I. Pendahuluan
Para ahli sejarah, dan ahli antropologi serta cendikiawan masih menganut
paaham bahwa masyarakat Nusantara adalah rumpun melayu yang datang secara
berakala dari daratan Asia. Rumpun pertama adalah Melayu Tua yang menempati
daerah timur, dan pendatang kemudian adalah melayu muda (Deutro Melayu)
yang meliputi suku Jawa, Minang. Sunda. Melayu, Bugis, Sunda, Toraja, Menado,
Batak dan suku-suku lainnya. Pengakuan terhadap kemasyarakatan Nusantara
tidak menghentikan para ahli untuk melakukan penelitian melainkan tetap
berusaha mencari fakta yang berhubungan dengan masyarakat dan berpusat pada
asal usul, perkembangan Kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia. Topografi dan
alam Tapanuli yang subur, telah menarik orang-orang Melayu Tua (Proto Melayu)
untuk bermigrasi ke wilayah Danau Toba sekitar 4.000 - 7.000 tahun lalu. Bahasa
dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang Austronesia dari
Taiwan telah berpindah ke Sumatera dan Filipina sekitar 2 500 tahun lalu, dan
kemungkinan orang Batak termasuk ke dalam rombongan ini. Selama abad ke-13,
orang Batak melakukan hubungan dengan kerajaan Pagaruyung di Minangkabau
yang mana hal ini telah menginspirasikan pengembangan aksara Batak. Pada abad
ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di
pesisir barat Sumatera Utara. Mereka kemuadian mengolah lahan yang
diusahakan oleh petani-petani Batak di pedalaman.1
Dari segi mitos bahwa suku Batak berasal dari Gunung Pusuk buhit yang
berada di sebelah barat Laut Danau Toba dekat dengan kota Pangururan. Cerita
tentang terjadinya orang Batak disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut).
Sistim ini menjadikan setiap pemberitaan memiliki perbedaan cerita satu sama
lain khususnya tidak ada hubungannya dengan penciptaan secara alkitabiah.
Setiap marga dalam suku Batak memiliki dongeng tertentu dan hubungannya
dengan marga lain. Untuk memahami serta menceritakan keberadaan orang Batak
1
Armanda Siman, Batak dan Sejarahnya, (Jakarta: Orbit, 2008), 67
terhadap generasi kemudian sesuai dengan versi dan pemahaman marga tersebut.
Mitologi tentang terjadinya suku Batak dimulai dari seekor burung layang-layang
(sileangleang mandi) yang berperan sebagai kurir dan bertugas untuk
menghubungkan antara penghuni langit dan bumi. Pada suatu ketika burung
layang-layang dipanggil oleh Mulajadi Na Bolon" untuk menyampaikan sebuah
poting (bambu tabung air) yang berisi benih kepada Boru Deak Parujar, putri
seorang Dewa yang berada di Bumi. Pesan dari Mulajadi Na Bolon pun
disamapaikan agar membuat (menenun) sebuah ulos ragi idup (kain hasil tenunan
Batak). Setelah ulos ditenun, potingpun dililit dengan ulos tersebut. Dengan
kondisi terlilit maka poting itu baru dapat di buka. Pesan Mulajadi Nabolon,
dilakukan Boru Deak Parujar sesuai dengan amanat yang diberitahukan oleh
burung leangleang tersebut. Dengan keadaan terlilit maka ia pun membuka poting,
Peristiwa yang terjadi saat ia membuka poting, tiba-tiba ia melihat seorang pria
meloncat dari poting tersebut yang bernama Tuan Mulana (yang awal). Tuan
mulana ditempatkan oleh boru Deak Parujar di daerah yang terang dan ia
menyuruh burung itu pergi ke Mulajadi Na Bolon karena pesan yang diberikan
telah dilaksanakan. Sesuai pesan Mulajadi Na Bolon bahwa Tuan mulana akan
hidup bersama dengan boru deak parujar, sehingga mereka dipercayai sebagai
nenek moyang orang Batak. Disamping kepercayaan orang Batak terhadap
Mulajadi Na Bolon mereka mempaercayai juga adanya debata natolu yaitu
Dewa/Tuhan yang menguasai masing masing tempat di bumi. Debata Batara Guru
di Banua ginjang/dunia atas, Debata sori yang menguasai banua tonga/dunia
tengah dan tuan pane nabolon yang menguasai banua toru/dunia bawah. 2 Mula
Jadi Nabolon menurut kepercayaan Batak adalahyang menciptakan segala sesuatu
yang Dengan singkat sebutan ini disebut "debata" sebutan untuk itu juga
digunakan dengan Ompu tuan mulajadi nabolon, la juga memiliki kekuasaan di
dunia Ia juga memiliki kekuasaan di dunia tengah yang disebut ompu Silaon
Nabolon (Raja napinangkabo) dan di dunia bawah disebut banua toru.
