Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MENGENAL SUKU TORAJA

Makalah ini Disusun Sebagai Pemenuhan Salah Satu Tugas Mata Pelajaran
Sejarah Perminatan

Di Susun Oleh:

Ai Dina Herlina

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 BANJAR

Jl. K. H Mustofa No. 1

Kota Banjar

Tahun 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat tuhan yang maha kuasa atassegala rahmatnya,


sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang mungkin sangat sederhana.

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk penambahan nilai
mata pelajaran sejarah minat. Makalh ini berisikan tentang adat istiadat suku
Toraja. Tidak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah
mendukung saya dalam penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,petunjuk


maupun pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi para
pembaca.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu saya harapkan kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Banjar, 19 Juni 2022

Ai Dina Herlina
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia yang memiliki berbagai macam ras, suku, serta budaya
yang bermacam-macam dari sabang hingga merauke. Kehidupan manusia
terutama di Indonesia tidak terlepas dari budaya dari nenek-nenek moyang
masing-masing suku yang ada di Indonesia. Masing-masing suku dan
kebudayaan pasti memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Nilai-nilai itu baik nilai sosial, nilai-nilai pribadi
maupun nilai-nilai budaya.
Tiap budaya dikenali berdasarkan ciri-ciri khusus yang dimiliki
oleh tiap budaya. Dalam budaya ada anggota yang mengikuti budaya itu
dan membawa nilai-nilai yang dimilikinya dalam budaya yang di ikutinya.
Interaksi antar anggota budaya terjadi baik didalam budayanya
sendiri maupun akan berinteraksi lebih luas lagi yakni dengan masyarakat
yang berada di luar budayanya. Dalam interaksi diluar, individu pastilah
membawa nilai-nilai yang ada di dalam budayanya.
Oleh karna itu saya akan membahas salah satu budaya yang ada di
Indonesia yakni budaya yang ada pada suku Toraja. Dengan memahami
banyak budaya maka kita akan lebih memahami betapa banyaknya budaya
di negeri kita serta meningkatkan rasa toleransi antar suku dan budaya di
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang historis budaya suku Toraja?
2. Bagaimana bahasa komunikasi dalam budaya Toraja?
3. Apa saja mitos yang ada di suku Toraja?
4. Apa saja agama yang kebanyak di anut suku Toraja?
5. Bagaimana adat perkawinan di suku Toraja?
6. Apa saja tradisi-tradisi suku Toraja?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan latar historis budaya suku Toraja.
2. Untuk mengetahui bahasa komunikasi yang digunakan suku Toraja.
3. Untuk mengetahui mitos yang ada di suku Toraja.
4. Untuk mengetahui agama yang dianut suku Toraja.
5. Untuk mengetahui adat perkawinan di suku Toraja.
6. Untuk mengetahui tradisi-tradisi suku Toraja.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Historis Budaya

Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari


nirwana. Legenda ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja
turun dari nirwana menggunakan “tangga dari langit” yang kemudian
berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha
Kuasa). Namun seorang anthropolog menuturkan bahwa masyarakat Toraja
merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami
daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang dari Teluk Tongkin (daratan
Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut berawal dari
berlabuhnya imigran Indo Cina dalam jumlah yang cukup banyak di sekitar
hulu sungai di daerah Enrekang. Para imigran ini lalu membangun pemukiman
di daerah tersebut.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis, dari kata To Riuja
yang berarti “orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”. Ada juga
versi lain yang mengatakan nama Toraja berasal dari kata Toraya. To artinya
Tau atau “orang”, Raya dari kata Maraya yang berarti “besar”. Jadi Toraya
berarti orangorang besar atau bangsawan. Lama-kelamaan, penyebutan
tersebut menjadi Toraja. Dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat
pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

B. Bahasa komunikasi
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan
Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesiasebagai
bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan
tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.

Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae',


Talondo', Toala', dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa
Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis
Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa
Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja,
beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu
adalah penyebab utama dari keberagaman dalam bahasa toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang
duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat
bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses
berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja
mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan,
depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja
apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa
kehilangan seseorang, hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

C. Mitos Suku Toraja


Konon leluhur orang Toraja berasal dari nirwana. Mereka
diturunkan di dalam tiga tahap, yakni tahap To Sama tahap 1, tahap To
Makaka tahap 2 dan tahap To Matasak tahap 3. Mitos ini tetap melegenda
secara lisan turun- temurun di kalangan masyarakat Toraja.
Alkisah nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama
menggunakan tangga yang disebut Eran di Langi di Rura, Bamba Puang.
Tangga tersebut kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan
Puang Matua Tuhan Yang Maha Kuasa. Konon manusia yang turun ke
bumi ini, telah dibekali aturan keagamaan yang disebut Aluk, yang
menjadi sumber budaya dan pandangan hidup leluhur orang Toraja.
Aluk mengandung nilai-nilai religius yang mengarah kepada
Puang Matua yang disembah sebagai pencipta manusia, bumi dan segala
isinya. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas Surga
dunia manusia bumi, dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul
cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat
berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh 30 empat pilar, bumi adalah
tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap
berbetuk pelana.
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante dewa
bumi, Indo Ongon-Ongon dewi gempa bumi, Pong Lalondong dewa
kematian, Indo Belo Tumbang dewi pengobatan, dan lainnya. Kekuasaan
di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam
kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa
seorang pendeta aluk. Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga
merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur
kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata
cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Ajaran Aluk
Todolo mengemukakan bahwa di luar diri manusia terdapat tiga unsur
kekuatan dan wajib dipercayai akan kekuatan dan kebesarannya serta
kuasanya. Ketiga unsur tersebut diuraikan sebagai berikut :
a) Puang Matua Sang Pencipta Puang Matua merupakan suatu unsur
kekuatan yang paling tinggi sebagai pencipta yang menciptakan
segala isi bumi. Menurut ajaran Aluk Todolo, Puang Matua-lah
yang menciptakan segala isi dunia ini, diantaranya manusia
pertama yang dinamai La Ukku. Nenek manusia yang pertama
yaitu Datu La Ukku ditugaskan oleh Puang Matua untuk
memberikan suatu aturan yang dalam bahasa Toraja disebut Aluk.
Aturan ini mengandung ajaran kepada manusia untuk menjalankan
31 kewajiban utama didalam mengadakan persembahan. Ajaran
Aluk Todolo ini mengajarkan bahwa Puang Matua memberikan
kesenangan dan kebahagiaan sesuai dengan amal atau kebaikan
serta kejahatan. Bilamana lalai dalam melakukan pemujaan, maka
akan dikutuk oleh Puang Matua dan sebaliknya apabila selalu
patuh, maka Puang Matua akan memberikan kebahagiaan dan
keselamatan.
b) Deata-deata Sang Pemelihara Setelah Puang Matua menurunkan
sukaran Aluk kepada nenek manusia pertama, Puang Matua
memberikan kekuasaan kepada deata-deata untuk pemeliharaan
dan penguasaan terhadap bumi ini. Hal ini bertujuan agar manusia
dapat mendiami dan menggunakan bumi ini untuk menyembah dan
menempatkan Puang Matua pada tempat yang mulia dan
terhormat. Menurut kepercayadan Aluk Todolo, Puang Matua
membagi alam ini menjadi tiga bagian yang merupakan kekuasaan
tiga deata utama yaitu : 1 Deata Tangngana Langi Sang Pemelihara
di Langit, yaitu deata yang bertugas menguasai dan memelihara
seluruh isi langit dan cakrawala. 2 Deata Kapadanganna Sang
Pemelihara pada permukaan bumi, yaitu deata yang bertugas
memelihara dan menguasai seluruh isi permukaan bumi ini. 32 3
Deata Tangngana Padang Sang Pemelihara isi dari pada
Tanatengah bumi, yaitu deata yang bertugas menguasai dan
memelihara segala isi tanah, sungai, laut serta seluruh isi bumi.
Bagi kelancaran tugas dari ketiga deata utama di atas, maka
ketiganya bertugas membawahi sejumlah deata-deata yang
bertugas khusus mengkoordinir tempat-tempat tertentu seperti
deata sungai, hutan, angin dan sebagainya.
c) To Membali Puang Leluhur sebagai Pengawas Manusia
turunannya Setelah membicarakan kedua unsur tersebut di atas,
maka unsur yang ketiga menurut ajaran Aluk Todolo adalah arwah
para leluhur yang telah menjelma jadi dewa yang dikenal dengan
sebutan To Membali Puang. To Membali Puang didalam
kepercayaan Aluk Todolo bahwa Puang Matua memberikan
kekuasaan sepenuhnya kepadanya untuk mengawasi perbuatan dan
perilaku serta memberikan berkah kepada manusia turunannya.
Puang Matua mewajibkan pula manusia memuja dan menyembah
kepada to membali puang bersama Puang Matua dan kepada deata-
deata. Keyakinan yang demikian menyebabkan penganut ajaran
Aluk Todolo masing-masing mempunyai kewajiban guna
diperlihatkan sebagai tanda bukti ketaatan pada leluhurnya.
Ketaatan ini senantiasa dalam bentuk kebaktian dan persembahaan
yang berupa sesajian, yang berarti seluruh keluarga dan
keturunannya mempunyai harapan-harapan berkah dan
keberuntungan yang 33 akan diperolehnya dari arwah nenek
moyangnya. Sebaliknya apabila mereka lupa dan lalai mengerjakan
sesuatu untuk persembahan dalam upacara-upacara yang telah
ditentukan oleh ajaran Alukta ini, maka biasanya kesusahan hidup
akan melanda dan akan tertimpa malapetaka bagi keluarga yang
bersangkutan.

