Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

A. Permasalahan

Adat dan budaya merupakan kebiasaan yang bukan hanya berlaku dan harus dipatuhi oleh
kelompok atau masyarakat, akan tetapi juga berfungsi sebagai perekat yang dapat membuat
hubungan antarmanusia dan antarsub kelompok menjadi kokoh sebagai suatu susunan
masyarakat. Adat dan budaya dalam suatu masyarakat merupakan suatu aturan baik tertulis
ataupun tidak tertulis yang secara moral harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Dalam
penerapannya, adat dan budaya berfungsi untuk mendidik dan mendisiplinkan anggota
masyarakat (Simanjuntak dkk, 1994: 6).
Demikian halnya dengan suku Batak yang memiliki adat dan budaya. Di antaranya adalah
bahasa, tulisan, kesenian, dan tata cara dalam pergaulan hidup seperti unsur inti yang ada
dalam kebudayaan Batak yaitu Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu mewarnai keseluruhan tradisi
dan budaya Batak salah satunya dalam perkawinan. Perkawinan bagi orang Batak bukan
hanya sekedar menyatukan antarkeluarga tapi juga unsur yang ada dalam Dalihan Na Tolu.
Hal itu tampak salah satunya pada simbol yang ada dalam Tortor.
Pada perkawinan adat Batak Toba, Tortor merupakan salah satu hal yang dianggap penting
dalam melengkapi setiap runtutan acara. Tortor Batak adalah suatu tarian tradisional yang
telah membudaya. Tortor diadakan untuk mencetuskan perasaan seseorang dalam situasi
tertentu. Beberapa Tortor bersifat

1
situasional, misalnya Tortor Simonang-monang berkaitan dengan tarian kemenangan, Tortor
somba-somba berkaitan dengan tarian penghormatan kepada raja dan sesama umat, Tortor
habonaran berkaitan dengan tarian kebenaran, dan sebagainya (Hutagaol dkk 2000: 11).
Beberapa dalam pelaksanaan upacara adat Batak, peran Tortor dianggap sebagai satu bagian
penting yang tidak terpisahkan dari setiap upacara yang ada di masyarakat Batak. Tortor
digunakan sebagai mediasi dalam menjembatani pelaksanaan adat Batak. Hal ini diartikan
bahwa Tortor dilakukan apabila terjadi suatu upacara penting dalam pelaksanaan pesta adat
Batak, seperti pada pesta upacara adat perkawinan, upacara kematian, dan upacara
mangongkal holi (menggali dan memindahkan tulang-belulang) yang biasanya sering
dilaksanakan. Pada saat Manortor ternyata tidak semua orang yang terlibat di dalamnya dapat
memahami apa sebenarnya makna tarian Tortor. Bagi masyarakat Batak kegiatan M anortor
sebenarnya mengandung unsur-unsur sosial yang di dalamnya diatur sistem Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu sebagai sistem hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba yang terdiri
atas dongan tubu, boru, dan hula-hula, setiap unsurnya memiliki peranan penting yang tidak
bisa terlepas dari setiap upacara apapun yang ada dalam masyarakat Batak Toba. Prinsip
Dalihan Na Tolu menjadi pegangan masyarakat suku Batak Toba karena mampu mewujudkan
hubungan sosial yang harmonis dalam tata kehidupan pelaksanaan adat masyarakat Batak
Toba (Simanjuntak, 1996: 8). Peranan Dalihan Na Tolu pada saat manortor upacara
perkawinan Batak Toba dipahami sebagai bentuk interaksi yang berlangsung 3

B. Batasan masalah
Pokok bahasan dalam makalah ini dibatasi pada kebudayaan dari suku Batak yang
terdapat di Sumatera Utara

C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dirumuskan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah sejarah dari suku batak ?
2. Bagaimanakah persebaran dan populasi suku batak di Indonesia ?
3. Bagimanakah system kekerabatan suku batak itu ?

2
4. Bagaimanakah konsep marga pada suku batak ?
5. Bagaimana penjelasan tari tor-tor sebagai tarian tradisional sumut ?
6. Apakah mata pencarian masyarakat suku batak itu ?
7. Apa saja keseniannya serta bahasa daerahnya ?
8. Bagaimanakah rumah adat suku batak,smatera utara?
9. Bagaimana tutur sapa dan bahasa suku batak ?
10. Apasajakah upacara adat suku batak ?
11. Apasajakah manfaat mempelajari suku batak tersebut ?

D. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah sejarah dari suku batak tersebut.
2. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana persebaran kebudayaan suku batak tersebut.
3. Untuk mengetahui dan memahami bagimanakah system kekerabatan suku batak itu.
4. Untuk mengetahui dan memahami Bagaimanakah konsep mrga pada suku batak .
5. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana penjelasan tari tor-tor sebagai tarian
tradisional sumut.
6. Untuk mengetahui dan memahami apakah mata pencarian masyarakat suku batak itu.
7. Untuk mengetahui dan memahami apa saja keseniannya serta bahasa daerahnya.
8. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana rumah adat suku batak sumatera
9. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana tutur sapa suku batak
10.Untuk mengetahui dan memahami apasajakah upacara adat suku batak
11.Untuk mengetahui dan memahami Apasajakah manfaat mempelajari suku batak tersebut.

E. Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini metode penulisan yang penulis gunakan adalah studi
pustaka dan juga dilengkapi oleh informasi-informasi yang diperoleh dari internet yang ada
hubungannya dengan rnasalah-masalah yang dibahas.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH SUKU BATAK


Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah
tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal
dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan
sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak Mandailing.
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek
moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur.
Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia
dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2500 tahun lalu, yaitu di
zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ditemukan artefak Neolitikum
(zaman batu muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek
moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam. Pada abad ke-6,
pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus di pesisir barat Sumatera
Utara. Mereka berdagang kapur barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman.
Kapur barus dari tanah Batak sangat bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas
ekspor selain kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini
menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa
berikutnya, perdagangan kapur barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau
yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka
terbentang dari Barus, Sorkam hingga Natal.

4
B. PERSEBARAN DAN POPULASI SUKU BATAK DI INDONESIA

Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur,
Luas daratan Provinsi Sumatera Utara 71.680 km². Sumatra Utara pada dasarnya dapat dibagi
atas:

1.Pesisir Timur
2. Pegunungan Bukit Barisan.
3. Pesisir Barat.
4. Kepulauan Nias.

Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias, dan Melayu sebagai
penduduk asli wilayah ini. Daerah pesisir timur Sumatera Utara, pada umumnya dihuni oleh
orang-orang Melayu. Pantai barat dari Barus hingga Natal, banyak bermukim orang
Minangkabau. Wilayah tengah sekitar Danau Toba, banyak dihuni oleh Suku Batak yang
sebagian besarnya beragama Kristen. Suku Nias berada di kepulauan sebelah barat.
Suku Batak terdiri dari 6.076.440 jiwa (sensus 2000)
Kawasan dengan populasi yang signifikan:

No Provinsi Populasi
1. Sumatera Utara 4.827.000
2. Riau 347.000
3. Jakarta 301.000
4. Jawa Barat 275.000
5. Sumatera Barat 188.000

5
C. SISTEM KEKERABATAN SUKU BATAK
Suku Batak diikat oleh kelompok kekerabatan yang mereka sebut sebagai marga. Adapun
kegiatan menelusuri silsilah garis keturunan marga disebut dengan istilah tarombo. Salah satu
sub suku Batak yang masih menjaga tradisi marga dan tarombo hingga kini adalah Batak
Toba. Suku ini tersebar di empat wilayah Tapanuli, Sumatera Utara, yaitu Toba, Silindung,
Samosir, dan Humbang. Marga Batak Toba adalah marga pada Suku Batak Toba yang berasal
dari daerah di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di Kabupaten Tobasa yang wilayahnya
meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan sekitarnya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2005, halaman 716,
mengartikan marga sebagai kelompok kekerabatan yang eksogam dan unlinear, baik secara
matrilineal (perempuan) maupun patrilineal (laki-laki). Adapun masyarakat umum Batak
mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku induk. Menurut Vergouwen (1986), jika
melihat realitas yang terjadi di masyarakat Batak Toba sekarang, arti ini terlihat tidak sesuai
dengan realitasnya karena bagi orang Batak Toba, marga juga dimaksudkan untuk
menunjukkan satuan suku-suku yang lebih kecil dan kelompok yang lebih besar. Hal ini juga
disebabkan oleh alur pokok dari struktur silsilah (tarombo) Batak Toba yang beragam.
Orang Batak Toba hingga kini masih meyakini bahwa marga dan tarombo penting untuk
dicari dan diperjelas karena seluruh orang Batak meyakini bahwa mereka adalah Dongan-
Sabutuha. Dongan-Sabutuha berarti mereka yang berasal dari rahim yang sama” (Vergouwen,
1986: 1). Hal ini diperkuat juga dengan peribahasa Batak yang berbunyi Tinitip sanggar bahen
huru-huruan/Djolo sinungkun marga asa binoto partuturan. Arti peribahasa ini adalah “untuk
membuat sangkar burung, orang harus memotong gelagah. Untuk tahu hubungan
kekerabatannya orang harus menanyakan marga”.
Keyakinan bahwa orang Batak Toba berasal dari rahim yang sama ini (satu marga dan
tarombo) disebabkan oleh penetapan struktur garis keturunan mereka
yang menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang berarti bahwa garis marga dan
tarombo orang Batak Toba dteruskan oleh anak laki-laki. Jika orang Batak Toba tidak memiliki
anak laki-laki, maka marga dan tarombo-nya akan punah. Adapun posisi anak perempuan atau
perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus

6
kawin dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang
D. KONSEP MARGA SUKU BATAK

Orang Batak menganut falsafah kekeluargaan dan kekerabatan yang disebut dengan
Tungku nan Tiga (tungku tiga kaki). Dalam bahasa Batak Toba, falsafah ini disebut Dalihan na
Tolu (tungku posisi duduk). Falsafah ini mengajarkan kepada orang Batak Toba bahwa sejak
lahir hingga meninggal kelak, orang Batak Toba harus jelas struktur hubungan kekeluargaan
dan kekerabatannya. Falsafah Dalihan Na Tolu berisi tiga kedudukan penting orang Batak
Toba dalam kekerabatan, yaitu Hula-hula atau Tondong, Dongan Tubu atau Sanina, dan Boru.
1. Hula-hula atau Tondong adalah kelompok yang menempati posisi paling atas, yaitu posisi
yang harus dihormati oleh seluruh orang Batak Toba. Adapun yang termasuk ke dalam
kelompok ini adalah pihak keluarga dari istri yang disebut sebagai Somba Marhula-hula.
2. Dongan Tubu adalah kelompok yang posisinya sejajar, misalnya teman dan saudara satu
marga. Kelompok ini adalah kelompok yang rentan terhadap perpecahan. Untuk itu, budaya
Batak Toba mengenal konsep Manat Mardongan Tubu, artinya menjaga persaudaraan agar
terhindar dari perseteruan.
3. Boru adalah kelompok yang menempati posisi bawah, artinya kelompok ini harus selalu
dikasihi (Elek Morboru). Adapun yang termasuk kelompok ini adalah saudara perempuan dari
marga suami dan dari pihak ayah.
Dalihan Na Tolu tidak mirip dengan konsep kasta dalam agama Hindu. Perbedaannya
terdapat pada ketetapan setiap posisi dalam sistem ini. Posisi masing-masing kasta dalam
sistem kasta Hindu tidak dapat berubah. Sebagai contoh, jika seseorang lahir dalam posisi
kasta Brahmana, maka demikian posisi seterusnya hingga dia meninggal kelak. Kasta
Brahmana tersebut tidak dapat berubah menjadi Sudra misalnya. Sementara itu, posisi Dalihan
Na tolu sangat bergantung pada konteksnya (berubah-ubah). Semua anggota masyarakat
Batak Toba suatu ketika pasti akan mengalami menjadi Hulahula, Dongan Tubu, atau Boru.
Sebagai contoh, salah satu anggota keluarga dari istri seorang bupati bisa jadi hanya menjabat
sebagai camat, namun dalam sebuah upacara adat, si bupati tersebut harus mau mencuci
piring untuk melayani keluarga istrinya karena keluarga istri masuk dalam kelompok atas

7
(Hula-hula) dan si bupati masuk dalam posisi bawah (boru).
Semua orang Batak harus berperilaku seakan-akan sebagai “raja” berdasarkan falsafah
kekerabatan di atas. Artinya, dalam struktur tata kekerabatan Batak Toba, orang harus
berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak, bukan raja
sebagai orang yang berkuasa. Maka dari itu, dalam setiap pembicaraan adat, sering terdengar
sebutan Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu, atau Raja ni Boru. Selain itu, penyebutan ini
dimaksudkan untuk menghormati setiap posisi dalam Dalihan Na Tolu (semua orang Batak
Toba dianggap sederajat).

