Anda di halaman 1dari 15

Pandangan Parmalim terhadap Alam

I. Pendahuluan

Alam merupakan ekosistem bagi seluruh kehidupan. Manusia ataupun mahluk


lainnya akan selalu bergantung kepada Alam, baik sebagai tempat memperoleh
makanan dan keperluan, tempat tinggal dan perlindungan, secara luas alam
merupakan tempat berlangsungnya seluruh peradaban. Karena alam merupakan
ruang bagi semua mahluk hidup membuatnya menempati posisi yang penting
dalam kesejarahan manusia itu sendiri. Alam (seharusnya) dihormati, dan
dihargai.Terdapat beberapa catatan sejarah peradaban dan kebudayaan yang
mencatat penghormatan manusia pada alam bahkan dianggap memiliki sifat
keilahian yang berperan menentukan kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan.
Sifat menghormati dan menghargai alam ini tertuang dalam pandangan serta nilai-
nilai agama-agama lokal yang begitu menghormati dan bersahabat denagan Alam.

Agama lokal merupakan sebuah istilah yang disematkan pada agama-agama


asli Nusantara. Agama lokal lahir dari kebudayaan masyakat lokal yang biasanya
muncul dan eksis masing –masing sesuai dengan daerah tempat diamana
kebudayaan itu berkembang. Sebagai contoh agama Khariangan yang merupakan
agama lokal masyarakat kalimantan, agama Kejawen yang berasal dari Jawa, dan
agama Malim berasal dari dataran Sumatera Utara yang diklaim sebagai agama
asli suku Batak Toba pada umumnya. Agama-agama lokal ini sudah ada jauh
sebelum agama-agama kenamaan seperti Islam, Hindu, Budha, dan Kristen
memasuki Nusantara.Sebagai salah satu agama lokal, Agama Malim memiliki
hubungan yang mesra dan dekat dengan Alam. Menghormati dan menjunjung
kelestarian alam adalah manifestasi dari rasa hormat dan syukur dari ketersediaan
kebutuhan manusia yang dicukupkan oleh alam. Pandangan-pandangan inilah
yang akan dimuat dalam tulisan ini.
II. Sejarah Batak

2.2.Batak dalam Penelitian

Para ahli sejarah, dan ahli antropologi serta cendikiawan masih menganut
paaham bahwa masyarakat Nusantara adalah rumpun melayu yang datang secara
berakala dari daratan Asia. Rumpun pertama adalah Melayu Tua yang menempati
daerah timur, dan pendatang kemudian adalah melayu muda (Deutro Melayu)
yang meliputi suku Jawa, Minang. Sunda. Melayu, Bugis, Sunda, Toraja, Menado,
Batak dan suku-suku lainnya. Pengakuan terhadap kemasyarakatan Nusantara
tidak menghentikan para ahli untuk melakukan penelitian melainkan tetap
berusaha mencari fakta yang berhubungan dengan masyarakat dan berpusat pada
asal usul, perkembangan Kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia. Topografi dan
alam Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua (Proto Melayu)
untuk bermigrasi ke wilayah Danau Toba sekitar 4.000 - 7.000 tahun lalu. Bahasa
dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang Austronesia dari
Taiwan telah berpindah ke Sumatera dan Filipina sekitar 2 500 tahun lalu, dan
kemungkinan orang Batak termasuk ke dalam rombongan ini. Selama abad ke-13,
orang Batak melakukan hubungan dengan kerajaan Pagaruyung di Minangkabau
yang mana hal ini telah menginspirasikan pengembangan aksara Batak. Pada abad
ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di
pesisir barat Sumatera Utara. Mereka kemuadian mengolah lahan yang
diusahakan oleh petani-petani Batak di pedalaman.1

2.3. Batak dari segi Mitologi

Dari segi mitos bahwa suku Batak berasal dari Gunung Pusuk buhit yang
berada di sebelah barat Laut Danau Toba dekat dengan kota Pangururan. Cerita
tentang terjadinya orang Batak disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut).
Sistim ini menjadikan setiap pemberitaan memiliki perbedaan cerita satu sama
lain khususnya tidak ada hubungannya dengan penciptaan secara alkitabiah.
Setiap marga dalam suku Batak memiliki dongeng tertentu dan hubungannya
dengan marga lain. Untuk memahami serta menceritakan keberadaan orang Batak

