Anda di halaman 1dari 17

RESENSI BUKU

Mengenalkan Kebudayaan Masyarakat Toraja kepada

Generasi Muda

Diajukan sebagai Tugas Akhir Semester Genap

Tahun Pelajaran 2020-2021

Disusun oleh :

Marsella Florence Wijaya – XII IPS B

SEKOLAH MENENGAH ATAS KATOLIK SANG TIMUR

Jalan Karmel Raya No. 2 Kebon Jeruk

JAKARTA BARAT

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas resensi yang diberikan

dengan tepat waktu.

Resensi ini dibuat berdasarkan isi buku “Kebudayaan Masyarakat Toraja”

serta kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada buku tersebut. Saya

mengucapkan terima kasih kepada guru pembimbing atas bimbingannya

sehinga resensi ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Saya menyadari bahwa penulisan resensi ini tidak lepas dari bantuan

banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga

resensi ini dapat terselesaikan.

Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa resensi ini masih jauh dari kata

sempurna dikarenakan oleh terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya

miliki. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran maupun kritik

yang membangun dari berbagai sumber sehingga dapat menjadi pelajaran bagi

saya untuk mengerjakan tugas yang serupa di masa depan. Terakhir, saya berharap

semoga resensi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Jakarta, Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI
IDENTITAS BUKU

a) Judul Buku : Kebudayaan Masyarakat Toraja

b) Nama Pengarang : Fajar Nugroho

c) Nama Penerbit : JePe Press Media Utama (JPBOOKS)

d) Tahun Terbit : 2015

e) Jumlah Halaman : 64 halaman

f) Gambar Sampul Buku :


PENDAHULUAN

Pria bernama lengkap Fajar Nugroho ini lahir di Yogyakarta pada 29 Juli

1979. Fajar Nugros sangat menyukai menulis, banyak dari tulisannya yang berupa

kumpulan cerita pendek ia posting dalam sebuah blog. Ia telah menyelesaikan

sekitar 300an cerita pendek. Sebagai seorang penulis, karya pertama Fajar adalah

sebuah buku berjudul Buaya Jantan yang diterbitkan oleh Gama Media pada 2006.

Pada tahun 2009, Fajar mulai menyutradarai film panjang pertamanya di layar

lebar, yang berjudul Queen Bee di bawah rumah produksi Millions Pictures.

Kemudian bersama Raditya Dika dirinya menggarap film Cinta Brontosaurus.

Namanya mulai melejit setelah menyutradarai film Yowis Ben bersama Bayu

Skak.

Kecintaanya terhadap tanah kelahirannya pun tidak diragukan lagi dengan

berbagai karyanya. Indonesia merupakan negara yang kaya, bukan hanya

kekayaan alam yang dimiliki tetapi juga keberagaman suku, agama, bahasa, serta

adatistiadat. Ciri khas yang dimiliki tentunya memiliki keunikan yang membuat

orang luar suku merasa kagum. Kekaguman itulah yang dirasakan penulis, Fajar

Nugroho. Ia merasa kebudayaan masyarakat Toraja memiliki keunikannya sendiri

dan perlu diketahui oleh dunia. Oleh karena itu Fajar Nugroho melalui bukunya

yang berjudul “Kebudayaan Masyarakat Toraja” berusaha untuk mengingatkan

kembali serta mengenalkan pada generasi muda akan budaya Indonesia yang

khususnya berasal dari Tana Toraja.


ISI

A. Sejarah Masyarakat Toraja

Pada bagian ini diceritakan bahwa leluhur orang Toraja adalah manusia

yang berasal dari nirwana. Menurut mitos ini nenek moyang masyarakat Toraja

yang pertama menggunakan tangga dari langit untuk turun dari nirwana

menuju bumi, tepatnya Toraja. Ada juga 2 versi cerita di masyarakat tentang

bagaimana nama Toraja muncul. Versi pertama diceritakan bahwa nama Toraja

diberikan oleh Suku Bugis Sideendereng dan Luwu. Sedangkan versi kedua

percaya bahwa nama Toraja berasal dari kata Toraya yang lama-kelamaan

berubah menjadi Toraja.

B. Kondisi geografis Toraja

Bagi yang belum tahu, Tana Toraja adalah sebuah nama daerah dengan

status Daerah Tingkat II di kawasan Provinsi Sulawesi Selatan. Tana Toraja

berbatasan dengan Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Luwu di sebelah utara,

Kabupaten Luwu di sebelah timur, Kabupaten Enrekang dan Kabupaten

Pinrang di sebelah selatan, serta Kabupaten Polewali Mamasa di sebelah barat.

