Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ETNIK BUDAYA SUKU BATAK TOBA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Budaya
Dosen pengampuh : Prof.Pujiati,M.Soc.Sc.Ph.D

Disusun Oleh:
Selly Febriani Br Aritonang (230704096)

Program Studi Sastra Arab


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
2023/2024
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.Yang telah
memberikan rahmat dan karunia yang dilimpahkan Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan makalah. Tujuan saya menulis makalah ini yang utama untuk memenuhi tugas
dosen Ibu Prof.Pujiati,M.Soc.Sc.Ph.D dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Budaya.

Jika dalam penulisan makalah saya terdapat berbagai kesalahan dan kekurangan dalam
penulisannya, maka kepada para pembaca, penulis memohon maaf sebesar-besarnya atas
koreksi-koreksi yang telah dilakukan. Hal tersebut semata mata agar menjadi suatu evaluasi
dalam pembuatan tugas ini.

Semoga dengan ada nya pembuatan tugas ini dapat di berikan manfaat berupa ilmu
pengetahuan yang baik bagi penulis maupun bagi para pembaca. Penulis telah berupaya
semaksimal mungkin dalam menyelesaikan tugas ini, namun penulis sadar bahwa ini sangat
jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penulis menerima kritik
dan saran yang membangun guna untuk memperbaiki tugas ini.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dosen
pengampu semoga dapat bermanfaat dan bisa menambah pengengetahuan bagi pembaca.

Medan, 12 Desember 2023

Selly Febriani br Aritonang

2
Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................................................ii

Daftar Isi ............................................................................................................................iii

Bab I Pendahuluan............................................................................................................4

A. Latar Belakang ........................................................................................................4


B. Batasan Masalah......................................................................................................4
C. Rumusan Masalah....................................................................................................5
D. Tujuan Masalah ......................................................................................................5

Bab II Pembahasan...........................................................................................................6

A. Etnis Batak Toba.....................................................................................................6


B. Kebudayaan dan Adat Istiadat Suku Batak Toba....................................................15

Bab III Penutup.................................................................................................................23

A. Kesimpulan .............................................................................................................23
B. Saran .......................................................................................................................23

Daftar Pustaka ..................................................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan berkeluarga,
orang batak selalu peduli. Dibalik setiap sifat yang keras dan suara yang lantang, sebenarnya
suku batak adalah suku yang memiliki segala keunikan.
Suku Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat
menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang dapat berbeda-beda. Adat budaya
Batak ini memiliki tujuh nilai inti yaitu kekerabatan, agama, hagabeon, hamoraan, uhum dan
ugari, pangayoman, dan marsisarian. Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat
paling utama dari tujuh nilai inti budaya utama masyarakat batak. Nilai budaya hagabeon
bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu yang banyak, dan baik-baik. Nilai
hamoraan (kehormatan) terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada
pada diri seseorang. Nilai uhum (law) mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin
pada kesungguhan dalam penerapannya dalam menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu
ditentukan dari keta’atan pada ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Pengayoman
(perlindungan) wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat. Marsisarian artinya saling
mengerti, menghargai, dan saling membantu.
Pentingnya mengenal asal-usul atau sejarah dan budaya serta adat-istiadat suku sendiri
sangatlah baik. Bagaimana asal-usul, agama, tempat tinggal, pekerjaan serta budaya dan adat
istiadat suku kita sendiri. Banyak permasalah yang sering kita jumpai dalam suku batak toba.
Seperti dalam hal perkawinan, sering salah. Hal inilah terjadi bukan karena kekeliruan
belaka, tetapi lebih pada hal tidaktahuan kita pada suku kita sendiri. Berdasarkan hal inilah
penulis mencoba menjelaskan tentang suku batak toba.

B. Batasan Masalah
Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada asal-usul, sifat, pekerjaan, penyebaran
agama, tempat tinggal dan bagaimana suku batak toba sampai ke kota serta budaya dan adat
istiadatnya.

C. Rumusan Masalah

4
Berdasarkan lengkapnya permasalahan pada latar belakang masalah di atas, yang
menjadi rumusan masalah dalam makalah yang penulis susun adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana asal-usul suku batak toba?
b. Bagaimana sifat suku batak toba?
c. Secara umum apa mata pencaharian atau pekerjaan suku batak toba?
d. Bagaimana penyebaran suku batak toba?
e. Dimana dan bagaimana tempat tinggal suku batak toba?
f. Bagaimana suku batak toba menyebar ke kota?
g. Bagaimana budaya dan adat istiadat suku batak toba?

D. Tujuan Pembahasan
Tujuan yang ingin dicapai penulis, setelah menyusun makalah ini adalah:
a. Memberikan gambaran tentang uku batak toba;
b. Memberikan penjelasan mengenai budaya dan adat istiadat suku batak toba.