1
Armanda Siman, Batak dan Sejarahnya, (Jakarta: Orbit, 2008), 67
terhadap generasi kemudian sesuai dengan versi dan pemahaman marga tersebut.
Mitologi tentang terjadinya suku Batak dimulai dari seekor burung layang-layang
(sileangleang mandi) yang berperan sebagai kurir dan bertugas untuk
menghubungkan antara penghuni langit dan bumi. Pada suatu ketika burung
layang-layang dipanggil oleh Mulajadi Na Bolon" untuk menyampaikan sebuah
poting (bambu tabung air) yang berisi benih kepada Boru Deak Parujar, putri
seorang Dewa yang berada di Bumi. Pesan dari Mulajadi Na Bolon pun
disamapaikan agar membuat (menenun) sebuah ulos ragi idup (kain hasil tenunan
Batak). Setelah ulos ditenun, potingpun dililit dengan ulos tersebut. Dengan
kondisi terlilit maka poting itu baru dapat di buka. Pesan Mulajadi Nabolon,
dilakukan Boru Deak Parujar sesuai dengan amanat yang diberitahukan oleh
burung leangleang tersebut. Dengan keadaan terlilit maka ia pun membuka poting,
Peristiwa yang terjadi saat ia membuka poting, tiba-tiba ia melihat seorang pria
meloncat dari poting tersebut yang bernama Tuan Mulana (yang awal). Tuan
mulana ditempatkan oleh boru Deak Parujar di daerah yang terang dan ia
menyuruh burung itu pergi ke Mulajadi Na Bolon karena pesan yang diberikan
telah dilaksanakan. Sesuai pesan Mulajadi Na Bolon bahwa Tuan mulana akan
hidup bersama dengan boru deak parujar, sehingga mereka dipercayai sebagai
nenek moyang orang Batak. Disamping kepercayaan orang Batak terhadap
Mulajadi Na Bolon mereka mempaercayai juga adanya debata natolu yaitu
Dewa/Tuhan yang menguasai masing masing tempat di bumi. Debata Batara Guru
di Banua ginjang/dunia atas, Debata sori yang menguasai banua tonga/dunia
tengah dan tuan pane nabolon yang menguasai banua toru/dunia bawah. 2 Mula
Jadi Nabolon menurut kepercayaan Batak adalahyang menciptakan segala sesuatu
yang Dengan singkat sebutan ini disebut "debata" sebutan untuk itu juga
digunakan dengan Ompu tuan mulajadi nabolon, la juga memiliki kekuasaan di
dunia Ia juga memiliki kekuasaan di dunia tengah yang disebut ompu Silaon
Nabolon (Raja napinangkabo) dan di dunia bawah disebut banua toru.

Keperecyaan Batak mengakui bahwa Mulajadi Na bolon adalah yang


maha kuasa dan ketiga dewa tersebut adalah sebagai titisannya. Uraian tersebut

2
Armanda Siman, Batak dan Sejarahnya, (Jakarta: Orbit, 2008), 68
dapat memberi gambaran bahwa masyarakat Batak telah mempercayai Allah yang
maha kuasa dan esa pada masa sebelum orang Batak mengenai agama yang
disebut dengan Mulajadi Na Bolon. Ia adalah awal segala sesuatu yang ada di
muka bumi. Mulajadi Na Bolon dianggap sangat kudus dan berdiam di lapisan
langit ke tujuh. Pada umumya penyampaian hubungan dengan Mulajadi Na bolon
melalui doa-doa (tonggo). Suku Batak yang tinggal di daerah Batak terbagi-bagi
dalam beberapa subsuku. Pembagian subsuku ini didasarkan adanya perbedaan
bahasa. Pembagian suku ini adalah: kabupaten Tapanuli utara (dimana saat ini
menjadi beberapa kabupaten yaitu Toba Samaosir yang berpusat di Balige,
Humbang Hasundutan yang berpusat di Dolok Sanggul dan Kabupaten Samosir
yang berpusat di Samosir), Tapanuli Selatan, Karo, Tapanuli tengah, Dairi. Dari
segi kesukuan dan yang termasuk suku Batak adalah: Batak toba tinggal di daerah
tanah Batak pusat, Angkola Sipirok Padang Lawas di bagian tengah dan sibolga di
bagian Selatan, Mandailing di bagian Selatan, simalungun (Batak Timur) di
sebelah Timur Danau Toba, Dairi (Pakpak) di sebelah barat Tapanuli dan Batak
Karo di sebelah Utara Danau Toba.3