2
Armanda Siman, Batak dan Sejarahnya, (Jakarta: Orbit, 2008), 68
dapat memberi gambaran bahwa masyarakat Batak telah mempercayai Allah yang
maha kuasa dan esa pada masa sebelum orang Batak mengenai agama yang
disebut dengan Mulajadi Na Bolon. Ia adalah awal segala sesuatu yang ada di
muka bumi. Mulajadi Na Bolon dianggap sangat kudus dan berdiam di lapisan
langit ke tujuh. Pada umumya penyampaian hubungan dengan Mulajadi Na bolon
melalui doa-doa (tonggo). Suku Batak yang tinggal di daerah Batak terbagi-bagi
dalam beberapa subsuku. Pembagian subsuku ini didasarkan adanya perbedaan
bahasa. Pembagian suku ini adalah: kabupaten Tapanuli utara (dimana saat ini
menjadi beberapa kabupaten yaitu Toba Samaosir yang berpusat di Balige,
Humbang Hasundutan yang berpusat di Dolok Sanggul dan Kabupaten Samosir
yang berpusat di Samosir), Tapanuli Selatan, Karo, Tapanuli tengah, Dairi. Dari
segi kesukuan dan yang termasuk suku Batak adalah: Batak toba tinggal di daerah
tanah Batak pusat, Angkola Sipirok Padang Lawas di bagian tengah dan sibolga di
bagian Selatan, Mandailing di bagian Selatan, simalungun (Batak Timur) di
sebelah Timur Danau Toba, Dairi (Pakpak) di sebelah barat Tapanuli dan Batak
Karo di sebelah Utara Danau Toba.3
3
Bungaran Antonius Simajuntak, Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945, Strutur
Sosial dan Sistem Politik Batak (Obor Indonesia :Yogyakarta 2006), hlm. 43
dalam bahasa Batak) itu baunya wangi yang berasal dari tanaman yang diciptakan
Tuhan. Itulah simbol yang paling tepat yang kami persembahkan kepada Tuhan.
