Anda di halaman 1dari 7

Kelompok 18

Anggota :
1. Hidayati Rochmah (071811733067)
2. Wahyu Ardiansyah (071811733068)
3. Riris Agustina Angraini (071811733069)
4. Rizqi Kurnianingrum (071811733070)

Kerabat Dan Bukan Kerabat


“Ada yang mengatakan bahwa bagi masyarakat primitif, orang-orang yang berada di luar batas-
batas kesukuannya, tidak dianggapnya termasuk umat manusia. Ucapan itu memang ada
dasarnya. Orang primitif menganggap semua orang di luar kelompoknya sebagai orang asing,
yaitu kotor atau orang kasar yang setengah manusia atau malahan dianggap sebagai bukan
manusia: hewan yang berbahaya atau hantu” (Levi Strauss 1996:166)

Masalah tersebut tidak terbatas pada dunia primitif saja. Kota-kota modern merupakan
contoh-contoh yang paling khas di mana manusia dan bermacam macam suku bangsa, golongan
etnis dan kategori sosial datang berkumpul dan pranata-pranata baru yang akan menjadi dasar
dan tata sosial dan huhungan antar manusia harus dibina.

Pusat-pusat kota modern lebih banyak bertumbuh karena imigrasi daripada karena
pertumbuhan penduduk secara alamiah: mereka yang berpindah ke kota-kota di Afrika, Asia, dan
di mana saja pada saat-saat pertama bingung karena harus menghadapi beraneka ragam manusia,
yang berbeda dari diri mereka sendiri, yang berbicara logat yang berlain-lainan, dan mempunyai
adat-istiadatnya yang kadang-kadang dianggapnya hampir tidak masuk akal.

Memang. konteks modern barangkali secara kebalikan dan yang primitif dapat
didefinisikan sebagai masyarakat yang meliputi begitu banyaknya jenis manusia yang berbeda-
beda. Dunia primitif selama ini secara kiasik dipandang sebagai hal yang dibatasi oleh saling
pengertian bersama di mana terdapat suatu konsepsi yang sudah menetap mengenai tata moral
yang dibangun. Akan tetapi dengan meningkatnya mobilitas geografis dan semakin
meningkatriya perjalanan antarbenua, dan serbuan dan modernitas terhadap dunia sejagat maka
cini khas dan konteks modern kini justru adalah percampuran orang-orang yang memiliki
konsep-konsep kebudayaan yang berbeda-beda. Para ahli antropologi kini semakin meningkat
perhatiannya kepada konteks modern.

Supaya dapat saling berhubungan mereka hanyalah perlu mengetahui secukupnya untuk
dapat kira-kira meramalkan perilaku orang lain akan tetapi setiap orang harus juga mempunyai
sesuatu sistem kategorisasi yang berarti haginya. Dan perspektif semacam ini urbanisasi dapat
dilihat sebagai suatu proses bagaimana para imigran mengatasi masalah kebinekaan kehidupan
kota.
Kertas kerja ini akan mencoha mempergunakan perspektif ini untuk memberi interpretasi
kepada data hasil studi lapangan yang dikumpulkan mengenai suku Batak Toha di Indonesia.
Imigrasi yang dilakukan orang Batak itu merupakan gejala yang umum yang contohnya bisa
dijumpai di kebanyakan kota Afrika dan juga di tempat lain di dunia, sehingga titik tolak yang
digunakan dan kesimpulan umum yang dapat dirumuskan juga relevan untuk tempat lain.. Orang
Batak telah berpindah meninggalkan suatu cakrawala di mana segala sesuatu hersifat “kampung-
Batak”. Di situ semua orang pada dasarnya sama sifatnya dan karena alasan pribadi atau karena
alasan ekonomis supaya dapat pindah dari kampung halamannya sendiri.

Latar Belakang Desa

Di seluruh Tapanuli pada umumnya dapat dikatakan bahwa untuk kelompok keturunan
tertentu, dapat dipastikan daerah asalnya. Setiap satuan kerabat keturunan satu kakek (submarga)
tidak saja mendiami tempat yang telah tertentu, akan tetapi garis keturunan yang lebih besar
seperti marga-marga eksogam yang disebutkan juga memiliki daerah asal yang tertentu. Memang
tidak pernah kita secara pasti sekali dapat menentukan hubungan marga dan tempat asal, dan
tidak mungkin untuk menentukan desa asal seorang dengan memperhatikan nama marga saja,
akan tetapi dengan penelusuran cabang garis keturunan patrlineal dalam suatu marga atau kalau
perlu, dengan penyebutan nama kakeknya, kebanyakan orang Batak bisa menentukan tempat asal
seseorang. Dalam alam pikiran orang Batak keturunan dan kampung asal saling berkaitan dan
menjadi komponen inti dan sistem sosialnya.