BAB II

5
PEMBAHASAN
A.Etnis Batak toba
1. Sejarah Suku Batak
Menurut sejarah, kakek moyang suku bangsa batak pada mulanya berdiam disekitar
danau toba. Perkampungan leluhur batak (siraja batak) adalah Sianjur mula-mula, di kaki
gunung Pusut Buhit (Hutagalung, 1926, Yeps, 1932, Vergouwen, 1964 dalam Purba, 1996:
1), tidak berada jauh dari kota Pangururan sekarang. Dari tempat inilah keturunanya
menyebar, mula-mula ke daerah sekitarnya dan lambat laun ke seluruh penjuru tanah Batak,
Joustra (1926: 5 dalam Purba 1) menyebutkan bahwa Tanah Batak (de Bataklanden) tersebut
berada diantara 0,5-3,5 Lintang Utara dan 97,5-100 Bujur Timur dengan luas wilayah
50.000 km . selama beberapa abad lamanya , pergaulan mereka dengan suku-suku bangsa
Indonesia lainnya sangat terbatas, sehingga baru kemudian hari terdapat keanekaragaman
dalam suku bangsa tersebut.
Masuknya pengaruh dunia luar terhadap masyarakat batak antara lain melalui
perdagangan. Bandar Barus sebagai pelabuhan ekspor kapur barus dan kemenyan menjadi
terkenal di dunia sampai ke Eropah. Melalui Barus inilah kebudayaan asing mulai
mempengaruhi kebudayaan Batak (Siahaan, 1964 dalam Purba, 1996:1). Selain dari barus ada
juga yang datang dari sebelah selatan Tapanuli dan Pantai Timur Sumatera. Pada waktu itu
orang Batak masih menganut agama suku dan system pemerintahanya bersifat kerajaan
demokratis. Setiap kampung (huta) merupakan kerajaan kecil yang berdiri sendiri dan
rajanya dipilih sendiri oleh rakyatnya. Di atas kerajaan-kerajaan ada Raja Sisingamangaraja
sebagai pengikat yang merupakan kepala kerohanian dan keduniawian. Selain sebagai tali
pengikat, Sisingamangaraja merupakan lambang persatuan lambang persatuan, dan dipuja
sebagai dewa. Masyarakat hidup dalam rasa kekeluargaan dan untuk melakukan sesaji
dilaksanakan melalui musyawarah. Rasa kekeluargaan dalam satu kampung tumbuh dengan
erat, solidaritas terpupuk terus dan silsilah dapat dipelihara dengan baik ,(Purba, 1996: 2).
Perjumpaan dengan agama Kristen dan peradaban Barat membawa berbagai
kemajuan bagi penduduk daerah Tanah Batak bagian Utara. Kedatangan Missioner Jerman ke
Tanah Batak khususnya Dr. I.L. Nommensen yang diutus oleh Rheinische
Missionsgesellschshaft (RMG) mempunyai peranan sentral terhadap perkembangan social
suku Batak. Nommensen memulai pekerjaanya dari luar daerah Tapanuli Utara, kemudian
memilih rura silindung sebagai basisnya, pada saat mana Sisingamangaraja XI yang
bermarkas di Bakara menjadi raja dan lambang persatuan di Tanah Batak. Dalam

6
perjalananya dari Bungabondar de Silindung, Nommensen beristirahat di daerah antara
Pansurnapitu dan Lumbanbaringin. Beliau tertegun melihat Rura Silindung yang indah
permai itu, daerahnya cukup luas dengan persawahan yang terbentang hingga ke Sipoholon.
Di daerah itu juga sudah melihat banyak kampung. Di masa istirahat tersebut, Nommensen
berdoa: “Mangolu manang mate pe ahu, sandok di tonga- tonga ni bangso on ma ahu
maringanan, laho pararathon Hatam dohot harajaonMi ! Amwn” (Sihombing, dalam Purba,
1996:3). Artinya, sisa hidupnya akan digunakan untuk memberitahukan kerajaan dan berita
keselamatan dari Allah bagi orang Batak.
Bagi suku Bangsa Batak Toba, tanah merupakan salah satu factor produksi yang
terpenting dan merupakan sumber pencaharian utama demikianpula adat-istiadat
berhubungan erat dengan tanah dan usaha pertanian tersebut, (Purba, 1996: 3).
Kepadatan dan keceptan pertumbuhan penduduk di satu pihak dan potensi sumber-
sumber-sumber daya yang tersedia di pihak lain, merupakan pusat perhatian dalam strategi
pembangunan regional maupun nasional. Perkembangan yang tidak seimbang dan
diversifikasi pembagunan antara daerah dapat menyebabkan perpindahan penduduk dan
perubahan arahnya, yang pada giliranya menimbulkan masalah baik di daerah yang
ditinggalkan maupun daerah yang dituju. Daya tarik kota, kesempatan kerja, kesempatan
memperoleh pendidikan, wiraswasta dan penawaran jasa lainnya sebagai bagian dari proses
modernisasi, antara lain merupakan komponen yang dapat memperbesar arus perpindahan itu,
baik untuk tujuan sementara menetap atau mungkin perpindahan sirkuler.
Adalah merupakan kenyataan sejarah, bahwa beberapa dasawarna terakhir ini suku
bangsa Batak Toba telah menyebar luas ke berbagai daerah dan hampir di seluruh nusantara.
Ada yang tetap bertani dan banyak juga yang bekerja ke luar pertanian. Mereka tinggal di
kota-kota besar, kota kabupaten dan kecamatan serta dipedesaan di berbagai sudut wilayah
Republik Indonesia termasuk ke beberapa Negara tetangga seperti Singapura dan Malasya.

2. Tinjauan Penyebaran Suku Batak Toba


Menurut sejarah, terutama dari para tetua orang batak toba bahwa suku bangsa batak
berasal dari dua orang anak manusia ciptaan mulajadi nabolon yang dinamakan siraja
ihatmanisia (laki-laki) dan siboru ihatmanisia (perempuan). Siraja ihatmanisia mempunyai
tiga orang anak, salah seorang diantaranya bernama raja miok-miok. Kemudian anak raja
miokmiok adalah engbanua dan engbanua mempunyai tiga orang anak bernama raja
bonangbonang. Raja bonangbonang mempunyai tiga orang anak bernama guru tantan debata ,
si asi, dan si jau (tidak diketahui identitasnya). Guru tantan debata mempunyai mempunyai

