Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Batak adalah salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia. Dari data BPS (2011) sesuai
dengan hasil sensus penduduk tahun 2010 ditemukan bahwa suku Batak merupakan suku terbesar
ketiga di Indonesia jika dilihat dari jumlahnya yakni sebanyak 8.466.969 orang (3,58 % dari jumlah
penduduk Indonesia), yang merupakan kelompok kesatuan sosial dari bagian sub-suku masyarakat
suku Batak yang berada di daerah Sumatera Utara, khususnya sebagai asal lahirnya yang kemudian
menyebar ke berbagai daerah. Suku Batak tidak hanya satu saja tetapi terdiri dari beberapa sub
suku. Suku Batak Toba adalah salah satu dari enam suku Batak yang terdiri dari Batak Toba, Batak
Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak/Dairi, Batak Mandailing dan Batak Angkola (Koentjaraningrat
1985, dalam Simanungkalit, 2018).

Budaya mencerminkan nilai bagi khalayak manusia sebagai pandangan hidup ataupun
pedoman, yang menjadi alat untuk menentukan nilai kebenaran serta digunakan untuk mengatasi
masalah. Disamping itu budaya juga bisa di jadikan sumber pengetahuan yang baik karena di
dalamnya terkandung nilai nilai yang bermanfaat bagi manusia. Terwujudnya kebudayaan
merupakan hasil dari interaksi antara manusia daninteraksi terhadap alam.Tumbuh kebudayaan
yang kemudian dikembangkan dari generasi ke generasi sesuai tingkat kebutuhan serta peredaran
zaman. Jadi dapat dikatakan bahwa kebudayaan berasal dari manusia dan untuk manusia itu pula.
Namun kebudayaan ataupun adat istiadat dapat berkurang ataupun digantikan, karena dianggap
tidak mengandung nilai yang baik di kehidupan generasi berikutnya. Zaman ataupun era menjadi
pengaruh yang besar dalam hal ini.

Pada dasarnya kehidupan manusia terus mengalami perubahan karena adanya penemuan-
penemuan baru sehingga membuat kebutuhan manusia berubah.Dengan hal itu kebudayaan yang
sebelumnya, tidak lagi mengandung nilai yang berarti di kehidupan berikutnya. Itulah sebabnya
pengurangan bahkan penggantian kebudayaan yang barupun terjadi, dalam hal ini kebudayaan
bersifat tidak tetap melainkan dinamis. Perubahan kebudayaan yang bersifat dinamis kian dialami
suku Batak. Telah ditemukan beberapa perubahan peraturan adat istiadat suku Batak. Diantaranya
perubahan aturan pernikahan, perubahan aturan memasuki rumah, perubahan aturan
memindahkan tulang mayat para leluhur, dan perubahan-perubahan aturan lainya. Hal ini
dikarenakan tingkat kebutuhan dan kepentingannya kian berkurang bahkan tergantikan.

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS pada tahun 2010 suku Batak mencapai
hingga 6.188 juta penduduk.Suku ini lahir dari Sumatera Utara yang sebagian sudah berpencar
kesuluruh daerah-daerah di Indonesia maupun di luar Indonesia.Suku Batak terbagi atas enam
bagian yaitu Batak Toba (populasi terbesar), Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing,
Batak Pakpak, dan Batak Angkola.Suku ini memiliki tradisi yang sangat kental hampir di setiap
moment-moment kehidupan dipenuhi tradisi ataupun adat. Mulai dari lahir, menikah, hingga wafat
tradisi dan adat Batak menjadi pedoman bagi masyarakat Batak. Pada umumnya orang Batak
sangat merasa hina malu apabila dia tidak menjalankan tradisi adat Batak. Saat ini tradisi adat yang
paling meriah dan yang mudah di jumpai di suku Batak adalah adat pernikahan.
Berbicara tentang pernikahan, hampir setiap manusia berkeinginan untuk menikah, karena
menikah merupakan suatu moment yang akan di kenang sepanjang masa dan dari sanalah kita akan
meneruskan generasi berikutnya dengan bermodalkan perjuangan serta kasih sayang. Pernikahan
atau perkawinan adalah suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang dimana
menyatukan dua manusia menjadi satu keluarga. pernikahan juga menyatukan dua keluarga besar
dalam jalinan persaudaraan. Dalam pernikahaan adat Batak dilakukan beberapa acara mulai dari
ritual pernikahan,acara adat sampai pada resepsi pernikahan.Pernikahan di adat Batak sangatlah
rumit untuk dimengerti karena terlalu banyak ritual yang harus dilakukan. Tidak banyak orang Batak
mengetahuinya hanya sebagian kecil yang tahu ritual-ritual tersebut dan biasanya disebut Raja
Parhata. Pada saat proses ritual pernikahan tersebut akan dipimpin oleh Raja Parhata dari pihak
mempelai pria satu dan dari pihak mempelai perempuan satunya lagi.