Topografi daerah Tana Toraja berada di daerah pegunungan, berbukit,

dan berlembah. Sekitar 40% wilayah Toraja oleh pegunungan. Selain itu,

keramahan mereka terhadap alam menjadikan kawasan sumber udara tidak

rusak atau tercemar sehingga banyak wisata alam di Toraja seperti hutan

wisata Nanggala. Hutan wisata Mapongka, dll.


Sekali lagi, masyarakat Toraja juga sangat menjaga kebersihan sungai.

Sehingga banyak juga potensi alam berupa sungai di Toraja seperti sungai

Sadan, sungai Maiting, dsb. Pada bagian ini dijelaskan juga bahwa banyaknya

flora dan fauna yang hanya bisa ditemukan di Toraja. Flora endemik tersebut

antara lain uru, dan nato buangin. Dan faunanya seperti anoa, musang, dan

kuskus.

C. Kondisi Masyarakat Toraja

Pada bagian ini menjelaskan tentang kondisi masyarakat Toraja dapat

dilihat dari berbagai segi, yaitu sebagai berikut:

a. Agama dan Kepercayaan Masyarakat Toraja

Sekarang masyarakat Toraja umumnya menganut agama Kristen.

Namun, sebelum abad ke-20, mereka masih menganut animisme dan

belum tersentuh dunia luar.  Meskipun banyak masyarakatnya

menerapkan agama Kristen, sebagian besar masih menjalankan

kepercayaan terhadap agama leluhur yang disebut Aluk Todolo. Aluk

Todolo adalah agama nenek moyang Suku Toraja. Aluk Todolo

dilindungi oleh negara dan resmi diterima dalam sekte Hindu-Bali.

Aluk Todolo termasuk kepercayaan animisme tua. Dalam

perkembangannya, Aluk Todolo banyak inspirasi oleh ajaran-ajaran

hidup Konfusius dan agama Hindu.

b. Mata Pencaharian Masyarakat Toraja

Dijelaskan bahwa Tana Toraja adalah daerah agraris. Sehingga

sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di sektor


perkebunan dan pertanian. Namun ada juga mayarakat Toraja yang

menjadi pegawai pemerintahan, guru, atau bekerja di sektor industri

yang terkenal di Indonesia. 

Sebelum masa Orde Baru, perekonomian masyarakat Toraja

tepercaya pada pertanian dengan produk utama jagung dan

jagung. Sejak Orde Baru-tahun 1965-masyarakat Toraja-khususnya

generasi muda-banyak yang pindah untuk bekerja di perusahaan asing.

Mereka pergi ke luar daerah untuk bekerja di berbagai bidang, seperti

perkebunan dan pertambangan.

c. Kelas Sosial Masyarakat Toraja

Ternyata ada tiga tingkatan kelas sosial di masyarakat Toraja,

yaitu bangsawan, orang biasa, dan budak. Masyarakat Toraja juga

menganut system matrilineal (garis keturunan pihak wanita) dimana

kelas sosial diturunkan melalui ibu. Prinsip yang dipegang masyarakat

Toraja mengenai kelas sosial ini bahwa tidak diizinkan untuk

menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah, tetapi ditentukan

untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi.

Selain itu, kaum bangsawan dipercaya sebagai keturunan surga

sehingga mereka tinggal di Tongkonan dan rakyat jelata tinggal di

rumah yang lebih sederhana yang disebut dengan Banua. Banua

dibangun di dekat Tongkonan milik tuannya. Seorang budak juga

tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas ataupun makan dari


piring yang sama dengan tuannya, jika hal itu terjadi budak tersebut

akan dihukum mati.

D. Letak dan Makna Pembangunan Tongkonan

Dalam kepercayaan masyarakat Toraja, Tongkonan harus menghadap ke

utara dengan letak pintu di bagian depan rumah karena keyakinan bumi dan

langit merupakan satu kesatuan.  Menurut kepercayaan, Tongkonan sebagai

bangunan tiruan dari surga harus dijaga keasliannya. Sehingga, pembangunan

Tongkonan diusahakan mirip dengan awal Tongkonan dibuat. Satu kesatuan

langit dan bumi yang tidak percaya masyarakat Toraja dibagi dalam empat

penjuru, yaitu sebagai berikut:

1. Bagian utara disebut ulunna langi, mengandung makna yang paling

mulia.

2. Bagian timur disebut matallo, tempat matahari terbit. Dimaknai

masyarakat Toraja sebagai tempat asal kebahagiaan atau kehidupan.

3. Bagian barat disebut matampu, tempat matahari terbenam. Lawan dari

kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.  

4. Bagian selatan disebut polloʻna langit, dimaknai masyarakat Toraja

sebagai tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik.

E. Jenis Tongkonan

Pada bagian ini, dijelaskan bahwa secara umum ada empat jenis

Tongkonan di Toraja yaitu sebagai berikut:


1. Tongkonan Layuk, tongkonan Layuk juga biasa disebut dengan

Tongkonan Pesio’. Berfungsi sebagai tempat Menyusun peraturan

dan penyebaran aturan-aturan.