Komponen inti lainnya adalah hubungan-hubungan karena perkawinan. Setiap perkawinan


orang Batak meletakkan dasar bagi hubungan yang permanen antara kelompok keturunan
mempelai wanita, yaitu kelompok pemberi isteri atau hula-hula, dan kelompok keturunan
mempelai lelaki, kelompok penerima isteri atau boru. Pemberi isteri mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi dan secara sistematis pada berbagai upacara antara kedua kelompok itu tenjadi
pertukaran uang, barang, yang mempunyai nilai ekonomis maupun simbolis. Kelahiran.
perkawinan, dan kematian dan keturunan pasangan suami-isteri bersangkutan adalah peristiwa-
penistiwa yang paling penting untuk mengadakan upacara dan pertukaran benda antara
kelompok pembeni isteni dan kelompok penerima Isteri terjadi pada waktu itu. Kalau menurut
seorang Batak suatu perkawinannya berhasil, berdasarkan ukuran: banyaknya anak, kesehatan
yang baik, umur panjang, serta kemakmuran ekonomis, atau kalau sekiranya ada alasan pohtis
untuk melanjutkan hubungan antara kedua satuan kerabat itu, maka setiap usaha akan diadakan
untuk memperbarui hubungan perkawinan itu pada generasi berikutnya.

Semua orang Batak turut mencari dan memberi keterangan untuk menentukan hubungan
kekerabatan. kecuali mereka yang oleh masyarakat dikategorikan sebagai anak-anak, atau yang
belum dewasa, yang berarti mereka yang belum kawin. Tentu saja ada orang dewasa yang helum
kawin: tapi bila ditanyakan apakah mereka sudah kawin, jawabnya tentulah “belum”. Bukannva
‘tidak”. selalu masih ada kemungkinan untuk kawin, dan mereka secara sosiologis tetap
dianggap sebagat anak-anak. Hanya mereka yang telah kawin yang turut dalam upacara-upacara
Batak. yang boleh turut bicara dalam urusan-urusan keluarga, dan yang mempunyai hak menjadi
anggota penuh dalam organisasi-organisasi marga, yang telah bermunculan di kota-kota. Orang-
orang muda yang belum kawin. terutama mahasiswa, biasanya memakai nama kecilnya sehagai
nama panggilan, dan kebanyakan mereka sedikit sekali pengetahuannya tentang adat kekerabatan
Batak, berhubung peranannya juga kecil sekali dalam kegiatan kegiatan adat itu. Namun hampir
semua mereka sadar bahwa peranan mereka dalam masyarakat Batak akan sangat berubah
setelah kawin, apalagi kalau sudah mempunyai anak.

Di dunia dewasa di Tapanuli. semua orang adalah orang Batak dan anggota kerabat dan
walaupun ada perbedaan adat di tempat-tempat yang berlainan, namun gagasan dasarnya adalah
sama dan cara penggolongan kerabat bersifat seragam. Di Indonesia. dalam teorinya semua tanah
adalah milik pemerintah, akan tetapi dalam kenyataannya di Tapanuli dan di beherapa wiilayah
lain yang bersamaan sifatnya, tanah herada di bawah penguasaan kelompok turun temurun dan
tidak dapat dijual kepada orang luar. Tidak ada satu orang asing pun yang boleh membeli tanah
di Tapanuli, dan hanya dalam keadaan yang sangat istimewa seorang orang luar boleh bertempat
tinggal di sana.

Tapi janganlah orang Batak desa disamakan dengan misalnya penduduk asli Australia,
yang menganggap orang bukan kerabat sebagai bukan manusia. Orang Batak sangat sadar bahwa
banyak manusia jenis lain lagi di dunia di luar Tapanuli. Mereka berdagang dengan orang-orang
itu, mereka sering bertemu dengan orang luar itu di perbatasan daerahnya mereka juga metierima
pengaruh kebudayaan luar. dan rupanya hubungani-hubungan itu telah herlangsung sejak lama.