Ketiga unsur diatas dipercaya sebagai tiga kekuatan gaib yang harus
disembah oleh manusia yang dilakukan dengan cara mempersembahkan
sesajian dan kurban-kurban yang terdiri atas hewan-hewan seperti kerbau,
babi, atau ayam. Biasanya persembahan-persembahan dilakukan secara
terpisah dalam waktu yang berbeda-beda dan dalam cara yang berbeda
pula.

D. Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan
animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang
diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang
Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian
digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang
Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia
atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga
dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian
muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan
tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi
adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi
dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong
Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi),
Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang
baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman,
disebut to mina (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem
kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian,
dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan
desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual
kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya
digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya.
Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak
diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi
diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih
sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai
jarang dilaksanakan.

E. Adat Perkawinan
Perkawinan yang dinamai rampanan kapa’ di Tana Toraja
merupakan suatu adat yang paling dimuliakan masyarakat Toraja karena
dianggap sebagian dari terbentuknya atau tersusunannya kebudayaan
seperti pula pada suku-suku bangsa lainnya di Indonesia.
Proses dan pelaksanaan perkawinan yang dinamakan rampanan
kapa’ itu di Tana Toraja yang dilakukan menurut adat Toraja, maka
tampak perbedaan antara proses perkawinan di daerah lain karena yang
dilakukan atau yang menghadapi serta yang mensyahkan perkawinan di
Tana Toraja bukanlah penghulu agama tetapi dilakukan oleh pemerintah
adat dinamakan ada’. Namun sebenarnya perkawinan itu di asuh atau
diatur olah aturan-aturan yang bersumber dari ajaran aluk todolo yang
dinamakan aluk rampanan kapa’.

Dalam suatu perkawinan di Tana Toraja tidak diadakan kurban


persembahan dan sajian persembahan seperti dalam menyelamati
peristiwaperistiwa lain umpamanya pembangunan rumah, menyelamati
keadaan tanaman dan hewan ternak dan kelahiran manusia dan lain-lain.
Perkawinan di Tana Toraja adalah semata-mata adanya persetujuan
kemudian persetujuan itu disyahkan dengan suatu perjanjian dihadapan
pemerintah adat dan seluruh keluarga yang telah terdapat aturan dan
hukumhukum yang dibacakan dalam perjanjian sebagai sangsi dan
perjanjian perkawinan.

