ke kening. Bulang tersebut terbuat dari emas,
tetapi sekarang sudah banyak yang terbuat dari logam dengan sepuhan  emas .
Bulang mengandung makna sebagai lambang kebesaran atau kemuliaan
sekaligus sebagai simbol dari struktur masyarakat.

4. Pakaian Adat Batak Simalungun


Orang Batak Simalungun juga menggunakan kain ulos untuk pakaian adat
mereka. Hanya saja penyebutannya berbeda. Mereka menyebutnya kain  hiou.
Bentuk dari pakaian adat Batak Simalungun hampir menyerupai Batak Toba,
namun hiasan kepala pada kaum pria lebih tinggi dan lancip. Selain itu,
warnanya didominasi merah dan kuning emas.

5. Pakaian Adat Batak Pakpak

18
Pakaian adat Batak Pakpak disebut baju merapi-api, dengan didominasi
warna hitam. Berbahan dasar katun, dan dikenakan dengan oles atau tenunan
khas Pakpak. Pada laki-laki Batak Pakpak, baju merapi-api menyerupai pakaian
model Melayu dengan leher bulat dan dihiasi dengan manik-manik atau api-api.
Sementara untuk bagian bawah, berupa celana hitam yang dibalut dengan
sarung yang disebut oles sidosdos, dengan ujung terbuka di depan.

2.11 Dongeng Suku Batak

Berbicara tentang cerita rakyat, tidak akan terpisah dari mitos atau legenda
terkait keberadaan suatu tempat atau kebudayaan. Cerita rakyat menjadi salah
satu kekayaan akan keberagaman budaya serta cerita dari Indonesia. Setiap
daerah memiliki cerita rakyat yang kisahnya cukup menarik dan memberikan
nilai-nilai moral yang sarat akan makna. Berikut ini merupakan dongeng suku
batak yaitu :

1. Sibontar Mudar
Sibontar Mudar merupakan cerita rakyat dari Batak Toba di daerah Bakkara,
Humbahas. Sibontar Mudar artinya sidarah putih, cerita ini kerap disebut Putri
Darah Putih. Sibontar Mudar (Darah Putih) merupakan sebuah cerita rakyat yang
mengisahkan tentang seorang putri manusia (Sibontar Mudar ) yang disukai oleh
sejenis manusia setan yang kebal akan semua siksaan, bernama Guru
Sodungdangon.

2.Namartua Pardagangan
Namartua Pardagangan merupakan cerita rakyat dari Batak Simalungun di
daerah Pematang Bandar, Simalungun. Mengisahkan tentang tujuh orang dukun
dari Samosir ke Pematang Bandar, akibat kalah judi dan minuman keras. Singkat

19
cerita, ketujuh orang tersebut bertemu dengan Lobe (guru agama Islam) dan
akhirnya mereka memeluk agama Islam. Oleh sang guru (Lobe), mereka bertapa
di Bah Bolon pada kubah sekarang ini. Namun, satu hari enam dari tujuh orang
tersebut di makan sebuah ular naga yang mendiami sebuah sungai yang saat ini
dinamakan Bah Banus. Yang hidup dari ketujuh orang itu bermarga Sirait, karena
bingung mau kemana setelah teman-temannya meninggal, dia pun akhirnya
kembali ke Samosir. Sebelum berangkat, dia memberikan sebuah tongkat kepada
Andik Damanik, untuk menjaga kubah tempat mereka bertapa. Hingga saat ini,
keluarga Andik Damanik tetap menjaga kubah tersebut selama empat generasi.