Memang ada orang yang bukan Batak yang bertempat tinggal di kota-kota dagang yang
kecil dan di kota pusat pemenintahan setempat sepanjang jalan utama di dataran tinggi Tapanuli.
Di kota-kota Balige dan Tarutung ada juga beberapa toko Cina yang kecil. restoran-restoran
Cina, dan kadang-kadang misionaris Barat atau dokter misi; di kantor polisi, militer. dan kantor
pemerintah setempat selalu ada beberapa orang Indonesia dan golongan etnis lainnya seperti
orang Jawa. Menado. Kecuali pedagang Cina itu. orang lain itu biasanya hanya tinggal sementara
di situ; jarang mereka mempelajari bahasa Batak, dan mereka tidak mengintegrasikan din ke
dalam masyarakat desa di sekitarnya.

Alat komunikasi pertama adalah sekolah, mass media seperti surat kabar dan radio, cerita-
cerita orang tua dan kaum tua-tua di desa dan terutama berita dan kerabat yang tinggal di kota
waktu datang berkunjung. Hampir semua anak-anak di Tapanuli masuk sekolah dasar: selama
tiga tahun pertama bahasa pengantar adalah bahasa Batak dan kemudian dilanjutkan dengan
bahasa Indonesia selama 3 tahun terakhir. Menarik untuk membandingkan terna-tema yang
dibicarakan dalam buku-buku sekolah yang ditulis dalam bahasa Batak dan bahasa Indonesia.

Semua orang desa Batak sadar bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa terdiri dan golongan-
golongan etnis yang berbeda-beda (suku bangsa) yang masing-masing mempunyai daerah
asalnya sendiri di pulau tertentu, dan bahwa masing-masingnya memiliki adat-istiadatnya
sendiri. Menurut pandangan orang Tapanuli, golongan-golongan etnis dalam hangsa Indonesia
itu dapat dibandingkan derian kelompok-kelompok orang Batak Toba, berhuhung semua sama
asal-usulnya dari sama tempat asalnya, dan masing-masing memiliki logat dan adat yang berbeda
(cf. Skinner, 1959)

Mengenai kebanyakan golongan etnis di Indonesia ada bebenapa stereotip yang umurnnya
ditenima. Pada umumnya, sikap utama orang-orang desa teradap orang lain adalah hati-hati dan
curiga. Orang Jawa halus, dan berhudaya. tapi tidak seorang pun yang tahu apa yang
sesungguhnya dipikirkannya. Tetangga-tetangga orang Batak Selatan, orang Minangkahau di
Sumatra Tengah, biasanya gampang memakai racun,dan orang Aceh di utara akan mencabut
pisaunya bila mereka diganggu. Di luar Tapanuli orang selalu harus berhati-hati, kemungkinan
kena guna-guna mengintai di mana-mana. Banyak pedagang-pedagang Batak, tentara, dan
bahkan beherapa mahasiswa memakai jimat untuk melindungi dirinya terhadap racun atau guna-
guna. Seorang dewasa menceritakan pengalamannya ketika dia waktu masih gadis belasan tahun
dipukul oleh orang tuanya karena dalam ketololannya mau menerima makanan dan suatu
keluarga Jawa.

Konteks Kota

Data sensus terakhir mengenat pemerincian penduduk menurut suku bangsa kota Medan
tidak ada, tapi suku-suku yang terbesar adaah orang Batak Toba dan kelompok-kelompok suku
Batak lainnya seperti Mandailing. Angkola, Pakpak, Simelungun, dan Karo, orang Aceh,
Minangkabau, dan suku-suku lainnya dari Sumatra, orang Melayu asli. orang Jawa, dan orang
Cina, dan India. Ada juga beherapa orang Sunda, Madura, Menado, Ambon, Bugis, dan mungkin
juga beberapa orang dan ratusan golongan etnis hainnya di Indonesia. Wahaupun Medan muncul
sebagat kota kolonial Belanda, jumlah orang Barat tidak pernah besar di situ. Penduduk kota
Medan keseluruhannya tumbuh pesat dan 76.000 tahun 1930 menjadi setengah juta pada tahun
1960, dan ada petunjuk yang cukup jelas bahwa tingkat pertuinbuhan penduduk tidak menurun
pada tahun-tahun terakhir ini.