Adapun ritual adat pernikahan di suku Batak biasanya dilakukan tari-tarian disebutmanartor
diiringi dengan musik ala Batak yaitu gondang (gendang batak). Adapun ritual lainnya
adalahmangulosi (memberikan ulos kepada kedua mempelai) mangulosi hanya dilakukan oleh pihak
perempuan. Kemudian partaruhon tandok, hal ini merupakan pemberian beras atau padi kepada
kedua mempelai, Mangalean jambar (membagikanternak yang disembelih berdasarkan organ
tubuhnya seperti kaki, kepala, badan, dan organ dalam lainnya), perjamuan makan, dipenutupan
acara biasanya para Raja Parhata akan marumpasa (berbalas pantun versi batak) yang
mengandung makna - makna yang baik dan bersifat membangun.

Pernikahan disuku Batak memiliki aturan tersendiri, bahwa didalam suku Batak tidak
diperbolehkan atau dilarang keras adanya pernikahan satu marga ataupun satu lintas marga. Sebab
hal itu dianggappernikahan sedarah yang mendatangkanaib bahkan mendatangkan malapetaka di
tengah-tengah keluarga tersebut. Marga di suku Batak merupakan suatu indetitas diri yang
diturunkan seorang ayah kepada anaknya secara turun menurun dari generasi ke generasi
berikutnya.

Lintas marga merupakan kumpulan beberapa marga yang bersatu dan menganggap mereka
bersaudara. Bersaudara yang dimaksud bisa karena memang para leluhur memiliki ikatan darah dan
bisa pula karena padan (sumpah atau ikrar yang dibuat para leluhur bahwa mereka adalah saudara
walaupun tidak sedarah). Misalnya yang termasuk satu lintas marga adalah marga Siahaan, marga
simanjuntak dan marga Hutagaol.Hampir setiap marga disuku Batak memiliki lintas marganya
masing-masing. Suku Batak juga dikenal dengan sifat perantaunya, hampir disetiap provinsi di
Indonesia dapat dijumpai masyarakat Batak.Bahkan merantau hingga ke luar Indonesia, hal ini
disebabkan karena masyarakat batak tidak memiliki pekerjaan untuk menghidupi dirinya juga
keluarganya di kampung halaman.Selain itu adanya rasa malu apabila berdiam di kampung
halaman dengan berstatus pengangguran. Pangkalpinang merupakan salah satu daerah dimana
masih dapat ditemukan populasi suku Batak.

Populasi suku Batak diPangkalpinang terbilang sudah lama keberadaannya, sebagian besar
populasi Batak menetap dengan pekerjaannya, berkeluarga, berketurunan dan meninggal di
Pangkalpinang. Ritual adat istiadat Batak didaerah ini masih sering diadakan terlebih ritual adat
pernikahannya. Setelah melakukan observasi lapangan Peneliti menemukan adanya keluarga yang
melakukan pernikahan lintas marga.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah

Suku Mandailing  adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten


Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten
Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Kabupaten
Asahan, dan Kabupaten Batu bara di Provinsi Sumatera Utara beserta Kabupaten
Pasamandan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan
Huludi Provinsi Riau. Mandailing merupakan kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku, Hal
ini terlihat dari perbedaan sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.