7
seorang anak bernama siraja batak siraja batak. Siraja batak mepunyai dua orang anak
bernama guru tatea bulan dan raja isumbaon( Hutagalung, 1926: 27, dalam Purba).
Pada generasi berikutnya guru tatea bulan mempunyai lima orang anak laki-laki
bernama siraja biakbiak, tuan sariburaja, limbongmulana, sagala raja, malauraja dan tiga
orang anak perempuan bernama siboru pareme, siboru anting sabungan dan siboru biding
laut. Tuan sariraja melakukan kawin sumbang (incest) dengan adik perempuannya
( ibotonya)siboru pareme mempunyai tiga orang anak bernama siraja lontung, siraja borbor
dan babiat. Raja isombaon mempunyai satu orang anak laki-laki bernama tuan sori
mangaraja. Tuan sori mangaraja mempunyai tiga orang anak, yaitu tuan sorba di julu, tuan
sorba dijae dan tuan sorba dibanua.
Dalam garis besarnya, Vergouwen (1964: 5-16, dalam Purba) membagi aketurunan
siraja batak menjadi 2 bagian besar. Yang pertama disebut belahan lontung yang merupakan
himpunan dari borbor dan sejumlah marga yang lebih kecil, berasal dari keturunan guru tatea
bulan. Kemudian belahan sumba yang kedalamnya termasuk kelompok marga turunan raja
isumbaon. Dalam bukunya yang tereknal itu, the social organization and customary law of
the toba batak of Northern Sumatra yang terbit tahun 1964, Vergouwen menyajikan suatu
daftar tentang marga dan penggolonganya dalam kaitanya dengan marga yang mendiami
suatu daerah serta yang dikenal dengan sebutan marga yang memerintah. Vergouwen juga
mengemukakan bahwa mobilitas orang batak toba terjadi sejak munculnya marga-marga
dari kedua kelompok tersebut di atas.
Dewasa ini suku batak dapat digolongkan kepada 6 puak, yaitu batak toba, batak
angkola, batak mandailing, batak simalungun, batak pakpak dairi dan batak karo. Mereka
mendiami wilayah yang berbeda tetapi berdekatan di sumatera utara. Tanah toba terletak
disebelah selatan danau toba. Tanah angkola berada disebelah selatan tanah toba dan paling
selatan terletak tanah mandailing. Sedangkan tanah simalungun terletak di sebelah timur
danau toba, dairi di sebelah Barat dan tanah karo di sebelah utara danau tersebut. Batak toba
mendiami sekitar Danau toba yaitu daerah tingkat II Tapanuli Utara,ae Batak Angkola dan
Mandailing di daerah tingkat II Tapanuli selatan, Batak Simalungun , Pakpak Dairi di
Daerah Tingkat II Dairi dan Tanah Karo di Daerh Tingkat II Karo. Dalam abad ini sebagian
dari penduduk daerah ini sudah berteampat tinggal di daerah lain. Perpindahan ini
dilatarbelakangi berbagai motif dan sebab.
Persebaran Batak Toba (Marserak)
Membicarakan perpindahan batak toba dari Tapanuli Utara tidak dapat dilepaskan
dari pembicaraan nilai-nilai filosofis mereka yang masih dipegang teguh hingga dewasa ini.

8
Ada beberapa nilai, sering hanya 3 disebutkan, yaitu hagabeon, hamoraon dan hasangapon,
tetapi kadang-kadang ditambah dengan sahala. Setiap keluarga mendabakan banyak
keturunan dan panjang umur, gabe, kekayaan dan sejahtera mamora, wibawa social, sangap
dan memiliki kemampuan berkuasa, sahala harajaon serta kemampuan untuk dihormati,
sahala hasangapon.
Pertambahan jumlah penduduk yang pesat bukan hanya menimbulkan tekanan terhadap
lahan pertanian, tetapi juga bagi perkampungan. Keluarga-keluarga muda yang baru
berdikari, manjae, dapat mendorong pendirian rumah-rumah baru di kampong yang sama
bahkan pembukaan kampong baru beserta lahan-lahan pertanian baru. Di kampung baru
tersebut pendirinya akan mendapat jabatan kepala raja atau raja huta. Bagi seseorang kepala,
sahala harajaon dan sahala hasangapon Nampak dari ciri khusus perwatakan atau kualitas
yang menonjol. Sahala ini dapat pudar atau hilang dari seseorang kepala dengan tanda-tanda
sebagai berikut:
“Dulu, pertanda lahiriah hilangnya sahala harajaon dan sahala hasangapon adalah
menyusutnya jumlah kekuatan galur kepala (karena rendahnya angka kelahiran atau
tingginya angka kamatian), penyakit sang kepala, kehancuran malalui judi, panen buruk
yang dialami wilayah, kalah perang dan sebagainya”(Vergouwen, dalam Purba, 1997:21).

3. Sifat Suku Batak Toba


Batak adalah suku yang ada dinumi khatulistiwa ini. Suku bangsa yang dikategorikan
sebagai Batak adalah : Batak Toba, Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak
Simalungun dan Batak Angkola. Mayoritas orang Batak beragama Kristen. Ras Batak yang
banyak beragama Islam adalah Batak Mandailing dan Batak Angkola. Ini disebabkan karena
pada awal abad ke 19 semasa Perang Paderi pasukan Minangkabau menyerang Tanah Batak
dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola
Seperti layaknya suku bangsa lain di tanah air yang kaya raya ini, orang Batak pun
memiliki kelebihan dan kekurangan. Meskipun kelebihan dan kekurangan ini sifatnya relatif.
Tergantung dari sudut pandang mana kita mau melihatnya. Para penekun kejernihan
mengatakan jika anda cukup baik maka yang burukpun bisa terlihat baik, (Purba, 1996: 52-
53)
Kekurangan kalau boleh dikatakan seperti itu yang sering kita lihat pada diri orang
Batak adalah sifatnya yang cenderung kasar, temperamental dan untuk sebagian orang kurang
santun. Banyaknya profesi copet yang dijalani oleh sebagian kecil orang Batak juga membuat
citra negatif pada suku yang konon berasal dari pulau Formosa ini. Orang Batak juga

