Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH ETNOBIOLOGI

SUKU TORAJA
TERKAIT DENGAN ETNOBIOLOGI

Dosen :

Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo

Disusun Oleh :

1. Filopor NPM. 061117008


2. Indriani Ika W. NPM. 061117013
3. Naviga Nurul F. NPM. 061117018
4. Elsa Evangelica NPM. 061117023

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai negara kepulauan dengan berbagai suku bangsa
memiliki keragaman pola pikir, seni, agama, pengetahuan, bahasa serta tradisi
budaya lokal dengan karakteristik yang unik. Menurut Koentjaraningrat
(Riskiyanto, 2014)
Etnobiologi dapat diartikan secara umum sebagai evaluasi ilmiah tehadap
pengetahuan penduduk tentang biologi, termasuk di dalamnya pengetahuan
tentang tetumbuhan (botani), hewan (zoologi) dan lingkungan alam (ekologi).
Ditilik dari perkembangannya, etnobiologi merupakan disiplin ilmu yang relatif
baru. Meski demikian, etnobiologi telah berkembang dengan sangat pesat. Kajian
etnobiologi telah menjadi suatu kajian lintas disiplin yang khas dan luas, baik
secara teori maupun praktik. Misalnya, kajian tentang jenis-jenis tumbuhan obat
dan pengobatan tradisional, sistem keberlanjutan sumber daya alam, bencana
alam, dan lainnya (Ellen, 2006).
Masyarakat suku Tana Toraja merupakan salah satu suku di Kabupaten
Tana Toraja merupakan salah satu dari 23 kabupaten yang ada di propinsi
Sulawesi Selatan yang terletak diantara 2º20´sampai 3º30´ Lintang Selatan dan
119º30´ sampai 120º10´ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja
tercatat 3.205,77 km² atau sekitar 5% dari luas propinsi Sulawesi Selatan, yang
meliputi 15 (lima belas) kecamatan. Jumlah penduduk pada tahun 2001
berjumlah 404.689 jiwa yang terdiri dari 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa
perempuan dengan kepadatan rata-rata penduduk 126 jiwa/km² dan laju
pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar 2,68% pertahun.
Cara hidup manusia terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan harian.
Dengan kemampuan adaptasinya, manusia akan berusaha memuaskan diri dan
keinginannya sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang ada di sekitarnya.
Kajian terhadap pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat tradisional atau

1
etnobiologi penting dilakukan agar pengetahuan kearifan mereka dalam
pemanfaatan tumbuhan tersebut tidak hilang ditelan arus modernisasi.
Diharapkan kedepannya pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari oleh
masyarakat tradisional dapat dijadikan inspirasi penerapan dan pengelolaan hutan
di Indonesia (Irzal Fakhori,2009).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan Masalah dari makalah ini adalah:
1. Bagaimana asal-usul masyarakat suku Tana Toraja
2. Perkembangan ilmu etnobotani pada masyarakat suku Tana Toraja.
3. Perkembangan ilmu etnozoologi pada masyarakat suku Tana Toraja
4. Perkembangan ilmu etnoekologi pada masyarakat suku Tana Toraja

1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui asal-usul masyarakat suku Tana Toraja
2. Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Etnobotani Pada Masyarakat Suku
Tana Toraja
3. Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Etnozoologi Pada Masyarakat Suku
Tana Toraja
4. Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Etnoekologi Pada Masyarakat Suku
Tana Toraja

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepercayaan Animisme (Aluk Todolo)

Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari
nirwana.5 Mitos tentang leluhur hingga kini tetap melegenda secara lisan
dikalangan masyarakat Toraja. Mitos ini menceritakan bahwa nenek moyang
masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun
dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media perantara dengan Puang
Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan
menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal
di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang
yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga
terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya
adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa
bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan),
dan lainnya. Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang
baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to
minaa (seorang pendeta aluk).

Sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, masyarakat Toraja menganut


kepercayaan leluhur yang dikenal sebagai Aluk Todolo (Aluk = aturan, sedangkan
Todolo = leluhur) yang berati aturan atau ajaran kepercayaan masyarakat Toraja,
berisi paham – paham yang di bawa Tamboro Langi’ (leluhur) ke bumi. Alam
semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi),
dan dunia bawah. Aluk Todolo bukan hanya merupakan sebuah sistem
kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk Todolo mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian,
dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk Todolo bisa berbeda antara satu desa dengan
desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan

3
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.
Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda,
orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual
kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian
masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang
dilaksanakan.

2.2 Stara Sosial


2.2.1 Pengolongan sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat
dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial yaitu Bangsawan, Orang
Biasa, dan Budak. (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah
Hindia Belanda).
Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi, ini bertujuan untuk
meningkatkan status pada keturunan berikutnya.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,
tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih
sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk
kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata
boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan
pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat
biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun
didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak
sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau
yang dimiliki. Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik

4
keluarga. Terkadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan
membayarnya dengan cara menjadi budak.

Budak bisa dibawa saat perang. Budak bisa membeli kebebasan


mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak
diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka.
Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

2.2.2 Sistem Kekerabatan

 Perkawinan masyarakat Suku Toraja :

1. Assialang Marola : Perkawinan antara saudara sepupu sederajat kesatu


baik dari pihak ayah maupun ibu

2. Assialanna Memang : perkawinan antara saudara sepupu sederajat


kedua baik dari pihak ayah maupun ibu Perkawinan yang dilarang
adalah anak dengan ayah/ibu dan menantu dengan mertua.

 Kegiatan-kegiatan sebelum perkawinan, meliputi :

1. Mappuce-puce (meminang gadis)

2. Massuro (menentukan tanggal pernikahan)

3. Maddupa (mengundang dalam pesta perkawinan)

2.3 Bahasa Suku Toraja


Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa
Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo',
Toala', dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia
dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi

5
membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh
oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri-ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka
cita kematian. Acara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat
mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa
tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk
menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental.

2.4 Rumah Adat Toraja


2.4.1 Rumah Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas
tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan
kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon (duduk).
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual
yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan
spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut
serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur
mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga
dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru
rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan
biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis
tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang
digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah
milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan
tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring
banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di

6
daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun
mampu membangun tongkonan yang besar.

Gambar. Tongkonan (Rumah Adat Tana Toraja)

2.4.2 Alang (Lumbung)

Alang merupakan tempat penyimpanan padi, didaerah lain sering


disebut lumbung. Didirikan dengan tiang yang agak tinggi untuk
menghindari gangguan binatang dan serangga yang dapat merusak keranjang
padi. Padi merupakan makanan utama yang diyakini memiliki roh sehingga
memerlukan pemeliharaan yang khusus, demikian pula dengan tempat
penyimpanannya.

Menurut keyakinan “Aluk Todolu”, padi memiliki roh sehingga tidak


dapat dicampur dengan bahan makanan lain. Padi diyakini sebagai tanaman
makanan yang dijaga oleh dewa pemelihara padi (diata diata pare). Padi juga
digunakan untuk sajian pada sesuatu yang dipuja dan disembah. Padi tidak
dapat disimpan di rumah tinggal karena dianggap rumah adalah tempat yang
tidak bersih, sehingga dibangunlah Alang (lumbung padi).

7
Perkembangan fungsi Alang cukup beragam, yaitu tahap Alang
Palipu dan Alang Lemba yaitu fungsi Alang untuk tempat menyimpan padi,
kemudian Alang Palimbung yang difungsikan sebagai tempat menerima
tamu dan Alang Pollo ‘Seba yang juga digunakan sebagai tempat pertemuan
dan musyawarah.
Penempatan Alang selalu berada di depan atau berhadapan dengan
tongkonan, merefleksikan keagungan dan martabat keluarga yang
menempati tongkonan. Tata letak ini merupakan ciri khas masyarakat Tana

Toraja.