Mandailing berasal dari kata "Mandala Holing", sebuah federasi yang pernah hadir di Tapanuli
Selatan pada abad ke-12. Kata ini tertera dalam Surat Tumbaga Holing (Serat Tembaga Kalinga).
Sebagian sosiolog juga berpendapat bahwa asal kata Mandailing berasal dari kata “Mande Hilang”
dari Bahasa Minangkabau yang berarti “ibu yang hilang.”

B. Bahasa

Bahasa Mandailing merupakan bahasa yang terdapat di provinsi Sumatera Utara bagian selatan,
Sumatera Barat dan Riau bagian utara, yang merupakan varian dari bahasa Sanskerta yang banyak
dipengaruhi bahasa Arab.
Bahasa Mandailing Julu dan Mandailing Godang dengan pengucapan yang lebih lembut lagi dari
bahasa Angkola, bahkan dari bahasa Batak Toba. Mayoritas penggunaannya di daerah Kabupaten
Mandailing Natal, tapi tidak termasuk bahasa Natal (bahasa Minang), walau pun pengguna bahasa
Natal berkerabat(seketurunan) dengan orang-orang Kabupaten Mandailing Natal pada umumnya.
Sementara itu, bahasa Mandailing Padang Lawas (Padang Bolak) dipakai di wilayah Kabupaten
PadangLawas Utara dan Padang Lawas. Di Pasaman, Sumatera Barat dan Kampar, Riau, bahasa
Mandailing mempunyai variasi tersendiri. Di wilayah Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu, orang-
orang Mandailing umumnya memakai bahasaMelayu Pesisir Timur.Bahasa Mandailing Angkola,
terutama di Angkola Dolok (Sipirok) adalah bahasa yang paling mirip dengan bahasa Batak Toba,
karena letak geografisnya yang berdekatan, namun bahasa Angkola sedikit lebih lembut intonasinya
daripada bahasa Toba. Bahasa Angkola meliputi daerah Padangsidempuan,Batang Toru, Sipirok,
seluruh bagian kabupaten Tapanuli Selatan.

C. Adat Istiadat
 Mengenal Upacara Adat Kematian Masyarakat Mandailing

Selain pernikahan, ternyata ada juga upacara adat kematian Mandailing yang harus diikuti
tahap pertahap. Karena, kematian merupakan sesuatu yang sakral juga menurut suku ini sama
seperti pernikahan. Kematian bagi suku di Sumatera utara merupakan sesuatu yang harus dirayakan
dengancaranya sendiri. Sehingga, harus diadakan sebuah upacara adat sesuai dengan ketentuan
adat.
Adapun rentetan kegiatan upacara adat tersebut, antara lain sebagai berikut. 

1. Penentuan Tanggal Upacara Pemakaman

Bagi orang-orang suku ini, setelah salah satu keluarga ada yag meninggal maka diadakan
penentuan tanggal upacara pemakaman. Dalam penentuan tersebut, diharapkan seluruh keluarga
besar berkumpul untuk bisa berunding. 

Keluarga harus hadir semua, mulai dari keluarga inti, kakak, adik, om dan tante dan semuanya.
Diskusi ini diadakan dalam sebuah rapat keluarga besar, mulai dari menentukan tanggal, tempat,
acara yang akan diadakan, hidangan jamuan makanannya hingga pembagian jambar.

2. Peletakan Yang Meninggal

Pada saat hari upacara adat kematian Mandailing diadakan, semua keluarga langsung bersiap.
Dengan meletakkan mayat di daerah terbuka seperti terus rumah keluarga duka, yang terpenting
upacara ini harus dilakukan di siang hari. Selain itu, mayat dimasukkan di dalam peti dan ditutup
dengan kain ulos. Peti diletakkan di tengah-tengah keluarga besar.

Semua itu dilakukan agar yang meninggal bisa berkumpul ditengah-tengah keluarga besar.
Sambil melakukan upacara pemakamannya, keluarga terus memperhatikan keluarganya.