9
cenderung sulit mengontrol emosi dan tak jarang mengeluarkan kata-kata kasar atau kalau
istilah orang Medan “cakap kotor”.
Orang batak itu adalah orang dengan sikap yang spontan. Jika mereka tidak suka, maka
mereka akan berkata secara langsung walaupun itu menyakitkan untuk didengar. Mereka
seperti itu memiliki maksud baik agar orang yang ditegur itu tidak melakukan tindakan yang
ceroboh atau pun yang tidak mengenakkan. Mereka juga sering mengeluarkan kritikan pedas
tapi bermaksud untuk membangun bukan untuk menghancurkan karakter seseorang.
Kebiasaan orang Batak berjudi di terminal-terminal juga melekatkan citra kurang baik
pada suku yang sebagian kecil masih menganut agama Malim dan menganut kepercayaan
animisme [Sipelebegu, Parbegu] ini. Sampai-sampai ada yang menulis pada sebuah blog
untuk menjauhi dan jangan kawin dengan orang Batak. Suatu anjuran yang sama sekali tidak
bijak. Apapun yang kita lihat dan dengar kita tidak bisa men-generalisasikan suatu suku
bangsa [suku apapun itu].
Di samping kekurangan-kekurangan yang sudah tersaji diatas, orang Batak juga
memiliki banyak sekali kelebihan yang patut mereka banggakan. Salah satunya adalah sistem
kekerabatan mereka yang begitu kuat kemanapun mereka pergi selalu ada perkumpulan
orang-orang Batak. Tarombo adalah kelebihan lain dari orang Batak. Tarombo adalah
pemikiran hebat dari para raja-raja Batak terdahulu. Mereka berpikir agar kelak anak cucu
dari keturunan-keturunannya tidak putus rantai persaudaraan dan dapat mengenal serta
mengetahui dengan baik dari mana mereka berasal.
Salah satunya adalah sistem kekerabatan mereka yang begitu kuat kemanapun mereka
pergi selalu ada perkumpulan orang-orang Batak. Tarombo adalah kelebihan lain dari orang
Batak. Tarombo adalah pemikiran hebat dari para raja-raja Batak terdahulu. Mereka berpikir
agar kelak anak cucu dari keturunan-keturunannya tidak putus rantai persaudaraan dan dapat
mengenal serta mengetahui dengan baik dari mana mereka berasal. Tarombo ini mempunyai
silsilah raja-raja pertama sampai sekarang.
Jujur, terus terang, terbuka dan tidak bertele-tele serta berbelit-belit adalah sisi positif
lainnya dari orang Batak. Anak bagi orang Batak adalah kekayaan yang amat berharga
“Anakhon hi do hamoran di au”. Sifat pekerja keras dan tegar pendirian diaplikasikan para
inang-inang untuk bersusah payah dan jungkir balik agar anak-anaknya dapat bersekolah
tinggi. Konon etnis Batak adalah etnis dengan tingkat pendidikan tertinggi.
1. Pekerja keras dan pantang menyerah.
2. Orang batak adalah orang yang ditanamkan sikap sebagai pemenang
3. Orang batak itu adalah orang yang ramah

10
4. Bersikap tegas adalah kesukaan orang batak
5. Tidak ingin menyia-nyiakan usaha yang sudah dilakukan

4. Pekerjaan (Mata Pencarian)


Mata Pencarian Hidup Sebagian masyarakat batak bercocok tanam di irigasi dan
ladang. Orang batak untuksebagian besar, masih mengarap tanahnya menurut adat kuno.
Diladang atau disawa-sawah, padihanya di tanam dan di panen sekali setahun. Dalam
bercocok tanam orang batak selalu bergotoroyong baik saat bertanam maupun saat panen
tiba. Di samping bercocok tanam, pertenakan jugamerupakan suatu mata pencaharian yang
penting bagi orang batak umumnya. Hewan yang biasaditernakan ialah kerbau, babi, bebek,
ayam, dan kambing. Di daerah pinggiran danau toba,biasanya masyarakat Batak menagkap
ikan dengan perahu lesung. Penangkapn ikan dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu, seperti
bulan Juni sampai Agustus. Hasil tangkapan ikan di jual kepasar.

5. Penyebaran Agama
Suku Batak adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya;
mereka memegang teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang Batak tidak suka terhadap
orang luar (Barat/sibottar mata) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain itu, ada
paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah musuh, sebab masa
itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum Injil masuk, suku Batak adalah suku penyembah
berhala. Kehidupan agamanya bercampur, antara menganut kepercayaan animisme,
dinamisme dan magi. Ada banyak nama dewa atau begu (setan) yang disembah, seperti begu
djau (dewa yang tidak dikenal orang), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang
sebelum ia mati), begu siherut (dewa yang membuat orang kurus tinggal kulit), dan lainnya.
Suku Batak hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Mereka
menjual hasil dari perternakan dan cocok tanam ke pasar ("onan") pada hari tertentu. Di pasar
mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras, garam,
tembakau, dan lainnya.
Keadaan yang dinamis ini, sering terusik oleh permusuhan antara satu kampung
dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat pembunuhan dan terjadi saling
balas dendam turun-temurun. Jika di kampung terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka
akan meminta pertolongan Raja Si Singamangaraja yang berada di Bakkara. Raja Si