E. TARI TOR-TOR SEBAGAI TARIAN TRADISIONAL SUKU BATAK SUMATERA UTARA

Tarian Tor-tor khas suku Batak, Sumatera Utara. Tarian yang gerakannya se-irama
dengan iringan musik (magondangi) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti
gondang, suling, dan terompet batak.Tari tor-tor dulunya digunakan dalam acara ritual yang
berhubungan dengan roh, dimana roh tersebut dipanggil dan "masuk" ke patung-patung batu
(merupakan simbol dari leluhur), lalu patung tersebut tersebut bergerak seperti menari akan
tetapi gerakannya kaku. Gerakan tersebut meliputi gerakan kaki (jinjit-jinjit) dan gerakan
tangan.
Jenis tari tor-tor pun berbeda-beda, ada yang dinamakan tor-tor Pangurason (tari
pembersihan). Tari ini biasanya digelar pada saat pesta besar yang mana lebih dahulu
dibersihkan tempat dan lokasi pesta sebelum pesta dimulai agar jauh dari mara bahaya
dengan menggunakan jeruk purut. Ada juga tor-tor Sipitu Cawan (Tari tujuh cawan). Tari ini
biasa digelar pada saat pengukuhan seorang raja, menurut legenda tari berasal dari 7 putri
kayangan yang mandi disebuah telaga di puncak Gunung Pusuk Buhit. Kemudian ada tor-tor
Tunggal Panaluan merupakan suatu budaya ritual. Biasanya digelar apabila suatu desa
dilanda musibah, maka tanggal ditarikan tari tor-tor,
akan ditentukan oleh para dukun untuk mendapat petunjuk solusi untuk mengatasi masalah
tersebut. Sebab tongkat tunggal penaggalan adalah perpaduan kesaktian Debata Natolu yaitu
Benua atas, Benua tengah dan Benua bawah.

8
Dalam perkembangannya tarian tor-tor ada dalam berbagai acara adat Batak, maknanya
disesuaikan dengan tema acara adat yang sedang dilakukan. Dan untuk lebih memeriahkan
tari tor-tor, sebagian penonton memberikan saweran kepada penari tor-tor yang diselipkan di
tangan penari tor-tor dan sang pemberi saweran melakukannya sambil menari tor-tor juga.
F. MATA PENCARIAN MASYARAKAT SUKU BATAK

Daerah sumatera utara dikenal dengan tanahnya yang subur , hal inilah yang
menyebabkan masyarakat didaerah ini sebagian besar bermata pencarian sebagai petani,
manggulis ( menyadap getah pohon karet ), dan parengge-rengge ( menjual hasil dari
perkebunannya, seperti sayuran, buah dsb. ) Pada umumnya masyarakat batak bercocok
tanam di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga.
Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau,
sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk
disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan,
ukiran kayu, temmbikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.

G. KERAJINAN TANGAN DAN KESENIAN SERTA BAHASA DAERAH SUKU BATAK

Tenunan merupakan seni kerajinan yang menarik dari suku Batak. Contoh tenunan ini
adalah kain ulos dan kain songket. Ulos merupakan kain adat Batak yang digunakan dalam
upacara-upacara perkawinan, kematian, mendirikan rumah, kesenian,dsb. Bahan kain ulos
terbuat dari benang kapas atau rami. Warna ulos biasanya adalah hitam, putih, dan merah
yang mempunyai makna tertentu. Sedangkan warna lain merupakan lambang dari variasi
kehidupan.Pada suku Pakpak ada tenunan yang dikenal dengan nama oles. Bisanya warna
dasar oles adalah hitam kecokelatan atau putih
Pada suku Karo ada tenunan yang dikenal dengan nama uis. Bisanya warna dasar adalah biru
tua dan kemerahan.Pada suku Pesisir ada tenunan yang dikenal dengan nama Songket Barus.
Biasanya warna dasar kerajinan ini adalah Merah Tua atau Kuning Emas.