3. Jamuan Makan Siang untuk Para Pelayat


Setelah persiapan selesai, saatnya jamuan makan siang dihidangkan untuk para pelayat yang
datang. Untuk upacara adat kematian Mandailing ini memang melakukan acara makan siang dan
acara musik saat prosesi pemakaman. Umumnya menyambut para pelayat yang sudah datang dan
disiapkan jamuan makan, karena dilakukan siang hari makan dikatakan sebagai jamuan makan siang.

4. Pembagian Jambar
Pembagian jambar ini memang biasanya dilakukan setelah acara makan siang, artinya
pembagian jambar adalah penyembelihan hewan yang merupakan pembagian hak bagian yang
menjadi milik bersama. Istilah Jambar disebut sebagai kurban kerbau ataupun sapi. Upacara adat
kematian Mandailing yang satu ini memang merupakan seperti acara utama. 
Pembagian jambar ini dilakukan dengan terbagi menjadi 4 macam yaitu, juhut (daging), hepeng
(uang), tor-tor (tari), hata (berbicara). Biasanya pembagian jambar hepeng ditiadakan dan hanya
digantikan dengan jambar juhut. Namun, untuk yang termasuk keluarga berada boleh mengadakan
jambar hepeng.

5. Tari Tor-tor

Tarian tor-tor pada umumnya memang dikenal sebagai tarian yang berasal dari daerah
Sumatera Utara dan masyarakat suku batak. Suku Mandailing yang banyak tersebar diwilayah
Sumatera Utara juga menyebut tarian tradisionalnya dengan nama tari tor-tor. Tarian tor-tor adat
Mandailing ini berbeda dengan tarian tor-tor dari adat batak lainnya. Perbedaan dapat dilihat dari
pola gerak dan musik serta nyanyian yang mengiringi tarian tor-tor ini.

Pada adat Mandailing biasanya tari tor-tor ini diiringi oleh musik gordang sambilan ataupun
dengan onang-onang. Gerakan pada tarian tor-tor adat mandailing cenderung lebih lambat dan
terasa lebih hikmat karna diiringi oleh onang-onag yang biasanya merupakan bentuk puisi, nasihat,
ataupun doa.

Begitu acara pembagian jambar selesai dilakukan, maka akan dilanjutkan dengan penampilan
tarian Tor-tor yang diiringi orkes musik. Tarian ini memang diperuntukkan bagi acara seperti ini.  
acara ini juga sekaligus dilakukan dengan kegiatan menyanyi menggunakan alat musik. Tarian inipun
juga menjadi tarian identik suku ini yang berhubungan dengan acara kematian.

6. Minum-minuman Tradisional
Tidak hanya menari, bernyanyi dan makan-makan, ada juga adat lainnya yang sering dilakukan
pada saat upacara pemakaman ini. Yaitu, minum-minuman tradisional yang berupa minuman sejenis
tuak.  Ini hanya bentuk mengikuti adat saja, karena memang dalam adat suku tersebut beberapa
kegiatan seperti di atas pun juga harus dilakukan.

Itulah urutan tata cara yang harus dikuti oleh masyarakat suku Mandailing, Tapanuli Selatan
saat melakukan prosesi upacara adat kematian Mandailing. Tahapan tersebut harus dijalani dan
diikuti sesuai adat, untuk menghormati adat istiadat para leluhur. Namun, bergesernya kebudayaan
yang membuat masyarakat semakin modern kadang upacara seperti ini sudah tidak dijalankan lagi.
Adapun adat Mandailing yg perlu kamu ketahui adalah

1.Endeng-Endeng

Endeng -endeng berasal dari kata ende yang menurut bahasa artinya adalah Lagu. Endeng-endeng
ini biasanya sering dilaksanakan pada saat upacara pernikahan pada masyarakat suku adat
Mandailing. Endeng – endeng ini dilaksanakan secara bersama oleh kedua belah pihak keluarga dan
sang pengantin atau disebut dengan Dahlian Natolu. Pada saat tarian ini dilaksanakan biasanya pihak
keluarga akan mengeluarkan sejumlah uang untuk diberikan kepada pengantin dengan cara
menjepit uang tersebut di antara jari telunjuk dan jari tengah.