11
Singamangaraja kemudian datang dan melakukan upacara untuk menolak "bala" dan
kehancuran.
Hampir semua roda kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat.
Sejak mulai lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, menikah, memiliki anak hingga
meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.
 Masuknya Penginjil ke Tanah Batak
1) Penginjil Utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris
Pada tahun 1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris yaitu Nathan Ward, Evans
dan Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menemui Raffles. Kemudian Raffles
menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak yang masih
kafir. Burton dan Ward menuruti petunjuk Raffles. Mereka pergi ke Utara, awalnnya mereka
bekerja di pesisir, kemudian tahun 1824 masuk ke daerah lebih dalam lagi, yakni Silindung-
wilayah suku Batak Toba. Saat mereka tiba di Silindung, mereka diterima dengan baik oleh
raja setempat, namun perjalanan penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham
dengan penduduk. Penduduk salah menafsirkan khotbah penginjil tersebut yang mengatakan
bahwa kerajaan mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal
ini, karena itu para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.
2) Penginjil utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission
Pada tahun 1834 dua orang Amerika, yaitu Munson dan Lyman yang merupakan
utusan gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of
Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston untuk masuk ke Sumatera. Pada 17
Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Pada 23 Juni 1834,
mereka berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan, ketika tiba di pinggir
Lembah Silindung, pada malam hari 28 Juni 1834, mereka dihadang, ditangkap, dan dibunuh
di dekat Lobu Pining. Pembunuhnya adalah Raja Panggalamei, yang merupakan Raja di
Pintubosi yang tinggal di Singkak. Ia membunuh bersama dengan rakyatnya.
3) Penginjil utusan Rheinische Missionsgesellschaft
Pada tahun 1840, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn
melakukan perjalanan ke daerah Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku
Batak. Dalam buku tersebut Junghuhn menasihatkan pemerintah kolonial untuk membuka
zending Kristen guna membendung pengaruh Islam di bagian utara Pulau Sumatera.
Karangan tersebut sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab Nederlandsche
Bijbelgenootschap di Belanda, hingga mereka mengirim seorang ahli bahasa bernama H.
Neubronner van der Tuuk untuk meneliti bahasa Batak dan untuk menerjemahkan Alkitab.

12
Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan penelitian ilmiah tentang bahasa
Batak, Lampung, Kawi, Bali. Ia juga orang Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan
bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang
Batak di rumahnya. Van der Tuuk memberi saran supaya lembaga zending mengutus para
penginjil ke Tapanuli, langsung ke daerah pedalamannya. Tahun 1857, pekabar Injil G. Van
Asselt, utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda, melakukan pelayanan di Tapanuli
Selatan. Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani. Pada 31
Maret 1861, dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon dan Simon
Siregar. Pada tahun yang sama—tepatnya pada 7 Oktober 1861—diadakan rapat empat
pendeta di Sipirok, yang diikuti oleh dua pendeta Jerman, yaitu: Pdt. Heine dan Pdt. Klemmer
serta oleh dua pendeta Belanda, yaitu: Pdt. Betz dan Pdt. Asselt. Mereka melakukan rapat
untuk menyerahkan misi penginjilan kepada Rheinische Missionsgesellschaft. Hari tersebut
dianggap menjadi hari berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig
Ingwer Nommensen (1834—1918) tiba di Padang pada tahun 1862. Ia menetap di Barus
beberapa saat untuk mempelajari bahasa dan adat Batak dan Melayu. Ia tiba melalui badan
Misi Rheinische Missionsgesellschaft. Kemudian, pada tahun 1864, ia masuk ke dearah
Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi kantor pusat HKBP).
Dalam menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing
(Raja Batak Pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan
catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada awalnya
Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena bala karena
menerima orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat, diadakan pesta nenek
moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban. Saat itu, sesudah kerasukan roh, Sibaso
(pengantara orang-orang halus) menyuruh orang banyak untuk membunuh Nommensen
sebagai korban, yang pada saat itu hadir di situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir
ke permukaan dan berkata kepada orang banyak:

“ Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak memperdaya kalian. Itu bukan
roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat. Masakan nenekmu menuntut darah
salah satu dari keturunanya! Segera Sibaso jatuh ke tanah.

Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah lembut,
hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak baik padanya.
Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut malam dan tertidur lelap,
Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan mereka, hingga pagi hari mereka

13
terbangun dan merasa malu, melihat perbuatan baik Nommensen. Sikap penolakan raja Batak
ini disebabkan kekhwatiran bahwa Nommensen adalah perintisan dari pihak Belanda.
4) Perkembangan Kekristenan setelah Injil Masuk di Tanah Batak
Suku Batak yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung
halamanya karena tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan
seperti ini mamaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu Huta Dame
(kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang Batak yang
masuk Kristen berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian—pada tahun 1881—
jumlahnya naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen adalah sekitar
6.250 orang. Pada tahun 1918, sudah tercatat 185.731 orang Kristen di wilayah RMG
Sumatera Utara. Pada tahun 1881, Nommensen diangkat menjadi Ephorus oleh RMG.
Jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal dunia pada 23 Mei 1918. Suku Batak
memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan Ompunta (Nenek Kita). Gelar ini
menyejajarkan Nommensen dengan Si Singamangaraja atau tokoh sakti lainya.