2.4. Sekilas tentang Parmalim

Di Desa Hutatinggi ini terdapat rumah peribadatan yang cukup besar


berukuran sekitar 15m x 15 m yang disebut dengan Bale Parsaktian atau Bale
Pasogit. Dalam peribadatan hari sabtu, terlihat para pengikut Parmalim memasuki
ruang Bale Parsaktian dengan tertib. Antara kaum laki-laki dan perempuan
terpisah pada masing-masing pintu yang tersedia dengan melepaskan alas kaki.
Dalam ruangan Bale Parsaktian posisi umat Parmalim baik yang laki-laki dan
perempuan tetap terpisah duduknya. Umat Parmalim duduk bersila diatas
tikar/karpet yang terhampar di lantai. Do’a-do’a yang secara khusus’ oleh
pengikutnya dengan mata terpejam dan kedua telapak tangannya dirapatkan dalam
posisi menyembah. Didepan ruangan hanya ada satu meja kecil untuk meletakkan
tempat membakar kemenyan sebagai pelengkap ibadahnya. Kemenyan (Haminjon

3
Bungaran Antonius Simajuntak, Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945, Strutur
Sosial dan Sistem Politik Batak (Obor Indonesia :Yogyakarta 2006), hlm. 43
dalam bahasa Batak) itu baunya wangi yang berasal dari tanaman yang diciptakan
Tuhan. Itulah simbol yang paling tepat yang kami persembahkan kepada Tuhan.

Persebaran Pengikut Persebaran Parmalim meliputi beberapa wilayah di


Indonesia, seperti wilayah Toba-Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten
Asahan, kabuypaten labuhanbatu kota Medan, Batam, Pekanbaru, Duri saat ini
ada 156 jiwa, 33 KK (kepala keluarga) hingga sebagian di pulau Jawa,
Kalimantan dan Irian Jaya Para pengikut ajaran ini pada umumnya berkumpul di
desa Hutatinggi sebagai pusat keagamaan, sedikitnya dua kali dalam setahun,
pada waktu dimana upacara besar tahunan (perayaan Sipaha sada dan Sipaha
lima) diselenggarakan. Pengikut Parmalim meskipun tidak terlalu besar
jumlahnya, namun mereka tergabung dalam 42 cabang di Sumatra Utara, Propinsi
Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Tengerang dan Jakarta. Jumlah
penganut Parmalim saat ini diperkirakan sekitar 22.000 jiwa (7.500 KK).4

Dimensi Sakral dan Profan dalam Ugamo Malim 1. Mararisabtu adalah


ibadah mingguan yang kami lakukan setiap hari sabtu, hari sabtu adalah hari yang
sangat sakral sebagai hari perayaan untuk menghadap Tuhan Mulajadi Nabolon
yaitu menyampaikan rasa syukur, 2. Pustaha Habonoron adalah kitab yang di
percaya sebagai pegangan hidup Parmalim yang diterima Raja Nasiakbagi dari
Debata Mulajadi Nabolon. Pustaha Habonoron memiliki esensi yang kuat untuk
membentuk karakter Parmalim. 3. Pelean (persembahan) berupa Perdaupaan,
Urasan, Parbuesanti adalah benda-benda yang sangat sakral bagi umat Malim
karena benda-benda tersebut akan di persembahkan kepada Mulajadi Nabolon 4.
Bale Pasogit dan Bale Parsaktian (Rumah Ibadah) 5. Sipaha Sada, Sipaha Lima
dan Mangan Napaet adalah tiga ibadah besar Ugamo Malim yang sangat
fenomenal dan dilaksanakan hanya di Laguboti pusatnya di Huta Tinggi, ritual
peribadatan tersebut sangat sakral bagi Parmalim5

4
Bungaran Antonius Simajuntak, Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945, Strutur
Sosial dan Sistem Politik Batak (Obor Indonesia :Yogyakarta 2006), hlm. 44
5
Armanda Siman, Batak dan Sejarahnya, (Jakarta: Orbit, 2008), 68
III.Konsep Tuhan dalam Agama Parmalim