8
Gambar. Alang (Lumbung Tana Toraja)

9
BAB III
PEMBAHASAN

4.1 Asal-usul Masyarakat Suku Tana Toraja


4.1.1 Identitas Etnik
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri
mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum
penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di
daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual
menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam
dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi
Sulawesi. “Toraja” (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja,
dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran
rendah untuk penduduk dataran tinggi.
Masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi
antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan
dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin
(daratan Cina). (DR. C. Cyrut,2001). Proses akulturasi antara kedua
masyarakat tersebut, berawal dari berlabuhnya Imigran Indo Cina dengan
jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan
lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini, membangun
pemukimannya di daerah tersebut.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang
yang berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku
ini Toraja pada tahun 1909. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To =
Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar,
bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata
Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal
kemudian dengan Tana Toraja.Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman,

10
rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.

3.1.2 Sejarah Etnik


Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dihubungkan dengan sejarah
yang ada di Tana Toraja. Nama suku Toraja mulanya diberikan oleh suku
Bugis Sindengreng dan Luwu. Orang Sidengreng menamakan penduduk
daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti “Orang yang
berdiam di pegunungan” sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang
artinya “Orang yang berdiam di sebelah barat”
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam Utara dan Cina Selatan,
dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang
antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran
tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke
dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan
perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran
tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan
hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda
mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan,
terutama diantara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja
yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan.
Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan
bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda
juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis
digambarkan di sekitar wilayah Sa’dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja
awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah
tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status

11
regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun
1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari
suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan
Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara
paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat
yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak
budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi
Kristen.
Pada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara penduduk Muslim
di dataran rendah dengan orang Toraja. Akibatnya, banyak orang Toraja yang
ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk
mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan
perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam.
Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan
mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam,
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang
gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan
semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. (Tangdilin n, L.T,
1981)
Pada tahun 1965, sebuah dekrit presiden mengharuskan seluruh
penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui:
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja
(aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret
tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai
bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo
dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

12
4.2 Perkembangan Ilmu Etnobiologi Pada Masyarakat Suku Tana Toraja
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang
paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka
biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya
keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain
sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas
rendah (Rotua Tresna Nurhayati Manurung, 2009).
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-
minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja
percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi
merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau
akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai
kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya. (Tangdilin n, L.T, 1981)
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin
berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau,
termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang

13
dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau
untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada
banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan
puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang
menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging
tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap
sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman:
1. Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau
digantung di tebing.
2. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh
anggota keluarga.
3. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap
ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing.
Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan
membuat petinya terjatuh.

Suku Toraja di Sulawesi Selatan sudah lama terkenal dengan alam


pegunungannya yang permai serta ritual adatnya yang unik. Yang paling
tersohor, tentu saja, pesta Rambu Solo yang digelar menjelang pemakaman tokoh
yang dihormati. Tiap tahun pesta yang berlangsung di beberapa tempat di Suku
Toraja ini senantiasa mengundang kedatangan ribuan wisatawan (Tangdili,
1981).