Orang Batak Toba dianggap sebagai pendatang-tidak-diundang yang agresif dan malahan
sering dianggap “penyerbu”, dan memang terdapat persaingan politis dan ekonomis di antara
golongan-golongan etnis di Medan. Walaupun di masa pemerintahan kolonial kebanyakan orang
Batak memasuki Medan sehagai pegawal (White-collar workers), terutama sebagai klerk* dan
guru, sekarang mereka menduduki hampir semua posisi sosiologis yang mungkin dicapai dan
bisa dijumpai di setiap tingkat stratifikasi. Orang Batak Toba kebanyakan beragama Kristen yang
mempunyai gerejanya sendiri, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), dan kebaktian gereja
dilangsungkan dalam bahasa Batak Toba. Ada hanyak cabang agama Kristen di Medan; dan
bukan semua orang Batak Toba menjadi anggota HKBP; akan tetapi titik kontras yang terpenting
adalah bahwa kebanyakan orang Indonesia dan golongan etnis lainnya beragama Islam. Faktor-
faktor tersebut turut berpengaruh waktu pertikaian antaretnis pernah berlangsung di Medan dan
kota-kota lainnya di Indonesia. Pernah terjadi pertikaian sengit antara orang Batak dan orang
Aceh, Minangkabau, dan orang Menado dalam jangka waktu yang berbeda-beda. Kebanyakan
orang Batak Toba di Medan tentu saja mempunyai hubungan yang ramah dan bersahabat dengan
mereka yang bukan orang Batak yang menjadi tetangganya, yang dikenalnya di sekolah, di
tempat kerja, di pasar; hampir setiap orang Indonesia berusaha untuk mencapai harmoni
kesukuan dan berusaha keras untuk menghindarkan perselisihan terbuka; perkelahian antarsuku
yang pernah terjadi itu sebenarnya hanya melibaikan beberapa gelintir orang saja. Namun, semua
golongan sadar bahwa pertikaian terbuka telah terjadi di masa lalu dan hahwa ada saja
kemungkinan dapat terjadi lagi.

Cara-cara penyesuaian diri terhadap orang yang bukan Batak seperti yang biasa diikuti di
Tapanuli tidak lagi efektif di Medan. Sangat tidak realistis untuk mencoba mengangkat semua
orang asing di kota ke dalam marga dan dengan demikian memperluas sistem Batak ke luar,
karena kebanyakan orang lain tidak mau diangkat masuk ke dalam tatanan sosial Batak. Mereka
mempunyai adat-istiadatnya sendiri. Ada pedagang-pedagang Cina di dataran Tapanuli
sebagaimana di Medan, akan tetapi terdapat perbedaan yang hesar dalam perilaku mereka. Orang
Cina di Tapanuli sadar bahwa mereka berada di daerah asing. Mereka mencoba belajar bahasa
Batak dan menyesuaikan dirinya ke dalam kebudayaan setempat. Cara demikian menguntungkan
usaha mereka. Tapi di Medan, keadaan sebaliknya yang terjadi. yaitu orang Batak yang
menyesuaikan dirinya kepada orang Cina. Ada orang Batak Toba kelahiran Medan yang telah
belajar bahasa Cina; pengetahuan itu menguntungkan mereka dalam proses tawar-menawar
waktu belanja sehari-hari.

Kebanyakan imigran Tapanuli, tentu tidak dalam waktu singkat, akan tetapi dalam jangka
waktu berbulan-bulan bahkan bentahun-tahun, akhir-akhirnya belajar juga bahwa di Medan
mereka tidak dapat mengikuti cara berlaku seperti di kampungnya. Desakan supaya mereka
berubah bukan saja datang dan warga golongan etnis lainnya, akan tetapi, bahkan lebih kuat lagi
dan orang-orang Batak Toba penghuni menetap yang sudah lama di Medan. Bila orang Jawa dan
orang lainnya digambarkan bersifat lebih halus, orang Batak dianggap mempunyai sifat
sebaliknya yaitu kasar, dan untuk dirinya sifat itu ditafsirkannya sebagai keras tetapi juga terus
terang dan terbuka, dan malahan dia bangga ditandai dengan sifat-sifat itu. Tapi di Medan dan
lebih-lebih di kota-kota di Jawa, dia semakin menyadari bahwa kasar ditafsirkan orang sebagai
tidak mengenal cara bergaul sopan dan tidak berbudaya. Pengetahuan tentang cara berlaku yang
tepat terhadap kelompok lainnya di Medan,biasanya mereka peroleh secara berangsur-angsur dan
prosesnya cukup lama.