6. Tempat Tinggal
Menurut kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak
yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si Raja Batak mempunyai dua orang putra,
yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 orang putra
yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja.
Sementara, Si Raja Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si
Raja Asiasi dan Sangkar Somalidang,
Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru
daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai macam
marga Batak. Legenda mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula
orang Batak M.
Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir
sekarang tidaklah semuanya Toba. Sejak masa Kerajaan Batak hingga pembagian wilayah
yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP), Tanah Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu:

 Samosir (Pulau Samosir dan sekitarnya); contoh: marga Simbolon, Sagala, dsb

14
 Toba (Balige, Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya); contoh: marga
Sitorus, Marpaung, dsb
 Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan sekitarnya); contoh:
marga Simatupang Siburian, Silaban, Sihombing Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit,
dsb
 Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya); contoh: marga Naipospos
(Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat, (Purba,
1996:1-4).
B. Kebudayaan dan Adat Istiadat Suku Batak Toba
Kata kebudayaan seperti kata agama, sangat sulit untuk didefinisikan . dari satu segi setiap
orang adalah orang yang berasal dari satu kebudayaan lain. Kita masing-masing memiliki
system symbol kita sendiri dan cara-cara mendefinisikan hidup kita. Dalam beberapa hal dua
saudara dari keluarga yang sama secara cultural bisa sangat berbeda satu samam lain. Dari
sisi lainya, sekarang sudah lazim orang berbicara tentang “globalisasi” dan “desa global”
seolah-olah semua suku bangsa yang berjauhan sama-sama memiliki suatu kebudayaan
umum modern yang bersifat tekhnologis kapitalistik.
Laporan Willobank dari Komite Lausanne memberikan definisi berikut mengenai
kebudayaan yang menggabungkan kebudayaan dengan turunanya, struktur social:
Kebudayaan adalah suatu system terpadu dari kepercayaan-kepercayaan (mengenai
Allah, atau kenyataan, atau makna hakiki), dari nilai-nilai (mengenai apa yang benar, indah,
baik dan normative), dari adat istiadat (bagaimana berperilaku, berhubungan dengan orang
lain dengan orang lain, berbicara, berpakaian, bekerja, bermain dan sebagainya), dan dan dari
lembaga-lembaga yang mengungkapkan kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan adat-
istiadat ini (pemerintah, hokum, pengadilan dan lain sebagainya) yang mengikat suatu
masyarakat bersama-sama dan memberikan kepadanya suatu rasa memiliki jati diri, martabat,
keamanan dan berkesinambungan, (Adeney: 2000:18-19)
Dalam masa agraris tradisional, sifat orang Batak dan yang mendasari pemikiran
mereka adalah lulu anak, lulu tano, yang berarti suka anak-anak, suka akan tanah (siol di
anak, siaol di tano). Tidak dapat disangsikan bahwa Batak memiliki peranan penting, karena
seluruh norma ditujukan pad asistem pertahanan seperti halnya dalam adat permargaon
dalihan na tolu dan harajaon.”dompak partanoan ido ditujuhon luhut ruhut-ruhut ni
harentaon Batak isara songon ruhut-ruhut ni parmargaon, dalihan na tolu dohot
harajaon, (Hutagalung dalam Purba, 1996: 52)

15
Perkawinan pada orang batak pada umumnya merupakan suatu pranata yang tidak
hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita , tetapi juga mengikat dalam suatu
hubungan tertentu, kaum kerabat dari sisi laki-laki dengan kaum kerabat dari siwanita.
Karena itu menurut adat kuno seorang laki-laki tidak bebas dalam hal memilih
jodohnya. Perkawinan yang dianggap ideal dalam masyarakat batak adalah, perkawinan
antara orang-orang marpariban yang artinya seorang laki-laki dan seorang perempuan saudara
laki-laki ibunya. Maka demikian seorang laki-laki batak sangat pantang kawin dengan
seorang wanita dari marganya sendiri dan juga anak perempuan dari saudara perempuan
ayahnya. Pada zaman sekarang sudah banyak orang tidak menuruti adat kuno ini.
Sebelum upacara perkawinan dapat dilakukan adalah suatu perundingan antara kaum
kerabat dari kedua belah pihak yang disebut marhata sinamot. Perundingan mengenai sebagai
soal-soal sebagai berikut:
 Jumlah maskawin, berupa uang, harta perhiasan dan kerbau atau babi, yang harusnya
diserahkan oleh kaum kerabat si laki-laki kepada kerabat perempuan.
 Jumlah harta yang akan diterima oleh saudara laki-laki ibu dari si gadis.
 Jumlah harta yang akan diterima saudara laki-lakinya ibunya ibu si gadis.
 Jumlah yang akan diterima oleh saudara-saudara perempuan dari ibu si gadis.
 Jumlah harta yang akan diperoleh oleh anak perempuan dari ayah si gadis.
 Jumlah harta yang akan diterima oleh saudara-saudara perempuan ibu si gadis.
Menurut ahli antropologi Amerika EM. Bruner di desa lintang nihuta, di balige, ndi
tanah toba, hanya 2,3% dari perkawinan-perkawinan menuruti konsep preprensi, E.M. Bruner
Kinship Organitatin Among The Urban Batak Ops Sumatera, New York 1959 halaman 120
( dalam Setiawan dan Yunita, 2012:28-19).
Pesta biasanya dihadiri oleh kaum kerabat pengantin-pengantin kaum laki-laki,
penganten wanita, dan oleh penghuni kuta dimana pesta diadakan. Pada waktu itu maskawin
dan harta lain diserahkan kepada mereka yang menurut adat berhak menerimanya. Pada
orang batak toba sebelum perkawinan dilangsungkan pada suatu upacara yang berupa
pemberitahuan secara resmi kepada gereja akan diadakannya perkawinan itu. Setelah adat ini
yang disebut martupol, maka gerejalah yang akan mengumumkan maksud perkawinan itu.
Kecuali perkawinan dengan prosedur seperti terurai diatas maka pada orang toba ada juga
waktu lari atau mangalua. Hal itu terjadi karena misalnya tidak ada persesuaian anatara salah
satu, atau kedua belah pihak kaum kerabat. Pada waktu seperti ini, dalam waktu kurang
dalam satu hari, kaum kerabat laki-laki harus megarahkan deliglasi kerumah orang tua sigadis
untuk memberitahuakan bahwa anak gadis mereka telah dibawa dengan maksud untuk