Tuhan merupakan suatu kajian yang pasti dalam kaidah agama-agama di


dunia tak terkecuali agama modern ataupun agama tradisional. Termasuk agama
malim sebagai salah satu dari agama-agama tradisional yang masih eksis
ditengah tengah goncangan modernitas yang masuk kedalam sendi sendi
kehidupan manusia di segala penjuru negeri Indonesia, Agama malim tidak
kehilangan keberadaannya. Agama Malim (parmalim) tetap menjalankan ritus dan
praktek peribadahan serta mengajarkan paham-paham atau pandangan teologisnya
ditengah tengah saratnya perkembangan modernitas. Salah satu dari pandangan
teologis yang masih dapat ditemukan pemahamannya dengan baik adalah
mengenai ajaran teologi tentang “Tuhan” dalam perspektif parmalim. Memang
untuk “menalar” Tuhan agama-agama tradisional memiliki perbedaan yang
sedikit kontras dengan agama gama besar (modern) seperti Islam dan Kristen
dimana agama primitif (tradisional) cenderung memahami Tuhan melalui apa
yang ada dan dapat ditemukan di sekitarnya, dirasakan di sekitarnya, dan terjadi
di sekitarnya. Untuk itulah agar dapat memahami “Tuhan” dari perspektif agama
malim hendaknya kita memahami keberadaan, keadaan, dan sistem sosial
masyarakat batak dan daerahnya.

Agama malim mengenal Debata Mula Jadi Na Bolon sebagai sosok Tuhan
dalam pandangan teologisnya.Para ahli banyak berdiskusi tentang perspektif batak
yang menyebut “Tuhan” dengan sebutan debata (dewata) menurut beberapa ahli
bahwa penggunaan kata debata (dewata) agaknya mengindikasikan adanya
pengaruh Agama Hindu (abad 14M). Sebab dewata sangat mungkin merupakan
kata serapan yang diadopsi kemudian oleh masyarakat batak dari kata dewa (siwa)
yang adalah Tuhan dalam agama Hindu, bagaimanapun pengaruh ini mungkin
bisa jadi bukan hanya dalam aspek kalimat / pemaknaan tetapi mungkin juga
berpengaruh pada pandangan teologis dogmatis bagaimana agama malim
(parmalim) terhadap eksistensi “Tuhan” atau Debata.6

6
Antonius Bungaran Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, (Obor
Indonesia :Yogyakarta 2009) 66
Kemunculan pemahaman orang-orang Batak awalnya merupakan sebuah
pemikiran filosofis yang meyakini bahwa ada kekuatan diluar diri masyarakat
batak yang menciptakan segala yang ada.7Debata Mula Jadi Na Bolon Merupakan
sebuah kekuatan yang supranatural yang diyakini sebagai oknum yang
menjadikan semua hal menjadi ada oleh masyarakat batak.8 Penciptaan bumi
disinyalir dilakukan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon merupakan atas permintaan
Boru Deak Parujar yang merupakan dewi langit yang meminta untuk dibuatkan
tempat yang baru kepada Mula Jadi Na Bolon untuk menjadi tempat baginya
mengekspresikan diri.

Mulajadi na Bolon (atau Debata Mulajadi Nabolon). Dia dibantu dengan


sederetan dewa-dewi lainnya, yang dapat dibagi menjadi tujuh tingkat dalam
dunia atas. Anak-anaknya merupakan tiga dewata bernama Batara
Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan
nama Debata Sitolu Sada (tiga dewa dalam satu) atau Debata na Tolu (tiga
dewata). Dalam urut-urutan dewata mereke berada di bawah Mulajadi na Bolon.
Diceritakan pula bahwa Mulajadi na Bolon telah mengirim putrinya Boru Deak
Parujar ke bumi ke kaki gunung Pusuk Buhit. Boru Deak Parujar inilah kemudian
menjadi manusia leluhur yang pertama di Batak.. Kedatangan dewi Boru Deak
Parujar ini sekaligus membuatnya dikenal sebagai leluhur manusia yang pertama.
Kekosongan bumi yang diberikan oleh Mula Jadi Na Bolon memberikan ide bagi
Deak Parujar untuk membuat berbagai hal (menciptakan benda benda bumi).
Dewa lain yang penting adalah Debata Idup (dewa kehidupan) dan Pane na
Bolon yang memimpin dunia tengah. Banyak dewa-dewi lain yang juga masih
sekerabat dengan dewa-dewi Hindu di India. Antara lain Boraspati ni
Nato dan Boru Saniang Naga. Selain itu juga ada roh-roh yang mendiami danau,
sungai dan gunung. Dalam kepercayaan animisme Batak tradisional, semua dewa-
dewi ini masih dipercayai disamping roh-roh dan jiwa leluhur (Begu).