H. RUMAH ADAT SUKU BATAK SUMATERA UTARA

9
Arsitektur rumah adat yang merupakan perpaduan dari hasil seni pahat dan seni ukir serta
hasil seni kerajinan. Arsitektur rumah adat terdapat dalam berbagai bentuk ornamen.Pada
umumnya bentuk bangunan rumah adat pada kelompok adat batak melambangkan "kerbau
berdiri tegak".
Hal ini lebih jelas lagi dengan menghias pucuk atap dengan kepala kerbau. Rumah adat suku
bangsa Batak bernama Ruma Batak. Berdiri kokoh dan megah dan masih banyak ditemui
diSamosir.Rumah adat Karo kelihatan besar dan lebih tinggi dibandingkan dengan rumah adat
lainnya. Atapnya terbuat dari ijuk dan biasanya ditambah dengan atap-atap yang lebih kecil
berbentuk segitiga yang disebut "ayo-ayo rumah" dan "tersek". Dengan atap menjulang
berlapis-lapis itu rumah Karo memiliki bentuk khas dibanding dengan rumah tradisional lainnya
yang hanya memiliki satu lapis atap di SumateraUtara.Bentuk rumah adat di daerah
Simalungun cukup memikat. Kompleks rumah adat di desa Pematang Purba terdiri dari
beberapa bangunan yaitu rumah bolon,balai bolon,jemur,pantangan balai butuh dan lesung.
Bangunan khas Mandailing yang menonjol adalah yang disebut "Bagas Gadang" (rumah
Namora Natoras) dan "Sopo Godang" (balai musyawarah adat).Rumah adat Pesisir Sibolga
kelihatan lebih megah dan lebih indah dibandingkan dengan rumah adat lainnya. Rumah adat
ini masih berdiri kokoh di halaman Gedung Nasional Sibolga.

I. TUTUR SAPA MASYARAKAT SUKU BATAK

Tutur Sapaan Sapaan Terhadap


Ompung Kakek dan nenek
Amang Ayah
Inang, umang Ibu
Anak Anak laki-laki
Boru Anak permpuan
Anggi Adik
Angkang Kakak laki-laki
Tulang Saudara laki-laki ibu

10
Pahompu Cucu
Parumaen Menantu perempuan
Amang Boru Suami saudara perempuan ayah
Bere Menantu laki-laki
Bou Mertua

J. UPACARA ADAT MASYARAKAT SUKU BATAK

1) Upacara perkawinan
Upacara perkawinan dilaksanakan di tengah masyarakat sejak dahulu sampai sekarang.
Perkawinan sekaligus mempertemukan dan mengawali hubungan dua keluarga yang saling
bersahabat.
13
Tiap-tiap daerah mempunyai adat berbeda-beda, seperti di daerah Minangkabau menganut
garis keturunan matrilineal (garis ibu), sedangkan suku Batak, Bali, Jawa menganut garis
patrilineal (garis keturunan laki-laki).
2) Upacara penguburan
Upacara penguburan merupakan upacara yang dikenal pertama kali dalam kehidupan manusia
sebelum mengenal tulisan. Upacara penguburan menimbulkan kepercayaan bahwa roh orang
meninggal akan pergi ke satu tempat tidak jauh dari lingkungan di mana ia pernah tinggal
semasa hidupnya. Sewaktu-waktu roh tersebut dapat dipanggil untuk menolong masyarakat
jika ada bahaya atau kesulitan.
3) Upacara pengukuhan kepala suku
Kedudukan kepala suku di masa lalu adalah besar sebab ia harus memiliki kesaktian, keahlian,
pengalaman, dan pengaruh yang kuat karena kepala suku adalah pelindung kelompok
sukunya dari berbagai ancaman. Kepala suku bahkan dianggap ahli dalam upacara pemujaan,
upacara penempatan rumah, upacara pembukaan ladang, dan upacara adat lainnya. Upacara
pada dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan kesadaran
terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa lalunya melalui upacara.

11
K. MANFAAT MEMPELAJARI KEBUDAYAAN SUKU BATAK

Keanekaragaman kebudayaan adalah suatu kekayaan Negara yang sangat berharga.