16
dikawini (diparaja). Setelah selang bebarpa lama akan dilakukan upacara manuruk-nuruk
untuk minta maaf. Setelah upacara ini dilalui barulah disusul oleh upacara perkawinan seperti
yang diuraikan di atas. Pada orang batak adajuga perkawinan leviral (mangabia) dan adat
perkawinan sororot (singkat rere), (Setiawan dan Yunita, 2012:29-33).

Stratifikasi social orang batak yang dalam kehidupan sehari0-hari mungkin tidak amat
jelas terlihatnya, berdasarkan prinsip adalah:

1. perbedaan tingkat umur


2. perbadaan pangkat dan jabatan
3. perbedaan sifat keaslian
4. status kawin
Adapun system pelapisan social berdasrkan perbedaan umur itu tampak pada
perbedaan hak dan kewajiban terutama dalam upacara adat tetapi juga dalam hal menerima
warisan antara anak-anak dn pemuda-pemuda (danak-danak), orang yang stengah usia
(nanguda), dan orang-orang tua (tua-tua). Dalam hal menetukan upacara adat, atau dalam hal
urusan kekerabatan hanya para tua tua yang berhak memajukan saran-saran dan mengambil
keputusan. Adpun para orang yang setengah usia dapat menjadi pelaksana sedangkan mereka
yang masih danak-danak tetap diperhitungkan bahwa kalau mereka menjadi ahli waris
miswalnya, mereka harus diwakili ibu mereka.
System pelapisan social yang berdasrkan pangkat dan jabatan tampak dalam
kehidupan social sehari-hari. Lapisan yang paling tinggi adlah lapisan bangsawan, keturunan
raja-raja dan kepala wilayah-wilayah dulu. Lapisan ini disebut biak raja, (Setiawan dan
Yunita, 2012: 33-35).
Dulu orang Batak juga mengenal lapisan orang budak (hatoban). Budak ini berasal
dari tawanan perang, atau orang yang karena terlampau banyak hutang yang tak mampu
membayarnya kembali, membudak kepada sipemberi hutangnya. Perbudakan dihapuskan
Belanda pada tahun 1860, sehingga sekarng tak ada sia-sianya lagi.
Kepemimpinan dibbidang adat adalah meliputi persoalan perkawinan dan perceraian,
warisan, penyelesaian perselisihan, kelahiran anak dan sebagainya. Kepemimpinan pada
bidang adat ini tidak berada dalam tangan seorang tokoh tetapi merupakan suatu
musyawarah.

17
MAKANAN KHAS BATAK

Yang berupa masakan:

 Saksang

Saksang adalah masakan khas dari tanah Batak yang terbuat dari daging babi (atau daging anjing)
yang dicincang dan dimasak dengan menggunakan darah,santan dan rempah-rempah (termasuk
jeruk purut dan daun salam, ketumbar, bawang merah, bawang putih, cabai, merica, serai, jahe,
lengkuas, kunyit dan andaliman). Saksang menjadi makanan wajib dalam adat pernikahan Batak.

 Arsik

Arsik adalah salah satu masakan khas kawasan Tapanuli yang populer. Masakan ini dikenal pula
sebagai ikan mas bumbu kuning. Ikan mas adalah bahan utama, yang dalam penyiapannya tidak
dibuang sisiknya.

Bumbu arsik sangat khas, mengandung beberapa komponen yang khas dari wilayah
pegunungan Sumatera Utara, seperti andaliman dan asam cikala (buah kecombrang), selain

18
bumbu khas Nusantara yang umum, seperti lengkuas dan serai. Bumbu-bumbu yang
dihaluskan dilumuri pada tubuh ikan beberapa saat. Ikan kemudian dimasak dengan sedikit
minyak dan api kecil hingga agak mengering.

 Babi Panggang

 Manuk Napinadar

Manuk Napinadar atau Ayam Napinadar adalah masakan khas Batak yang biasanya dihidangkan
pada pesta adat tertentu.

Untuk mengerjakan resep yang satu ini agak sedikit rumit, butuh waktu dan kesabaran.
Pastinya inti dari masakan ini adalah di saos darah ayam itu sendiri.

Masak Ayam Napinadar ini, ayamnya harus dipanggang terlebih dahulu, setelah itu lalu
disiram dengan saos spesial yakni darah ayam (manuk) itu sendiri, dan dicampur dengan
andaliman, bawang putih bubuk (yang sudah digiling sampai halus) lalu dimasak. Sama
seperti kita menuangkan saos ke atas ayam yang sudah dipanggang.

19
 Tanggotanggo

Merupakan makanan olahan yang terbuat dari punggung babi muda

Dengke Mas na Niura

Dengke Mas na Niura atau Ikan Mas Na Niura ini adalah merupakan makanan tradisonal khas Batak
yang berasal dari Tapanuli.

Dahulu bahwa masakan na niura dikhususkan untuk raja saja, namun karena rasanya yang
enak sehingga semua orang-orang batak ingin menyantap dan membuatnya.