7
Muhammad Asyari, Masyarakat Indonesia, (Obor Indonesia :Yogyakarta 2000), hlm 78
8
Muhammad Asyari, Masyarakat Indonesia, (Obor Indonesia :Yogyakarta 2000), hlm 79
Cerita penciptaan menurut masyarakat batak toba yang telah dipaparkan
diatas telah diringkas menjadi beberapa inti cerita yang singkat. Namun pada
dasarnya merupakan sebuah kebiasaan agama lokal adalah membangun kredo dari
cerita yang dituturkan secara turun temurun. Terkait kebenaran cerita tentu
bukanlah menjadi spekulasi akademis. Tetapi yang dapat diperbincangkan dalam
hal ini adalah mengenai “pengakuan”/Kredo yang dimunculkan oleh masyarakat
lokal untuk membangun sistem keagamaan yang berdasar pada pengakuan
(teologis) tentang asal muasal keberadaan segala sesuatu sebagai wujud
konstruksi berfikir yang teologis meskipun masih terbilang cukup primitif.
Konstruksi berfikir masyarakat batak yang mencoba melihat Alam sebagai
anugrah (pemberian) dari Mulajadi Na Bolon “Tuhan” merupakan titik tolak
untuk memahami bagaimana kemudian agama malim ini melihat dan berinteraksi
dengan Alam dalam kehidupan praksisnya baik dalam aspek ritual maupun aspek
kehidupan.

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Agama malim telah


mengidentifikasi kuasa pembentuk segala sesuatu itu adalah Mulajadi na Bolon.
Mulajadi na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bermula dan tidak
berujung. Keberadaannya adalah kekal untuk selama-lamanya. Keberadaan
Mulajadi Nabolon itu dalam ajaran malim dapat dipahami secara wujud atau
“ada” Tetapi tidak dapat dilihat. Dia tidak bermula dan tidak mempunyai ujung.
Dia dapat dihubungi dan dijumpai hanya dalam alam spiritual. Teori ini
mengatakan bahwa dia dapat disembah dengan sesaji. Dapat dipuji dalam
kehidupan yang lebih mendalam dari kehidupan manusia. Dia adalah mutlak
absolut, Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Agung dan tidak dapat dibandingkan. Dia
dekat dan jauh dari alam ciptaannya. Dia adalah kuasa menghukum dan kuasa
mengampuni. Kuasa kasih dan kuasa murka. Demikianlah sifat-sifat Mulajadi Na
Bolon, Tuhan yang satu bersadarkan Agama Malim.9

9
Muhammad Asyari, Masyarakat Indonesia, (Obor Indonesia :Yogyakarta 2000), hlm 79
IV. Kedekatan Agama Malim dan Alam dalam perspektif kearifan Lokal
Agama Tradisional Batak

4.1.Martutuaek

Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat
Manisia dan Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra
putri para Dewata. Tubuh yang menjadi manusia lahir wajib diperkenalkan
dengan jenis asal mereka “air”. Martutuaek artinya menuju ke sumber air.
Memperkenalkan manusia lahir itu dengan air yang merupakan keutamaan
sumber hidup sebelum mengenali semua apa yang ada di bumi. Untuk pertama
sekali dia mengambil air dari sumbernya untuk dibuat persembahan kepada
Mulajadi Nabolon.

Seperti halnya pesah yang diterima Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia,
manusia wajib memelihara seluruh isi bumi. Diperkenalkan selanjutnya bahwa air
adalah saudara tubuh kenyal dari awal terbentuk hingga pemeliharaannya dalam
sirkulasi darah dalam tubuhnya. Untuk pribadi manusia, air berperan untuk
“Parsuksion mula ni haiason, haiason mula ni parsolamon, parsolamon mula ni
hamalimon”, awal pembersihan menuju kesucian, kesucian menuju
kesempurnaan. Untuk hubungan manusia dengan Mulajadi Nabolon air “Mual
Natio dipadomu dohot unte mungkur marangkuphon sanggul banebane jumadi
pangurason parsungsion” berperan sebagai persembahan kepada Mulajadi
Nabolon atau pelengkap utama dari seluruh jenis persembahan itu.10

4.2.Peran Air

Setiap pemanfaatan air untuk kegiatan khusus misalnya pengobatan harus


melewati pemahaman khusus, yaitu 1. Penghormatan kepada dewi Boru
Saniangnaga yang menjaga kelestarian air yang akan dijadikan
“PANGURASON” dan 2. Pemahaman siklus kehidupan dengan peran air yang

10
Riris Johanna Siagian, Sahala Kepemimpin Batak Dulu dan Kini, (___: Pematangsiantar, 2017),
98
disebut “HUMUASAL” Hal kedua diatas yang jarang dibicarakan karena pada
umumnya dilakukan sebagai ritual kaji pada ahli pengobatan untuk mendekatkan
spritualitasnya terhadap lingkungan dan kehidupan. Setiap penyakit diyakini ada
penyebabnya dan selalu ada obatnya. Kerusakan pengelolaan tubuh merupakan
penyebab penyakit dan perusakan lingkungan menjadi sumber penyakit.
Keduanya berkaitan dan tak dapat diabaikan dalam kehidupan nyata.