14
Gambar. Acara Rambu Solo’ Tana Toraja
4.3 Cara Hidup Masyarakat Suku Toraja Terkait Etnobotani
Ada yang berbeda dari area persawahan di Tana Toraja, ketika keunikan
yang menarik perhatian adalah keberadaan semacam kubangan air di tengah
sawah.
Kuang adalah sumur kecil sedalam sekitar dua meter dengan bentuk
melingkar atau persegi dan merupakan bentuk kearifan masyarakat Toraja dalam
mengoptimalisasi lahan sawah sekaligus keberlangsungan ekosistem. Di kawasan
lain di Toraja,kuang juga dikenal dengan sebutan
lokal gusean atau kurungan. Kuang mempunyai fungsi yang beragam.
Selain pengontrol kuantitas air sawah dan cadangan air bagi sawah tadah
hujan, kuang juga dimanfaatkan sebagai sarang ikan. Sebagai suatu
sistem, kuang tak bisa dipisahkan dari pola pengelolaan fisik sawah dan proses
bertani di sawah. Masyarakat Toraja umumnya menekankan prinsip
kebersamaan/gotong royong dalam menggarap sawah. Dalam satu area
persawahan terasering di dataran tinggi, terdapat puluhan, bahkan ratusan petak
sawah. Awalnya, tahapan menyiapkan lahan untuk bibit hingga panen dilakukan
secara serentak. Aktivitas kolektif tersebut dilakukan dengan serangkaian ritual.
Kebersamaan dalam melakukan ritual itu juga terkait distribusi air secara
komunal. Kuang akan terlebih dulu disiapkan, lalu bibit-bibit ikan ditebar
sebelum bibit-bibit padi ditanam. Dalam satu petak sawah, dapat dibuat satu
hingga tiga kuang - tergantung pada luasan sawah yang dimiliki. Untuk
menandakan keberadaan kuang dan menahan agar struktur kuang tidak rusak

15
atau longsor, tepian dan dinding kuang ditopang dengan bambu atau tanaman
berakar kuat sejenis rerumputan. Dipeliharanya ikan-ikan pada kuang bermakna
layaknya tabungan lauk bagi pemilik sawah. Misalnya, kuangpertama berisi ikan
untuk konsumsi sehari-hari, kuang kedua berisi ikan untuk upacara,
dan kuang ketiga berisi ikan untuk hidangan menyambut tamu (Panggalo dan
Fiola, 2013)
Selain kuang, setiap petak sawah memiliki saluran pintu air
(panta’dara). Area yang berada dekat dengan pintu air dibuat lebih dalam
dibanding area lain. Area yang lebih dalam itulah yang menjadi area ikan-ikan
berkumpul. Ikan mas menjadi favorit hidangan Orang Toraja. Ada pula lele,
belut, dan ikan lumpur lainnya. Jika panen tiba, pemilik sawah akan memberikan
pengumuman kapan masyarakat bisa ikut menikmati lauk ikan segar dengan
mengambil ikan yang hanya ada di area pintu air. Hal itu merupakan tradisi
kebersamaan. Karena air yang mengalir adalah milik bersama, maka panen ikan
pun bisa dinikmati secara bersama. Kira-kira begitulah filosofi sederhananya.
Ketika panen raya tiba, gabah-gabah disimpan di lumbung dan akan
digunakan sebagai cadangan pangan dan dikonsumsi sehari-hari untuk makan
dan upacara adat. Selain menjadi gudang pangan, bagian bawah lumbung juga
digunakan sebagai tempat menerima tamu serta tempat duduk bagi keluarga
ketika menghadiri upacara. Mereka yang duduk di lumbung memiliki aturan
untuk urutan duduk secara hierarkis.

3.4 Perkembangan Ilmu Etnozoologi Pada Masyarakat Suku Tana Toraja


Daerah yang masih mempertahankan kebudayaannya saat ini adalah
“Toraja”. Sebuah daerah yang menjunjung tinggi nama baik orang yang sudah
meninggal serta menutup rapat-rapat obrolan perihal keburukannya. Sehingga
hal-hal positif lebih mengemuka, sedangkan hal-hal negatif tersimpan sebagai
pelajaran atau hikmah. Suku Toraja termasuk etnis di Indonesia yang memegang
teguh prinsip ini. (Naqib Najah,2014 )

16
Sudah bukan rahasia bahwa cara masyarakat Toraja (khususnya kaum
bangsawan) dalam menguburkan kerabatnya adalah salah satu yang paling unik
di dunia. Serangkaian upacara pemakaman adat yang mahal (Rambu Solo) dan
makam gua pada tebing-tebing yang tinggi dapat di temui di Toraja.( Bulu,2016)