Ikan Mas Na Niura ini merupakan sebuah penyajian Lauk Pauk yang cara membuatnya tidak
dimasak, direbus, digoreng atau semacamnya, karena na niura dalam bahasa Batak artinya
ikan yang tidak dimasak, ikan mentah tersebut disajikan dengan bumbu yang lengkap
sehingga yang akan membuat ikan tersebut lebih enak dirasa tanpa dimasak, yang artinya
bahwa bumbu-bumbu itulah yang memasak ikan mas tersebut.

 Na Tinombur

20
Na Tinombur adalah makanan khas Batak, sajian dari Tapanuli.

Hidangan yang menggunakan ikan lele atau ikan mujahir ini diolah secara dibakar dan
disajikan dengan sambal, hampir mirip dengan lele penyet atau pecel lele.

Ikan mas atau ikan lain juga bisa, yang penting Tomburnya adalah bumbu dan saus yang
dilumuri ke ikan.

 Mie Gomak

Mie Gomak adalah makanan yang terkenal sebagai masakan khas daerah dari tanah Batak Toba,
meliputi semua daerah Batak Toba, dan juga menjadi masakan khas di Sibolga dan Tapanuli.

Mengenai asal usul sebutan untuk menu ini beragam versi.

Sebagian menyebutkan, mungkin karena cara penyediaannya digomak-gomak (digenggam


pakai tangan) hingga sampai saat ini disebut mie gomak, meski pun pada akhirnya tidak
menggenggamnya dengan tangan di saat menghidangkannya.

Juga sering disebut Spageti Batak karena mirip dengan spageti dari Itali, bentuknya mirip
seperti lidi.

Mie yang sudah direbus biasanya dibuat terpisah dengan kuah dan sambalnya. Meski banyak
ragam untuk membuat menu makanan khas Batak ini, ada yang menggunakan kuah ada juga
dibuat seperti mie goreng. Rasanya sangat unik apabila mie gomak dicampur dengan bumbu
dari tanah Batak yakni andaliman.

 Dali ni Horbo

21
Dali ni Horbo atau Bagot ni horbo adalah air susu kerbau yang diolah secara tradisional dan
merupakan makanan khas Batak dari daerah Tapanuli.

 Sambal Tuktuk

Sambal Tuktuk adalah makanan khas tradisional Batak, yang berasal dari Tapanuli.

Sebenarnya bahan-bahan untuk membuat sambal tuktuk tidak berbeda dengan bahan sambal-
sambal lainnya, sederhana saja. Yang membuat sambal ini sedikit lebih berbeda dengan
sambal yang lain adalah andalimannya.

Di daerah asalnya, sambal tuktuk dicampur dengan ikan aso-aso (sejenis ikan kembung yang
sudah dikeringkan), tapi jika tidak menemukan ikan aso-aso bisa diganti dengan ikan teri
tawar.

Yang berupa makanan ringan:

 Itak Gurgur
 Kue Pohulpohul
 Kue Ombusombus
 Kue Lampet
 Kue Benti
 Tipatipa
 Kacang Sihobuk
 Sasagun

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Batak adalah suku yang memiliki tradisi yang kuat dalam berprinsip dan berkeluarga,
orang batak selalu peduli. Dibalik setiap sifat yang keras dan suara yang lantang, sebenarnya
suku batak adalah suku yang memiliki segala keunikan.
Suku Batak memiliki adat budaya yang baku yang disebut Dalihan Na Tolu yang dapat
menembus sekat-sekat agama/kepercayaan mereka yang dapat berbeda-beda. Adat budaya
Batak ini memiliki tujuh nilai inti yaitu kekerabatan, agama, hagabeon, hamoraan, uhum dan
ugari, pangayoman, dan marsisarian. Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat
paling utama dari tujuh nilai inti budaya utama masyarakat batak. Nilai budaya hagabeon
bermakna harapan panjang umur, beranak, bercucu yang banyak, dan baik-baik. Nilai
hamoraan (kehormatan) terletak pada keseimbangan aspek spiritual dan material yang ada
pada diri seseorang. Nilai uhum (law) mutlak untuk ditegakan dan pengakuaanya tercermin
pada kesungguhan dalam penerapannya dalam menegakan keadilan. Nilai suatu keadilan itu
ditentukan dari keta’atan pada ugari (habit) serta setia dengan padan (janji). Pengayoman
(perlindungan) wajib diberikan terhadap lingkungan masyarakat. Marsisarian artinya saling
mengerti, menghargai, dan saling membantu.

B. Saran
Makalah ini menjelaskan tentang suku batak toba, untuk itu penulis menyarankan
kepada pembaca agar kiranya mengetahui silsilah suku batak toba dan mampu
mempertahankanya, khususnya pembaca suku batak toba.

23
Daftar Pustaka

Purba, O. H. S. dan Elvis F. Purba. 1997. Migrasi Spontan Batak Toba


(Marserak). Medan: Monora
Van den end, 2002. "Harta Dalam Bejana", Jakarta BPK: Gunung Mulia. hal 276.
M.C. Ricklefs,(terj) 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:
Serambi
Panitia Distrik IX Perayaan Jubileum, 1961. Seratus Tahun Kekristenan Dalam
Sejarah Rakyat Rakyat Batak. Jakarta: Panitia Distrik IX Perayaan
Jubileum.
B. Napitupulu, 2008. Almanak HKBP, Pematang Siantar: Unit Usaha Percetakan
HKBP.
Al Lumban Tobing, 1992. Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Van den end & Weitjens, SJ. 2008, Ragi Carita 2, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Kozok, Uli. Utusan Damai di Kemelut Perang. Peran Zending dalam Perang Toba
berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG lain. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor, École française d’Extrême-Orient. Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial, Unimed,
Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Jakarta 2011.

24

Anda mungkin juga menyukai