Humuasal ada beberapa versi, yang berdekatan. 1) Aek jumadi ombun, ombun
jumadi udan, udan jumadi hau. Air menjadi embun, embun menjadi air, air
menjadi kayu. Pengertian luasnya adalah air menguap (evaporasi) menjadi embun,
embun menjadi hujan, hujan menjadi air mengalir diatas permukaan tanah,
pelembaban tanah dan siraman hujan memecah kecambah sehingga memekarkan
tumbuhan. Ada hidup (harmonisasi). 2)Timus jumadi ombun, ombun jumadi udan,
udan jumadi hau, hau jumadi api, api jumadi ombun. Asap menjadi embun,
embun menjadi hujan (air), air menjadi kayu, kayu menjadi api, api menjadi
embun. Pengertian kedua ini menyatakan; asap dan uap menjadi embun, embun
menjadi air, air memecah kecambah dan menghidupkan tanaman, tanaman
menjadi api (panas), panas menjadikan penguapan sehingga menjadi embun. Dari
kedua pengertian HUMUASAL diatas dapat dimengerti tingkat kajian leluhur
akan pemahaman asal usul sebab dan akibat yang dirangkai dalam pemahaman
siklus hidrologi. Menurut ilmu pengobatan Batak, keseimbangan adalah
kelestarian, dan kelestarian adalah keabadian. Setiap terjadi kerusakan dalam
keseimbangan itu wajib dilakukan perbaikan. Berdasarkan itu pula setiap orang
mencari solusi kesehatannya selalu diarahkan apa yang tertinggal dan terabaikan
dalam kehidupannya. Dalam setiap praktek pengobatan, air selalu pemeran utama
yang dirangkai dengan bahan pendukung lainnya dari tanaman yang konon
dimengerti terjadi dan hidup karena air.11

4.3.Peran Tanah.

11
Barsyal Hamidy dan Hotman Harahap, Orientasi Nilai- Nilai Budaya Batak, (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), 47
Tanah diakui sebagai “tano ojahan, tano ondolan, ojahan ni saluhut nasa na
adong”. Tanah adalah media proses seluruh kehidupan manusia, tanaman, hewan
dan air. Ombun (uap) adalah peralihan sementara yang pada akhirnya bersentuhan
dengan tanah karena berasal dari tanah. Bila air dimaknai sebagai aliran hidup
asal-usul, sebab-akibat, maka tanah dimaknai sebagai media proses kesuburan itu
terjadi. Lambang kesuburan tanah disebut “Boraspati ni tano”. Berperan sebagai
pemenuhan ambang batas kemampuan manusia untuk merawat tanamannya
tumbuh subur. Manusia hanya mampu memberi kebutuhan dasar tanamannya
pada awal pertumbuhan dengan hara makro seadanya, tapi pemenuhan hara makro
dan mikro akan diberikan oleh tanah itu sendiri dengan “boraspati ni tano”.
Sehingga boraspati itu adalah sebuah icon spritualitas Batak akan adanya unsur
tersembunyi dari tanah itu untuk kebutuhan hidup manusia yaitu kesuburan. Yang
tidak menghargai boraspati ni tano, cenderung akan melakukan perusakan atas
kesuburan tanah. Lambang “Boraspati” juga dapat ditemukan pada hiasan rumak
Batak Toba. Memaknai adanya kesuburan tumbuh pada penghuni rumah yang
dominannya untuk perkembangan keturunan bagi manusia, namun tidak lepas dari
pengertian akan seburan tanah. Manusia yang tidak mendapat keturunan disebut
“pupur”. Sedangkan tanah yang tidak subur disebut “tungil” Dalam setiap
pengolahan tanah, orang Batak selalu memberitahukan kepada Nagapadohaniaji
akan niatnya dengan kata : Saya tidak hendak merusak tanah yang engkau junjung
Nagapadohaniaji, tapi saya hendak menggunakannya untuk kebutuhan
kehidupanku seharihari (atau untuk kebutuhan lainnya seperti pekuburan dan
pendirian perumahan)”. Setelah kata itu diucapkan lalu dilakukan pencangkolan
atau pengorekan pertama. Untuk kegiatan pertanian biasanya dibiarkan dulu
beberapa hari kemudian dilakukan pengolahan tanah yang sebenarnya. Kegiatan
seperti ini menunjukkan bahwa tidak bisa dilakukan sikap yang menunjukkan
keserakahan terhadap tanah walau dalam arti itu adalah “UGASAN” bagi
manusia. Pada pengelolaan pertama itu juga selalu dilakukan dengan “itak
gurgur” tepung beras yang dimaknai agar apapun yang dilakukan untuk tujuan
kehidupan itu mendapat restu Mulajadi Nabolon, dipahami oleh Nagapadohaniaji
dan respon dari Boraspati ni tano. Itak gurgur melambangkan persembahan dan
pemaknaan semua hasil pekerjaan akan berkembang baik (gurgur).12