4
Bungaran Antonius Simajuntak, Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945, Strutur
Sosial dan Sistem Politik Batak (Obor Indonesia :Yogyakarta 2006), hlm. 44
5
Armanda Siman, Batak dan Sejarahnya, (Jakarta: Orbit, 2008), 68
III.Konsep Tuhan dalam Agama Parmalim
Agama malim mengenal Debata Mula Jadi Na Bolon sebagai sosok Tuhan
dalam pandangan teologisnya.Para ahli banyak berdiskusi tentang perspektif batak
yang menyebut “Tuhan” dengan sebutan debata (dewata) menurut beberapa ahli
bahwa penggunaan kata debata (dewata) agaknya mengindikasikan adanya
pengaruh Agama Hindu (abad 14M). Sebab dewata sangat mungkin merupakan
kata serapan yang diadopsi kemudian oleh masyarakat batak dari kata dewa (siwa)
yang adalah Tuhan dalam agama Hindu, bagaimanapun pengaruh ini mungkin
bisa jadi bukan hanya dalam aspek kalimat / pemaknaan tetapi mungkin juga
berpengaruh pada pandangan teologis dogmatis bagaimana agama malim
(parmalim) terhadap eksistensi “Tuhan” atau Debata.6
6
Antonius Bungaran Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, (Obor
Indonesia :Yogyakarta 2009) 66
Kemunculan pemahaman orang-orang Batak awalnya merupakan sebuah
pemikiran filosofis yang meyakini bahwa ada kekuatan diluar diri masyarakat
batak yang menciptakan segala yang ada.7Debata Mula Jadi Na Bolon Merupakan
sebuah kekuatan yang supranatural yang diyakini sebagai oknum yang
menjadikan semua hal menjadi ada oleh masyarakat batak.8 Penciptaan bumi
disinyalir dilakukan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon merupakan atas permintaan
Boru Deak Parujar yang merupakan dewi langit yang meminta untuk dibuatkan
tempat yang baru kepada Mula Jadi Na Bolon untuk menjadi tempat baginya
mengekspresikan diri.
7
Muhammad Asyari, Masyarakat Indonesia, (Obor Indonesia :Yogyakarta 2000), hlm 78
8
Muhammad Asyari, Masyarakat Indonesia, (Obor Indonesia :Yogyakarta 2000), hlm 79
Cerita penciptaan menurut masyarakat batak toba yang telah dipaparkan
diatas telah diringkas menjadi beberapa inti cerita yang singkat. Namun pada
dasarnya merupakan sebuah kebiasaan agama lokal adalah membangun kredo dari
cerita yang dituturkan secara turun temurun. Terkait kebenaran cerita tentu
bukanlah menjadi spekulasi akademis. Tetapi yang dapat diperbincangkan dalam
hal ini adalah mengenai “pengakuan”/Kredo yang dimunculkan oleh masyarakat
lokal untuk membangun sistem keagamaan yang berdasar pada pengakuan
(teologis) tentang asal muasal keberadaan segala sesuatu sebagai wujud
konstruksi berfikir yang teologis meskipun masih terbilang cukup primitif.
Konstruksi berfikir masyarakat batak yang mencoba melihat Alam sebagai
anugrah (pemberian) dari Mulajadi Na Bolon “Tuhan” merupakan titik tolak
untuk memahami bagaimana kemudian agama malim ini melihat dan berinteraksi
dengan Alam dalam kehidupan praksisnya baik dalam aspek ritual maupun aspek
kehidupan.
9
Muhammad Asyari, Masyarakat Indonesia, (Obor Indonesia :Yogyakarta 2000), hlm 79
IV. Kedekatan Agama Malim dan Alam dalam perspektif kearifan Lokal
Agama Tradisional Batak
4.1.Martutuaek
Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja Ihat
Manisia dan Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia surgawi putra
putri para Dewata. Tubuh yang menjadi manusia lahir wajib diperkenalkan
dengan jenis asal mereka “air”. Martutuaek artinya menuju ke sumber air.
Memperkenalkan manusia lahir itu dengan air yang merupakan keutamaan
sumber hidup sebelum mengenali semua apa yang ada di bumi. Untuk pertama
sekali dia mengambil air dari sumbernya untuk dibuat persembahan kepada
Mulajadi Nabolon.
