SUKU TORAJA
TERKAIT DENGAN ETNOBIOLOGI
Dosen :
Disusun Oleh :
1
etnobiologi penting dilakukan agar pengetahuan kearifan mereka dalam
pemanfaatan tumbuhan tersebut tidak hilang ditelan arus modernisasi.
Diharapkan kedepannya pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari oleh
masyarakat tradisional dapat dijadikan inspirasi penerapan dan pengelolaan hutan
di Indonesia (Irzal Fakhori,2009).
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui asal-usul masyarakat suku Tana Toraja
2. Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Etnobotani Pada Masyarakat Suku
Tana Toraja
3. Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Etnozoologi Pada Masyarakat Suku
Tana Toraja
4. Untuk mengetahui perkembangan Ilmu Etnoekologi Pada Masyarakat Suku
Tana Toraja
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari
nirwana.5 Mitos tentang leluhur hingga kini tetap melegenda secara lisan
dikalangan masyarakat Toraja. Mitos ini menceritakan bahwa nenek moyang
masyarakat Toraja yang pertama menggunakan “tangga dari langit” untuk turun
dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media perantara dengan Puang
Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan
menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal
di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang
yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga
terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya
adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa
bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan),
dan lainnya. Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang
baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to
minaa (seorang pendeta aluk).
3
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.
Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda,
orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual
kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian
masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang
dilaksanakan.
4
keluarga. Terkadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan
membayarnya dengan cara menjadi budak.
5
membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh
oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa
penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri-ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka
cita kematian. Acara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat
mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa
tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk
menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental.
6
daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun
mampu membangun tongkonan yang besar.
7
Perkembangan fungsi Alang cukup beragam, yaitu tahap Alang
Palipu dan Alang Lemba yaitu fungsi Alang untuk tempat menyimpan padi,
kemudian Alang Palimbung yang difungsikan sebagai tempat menerima
tamu dan Alang Pollo ‘Seba yang juga digunakan sebagai tempat pertemuan
dan musyawarah.
Penempatan Alang selalu berada di depan atau berhadapan dengan
tongkonan, merefleksikan keagungan dan martabat keluarga yang
menempati tongkonan. Tata letak ini merupakan ciri khas masyarakat Tana
Toraja.
8
Gambar. Alang (Lumbung Tana Toraja)
9
BAB III
PEMBAHASAN
10
rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja
merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari.
11
regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun
1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari
suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan
Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara
paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat
yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak
budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi
Kristen.
Pada tahun 1930-an, terjadi konflik-konflik antara penduduk Muslim
di dataran rendah dengan orang Toraja. Akibatnya, banyak orang Toraja yang
ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk
mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan
perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam.
Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan
mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam,
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang
gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan
semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. (Tangdilin n, L.T,
1981)
Pada tahun 1965, sebuah dekrit presiden mengharuskan seluruh
penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui:
Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja
(aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret
tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai
bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo
dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
12
4.2 Perkembangan Ilmu Etnobiologi Pada Masyarakat Suku Tana Toraja
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang
paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka
biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya
keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang
disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain
sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas
rendah (Rotua Tresna Nurhayati Manurung, 2009).
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-
minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja
percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi
merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau
akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai
kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya. (Tangdilin n, L.T, 1981)
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin
berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau,
termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang
13
dalam “masa tertidur”. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau
untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada
banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan
puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang
menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging
tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap
sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman:
1. Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau
digantung di tebing.
2. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh
anggota keluarga.
3. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap
ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing.
Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan
membuat petinya terjatuh.
14
Gambar. Acara Rambu Solo’ Tana Toraja
4.3 Cara Hidup Masyarakat Suku Toraja Terkait Etnobotani
Ada yang berbeda dari area persawahan di Tana Toraja, ketika keunikan
yang menarik perhatian adalah keberadaan semacam kubangan air di tengah
sawah.
Kuang adalah sumur kecil sedalam sekitar dua meter dengan bentuk
melingkar atau persegi dan merupakan bentuk kearifan masyarakat Toraja dalam
mengoptimalisasi lahan sawah sekaligus keberlangsungan ekosistem. Di kawasan
lain di Toraja,kuang juga dikenal dengan sebutan
lokal gusean atau kurungan. Kuang mempunyai fungsi yang beragam.
