Disusun Oleh:
Kelas:
D Reguler 2018
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat dan karunianya
kami diberi kesempatan untuk menyelesaikan tugas Critical Book Report (CBR) dari buku yang
berjudul Perempuan, Masyarakat Patriarki & kesetaraan Gender.
Dalam penyusunan Critical Book Report ini kami banyak mendapat dukungan, bimbingan,
serta semangat dari banyak pihak sehingga saya dapat menyelesaikannya tepat waktu.Untuk itu
dengan penuh rasa hormat kami ucapkan terima kasih.
Dalam menyelesaikan tugas Critical Book Report (CBR) ini kami menyadari masih jauh
dari kata sempurna, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan saran dan sumbangan pemikiran
dalam pengembangan lebih lanjut. Atas saran dan sumbangan pemikiran yang diberikan
diucapkan terimakasih.
Akhir kata, mudah-mudahan tugas Critical Book Report (CBR) yang sederhana ini dapat
berguna sesuai dengan harapan.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Tujuan..................................................................................................................
1.2 Manfaat................................................................................................................
1.3 Indentitas Buku....................................................................................................
RINGKASAN BUKU
Mengawinkan anak (< 18 tahun) adalah tradisi yang telah berlangsung lama di Indonesia.
Dalam perjalanannya, tradisi ini tidak bisa dipertahankan. Pasalnya, berbagai data dan fakta
membuktikan bahwa, mengawinkan anak hanyalah menyiapkan lingkungan yang tidak kondusif
bagi perkembangan perempuan dan anak-anak. Anak-anak dipaksa menjadi orang tua sejak dini,
padahal mereka belum siap dari sisi apa pun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
jumlah perkawinan anak yang sangat tinggi. World Fertility Policies United Nation (2011)
menempatkan Indonesia di urutan ke-37 dari 73 negara dengan perkawinan anak tertinggi di
dunia. Sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara kedua setelah Kamboja dengan
perkawinan anak tertinggi. Sementara Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas
Indonesia (2015) menyebutkan sekitar 2 juta perempuan Indonesia di bawah 15 tahun sudah
menikah dan putus sekolah. Badan Pusat Statistik (BPS) juga memperkirakan sekitar 1.000 anak
perempuan dikawinkan setiap harinya.
SDGs berbeda dengan MDGs dalam konteks dan teks yang diuraikan dalam beberapa
segi antara lain: (a) jumlah tujuan dan target; (b) proses perumusan; (c) asumsi pendanaan; serta
(d) skala dan ambisi perubahan yang dicanangkan. Dari segi tujuan, ada empat hal yang layak
dicatat, yaitu kesetaraan gender; penurunan ketimpangan; perubahan pola konsumsi dan produksi
dan berbagai tujuan ekologi lainnya; serta tata pemerintahan yang inklusif dan anti korupsi.
Keempat hal itu, yang tidak ada dalam MDGs, mencanangkan skala perubahan lebih luas,
sistemik, dan struktural (wholescale change), serta melakukan pergeseran radikal dalam
pendekatan pembangunan (Bahagijo, 2016). Kesetaraan gender menjadi salah satu tujuan dan
mempunyai beberapa target dalam SDGs. Perhatian terhadap kesetaraan gender di SDGs juga
didasari keterbatasan dalam perbaikan ketimpangan gender selama lima belas tahun era MDGs.
Kesetaraan gender merupakan Tujuan Nomor 5 SDGs dengan 9 target. Target-target yang
hendak dicapai pada Tujuan 5 juga sangat komprehensif, di antaranya mengakhiri segala bentuk
diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak perempuan (target 5.1); mengurangi segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan pada ruang publik dan privat,
termasuk perdagangan orang dan seksual dan bentuk eksploitasi lainnya (target 5.2);
menghapuskan bentuk-bentuk praktek yang membahayakan, seperti perkawinan anak, dini,
paksa, dan sunat pada perempuan (target 5.3); memastikan semua perempuan berpartisipasi
penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level
pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan publik (target 5.5); memastikan
akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi (target 5.6); dan menghargai
pelayanan dan kerja domestik yang tidak dibayar melalui penyediaan pelayanan publik (target
5.4). Selain kesetaraan gender, aspirasi mengenai kesetaraan juga ditemukan pada Tujuan 1, 2, 3,
4, 5, 6, 7, dan 10. Target-target yang hendak dicapai pada tujuan-tujuan tersebut selalu menyebut
frasa ‘bagi semua’, juga menekankan pada kelompok perempuan, anak perempuan, anak-anak,
bayi, ibu hamil, ibu menyusui, manula, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lainnya.
Kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang terjadi di dunia nyata adalah masalah serius
terhadap martabat kemanusiaan, yang sampai saat ini tidak tertangani dengan serius. Masih
banyak korban kekerasan tidak berani melaporkan kasusnya karena menganggap membuka aib
pribadi dan keluarga ke publik, di samping khawatir terhadap pemberitaan di media massa yang
memojokkan. Kasus-kasus yang dilaporkan pun tidak selalu selesai di ranah hukum. Bahkan
korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, mengalami kekerasan berulang karena aparat
hukum yang tidak mempunyai perspektif terhadap perempuan dan terhadap korban. Korban yang
seharusnya dilindungi, dikuatkan, dan dipulihkan, justru sebaliknya makin distigma dan dicap
sebagai perempuan tidak baik.
Kondisi menjadi semakin rumit karena masyarakat juga terhubung dengan media internet
atau dalam jaringan (daring), di mana setiap orang di berbagai negara dan benua dapat terhubung
dan berinteraksi tanpa batas di dunia maya. Media daring pun ikut menambah deretan kekerasan
terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) telah mencatat kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber (KtP cyber) yang
merupakan bagian dari kejahatan berbasis jaringan (cyber crime). Jika pada media konvesional,
kekerasan di media hanya dilakukan oleh jurnalis, maka di media daring setiap orang yang
terhubung di dunia maya dapat melakukan kekerasan terhadap perempuan. Bahkan media sosial
menjadi media baru bagi kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan di
media daring dan medsos atau KtP cyber umumnya berhubungan dengan tubuh perempuan yang
dijadikan obyek pornografi dan kekerasan seksual. Beberapa bentuk kekerasan terhadap
perempuan di media daring antara lain: (1) cyber harassment atau perundungan dan gangguan
daring biasanya berbau seksual; (2) cyber grooming yakni memperdayai perempuan; (3)
malicious distribution, atau penyebaran konten yang merusak reputasi korban, misalnya ancaman
distribusi foto atau video pribadi di medsos atau di website porno; (4) revenge porn adalah
bentuk khusus dari malicious distribution yang dilakukan dengan menggunakan konten
pornografi korban atas dasar balas dendam; (5) cyber recruitment (rekrutmen daring) untuk
menghubungi, mengganggu, dan mengancam korban. Juga untuk trafiking atau perdagangan
perempuan dan kejahatan lainnya; (6) cyber hacking atau penggunaan teknologi untuk
mengakses suatu system secara illegal dengan tujuan mengubah atau merusak reputasi korban;
(7) morphin atau mengubah gambar atau video untuk merusak reputasi orang atau korban dan (8)
sexting atau pengiriman gambar atau video porno kepada korban.
Tema Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan
Pemberdayaan Perempuan) disusun menjelang berakhirnya MDGs. Lima tema MAMPU
diharapkan memberi dampak besar pada kemajuan dan pemberdayaan perempuan. Tema 1 :
Membuka akses perempuan miskin kepada program perlindungan sosial merupakan tema dengan
cakupan yang sangat luas. Perlindungan sosial mencakup semua pelayanan publik, terutama
yang disediakan oleh negara. Tema 2: Membuka akses perempuan kepada pekerjaan dan
penghapusan diskriminasi di tempat kerja, diharapkan membuka ruang yang lebih luas terhadap
perempuan dalam mengakses lapangan pekerjaan, termasuk tidak mendiskriminasi perempuan
dari sisi apa pun. Tema 3: Meningkatkan kondisi tenaga kerja perempuan yang ke luar negeri,
dimaksudkan untuk menempatkan perempuan sejak awal, mulai dari disiapkan menjadi pekerja
migran yang legal dan selalu berada dalam perlindungan negara. Dalam konteks perlindungan,
negara juga menyiapkan dan memfasilitasi kemampuan pekerja migran sesuai dengan kebutuhan
negara tujuan. Tema 4: Meningkatkan kepemimpinan perempuan untuk kesehatan reproduksi
yang lebih baik, juga merupakan bagian dari Tema 1. Namun, Tema 4 mengkhususkan pada
kesehatan reproduksi, karena tidak hanya menyangkut alat-alat reproduksi semata, tetapi juga
menyakut relasi gender yang menempatkan perempuan pada posisi inferior dan tidak menguasai
reproduksinya. Tema 5 : Meningkatkan kepemimpinan perempuan untuk mengurangi kekerasan
terhadap perempuan, terkait dengan diskriminasi, karena diskriminasi melahirkan kekerasan dan
ketidakadilan. Tema 5 mencakup kekerasan yang lebih luas, tidak hanya mencakup kekerasan
fisisk, seksual, psikis, dan ekonomi, tetapi juga termasuk pengabaian negara terhadap
perempuan.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada buku ini dijelaskan dengan sangat rinci tentang topik yang dibahas
Sumber dari para ahli dipaparkan dengan sangat bagus
Penyampaian penulis buku sampai kepada pembaca.