Seperti halnya pesah yang diterima Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia,
manusia wajib memelihara seluruh isi bumi. Diperkenalkan selanjutnya bahwa air
adalah saudara tubuh kenyal dari awal terbentuk hingga pemeliharaannya dalam
sirkulasi darah dalam tubuhnya. Untuk pribadi manusia, air berperan untuk
“Parsuksion mula ni haiason, haiason mula ni parsolamon, parsolamon mula ni
hamalimon”, awal pembersihan menuju kesucian, kesucian menuju
kesempurnaan. Untuk hubungan manusia dengan Mulajadi Nabolon air “Mual
Natio dipadomu dohot unte mungkur marangkuphon sanggul banebane jumadi
pangurason parsungsion” berperan sebagai persembahan kepada Mulajadi
Nabolon atau pelengkap utama dari seluruh jenis persembahan itu.10
4.2.Peran Air
10
Riris Johanna Siagian, Sahala Kepemimpin Batak Dulu dan Kini, (___: Pematangsiantar, 2017),
98
disebut “HUMUASAL” Hal kedua diatas yang jarang dibicarakan karena pada
umumnya dilakukan sebagai ritual kaji pada ahli pengobatan untuk mendekatkan
spritualitasnya terhadap lingkungan dan kehidupan. Setiap penyakit diyakini ada
penyebabnya dan selalu ada obatnya. Kerusakan pengelolaan tubuh merupakan
penyebab penyakit dan perusakan lingkungan menjadi sumber penyakit.
Keduanya berkaitan dan tak dapat diabaikan dalam kehidupan nyata.
Humuasal ada beberapa versi, yang berdekatan. 1) Aek jumadi ombun, ombun
jumadi udan, udan jumadi hau. Air menjadi embun, embun menjadi air, air
menjadi kayu. Pengertian luasnya adalah air menguap (evaporasi) menjadi embun,
embun menjadi hujan, hujan menjadi air mengalir diatas permukaan tanah,
pelembaban tanah dan siraman hujan memecah kecambah sehingga memekarkan
tumbuhan. Ada hidup (harmonisasi). 2)Timus jumadi ombun, ombun jumadi udan,
udan jumadi hau, hau jumadi api, api jumadi ombun. Asap menjadi embun,
embun menjadi hujan (air), air menjadi kayu, kayu menjadi api, api menjadi
embun. Pengertian kedua ini menyatakan; asap dan uap menjadi embun, embun
menjadi air, air memecah kecambah dan menghidupkan tanaman, tanaman
menjadi api (panas), panas menjadikan penguapan sehingga menjadi embun. Dari
kedua pengertian HUMUASAL diatas dapat dimengerti tingkat kajian leluhur
akan pemahaman asal usul sebab dan akibat yang dirangkai dalam pemahaman
siklus hidrologi. Menurut ilmu pengobatan Batak, keseimbangan adalah
kelestarian, dan kelestarian adalah keabadian. Setiap terjadi kerusakan dalam
keseimbangan itu wajib dilakukan perbaikan. Berdasarkan itu pula setiap orang
mencari solusi kesehatannya selalu diarahkan apa yang tertinggal dan terabaikan
dalam kehidupannya. Dalam setiap praktek pengobatan, air selalu pemeran utama
yang dirangkai dengan bahan pendukung lainnya dari tanaman yang konon
dimengerti terjadi dan hidup karena air.11
4.3.Peran Tanah.
11
Barsyal Hamidy dan Hotman Harahap, Orientasi Nilai- Nilai Budaya Batak, (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), 47
Tanah diakui sebagai “tano ojahan, tano ondolan, ojahan ni saluhut nasa na
adong”. Tanah adalah media proses seluruh kehidupan manusia, tanaman, hewan
dan air. Ombun (uap) adalah peralihan sementara yang pada akhirnya bersentuhan
dengan tanah karena berasal dari tanah. Bila air dimaknai sebagai aliran hidup
asal-usul, sebab-akibat, maka tanah dimaknai sebagai media proses kesuburan itu
terjadi. Lambang kesuburan tanah disebut “Boraspati ni tano”. Berperan sebagai
pemenuhan ambang batas kemampuan manusia untuk merawat tanamannya
tumbuh subur. Manusia hanya mampu memberi kebutuhan dasar tanamannya
pada awal pertumbuhan dengan hara makro seadanya, tapi pemenuhan hara makro
dan mikro akan diberikan oleh tanah itu sendiri dengan “boraspati ni tano”.