Selain pengontrol kuantitas air sawah dan cadangan air bagi sawah tadah
hujan, kuang juga dimanfaatkan sebagai sarang ikan. Sebagai suatu
sistem, kuang tak bisa dipisahkan dari pola pengelolaan fisik sawah dan proses
bertani di sawah. Masyarakat Toraja umumnya menekankan prinsip
kebersamaan/gotong royong dalam menggarap sawah. Dalam satu area
persawahan terasering di dataran tinggi, terdapat puluhan, bahkan ratusan petak
sawah. Awalnya, tahapan menyiapkan lahan untuk bibit hingga panen dilakukan
secara serentak. Aktivitas kolektif tersebut dilakukan dengan serangkaian ritual.
Kebersamaan dalam melakukan ritual itu juga terkait distribusi air secara
komunal. Kuang akan terlebih dulu disiapkan, lalu bibit-bibit ikan ditebar
sebelum bibit-bibit padi ditanam. Dalam satu petak sawah, dapat dibuat satu
hingga tiga kuang - tergantung pada luasan sawah yang dimiliki. Untuk
menandakan keberadaan kuang dan menahan agar struktur kuang tidak rusak
15
atau longsor, tepian dan dinding kuang ditopang dengan bambu atau tanaman
berakar kuat sejenis rerumputan. Dipeliharanya ikan-ikan pada kuang bermakna
layaknya tabungan lauk bagi pemilik sawah. Misalnya, kuangpertama berisi ikan
untuk konsumsi sehari-hari, kuang kedua berisi ikan untuk upacara,
dan kuang ketiga berisi ikan untuk hidangan menyambut tamu (Panggalo dan
Fiola, 2013)
Selain kuang, setiap petak sawah memiliki saluran pintu air
(panta’dara). Area yang berada dekat dengan pintu air dibuat lebih dalam
dibanding area lain. Area yang lebih dalam itulah yang menjadi area ikan-ikan
berkumpul. Ikan mas menjadi favorit hidangan Orang Toraja. Ada pula lele,
belut, dan ikan lumpur lainnya. Jika panen tiba, pemilik sawah akan memberikan
pengumuman kapan masyarakat bisa ikut menikmati lauk ikan segar dengan
mengambil ikan yang hanya ada di area pintu air. Hal itu merupakan tradisi
kebersamaan. Karena air yang mengalir adalah milik bersama, maka panen ikan
pun bisa dinikmati secara bersama. Kira-kira begitulah filosofi sederhananya.
Ketika panen raya tiba, gabah-gabah disimpan di lumbung dan akan
digunakan sebagai cadangan pangan dan dikonsumsi sehari-hari untuk makan
dan upacara adat. Selain menjadi gudang pangan, bagian bawah lumbung juga
digunakan sebagai tempat menerima tamu serta tempat duduk bagi keluarga
ketika menghadiri upacara. Mereka yang duduk di lumbung memiliki aturan
untuk urutan duduk secara hierarkis.
16
Sudah bukan rahasia bahwa cara masyarakat Toraja (khususnya kaum
bangsawan) dalam menguburkan kerabatnya adalah salah satu yang paling unik
di dunia. Serangkaian upacara pemakaman adat yang mahal (Rambu Solo) dan
makam gua pada tebing-tebing yang tinggi dapat di temui di Toraja.( Bulu,2016)
Dalam melihat status sosial orang yang dikuburkan didalam batu, ada tiga
tingkatan kasta untuk menentukan posisi peti (Erong) karena tidak hanya sekedar
meletakkan atau menguburkan didalam batu. Kasta teratas adalah keturunan
bangsawan yang mengadakan upacara rambu solo dengan memotong 24 ekor
kerbau atau lebih, sedangkan kasta menengah atau kuburang yang di tengah,
adalah keturunan bangsawan yang memotong kerbau kurang dari 24 ekor kerbau,
sedangkan kasta paling bawah, ialah orang atau masyarakat biasa.
Kerbau (bos bubalus) adalah binatang paling penting bagi orang Toraja,
salah satu etnis yang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, khususnya
Toraja Sa’dan, kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan
sosial mereka. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat (Nooy-Palm, 2003).
Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun
kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, serta
transaksi.
Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi
pemiliknya (Issudarsono 1976). Tidak mengherankan bila orang Toraja sangat
lekat dengan kerbau mereka. Hal ini dapat dilihat dari percakapan sehari-hari,
pada saat hendak bertransaksi, mengadakan pesta, atau dalam praktek
keagamaan. Setelah kerbau, babi dan ayam menempati urutan berikutnya.
Hewan kerbau juga merupakan kebudayaan khas Asia yang masih tersisa.