Mempunyai cover buku yang sangat bagus dan menarik perhatian
4.1 Kesimpulan
Ketika membicarakan kemiskinan, maka perempuan merupakan bagian pokok dan
penting yang semestinya harus dibicarakan. Karena perempuan merupakan jenis kelamin yang
paling bertanggung jawab dan menjadi korban terbesar dalam setiap kemiskinanan dan
kemelaratan. Beban perempuan miskin lebih berat dari laki-laki karena perempuan selalu
berusaha untuk mendapatkan tambahan penghasilan untuk menutup kekurangan pendapatan di
dalam keluarga. Apalagi jika perempuan miskin tersebut adalah kepala keluarga dan pencari
nafkah tunggal dalam keluarga. Kenyataannya pada banyak pembicaraan (diskusi, seminar,
lokakarya, dan lain-lain) mengenai kemiskinan, perempuan bukan hanya tidak selalu
dibicarakan, tetapi kadang tidak dibicarakan. Di samping hanya sedikit perempuan yang terlibat
dalam membicarakan kemiskinan, hanya sedikit lakilaki yang mempunyai cara pandang atau
perspektif yang memihak pada kebutuhan dan kepentingan perempuan. Kemiskinan juga selalu
mengorbankan perempuan (dan anak). Perempuan miskin atau perempuan dari keluarga miskin
akan menjadi korban pertama dalam keluarga, baik karena faktor budaya di dalam keluarga dan
masyarakat, maupun faktor negara yang mengabaikan kebutuhan dan kepentingan perempuan.
Dalam sistem budaya dan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia, perempuan dipersepsikan
dan ditempatkan semata-mata berfungsi reproduktif. Karena berfungsi reproduktif, perempuan
dianggap hanya bisa berada di rumah untuk melanjutkan keturunan dengan melahirkan dan
mengasuh anak-anak yang dilahirkan. Celakanya, perempuan yang berada di rumah juga harus
mengerjakan semua pekerjaan rumah yang dianggap dan dikategorikan sebagai pekerjaan
domestik, dan hanya bisa dibebankan atau dilakukan oleh perempuan.Fungsi reproduksi pada
perempuan dalam hal melahirkan dan menyusui anak adalah sesuatu yang alamiah atau kodrati.
Namun, fungsi reproduksi yang alamiah tersebut dihubungkan dengan pekerjaan-pekerjaan di
dalam rumah yang dikategorikan sebagai pekerjaan domestik. Jadilah pekerjaan domestik di
dalam rumah dianggap sebagai pekerjaan perempuan yang sama dengan fungsi reproduksi dan
dianggap sebagai kewajiban perempuan. Sebagai pekerjaan domestik dan dianggap sebagai
pekerjaan perempuan yang melekat secara alamiah, maka ketika pekerjaan tersebut telah
meningkat menjadi pekerjaan yang bernilai ekonomi pun masih dianggap sebagai bukan
pekerjaan, dan mereka yang bekerja pun tidak disebut pekerja. Bahasa yang digunakan untuk
mereka yang bekerja di rumah tangga dan mengerjakan pekerjaan rumah, pun disebut sebagai
“pembantu” (pembantu rumah tangga, PRT) bukan “pekerja” (pekerja rumah tangga).
4.2 saran
Bagi penulis, Dalam penulisan lebih baik menggunakan kalimat-kalimat yang sederhana
agar dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca dan bagi pembaca, semoga buku ini dapat
memberikan ilmu yang bermanfaat.