4.4.Peran Hutan

Hutan (harangan) adalah kumpulan tumbuhan pohon (hau) semak dan


rumput (ramba) berbagai ragam. Tumbuhan berkembang sesuai dengan sifat
alamnya tanpa pengaruh manusia. Kayu juga ada disekitar perkampungan non
hutan yang dikembangkan oleh manusia sendiri. Kayu dalam hutan atau tanaman
rakyat selalu mendapat perlakukan khusus untuk pemenuhan kebutuhan yang
penuh arti dalam hidup manusia. Tanaman dalam mitologi adalah saudara tua
manusia sebelum Siraja Ihat manisia dilahirkan. Seperti halnya manusia,
tanaman/kayu juga memiliki kebutuhan siklus dengan peran air. Pemenuhan
perumahan, kayu berperan penting.

Pohon hidup memiliki kebutuhan sama dengan manusia, akan tetapi


manusia sudah diwariskan segala sesuatu yang ada di bumi dengan arif dan
bijaksana. Penghormatan kepada sesama zat yang hidup untuk tujuan penguasaan
menjadi dasar bertindak dalam pemanfaatan tumbuhan/kayu. Hal lain juga
mendapat perhatian orang Batak, seperti penguasaan hutan oleh mahluk gaib.
Mereka dapat saja lebih awal sudah memilih hutan tertentu atau pohon tertentu
untuk tempat bersemayam. Azas saling menghormati bukan didasari
penyembahan berhala, akan tetapi bagaimana memiliki benda yang lebih dulu
sudah dikuasai pihak lain. Tata cara ini masih tetap dilakukan untuk menghindari
hal gaib menuntut hingga tempat (rumah) manusia memanfaatkan kayu tersebut.
Sebelum pohon yang diinginkan ditebang ada beberapa hal yang dilakukan yang
memiliki pengertian berbeda ; “Huhuasi” Melakukan komunikasi bilamana ada
yang tidak diduga telah menguasai pohon tersebut. Lalu mereka menancapkan
“takke” sejenis kapak ke kulit pohon sebagai pertanda mereka telah memilih
pohon tersebut. Bila keesokan harinya “takke” masih lengket maka mereka dapat
memiliki pohon tersebut. Hal gaib telah diabaikan dan tidak akan ada lagi
12
Barsyal Hamidy dan Hotman Harahap, Orientasi Nilai- Nilai Budaya Batak, (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), 48
gangguan mengikuti ke “huta” kampung. “Martondi Hau” merupakan sambutan
kepada pohon tersebut diajak ke kampung. Sebagai saudara tua manusia yang
akan dimanfaatkan untuk “parhau” bahan bangunan rumah yang akan didirikan,
agar senantiasa mereka bersama-sama rukun antara rumah dan penghuni, kelak
tidak dapat diganggu kekuatan lain dari luar rumah yang dapat mencelakakan
penghuninya. Sebagai sambutan, “ulos atau tikar pandan” dililitkan ke batang
pohon, berselang beberapa jam baru dilakukan penebangan.13

V. Analisa Perspektif Agama Malim terhdap Alam

Keterkaitan antara Alam dan Manusia dalam bingkai religius rupa-rupanya


bukanlah sebuah fenomena yang baru dikalangan sejarahwan. Hal ini dapat
diketahui dari berbagai lukisan-lukisan kuno pra-sejarah yang dijumpai di gua-gua
sekita 32.000 Tahun yang lalu yang memperlihatkan bahwa manusia purba pada
masa itu telah menghormati kekuatan kekuatan gaib yang muncul pada alam.14