Dibandingkan dengan babi atau ayam yang juga penting bagi orang Toraja,
kerbau jauh lebih besar nilai sosialnya. Yang terutama adalah dalam usaha
pertanian – sawah dan ladang – serta dalam ritual budaya – rambu tuka’ dan
rambu solo’ – yang menjadi ciri masyarakat agraris Toraja. Baik dalam usaha
17
pertanian maupun ritual budaya, kerbau menjadi alat transaksi yang sangat biasa.
Selain sebagai alat transaksi dalam jual-beli tanah, kerbau jterutama menjadi
hewan korban pada pesta rambu tuka’ maupun rambu solo’. Laga kerbau pada
pesta-pesta kematian merupakan daya tarik dan hiburan masyarakat. Sedemikian
pentingnya, di Toraja kerbau mendapat selain perlakuan istimewa, bahkan
dengan rasa hormat tetapi juga beragam sebutan dan gelaran.
Kerbau asal Toraja fisiknya jauh lebih besar, kekar dan gemuk di banding
dengan kerbau di daerah lain di Indonesia. Yang terutama adalah warna yang
membuatnya menjadi spesial. Jika di tempat lain di Asia maupun di Indonesia,
kerbau umumnya digunakan sebagai binatang penghela dan memenuhi
kebutuhan daging, di Toraja kerbau justru tidak digunakan sebagai penghela.
Kerbau biasanya diistirahatkan dalam kandang di bawah kolong rumah.
Karenanya rumah tradisional Toraja yang berbentuk rumah panggung dikitari
tiang-tiang sehingga membentuk kurungan. Di luar rumah ada juga tempat
khusus untuk tempat beristirahat kerbau. Biasanya ditempatkan di dekat padang
pengembalaan, bala. Sebuah bala biasanya dikelilingi benteng yang ditanami
bambu atau jenis tumbuhan lain yang berfungsi sebagai pagar. Di dekat bala
penduduk membuat kebun. Kotoran menjadi pupuk yang sangat baik untuk
tanaman kebun. Air susu atau pangngandu’ menjadi minuman nikmat yang
disajikan pada waktu makan. Kerbau dipakai untuk membajak sawah atau
menggemburkan tanah.
18
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian
dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan
pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga
dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan
terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri
pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
19
budaya.
Syal Jumputan Motif Laba Ungu Coklat Kuning Syal Jumputan Ungu
20
Gambar. Wisata Negeri di Atas Awan Tana Toraja
21
BAB IV
KESIMPULAN
Tana Toraja memiliki ciri khas yang unik dan luar biasa . Suku yang berdiam
di provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki banyak kebudayaan-kebudayaan yang unik.
Keunikan serta kekayaan yang ada dalam Suku Toraja ini meliputi rumah adat,
bahasa, religi, sistem kemasyarakatan, makanan khas, sistem kesenian, mata
pencaharian, upacara pemakaman, upacara perkawinan, musik dan tarian, objek
wisata yang beragam dan unik. Tentunya banyak diminati para wisatawan baik
wisatawan domestik maupun mancanegara sebagai objek wisata.
22
DAFTAR PUSTAKA
Panggalo, Fiola : Perilaku Komunikasi Antarbudaya Etnik Toraja dan Etnik Bugis
Makassar di Kota Makassar, 2013, Universitas Hasanudin.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara kematian di tana Toraja : Rambu Solo,
2009, Universitas Sumatera Utara.
Riskiyanto. (2014). Simbol-simbol Budaya dalam Upacara Adat Mogundam manuk Totolu,
Kajian Semiotik. Skripsi sarjana pada FKIP UNTAD Palu: tidak dipublikasikan
Riswan, 1995. Etnobiologi danPembangunan Berkelanjutan. Bandung: Pusat
Penelitian Kebijakan Publik dan Kewilayahan, Unpad.
Said, Abdul Azis, Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja Dan
Perubahan Aplikasinya Pada Desain Modern (Yogyakarta: Ombak, 2004),
hlm 7.
Tangdilin n, L.T, 1981. Toraja dan Kebudayaannya. Tana Toraja : Yayasan
Lepongan Bulan (YALBU).
Tanudirjo, Daud Aris.“Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi:Suatu Pengantar”.
Makalah untuk Pela han Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi, di Trowulan,
Mojokerto, 27 Agustus – 1 September 2004.
Waluyo, 2005. Memupuk Kehidupan di Nusantara: Memanfaatkan Keragaman
Indonesia. Jakarta:
23