Orang Batak kota yang paling modern pun mulai dengan polarisasi dasar yang sama yang
membagikan orang jadi dua bagian, dengan perhedaan yaitu telah ada cukup pengenalannya
untuk lebih memperhalus pembagian orang yang bukan Batak ke dalam bermacam-macam
golongan. Dalam perspektif kertas kerja ini, menjadi orang kota (urban) bisa disamakan dengan
atau diukur dan sampai berapa jauh seseorang dapat menggolongkan orang yang bukan Batak
dalam kategoni-kategori yang lebih halus.
Sebenarnya pertanyaan yang timbul dalam setiap pergaulan adalah bagaimana persisnya
seorang dapat membedakan seorang Batak dan yang bukan Batak dan lebih jauh lagi,
bagammana seorang dapat membedakan satu suku bangsa dan suku lamnnya di Indonesia.
Masalah yang utama adatah bahwa identifikasi etnis adalah informasi yang relevan bagi semua
orang Indonesia. dan penting sekali bahwa pembedaan itu dilakukan secara tepat. Penampilan
merupakan suatu petunjuk. Jenis warna kulit, bentuk rambut, raut muka dan gaya menggerakkan
tubuh memungkinkan sebagian orang untuk menentukan suku bangsa orang bersangkutan.

Orang Batak memakai nama marganya, dan ini pasti merupakan cara yang positif untuk
menentukan. Orang Jawa dan golongan etnis lainnya juga merniliki nama-nama yang gampang
diketahui ciri khasnya. Gaya berbahasa Indonesia merupakan indikasi lainnya untuk menentukan
daerah asal seseorang. Ada lelucon etpis mengenai gaya bahasa Indonesia orang Batak atau
orang Jawa, dan ada orang yang mampu meniru cara berbahasa Indonesia dan suku-suku yang
beragam-ragam pula caranya dan hal demikian menjadi bahan tertawaan bagi banyak orang.

Menentukan golongan etnis seseorang dengan tepat bukanlah demi perasaan


menyenangkan atau demi sopan santun di Medan. Identifikasi demikian menjadi suatu keharusan
ekonomis dan politis. Terutama dalam keadaan di mana mungkin saja terjadi sengketa atau
persaingan, kadang-kadang men jadi suatu keharusan untuk mengetahui suku bangsa dan orang
yang dihadapi. Seorang perigusaha perlu menentukan sampai ke batas mana dia bisa
memaksakan suatu proses tawar-menawar. Seorang pria remaja harus tahu kapan dia harus
mundur bila ditantang dalam suatu pertemuan di lingkungan orang bertetangga. Dalam situasi
semacam ini dan dalam situasi lainnya masalah suku bangsa merupakan dasar pertama untuk
mengatur strategi seseorang, yaitu didasarkan pada perkiraan tentang apa yang bisa disebut
sebagai batas-batas etnis, suatu perhitungan mengenai batas maksimal yang dapat diusahakan.

Kesimpulan

Dalam kertas kerja ini dapat diuraian secara singkat tentang beberapa persepsi orang
Batak Tapanuli yang berpindah ke Medan. Kategori dan stereotip tentang golongan etnis lainnya
yang diperoleh di desa tidak memperlengkapi mereka dengan tepat untuk menghadapi orang-
orang kota yang begitu beragam dan heterogen. Pertentangan yang paling dasar dalam hubungan
interpersonal yang dibagi dalam dua bagian adalah antara orang Batak dan yang bukan Batak
Bila pengalaman kehidupan kota semakin meningkat dengan berlakunya waktu yang lebih lama
maka terjadilah perluasan skop kategorisasi tentang orang lain yang bukan orang Batak. Proses
perluasan dalam kategorisasi itu tidaklah seragam dalam semua sektor penduduk kota; untuk
sebagian orang hal tersehut berlangsung cepat dan luas, sedangkan untuk orang lainnya proses
itu berlangsung sangat minimal, tergantung dan posisi seseorang secara struktural dan
kecenderungan pribadi.

Hipotesa penulis adalah bahwa di Indonesia mempertentangkan antara Batak dan bukan Batak
mempunyai relevansi yang lebih umum yaitu bahwa pembedaan yang serupa juga dibuat oleh
golongan-golongan yang etnis lain. Di Jawa Barat, yang dipertentangkan adalah orang Sunda dan
bukan Sunda, dan di Padang antara Minangkabau dan bukan Minangkabau. Hipotesa ini
mendalilkan bahwa pembedaan yang pertama-tama dibuat dalam hubungan antarpribadi di
Indonesia adalah atas dasar kesukuan (Brunner, 1973).

Anda mungkin juga menyukai