Sehingga boraspati itu adalah sebuah icon spritualitas Batak akan adanya unsur
tersembunyi dari tanah itu untuk kebutuhan hidup manusia yaitu kesuburan. Yang
tidak menghargai boraspati ni tano, cenderung akan melakukan perusakan atas
kesuburan tanah. Lambang “Boraspati” juga dapat ditemukan pada hiasan rumak
Batak Toba. Memaknai adanya kesuburan tumbuh pada penghuni rumah yang
dominannya untuk perkembangan keturunan bagi manusia, namun tidak lepas dari
pengertian akan seburan tanah. Manusia yang tidak mendapat keturunan disebut
“pupur”. Sedangkan tanah yang tidak subur disebut “tungil” Dalam setiap
pengolahan tanah, orang Batak selalu memberitahukan kepada Nagapadohaniaji
akan niatnya dengan kata : Saya tidak hendak merusak tanah yang engkau junjung
Nagapadohaniaji, tapi saya hendak menggunakannya untuk kebutuhan
kehidupanku seharihari (atau untuk kebutuhan lainnya seperti pekuburan dan
pendirian perumahan)”. Setelah kata itu diucapkan lalu dilakukan pencangkolan
atau pengorekan pertama. Untuk kegiatan pertanian biasanya dibiarkan dulu
beberapa hari kemudian dilakukan pengolahan tanah yang sebenarnya. Kegiatan
seperti ini menunjukkan bahwa tidak bisa dilakukan sikap yang menunjukkan
keserakahan terhadap tanah walau dalam arti itu adalah “UGASAN” bagi
manusia. Pada pengelolaan pertama itu juga selalu dilakukan dengan “itak
gurgur” tepung beras yang dimaknai agar apapun yang dilakukan untuk tujuan
kehidupan itu mendapat restu Mulajadi Nabolon, dipahami oleh Nagapadohaniaji
dan respon dari Boraspati ni tano. Itak gurgur melambangkan persembahan dan
pemaknaan semua hasil pekerjaan akan berkembang baik (gurgur).12
4.4.Peran Hutan
13
Barsyal Hamidy dan Hotman Harahap, Orientasi Nilai- Nilai Budaya Batak, (Jakarta: Sanggar
Willem Iskandar, 1987), 49-50
14
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 27
dengan memperhatikan pelbagai pantangan, dan dengan mengatur seuruh cara
hidup dengan kesesuaian terhadap Alam. Dengan demikian orang akan
diharapkan hidup dengan aman. Pemahaman agama malim ini harus tidak
dipahami terpisah dari bidang bidang kehidupan manusia lainnya. Realitas alami,
sosial (masyarakat), dan adi duniawi menyatu. Apapun yang dilakukan semisal
bercocok tanam, atau mempersiapkan pesta perkawinan, sekaligus merupakan
perkerjaan, harus dalam penghayatan pada kelestarian alam. Artinya dalam
seluruh aspek kehidupan secara praksis harusnya meminimalisir keruskan
(pengorbanan pada kesejahteraan Alam).15
VI. Kesimpulan
Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa Alam
dalam perspektif parmalim adalah subjek yang menguasai manusia. Bukan
sebaliknya. Sebab menurut parmalim bahwa manusia merupakan salah satu dari
berbagai unsur yang diatur oleh kekuatan Alam.17
15
Robbert P Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1999), 14-15
16
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 27
17
Frans Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 28-30
Daftar Pustaka
2000.
Hingga 1945, Strutur Sosial dan Sistem Politik Batak, Obor Indonesia
:Yogyakarta 2006.
Johanna. Riris Siagian, Sahala Kepemimpin Batak Dulu dan Kini, ___:
Pematangsiantar, 2017