Sebagai agama (kebudayaan) yang muncul dari kearifan tradisional


masyarakat batak kuno, agama malim juga demikian. Dimana kehadiran yang
ilahi biasanya cenderung di kaitkan dengan gejala-gejala alam yang disinyalir
memiliki kekuatan-kekuatan yang tidak kelihatan. Peristiwa peristiwa alami
seperti banjir, dan kekeringan, binatang buas (pemangsa) dianggap
mengungkapkan kekuatan kekuatan yang tak kelihatan itu. Kekuatan kekuatan ini
ada yang bersifat melindungi desa dan ada juga yang bersifat mengancam desa.
Kekuatan inilah yang dianggap diam pada suatu lokasi-lokasi tertentu, seperti
tempat tempat yang dianggap sakral dan ekslusif (seperti danau toba, gunung,
pohon, dsb).

Inilah yang sekaligus menjadi alasan mengapa agma malim sangat


menghormati dan menjaga ke aselian beberapa daerah (tempat/objek) yang
dianggap memiliki kekuatan, bukan hanya itu sikap hormat pun ditunjukkan
dengan berbagai cara. Salah satunya melalui pemberian sesaji, ritus, dan doa-doa,

13
Barsyal Hamidy dan Hotman Harahap, Orientasi Nilai- Nilai Budaya Batak, (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), 49-50
14
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 27
dengan memperhatikan pelbagai pantangan, dan dengan mengatur seuruh cara
hidup dengan kesesuaian terhadap Alam. Dengan demikian orang akan
diharapkan hidup dengan aman. Pemahaman agama malim ini harus tidak
dipahami terpisah dari bidang bidang kehidupan manusia lainnya. Realitas alami,
sosial (masyarakat), dan adi duniawi menyatu. Apapun yang dilakukan semisal
bercocok tanam, atau mempersiapkan pesta perkawinan, sekaligus merupakan
perkerjaan, harus dalam penghayatan pada kelestarian alam. Artinya dalam
seluruh aspek kehidupan secara praksis harusnya meminimalisir keruskan
(pengorbanan pada kesejahteraan Alam).15

Ketuhanan sering dihayati oleh agama malim sebagai kekuatan yang


meresapi Alam. Memang ada dua macam pandangan agama malim terhadap
Alam. Yang pertama adalah dimensi lahir dan yang lainnya disebut dengan
dimensi batin. Yang dimaksud denagan dimensi lahir adalah Alam yang
kelihatan. Tetapi alam yang kelihatan itu pun hanya dapat dimengerti dari dimensi
batin, yaitu dari kekuatan kekuatan yang ada dibelakangnya. Pelbagai roh
merupakan manifestasi dari kekuatan gaib itu yang dapat dibayangkan sebagai
energi dibelakang segala apa yang terjadi. Melalui doa-doa dan upacara-upacara,
keharusan-keharusan tertentu, melalui perayaan-perayaan, tetapi juga melalui
dukun (datu) dan sistem sistem perhitungan hari-hari beruntung (parhalaan) orang
batak menjamin bahwa kekuatan kekuatan Alam yang bersifat magis itu tidak
akan merugikan, melainkan akan menguntungkanya. Dibelakang inilah
sebenarnya Agama malim menghayati sebuah kekautan (kekuasaan) Alam.16

VI. Kesimpulan

Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa Alam
dalam perspektif parmalim adalah subjek yang menguasai manusia. Bukan
sebaliknya. Sebab menurut parmalim bahwa manusia merupakan salah satu dari
berbagai unsur yang diatur oleh kekuatan Alam.17

15
Robbert P Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999), 14-15
16
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 27
17
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 28-30
Daftar Pustaka

Armanda Siman, Batak dan Sejarahnya, Jakarta: Orbit, 2008.

Asyari. Muhammad, Masyarakat Indonesia, Obor Indonesia :Yogyakarta

2000.

Bungaran. Antonius Simajuntak, Sosial dan Sistem Politik Batak Toba

Hingga 1945, Strutur Sosial dan Sistem Politik Batak, Obor Indonesia

:Yogyakarta 2006.

Bungaran. Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang

Batak Toba, Obor Indonesia :Yogyakarta, 2009 .

Borrong. Robbert P, Etika Bumi Baru,Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999.

Magnis. Frans Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Johanna. Riris Siagian, Sahala Kepemimpin Batak Dulu dan Kini, ___:

Pematangsiantar, 2017

Hamidy. Barsyal dan Hotman Harahap, Orientasi Nilai- Nilai Budaya

Batak, Jakarta: Sanggar Willem Iskandar, 1987.

Anda mungkin juga menyukai