F. Tradisi-Tradisi Suku Toraja


- Adat istiadat
Suku Toraja selama ini dikenal sebagai salah satu suku yang sangat
taat dalam menjalankan ritual adatnya, yang terbagi dalam dua
golongan besar. Masing – masing adalah tradisi untuk menghadapi
kedukaan atau sering disebut Rambu Solok dan tradisi untuk
menyambut kegembiraan yang dinamakan dengan Rambu Tuka.
Masing – masing tradisi ini masih mempunyai tujuh tahapan upacara.
Dalam masyarakat Suku Toraja, sampai dengan saat ini masih
banya yang memegang kepercayaan peninggalan para leluhurnya.
Maka tidak mengherankan bila kedua tradisi tersebut masih sering
diadakan sampai saat ini.
Upacara Tambu Tuka, selalu berhubungan dengan meninggalnya
seseorang. Maka upacara ini dimulai dengan mempersiapkan
penguburan bagi orang yang meninggal. Dalam upacara ini sering
dilaksanakan dengan mengadakan adu ayam, kerbau serta
menyembelih binatang babi yang jumlahnya cukup besar.
Kuburan yang digunakan untuk menguburkan jenazah terbilang
istimewa. Karena jenazah tersebut diletakkan pada tempat yang
khusus, yaitu disebuah gunung yang berbatu dan di beri lubang dan
bentuknya seperti gua kecil. Jadi jenazah tersebut tidak dikubur
sebagaimana umumnya, namun diletakkan didalam lubang gua
tersebut.
Sementara itu untuk upacara tradisi Rambu Tuka yang merupakan
pesta kebahagiaan, biasanya digunakan untuk menyambut kelahiran
seorang bayi, pesta pernikahan dll. Jika salah satu penduduknya
melakukan kesalahan atau pelanggaran maka akan dijatuhi sanksi adat.
- Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual
yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa
seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar
pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan
biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan
pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang
hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, danberbagai perangkat
pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik
suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi
duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku
untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
bermingguminggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian
yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku
Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya
(dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah
dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan.
Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau.
Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang
disembelih.Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam“masa tertidur”. Suku Toraja percaya
bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan
puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman
yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang
muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan
kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang
pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman, yang pertama peti mati dapat disimpan
di dalam gua, kedua di makam batu berukir, yang ketiga digantung di
tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir.
Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar
beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan
jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau
biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau
anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya
bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya
terjatuh.
- Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan
dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa
duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah
almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang
menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran
dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati
almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual tersebut
dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.
Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan
untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang
pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau,
helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing
mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju
rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan
dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan
kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan
hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah
penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan
perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang
disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan
menari selama musimpanen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk
merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarianMa'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada
beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan
oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan.
Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari.
Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun
sekali. Ma'buaadalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka
agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut
Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian,
seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama
sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari
panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya
Pa'pelle yang dibuat daridaun palem dan dimainkan pada waktu panen
dan ketika upacara pembukaan rumah. Tana Toraja di Sulawesi
Selatan sudah lama terkenal dengan alam pegunungannya yang permai
serta ritual adatnya yang unik. Yang paling tersohor, tentu saja, pesta
Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh yang
dihormati. Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di
Toraja ini senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan.Selain
Rambu Solo, sebenarnya ada satu ritual adat nan langka di Toraja,
yakni Ma’ Nene’, yakni ritual membersihkan dan mengganti busana
jenazah leluhur.
Ritual ini memang hanya dikenal masyarakat Baruppu di
pedalaman
Toraja Utara. Biasanya, Ma’ Nene’ digelar tiap bulan Agustus. Saat
Ma’ Nene’ berlangsung, peti-peti mati para leluhur, tokoh dan orang
tua,di keluarkan dari makam-makam dan liang batu dan diletakkan di
arena upacara.
Di sana, sanak keluarga dan para kerabat sudah berkumpul. Secara
perlahan, mereka mengeluarkan jenazah (baik yang masih utuh
maupun yang tinggal tulang-belulang) dan mengganti busana yang
melekat di tubuh jenazah dengan yang baru.Mereka memperlakukan
sang mayat seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian keluarga
besar.
Ritual Ma’ Nene’ oleh masyarakat Baruppu dianggap sebagai
wujud
kecintaan mereka pada para leluhur, tokoh dan kerabat yang sudah
meninggal dunia. Mereka tetap berharap, arwah leluhur menjaga
mereka dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan
Suku toraja merupakan suku yang berada di provinsi Sulawesi
Selatan, suku ini masih ada yang tinggal di tana toraja, kabupaten toraja
utara dan juga ada yang berada di kabupaten Mamasa. Agama mayoritas
yang dianut oleh suku toraja adalah agama Kristen, walaupun ada agama
lain yang dianut oleh suku toraja seperti Agama Islam. Nenek moyang
suku toraja juga masih ada yang menganut aliran animisme.

Dalam suku toraja kelarga besar tinggal dalam satu rumah adat yang
disebut dengan nama rumaha "tongkonan". Sistem mata pencaharian
dalam keluarga pada suku toraja yakni bertani karena memiliki banyak
ladang dan sawah.

Anda mungkin juga menyukai