2. Tongkonan Pakaindoran, tongkonan ini berfungsi sebagai tempat

mengurus dan pengatur pemerintahan adat.

3. Tongkonan Batu A’riri, tongkonan ini hanya berfungsi sebagai

tempat pusat pertalian keluaraga.

4. Barung-barung, barung-barung merupakan rumah pribadi masyarakat

Toraja.

F. Upacara Rambu Solo’

Salah satu yang paling menarik dari kebudayaan masyarakat Toraja

adalah upacara Rambu Solo. Seperti yang kita tahu, masyarakat Toraja

memandang kematian sebagai perpindahan seseorang dari dunia ke tempat

yang lebih baik. Dan Salah satu cara agar mayat dapat mencapai tempat

terhormat adalah melalui upacara Rambu Solo’.

Rambu Solo’ adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang

bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal

dunia menuju alam roh. Alam roh yang dimaksud adalah Kembali kepada

keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat perisirahatan

bernama Puya.

1. Tingkatan Upacara Rambu Solo’


a. Dipasang Bongi. Dipasang Bongi adalah upacara pemakaman

masyarakat Toraja yang hanya dilaksanakan dalam satu malam

saja.

b. Dipatallung Bong. Upacara pemakaman yang berlangsung selama

tiga malam dan dilaksanakan di rumah almarhum serta dilakukan

pemotongan hewan.

c. Dipalimang Bongi. Upacara ini berlangsung selama lima malam

dan dilaksanakan di sekitar rumah almarhum serta dilakukan

pemotongan hewan.

d. Dipapitung Bongi. Upacara pemakaman ini berlangsung selama

tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan

hewan.

e. Upacara tertinggi. Upacara ini dilaksanakan dua kali dengan

rentang waktu sekurang-kurangnya setahun. Upacara pertama

disebut Aluk Pia dan upacara kedua disebut Rante. Aluk Pia

bertempat di sekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan

upacara Rante dilaksanakan di sebuah lapangan khusus karena

upacara puncak prosesi pemakaman.

Selain itu, ada beberapa kegiatan budaya yang

dipertontonkan dalam upacara ini, seperti:

a. Ma’pasilaga Tedong (adu kerbau). Merupakan upacara yang hanya

ada di Toraja. Jumlah kerbau yang digunakan bergantung pada

strata sosialnya, semakin tinggi strata sosialnya, semakin banyak


juga kerbau yang harus dikorbankan. Lama upacara Rambu Solo’,

untuk bangsawan memakan 7 hari dan untuk orang biasa hanya 7

hari.

b. Ma’tinggoro Tedong. Merupakan prosesi pemotongan kerbau.

Upacara ini dilakukan dengan menebas kerbau sampai kepala putus

dengan hanya sekali tebas. Biasanya kerbau yang akan disembelih

ditembatkan pada batu yang diberi nama Simbuang batu.

G. Upacara Rambu Tuka’

Upacara Rambu Tuka’ merupakan kebalikan dari upacara Rambu Solo’.

Jika upacara Rambu Solo’ untuk duka cita, maka upacara Rambu Tuka’ untuk

suka cita. Acara suka cita yang dilakukan berhubungan dengan acara syukuran,

misalnya acara pernikahan, syukuran panen, atau peresmian tongkonan. Selain

itu berikut tingkatan Upacara Rambu Tuka’

1. Kapuran Pangngan

2. Piong Sanglampa

3. Ma’pallin atau Manglika’ Biang

4. Ma’tadoran atau Menammu

5. Ma’pakande Deata do Banua

6. Ma’pakande Deata Diong Padang

7. Massura’ Tallang

8. Merok

9. Ma’bua’ atau La’pa


10. Mangrara Banua (Mapallin, Sitama, Ma’garu’ga, Massuru’ Alang,

Mangrimpun, Untammui Lalan Sukaran Aluk, Untammui Lalan

Tagari Sanguyun, Untammui Lalanna Kalimbuang Boba, Untammui

Lalan Tetean Bori Sola Bulaan Tasak).

H. Aneka Tari Tradisional dari Toraja

Pada bagian ini dijelaskan beberapa tarian yang ada di Toraja antara lain:

1. Tari Ma’dandan, untuk pemujaan dan doa-doa pada syukuran panen.

2. Tari Burake, biasanya ditarikan oleh gadis-gadis bangsawan.

3. Tari Pa’ Gellu’ Pangala’, untuk menyambut para patriot yang Kembali

dari medan perang membawa kemenangan.

4. Tari Pa’randing, merupakan tarian yang menggambarkan sifat kesatria.

5. Tari Pa’pangngan, dipentaskan oleh gadis-gadis cantik berpakaian adat

Toraja berwarna hitam atau agak gelap.