2.Gordang Sambilan

Gordang Sambilan merupakan salah satu instrumen alat musik yang berasal dari kebudayaan adat
suku Mandailing. Instrumen musik ini terdiri dari sembilan buah gendang yang mempunyai panjang
dan diameter yang berbeda sehingga menghasilkan nada yang berbeda pula. Gordang Sambilan
dimainkan oleh enam orang biasanya dan dengan nada gendang yang paling kecil itu 1,2 sebagai
taba-taba,gendang 3 tepe-tepe,gendang 4 kudong-kudong,gendang 5 kudong-kudong
nabalik,gendang 6 pasilion,gendang 7,8,9 sebagai jangat.

Pada awalnya gordang sambilan ini hanya akan dimainkan pada saat upacara sakral saja, namun
seiring perkembangan zaman gordang sambilan juga biasa dimainkan dalam upacara hiburan atau
penyambutan tamu.
3.Upah-Upah

Upah-upah atau dalam budaya masyarakat adat Mandailing lebih dikenal dengan istilah Upah
Tondi juga menyediakan tepuk tepung tawar. Pada saat upacara upah tondi ini seluruh perwakilan
dari pihak keluarga diharuskan memberi nasihat atau disebut juga dengan mambaen hatta. Adapun
pihak keluarga tersebut terdiri atas Kahanggi (keluarga kandung dari yang melakukan pernikan),
Mora (pihak pemberi istri, dan saudara laki-laki dari ibu yang disebut Tulang), dan Anak Boru (pihak
yang memperistrikan anak perempuan).

4.Sibaso

Sibaso adalah suatu upacara yang dilakukan masyarakat adat Mandailing untuk menyembuhkan
suatu penyakit atau memohon peruntungan. Upacara sibaso ini biasanya akan dipimpin oleh
seorang dukun atau tabib. Pada masa masyarakat sebelum islam, Upacara ini biasanya melakukan
hal-hal magis dengan upacara tertentu, untuk memenuhi keinginan masyarakat yang meminta
bantuannya. Menurut sejarahnya upacara Sibaso ini diperkenalkan oleh seorang Datu (Dukun/Tabib
tradisional) yang berasal dari Bugis yang tinggal di Sayurmaincat.

Dari 4 adat istiadat Mandailing yang sudah di jelaskan di atas kita sudah mengetahui dan
mengerti bahwa memang adat istiadat atau budaya itu penting. Dalam setiap suku bangsa di
Indonesia adat itiadat ini merupakan ciri khas tersendiri bagi suku tersebut. Karena memang setiap
suku mestinya memiliki adat istiadat yang berbeda dengan suku lainnya walaupun masih satu pulau.

Contohnya suku Batak dan Melayu tentu memiliki perbedaan dalam hal adat istiadat dan
budaya yang mempengaruhi setiap sendi kehidupan masyarakatnya. Namun kekayaan budaya ini
malah seharusnya membuat kita bangga sebagai sebuah bangsa yang besar. Seharusnya juga tetap
di lestarikan agar anak cucu kita masih bisa melihat secara langsung acara atau berbagai adat istiadat
yang ada dari setiap suku bangsa kita.

Acara adat misalnya bisa juga menjadi daya tarik bagi para wisatawan baik lokal maupun
mancanegara. Tentunya hal ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah untuk melestarikan budaya
setiap suku bangsa agar tidak terancam punah.