3. Togi Laowomaru
Togi Laowomaru merupakan sebuah cerita rakyat dari etnis Nias di Gunung
Sitoli. Togi Laowomaru artinya gua tempat Laowomaru, Laowomaru merupakan
nama manusia. Cerita ini mengisahkan tentang seorang manusia yang sangat
kuat, dia lahir dengan 9 helai rambut terdiri dari besi atau kawat. Namun, dia
memanfaatkan untuk kejahatan. Anaknya juga meninggal saat dia hendak
mewariskan ilmu kepada sang anak.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan
berkeluarga, orang batak selalu peduli. Dibalik setiap sifat yang keras dan suara yang
lantang, sebenarnya suku batak adalah suku yang memiliki segala keunikan. Suku
Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat
menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang dapat berbeda-beda. Adat
budaya Batak ini memiliki tujuh nilai inti yaitu kekerabatan, agama, hagabeon,
hamoraan, uhum dan ugari, pangayoman, dan marsisarian. Nilai kekerabatan atau
keakraban berada di tempat paling utama dari tujuh nilai inti budaya utama
masyarakat batak. Nilai budaya hagabeon bermakna harapan panjang umur, beranak,
bercucu yang banyak, dan baik-baik. Nilai hamoraan (kehormatan) terletak pada
keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada pada diri seseorang. Nilai uhum
(law) mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin pada kesungguhan dalam
penerapannya dalam menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu ditentukan dari
keta’atan pada ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Pengayoman
(perlindungan) wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat. Marsisarian artinya
saling mengerti, menghargai, dan saling membantu.

3.2 Saran

21
Makalah ini menjelaskan tentang suku batak toba, untuk itu penulis menyarankan
kepada pembaca agar kiranya mengetahui silsilah suku batak toba dan mampu
mempertahankanya, khususnya pembaca suku batak toba.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Linda, Octaviani Vethy & Khairil. 2021. “Pola Komunikasi Suku Batak dengan
Suku Rejang Dalam Menjalin Keharmonisan Antar Warga di Desa Dusun Curup
Kecamatan Air Besi Kabupaten Bengkulu Utara”. Jurnal Profesional FIS
UNIVED, Volume 8 No. 2, Desember 2021, hlm. 29-35
Fitriyani Raya Lamria, Nurhajati Lestari. 2018. “Pola Komunikasi Kekerabatan Suku
Batak Dalam Penggunaan Marga Untuk Menjalin Keakraban”. Jurnal WACANA,
Volume 17 No. 2, Desember 2018, hlm 163-170
Gustina Perna, Handayani S.W.E. 2020. “Komunikasi Antar Budaya Batak Dan Jawa
(Studi Etnografi Adaptasi Speech Code pada Masyarakat Etnis Batak di Desa
Kebak, Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar)”. Jurnal Penelitian dan Kajian
Ilmiah, Volume 18 No. 2, hlm 127-133
Helentina Tifani, Arifin Hamid. 2015. “Komunikasi Antar Budaya Dalam Mangain
Marga (Studi Kasus Tentang Proses Komunikasi Antar Budaya Dalam Praktek
Mangain Marga Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Dan Jawa Di
Soloraya)”. Jurnal Ekonomi, Volume 1 No. 1, hlm 1-19
Nugroho Bagus Adi, Lestari Puji, Wiendijarti Ida.2012. “Pola Komunikasi Antarbudaya
Batak dan Jawa di Yogyakarta”. Jurnal Komunikasi, Volume 1 No. 5, Juli 2012,
hlm 403-418
Simbolon Debora. 2012. “Memahami Komunikasi Beda Budaya Antara Suku Batak Toba
Dengan Suku Jawa Di Kota Semarang (Studi Pada Mahasiswa Suku Batak Toba

22
Dengan Suku Jawa Di Universitas Semarang)”. Jurnal The Messenger, Volume IV
No. 1, Juli 2012, hlm 43-39
Sirait Mistavakia Destien, Hidayat Dasrun. 2015. “Pola Komunikasi Pada Profesi
Mangulosi Dalam Pernikahan Budaya Adat Batak Toba”. Jurnal Ilmu Komunikasi
(J-IKA), Volume II No. 1, April 2015, hlm 23-31

23

Anda mungkin juga menyukai