Dalam melihat status sosial orang yang dikuburkan didalam batu, ada tiga
tingkatan kasta untuk menentukan posisi peti (Erong) karena tidak hanya sekedar
meletakkan atau menguburkan didalam batu. Kasta teratas adalah keturunan
bangsawan yang mengadakan upacara rambu solo dengan memotong 24 ekor
kerbau atau lebih, sedangkan kasta menengah atau kuburang yang di tengah,
adalah keturunan bangsawan yang memotong kerbau kurang dari 24 ekor kerbau,
sedangkan kasta paling bawah, ialah orang atau masyarakat biasa.
Kerbau (bos bubalus) adalah binatang paling penting bagi orang Toraja,
salah satu etnis yang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, khususnya
Toraja Sa’dan, kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan
sosial mereka. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat (Nooy-Palm, 2003).
Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun
kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, serta
transaksi.
Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi
pemiliknya (Issudarsono 1976). Tidak mengherankan bila orang Toraja sangat
lekat dengan kerbau mereka. Hal ini dapat dilihat dari percakapan sehari-hari,
pada saat hendak bertransaksi, mengadakan pesta, atau dalam praktek
keagamaan. Setelah kerbau, babi dan ayam menempati urutan berikutnya.
Hewan kerbau juga merupakan kebudayaan khas Asia yang masih tersisa.
Dibandingkan dengan babi atau ayam yang juga penting bagi orang Toraja,
kerbau jauh lebih besar nilai sosialnya. Yang terutama adalah dalam usaha
pertanian – sawah dan ladang – serta dalam ritual budaya – rambu tuka’ dan
rambu solo’ – yang menjadi ciri masyarakat agraris Toraja. Baik dalam usaha

17
pertanian maupun ritual budaya, kerbau menjadi alat transaksi yang sangat biasa.
Selain sebagai alat transaksi dalam jual-beli tanah, kerbau jterutama menjadi
hewan korban pada pesta rambu tuka’ maupun rambu solo’. Laga kerbau pada
pesta-pesta kematian merupakan daya tarik dan hiburan masyarakat. Sedemikian
pentingnya, di Toraja kerbau mendapat selain perlakuan istimewa, bahkan
dengan rasa hormat tetapi juga beragam sebutan dan gelaran.
Kerbau asal Toraja fisiknya jauh lebih besar, kekar dan gemuk di banding
dengan kerbau di daerah lain di Indonesia. Yang terutama adalah warna yang
membuatnya menjadi spesial. Jika di tempat lain di Asia maupun di Indonesia,
kerbau umumnya digunakan sebagai binatang penghela dan memenuhi
kebutuhan daging, di Toraja kerbau justru tidak digunakan sebagai penghela.
Kerbau biasanya diistirahatkan dalam kandang di bawah kolong rumah.
Karenanya rumah tradisional Toraja yang berbentuk rumah panggung dikitari
tiang-tiang sehingga membentuk kurungan. Di luar rumah ada juga tempat
khusus untuk tempat beristirahat kerbau. Biasanya ditempatkan di dekat padang
pengembalaan, bala. Sebuah bala biasanya dikelilingi benteng yang ditanami
bambu atau jenis tumbuhan lain yang berfungsi sebagai pagar. Di dekat bala
penduduk membuat kebun. Kotoran menjadi pupuk yang sangat baik untuk
tanaman kebun. Air susu atau pangngandu’ menjadi minuman nikmat yang
disajikan pada waktu makan. Kerbau dipakai untuk membajak sawah atau
menggemburkan tanah.

3.4. Sistem Mata Pencaharian Dan Ekonomi Suku Toraja


Masyarakat Toraja banyak yang memiliki sawah sehingga sebagian besar
penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani. Dalam rumah tangga bagi
orang Suku Toraja suami dan isteri sama-sama mencari nafkah, seperti dalam
pertanian kalau suami mencangkul disawah adalah kewajiban isteri
menanaminya.

18
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian
dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan
pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga
dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan
terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri
pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.

Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia


mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan
minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia.
Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk
bekerja di perusahaan
Gambar Sawah Tanaasing.
Toraja Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu
Gambar Kebun Kopi Tana dan
Toraja
minyak, ke Papua untuk menambang dan ke kota – kota di Sulawesi dan Jawa.
Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985. (Tangdilin n, L.T, 1981)

Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada


tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh
pendapatan dengan bekerja dihotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual
cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada
akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah
menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. (Tanudirjo Dkk 2004).
Gambar. Pasar Kerbau Tana Toraja

19

Gambar. Pasar Bolu (Pasar Babi Tana Toraja)


Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat
wisata di Tana Toraja. Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh
wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana
Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman
Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja
terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh
National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar
12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja
dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di
Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.
Kemudian tenun telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian yang berbasis

budaya.
Syal Jumputan Motif Laba Ungu Coklat Kuning Syal Jumputan Ungu

Gambar. Wisata Patung Tuhan Yesus Buntu Burake Tana Toraja

20
Gambar. Wisata Negeri di Atas Awan Tana Toraja

Gambar. Wisata Londa (Goa dan Kuburan Batu ) Tana Toraja

21
BAB IV
KESIMPULAN

Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, daerah tana toraja memiliki


sejarah yang panjang dan layak diketahui. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah
unik dibanding suku-suku lainnya di Indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah,
namun juga peninggalan budaya suku Tana Toraja yang masih terjaga kelestariannya
hingga saat ini.

Tana Toraja memiliki ciri khas yang unik dan luar biasa . Suku yang berdiam
di provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan yang unik.
Keunikan serta kekayaan yang ada dalam Suku Toraja ini meliputi rumah adat,
bahasa, religi, sistem kemasyarakatan, makanan khas, sistem kesenian, mata
pencaharian, upacara pemakaman, upacara perkawinan, musik dan tarian, objek
wisata yang beragam dan unik. Tentunya banyak diminati para wisatawan baik
wisatawan domestik maupun mancanegara sebagai objek wisata.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bulu’. 2 Nopember 2016. Pendidikan Agama Islam Dalam Membendung Pengaruh


Ajaran Aluk Todolo Di Tana Toraja Sulawesi Selatan. Jurnal Pendidikan
Agama Islam Vol. 4 No. Hal. 190 – 205

Ellen, R.F. (2006). Introduction. Royal Anthropological Institute (ns): S1-S22.

Irzal Fakhori,2009. Manusia Budaya dan Lingkungan: Kajian Ekologi Manusia.


Bandung: Humaniora Utama Press.
Naqib Najah.2014. Suku Toraja Fanatisme Filosofi Leluhur. Cetakan I. Makassar:
Arus Timur, hal.v

Panggalo, Fiola : Perilaku Komunikasi Antarbudaya Etnik Toraja dan Etnik Bugis
Makassar di Kota Makassar, 2013, Universitas Hasanudin.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara kematian di tana Toraja : Rambu Solo,
2009, Universitas Sumatera Utara.
Riskiyanto. (2014). Simbol-simbol Budaya dalam Upacara Adat Mogundam manuk Totolu,
Kajian Semiotik. Skripsi sarjana pada FKIP UNTAD Palu: tidak dipublikasikan
Riswan,  1995. Etnobiologi danPembangunan Berkelanjutan. Bandung: Pusat
Penelitian Kebijakan Publik dan Kewilayahan, Unpad.
Said, Abdul Azis, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja Dan
Perubahan Aplikasinya Pada Desain Modern (Yogyakarta: Ombak, 2004),
hlm 7.
Tangdilin n, L.T, 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja : Yayasan
Lepongan Bulan (YALBU).
Tanudirjo, Daud Aris.“Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi:Suatu Pengantar”.
Makalah untuk Pela han Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi, di Trowulan,
Mojokerto, 27 Agustus – 1 September 2004.
Waluyo, 2005. Memupuk Kehidupan di Nusantara: Memanfaatkan Keragaman
Indonesia. Jakarta:

23

Anda mungkin juga menyukai