I. Alat Musik Masyarakat Toraja

Pada bagian ini disebutkan beberapa alat musik yang ada di Toraja, antara

lain:

1. Pa’pompang, orchestra sederhana dengan alat musik dari bambu.

2. Pa’pelle, music khusus pada upacara penahbisan Tongkonan.

3. Pa’ geso’geso, sejenis alat music gesek dan terbuat dari tempurung dan

tempurung kelapa.

J. Aneka Kerajinan Masyarakat Toraja

Pada bagian ini penulis menjelaskan jika ada beberapa kerajinan di Toraja
Contohnya adalah Tenun Toraja, memiliki ciri khas, yaitu pembuatan dengan

alat tenun tradisonal, bukan mesin. Selain itu, rangkaian Manik-Manik Toraja,

menolong ketersediaan aksesori pakaian adat serta bahan dekorasi tempat

berlangsungnya Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’.

K. Aneka Kerajinan Ukir dan Pahat

Pada bagian ini dijelaskan bahwa seni ukir Toraja memiliki ciri khas,

salah satu ukiran khas Toraja adalah ukiran pada Tongkona. Ukiran-ukiran

tersebut sangat kental dengan tradisi Toraja sehari- hari. Bahasa Toraja hanya

diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep

keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya

pa’ssura (tulisan).

Jumlah corak ukiran yang sering dipakai di Toraja diperkirakan ada 67

jenis. Warna ukiran terdiri atas merah, kuning, putih, hingga hitam. Seni lain

yang berkaitan erat dengan masyarakat Toraja adalah seni pahat. Salah satu

karya pahatan yang dapat ditemukan di pemakaman adalah patung Tau-tau.


PENILAIAN BUKU

 Kelebihan

Buku “Kebudayaan Masyarakat Toraja” ini memiliki tampilan yang

bagus dan dapat menarik perhatian pembaca karena menyertakan gambar dan

juga warna yang cerah serta tidak terlalu mencolok sehingga nyaman untuk

dilihat. Selain itu, penulis juga bisa membawakan buku ini dengan bahasa yang

mudah dipahami sehingga saya dapat mengerti apa yang disampaikan dengan

cepat dan mudah.

Buku ini juga dilengkapi dengan berbagai gambar tentang topik yang

dibahas, sehingga tidak bosan dan saya jadi merasa lebih mengenal

kebudayaan masyarakat Toraja. Untuk format tulisan dan gambar juga disusun

dengan sangat rapi serta teratur sehingga sangat memudahkan dan nyaman
untuk dibaca. Pada akhir buku disajikan glosarium yang sangat informatif bagi

pembaca yang belum mengenal atau mengerti beberapa kata pada buku ini.

 Kekurangan

Kelemahan “Kebudayaan Masyarakat Toraja” ini tidak banyak, Hanya

saja ada beberapa penjelasan dari penulis yang disampaikan dengan bertele-

tele dan berulang sehingga membuat pembaca mudah bosan. Selain itu juga

ditemukan ada kurang lebih 2 kata yang penulisan diketik secara kurang tepat.

PENUTUP

a. Kesimpulan

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kehidupan kita akan selamanya

terikat dengan sejarah karena hal ini merupakan warisan kebudayaan dari

nenek moyang kita sebelumnya dan juga sudah menjadi kewajiban kita untuk

melestarikannya kepada generasi berikutnya.

Kebudayaan Masyarakat Tana Toraja merupakan salah satu kebudayaan

yang telah diwariskan dan dilestarikan dengan sangat baik. Selain itu,

masyarakat Toraja juga bertanggung jawab bukan hanya kepada budaya tetapi

kepada lingkungan sekitar mereka juga. Sikap inilah yang bisa menyadarkan

kita kembali untuk belajar dan mengenal lebih dekat akan keunikan masyarakat

Tana Toraja.
Fajar Nugroho melalui bukunya tidak hanya memberikan informasi yang

sangat informatif dari berbagai aspek kehidupan masyarakat Toraja, tetapi juga

mengingatkan kembali mengenai keunikan yang berasal dari suku Toraja serta

menghargai perbedaan kebudayaan yang ada.

b. Sambungan Saran

Saran yang akan saya berikan untuk resensi buku kali ini:

1. Gaya Bahasa dan sampul buku yang menarik agar dipertahakan oleh

penulis dalam penerbitan buku-buku selanjutnya.

2. Saya berharap agar penulisan dari setiap katanya lebih diteliti

sehingga

tidak ada kesalahan kata.

DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Fajar. 2015. Kebudayaan Masyarakat Toraja. Surabaya: PT. JePe Press
Media Utama

Anda mungkin juga menyukai