D.Pelarangan Perkawinan Satu Marga Dalam Adat Batak Mandailing

Perkawinan satu marga merupakan perkawinan yang dilarang dalam adat Batak Mandailing
karena dianggap sebagai perkawinan sedarah dari garis keturunan ayah (patrilinial), dimana
perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Seiring perkembangan zaman terjadi perubahan sosial
kebudayaan adat dalam memahami pelarangan perkawinan semarga tersebut, dimana sebagian
masyarakat Batak memahami bahwa perkawinan satu marga telah menjadi hal yang biasa dalam
kehidupan bermasyarakat. Salah satunya yang terjadi pada masyarakat Batak Mandailing di
Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Perkawinan Satu marga pada masyarakat sekarang ini
mengalami pergeseran makna dari budaya adat Batak. Hal ini menunjukkan apakah larangan ini
sudah mengalami perubahan hukum dalam masyarakat adat Batak Mandailing seiring dengan
berkembangnya sosial, pendidikan, ilmu agama dan budaya masyarakat. Pertanyaan penting adalah
bagaimanakah praktik pernikahan semarga dalam adat Batak Mandailing dan seperti apa aturan
pelarangan pernikahan semarga tersebut dalam perspektif hukum adat dan hukum Islam. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena yang diteliti merupakan adat atau norma-
norma yang hidup di masyarakat.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penilitian ini adalah metode penelitian
lapangan (Field Reseach), yaitu peneliti mencari data secara langsung dalam masyarakat suku Batak
Mandailing tentang aturan adat larangan perkawinan semarga dan kemudian nantinya data yang
diperoleh merupakan data alamiah seperti apa adanya yang kemudian didukung oleh bahan-bahan
kepustakaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi budaya dan ushul fikih dengan
sifat deskriptif untuk memperoleh secara sistematis dan konkret gambaran hukum dari fenomena
yang diselidiki, dan komparatif untuk membandingkan dua pendapat hukum pada masalah yang
diteliti agar diperoleh pemahaman hukum yang utuh dan komprehensif.

Berdasarkan hasil penelitian, penyusun memperoleh hasil bahwa latar belakang dilarangnya
perkawinan satu marga adalah untuk menghindari perkawinan sedarah yang menurut adat Batak
Mandailing satu marga adalah sedarah, akan tetapi dalam Islam yang dilarang untuk menikah adalah
mahram. Sehingga terjadi pergeseran norma terhadap aturan larangan perkawinan satu marga yang
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya faktor cinta, faktor agama, faktor pendidikan, faktor
ekonomi, dan faktor budaya. Masyarakat Batak Mandailing melakukan perkawinan satu marga
karena sudah tidak percaya lagi dengan hal-hal tabu.

Masyarakat Batak pada umumnya menganut paham perkawinan eksogami yang


mengharuskan perkawinan dengan beda marga.
Perkawinan dianggap tabu apabila laki-laki menikah dengan wanita satu marga. Suku Batak
yang melangsungkan perkawinan satu marga akan dihukum dengan hukum adat yang berlaku .

Klaim atas leluhur semua orang Batak bermula dari Si Raja Batak merupakan salah
faktor mengapa Mandailing menyebut dirinya bukan Batak. Hal itu pun juga disuarakan oleh
Karo dan Simalungun sejak masa kolonial lalu. Masyarakat Mandailing sendiri punya sejarah
asal usul dan tarombo marganya masing-masing. Misalnya marga Lubis, leluhurnya adalah
Namora Pande Bosi, bukan Si Raja Batak. Jadi mengapa harus dipaksa sama,

Ditambahkannya konsep tarombo dan marga merupakan proses konstruksi satu


kelompok masyarakat, baik berdasarkan identifikasi, demografis, historis maupun sosiologis.
Itu terjadi di semua kelompok masyarakat. Karenanya, konsep tarombo dan marga pada
Mandailing tidak serta merta akan membuktikan bahwa mereka Batak.

“Misalnya saya marga Lubis adalah generasi ke-19. Tarombo kami tidak ada kaitan
dengan tarombo Si Raja Batak. Nenek moyang kami adalah Namora Pande Bosi. Begitu juga
dengan marga-marga Mandailing lain yang menolak disebut Batak. Antara lain Nasution,
Rangkuty, Matondang dan sebagainya,” jelasnya.

“Kalau ditarik ke atas, fase Si Raja Batak, kira-kira abad 13-14 M, nyaris bersamaan
dengan fase Namora Pande Bosi. Tapi kalau di tarombo Si Raja Batak, marga Lubis
urutannya sangat jauh berada di bawah. Dari sini saja kan sudah salah,” tuturnya. Ditanya
soal marga Siregar yang sebagian mengaku dirinya sebagai Batak, staf pengajar di
Departemen Antropologi USU ini mengakui hal itu boleh-boleh saja.