Kekayaan yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaanya. Dan sebagai warga Negara yang
baik, kita wajib ikut serta dalam melestarikannya.
Pembelajaran mengenai Budaya Nusantara perlu diberikan dengan tujuan untuk mengenalkan
keanekaragaman kebudayaan yang ada di Indonesia. Dengan adanya Budaya Nusantara,
diharapkan masyarakat Indonesia bisa mengerti akan keanekaragaman suku, budaya, dan
adat istiadat yang ada di Indonesia.
Sehingga masyarakat kita dapat menyadari kekayaan yang ada di Indonesia ini dan mau ikut
melestarikannya.
Pembelajaran Budaya Nusantara juga diharapkan dapat menumbuhkan sikap toleransi dalam
masyarakat. Apabila setiap anggota masyarakat mampu untuk saling mengerti dan
menghormati kebutuhan anggota lainnya, suatu kerukunan pasti akan tercipta. Kerukunan ini
dapat menimbulkan rasa persatuan yang lebih besar dalam masyarakat, sehingga masyarakat
tidak mudah untuk dipecah belah.
Mempelajari Budaya Nusantara memudahkan kita untuk berinteraksi dengan orang yang
berasal dari tempat lain di Indonesia dengan kebudayaan yang berbeda. Mempelajari Budaya
Nusantara adalah salah satu kunci agar mereka bisa beradaptasi di tempat baru dimana
mereka akan ditempatkan. Budaya Nusantara tidak hanya mengajarkan kepada kita tentang
kesenian-kesenian tradisional maupun upacara-upacara adat dari berbagai daerah, tetapi juga
memberikan informasi tentang bagaimana keadaan sosial masyarakat di daerah tersebut.
Mengetahui bagaimana sifat seseorang akan memudahkan kita untuk dapat bergaul dan
berinteraksi secara akrab dengannya. Dan sekali lagi, Budaya Nusantara mampu untuk
menjembatani adanya perbedaan tersebut.
Perbedaan bukanlah sesuatu yang harus kita tonjolkan karena kita semua sebenarnya adalah

12
sama, yaitu sama-sama makhluk Tuhan yang butuh makan dan minum. Perbedaan hanyalah
suatu fasilitas untuk menunjukkan keberadaan kita di dunia ini. Janganlah suatu perbedaan
membuat kita semakin jauh, dan bahkan terpecah belah. Bhineka Tunggal Ika, walaupun kita
berbeda, tetapi kita tetap satu jua.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini adalah penelitan yang bersifat kualitatif dengan
pengambilan data yang dilakukan dari studi pustaka, sehingga penelitian ini bersumber dari
bahan kepustakaan dan literatur, internet dan wawancara sebagai data pendukung.
a. Bahan Penelitian:

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat dikategorikan dalam dua kategori yang
bersumber dari data primer dan data skunder:
1. Data Primer
Sumber data primer yaitu melalui penelusuran pustaka yang dijadikan sebagai data utama dan
wawancara sebagai data pendukung.

a. Blummer, Herbert, Symbolic Interactionism: Perspektive and Method, New Jersey: Prentice
Hall, 1969.

b. Hutagaol, Tiurlan & Sitompul, MA., 2000. Budaya Batak Gondang dan Tortor yang Disinari
Kekristenan. Jakarta.

c. Purba, Mauly. 2007. Mengenal Tradisi Gondang dan Tor-Tor pada Masyarakat Batak Toba .
Medan.

d. Siahaan, Nalom, 1982, Adat Dalihan Natolu: Prinsip dan Pelaksanaanya , Prima Anugerah,
Tanggerang.

13
e. Sihombing, T. M., 2000, Falsafah Batak Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat, Balai
Pustaka, Jakarta.

f. Vergouwen, J.C. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: Lkis.

2. Data Sekunder
Sumber data sekunder penelitian ini adalah berbagai buku-buku lain, jurnal, dan tulisan
maupun artikel lain di Internet sebagai pelengkap yang terkait dengan objek material maupun
objek formal penelitian di antaranya.
a. Charon, Joel M. 1979. Symbolic Interactionism, United State of America: Pretice Hall Inc.

b. Soeprapto, Riyadi. 2001. Interaksionisme Simbolik perspektif sosiologi modern. Malang:


Averroes Press dan Pustaka Pelajar

c. Umiarso, Elbadiansyah. Interaksionisme Simbolik Dari Era Klasik Hingga Modren . Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada. 2014.

b. Jalan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data: mengumpulkan sumber pustaka yang berkaitan dengan objek yang
akan diteliti dan melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat Batak yang paham akan
adat budaya Batak guna untuk mendapat penjelasan tambahan terkait objek penelitian.

b. Klasifikasi: data yang telah diperoleh, dikelompokkan menjadi data primer dan data skunder.

c. Pengolahan data: menganalisis data dari hasil klasifikasi data sehingga diperoleh
pemahaman dalam menentukan arah penelitian.