Marga Siregar yang dimaksud konon berasal dari Muara, Tapanuli Utara. Bisa
dipahami mengapa mereka telah ikut dalam konstruksi tarombo Si Raja Batak. Menurutnya,
hal itu tidak menjadi masalah sepanjang mereka bisa menjelaskan asal usul dan silsilah
mereka secara objektif dan berdasarkan data-data sejarah. Zulkifli menekankan kembali
bahwa wacana Mandailing bukan Batak hanyalah perulangan, karena di masa kolonial hal
itu juga sudah muncul. Baginya hal itu positif untuk menciptakan kesejajaran etnis yang
memang memiliki sejarahnya sendiri-sendiri.

Disinggung soal adanya motif politik di balik wacana itu, Zulkifli menepisnya. Tidak ada
agenda politik apapun. Apalagi terkait Pilpres 2019.

Menurutnya, hal itu murni pembahasan sejarah dan budaya. Tidak ada kepentingan
politiknya di situ. Yang benar bahwa sejarah harus diluruskan. Mandailing punya sejarahnya
sendiri. Punya peradabannya sendiri. Khususnya sejarah asal usulnya yang berbeda dengan
sejarah asal usul orang Batak yang selama ini berdasarkan tarombo Si Raja Batak.

“Bagi saya wacana itu merupakan gerakan yang positif. Terutama dalam rangka penguatan
paham multikulturalisme yang menekankan, pengakuan, penghormatan dan kesederajatan
tiap kelompok etnis. Tidak ada motif politik di balik itu,” jelasnya. Nah, bicara soal Suku
Mandailing, ternyata ada banyak fakta unik yang menarik untuk dikulik
1. Termasuk Rumpun Budaya Batak

Suku Mandailing secara umum termasuk dalam rumpun budaya Batak. Dahulunya di
Sumatera Utara hanya ada suku Batak saja yang berdiam. Tapi kemudian, sebelum abad ke-
18, masuklah kaum Paderi dari Minangkabau ke Sumut, tepatnya ke daerah Natal dan
Padang Lawas. Nah, sejak itu budaya Minang dan agama Islam yang dibawa oleh kaum
tersebut berbaur dengan budaya Batak setempat. Lantas kemudian menghasilkan subetnis
baru, salah satunya Mandailing.

2. Pentingnya Sebuah Marga

Marga sangat penting bagi orang Batak. Termasuk bagi orang Batak Mandailing
tentunya. Saking pentingnya, setiap kali berkenalan dengan orang Baru sesama Batak
biasanya mereka akan menanyakan marga. Bagi orang Batak haram hukumnya untuk
menikah dengan satu marga atau silsilah. Karena itu di Batak ada tradisi Martarombo, yakni
semacam obrolan yang tujuannya untuk menelusuri asal muasal marga.

3. Tuhor

Dalam hubungannya dengan pernikahan, orang Batak mengenal istilah Tuhor. Yakni
semacam uang yang digunakan untuk mas kawin. Uang Tuhor nantinya akan digunakan
pihak laki-laki untuk mempersunting perempuan, membeli kebaya calon mempelai
perempuan, biaya pernikahan dan kebutuhan lainnya sesuai kesepakatan keluarga. Nilai
Tuhor ini bergantung pada tingkat pendidikan si perempuan. Semakin tinggi tingkat
pendidikannya, semakin tinggi pula niai Tuhor yang harus diberikan pihak laki-laki.

4. Tak Akan Menikah Sebelum Mapan

Nah, kalau yang ini berlaku untuk Suku Batak secara keseluruhan. Ya, orang Batak
dikenal dengan prinsip hidupnya yang kuat. Salah satu yang mereka pegang teguh adalah
prinsip soal kemapanan hidup. Sebelum menikah, orang Batak diharuskan untuk hidup
mapan dulu. Baik laki-laki ataupun perempuan.
MAKALAH KEBUDAYAAN BATAK MANDAILING
D
I
S
U
S
U
N

Oleh

Mhd.Afiffurrachman
Namira.Sisilia
Nadhifah.Utami
M.aprilliandy
Nazwa.Nur.Azzahro
Hamdan
IX-9
SMP NEGERI 3 KISARAN

Anda mungkin juga menyukai