d. Penyajian akhir penelitian: memaparkan hasil analisis berupa uraian tertulis.

c. Analisis Hasil

14
Berdasarkan buku karya Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1990:107-113) yang
berjudul “Metodologi Penelitian Filsafat”, penelitian skripsi ini termasuk ke dalam model
penelitian yang mengangkat persoalan-persoalan aktual yang merupakan masalah
kontroversial. Data-data yang digunakan kemudian dilakukan analisis filosofis, dan direfleksi
menggunakan beberapa unsur metodis umum, seperti yang berlaku bagi setiap penelitian
filsafat antara lain:
1. Deskripsi: Memberi deskripsi yang jelas tentang konsep Dalihan Na Tolu serta peranannya
pada tari Tortor upacara perkawinan adat Batak Toba.

2. Interpretasi: Bahan penelitian yang telah dideskripsikan kemudian di interpretasikan dengan


konsep-konsep filosofis. Hal ini dilakukan untuk memberi ketegasan bahwa penelitian ini
berada di wilayah filsafat.

3. Koherensi Intern, yaitu mencari keterkaitan logis bentuk interaksi yang berlangsung antara
Dalihan Na Tolu dalam memahami makna dari setiap proses tari Tortor, dengan Teori
Interaksionisme Simbolik Herbert George Blumer.

4. Refleksi, yaitu interpretasi yang lebih baru dan penambahan hasil refleksi penulis, sehingga
penelitian ini dapat merumuskan secara jelas peran Dalihan Na Tolu dalam memahami makna
dari setiap tari Tortor upacara perkawinan adat Batak Toba dengan menggunakan
Interaksionisme Simbolik Herbert George Blumer.
F. Hasil yang Dicapai
Hasil yang dicapai dalam penelitian filsafat ini mengacu pada rumusan masalah:
1. Memperoleh pemahaman yang lebih mendalam lagi mengenai adat budaya suku Batak
terutama adat Dalihan Na Tolu sebagai sistem sosial seta perananya pada tari Tortor
Perkawinan adat Batak Toba.

2. Memahami lebih mendalam tentang Teori Interaksionisme Simbolik Herbert George Blumer
sebagai tinjauan yang digunakan dalam penelitian ini.

15
3. Mendapatkan pemahaman baru tentang makna secara simbolik yang tedapat pada tari
Tortor serta hubunganya dengan Dalihan Na Tolu yang dianalisis dengan mengunakan teori
interaksionisme simbolik Herbert George Blumer.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Daerah Sumatra Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam dalam bentuk
adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Masyarakatnya terdiri atas beberapa suku,
seperti Melayu, Nias, Batak Toba, Pakpak, Karo, Simalungun, Tapanuli Tengah, Tapanuli
Selatan (meliputi Sipirok, Angkola, Padang Bolak, dan Mandailing); serta penduduk pendatang
seperti Minang, Jawa dan Aceh yang membawa budaya serta adat-istiadatnya sendiri-sendiri.
Daerah ini memiliki potensi yang cukup baik dalam sektor pariwisata, baik wisata alam,
budaya, maupun sejarah
Semua etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat, tari daerah,
jenis makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah masing-masing.
Keragaman budaya ini sangat mendukung dalam pasar pariwisata di Sumater Utara.
Walaupun begitu banyak etnis budaya di Sumatera Utara tidak membuat perbedaan antar etnis
dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat berbaur satu sama lain dengan memupuk
kebersamaan yang baik. kalau di lihat dari berbagai daerah bahwa hanya Sumatera Utara
yang memiliki penduduk dengan berbagai etnis yang berbeda dan ini tentunya sangat memiliki
nilai positif terhadap daerah sumatera utara.
B. Saran
Setelah terselesainya tugas akhir ini penulis mencoba memberikan saran yang nantinya
mungkin dapat berguna bagi semua pihak. Adapun sasarannya antara lain:
Hendaknya kepala sekolah memiliki gaya kepemimpinan demokratik tidak hanya dengan orang tua murid
saja, tetapi juga kepada guru-guru pengajar karena gaya kepemimpinan demokratik adalah
yang terbaik dalam keadaan normal.

16
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1990. Sejarah Lokal di Indonesia Kumpulan Tulisan. Yogyakarta :Gadjah
Mada University Press.
Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :Djambatan.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1998. Budaya masyarakat perbatasan. Jakarta :

17

Anda mungkin juga menyukai