Anda di halaman 1dari 6

Morfologi Homo Erectus di Austroasia

1. Indonesia
Kehidupan manusia purba di Indonesia meliputi kurun waktu yang sangat panjang
dalam rentang jutaan tahun. Berdasarkan karakter fisik dan lapisan penemuannya, manusia
purba dapat dibedakan dalam beberapa kelompok evolusi. Kelompok tertua yang disebut
Homo Erectus Arkaik atau kekar, ditemukan di Sangiran pada formasi Pucangan dari Kala
Pleistosen Bawah yang berumur antara 1,8-0,7 juta tahun lalu. Kelompok kedua adalah
Homo Erectus tipe Klasik atau Tipik yang juga ditemukan di Sangiran pada formasi Kabuh
dari Kala Pleistosen Tengah yang berumur antara 0,8-0,4 juta tahun; dan kelompok ketiga
adalah Homo Erectus tipe Pregresif ditemukan pada liologi teras Ngandong dari Sekitar
100.000 tahun yang lalu (Semah dkk,1990).
Sementara itu, menurut Harry Widianto (1997) terdapat tiga kelompok evolusi hominid
Kala Pleistosen berdasarkan pada aspek morfologis dari karakter evolutive dan superstruktur
tengkorak yang ditemukan di situs-situs di Jawa Tengah dan Jawa Timur, antara lain:
Kelompok pertama, yang paling arkaik adalah kelompok Sangiran. Kelompok ini
menunjukkan ciri-ciri morfologis yang paling kekar sehingga disebut Kelompok Kekar, yang
selaras dengan tahap evolusi Homo Erectus Arkaik. Kelompok ini merupakan fosil-fosil
tertua Sangiran yang berasal dari lapisan lempung hitam formasi Pucangan bagian atas, dari
kala Pleistosen Bawah, yang berusia antara 1,5 – 1,0 juta tahun. Termasuk pula dalam
kelompok kekar ini adalah temuan atap tengkorak anak – anak dari Mojokerto yang mungkin
berusia lebih tua di bandingkan dengan temuan dari Sangiran. Ciri yang paling menonjol dari
Homo Erectus arkaik ini adalah: Berpostur kekar, tebal tulang tengkorak mencapai 1,2 cm,
perkembangan sangat kuat pada superstruktur tengkorak, dan kapasitas tengkorak sekitar 850
cc.
Kelompok kedua, jauh lebih berevolusi dibandingkan dengan kelompok kekar, adalah
specimen-specimen dari Trinil dan Sangiran yang berasal dari endapan pasir formasi Kabuh,
dari Kala Pleistosen Tengah, berusia 0,73-0,3 juta tahun. Termasuk dalam kelompok ini
adalah fosil Pithecanthropus Erectus. Kelompok evolusi ini disebut juga kelompok Trinil-
Sangiran (Homo Erectus tipik), karena selain di Trinil fosil-fosil manusia purba kelompok ini
juga ditemukan di Sangiran. Karakter kuat dari kelompok Homo Erectus tipik ini adalah:
lebih ramping dibandingkan dengan kelompok Kekar, superstruktur tengkorak lebih
tereduksi, kapasitas tengkorak berkisar antara 900-1000 cc.
Gambar: Tengkorak Homo Erectus Arkaik (kiri) dan Homo Erectus Tipik (Kanan)
Kelompok ketiga, merupakan tipe Homo Erectus yang paling maju, adalah seluruh
specimen dari Ngandong-Sambungmacan dan Ngawi, dari akhir kala Pleistosen Tengah.
Karena Sebagian besar berasal dari situs Ngandong, maka kelompok ini disebut dengan
kelompok Ngandong. Situasi morfologis menunjukkan ciri Homo Erectus yang paling
berevolusi, yang selaras dengan Homo Erectus progresif. Ciri spesifik pada kelompok Homo
Erectus progresif adalah: tengkorak berukuran lebih besar dibandingkan dengan Homo
Erectus kekar dan Homo Erectus tipik, kontur kranial lebih tinggi dan bundar, dan kapasitas
tengkorak 1.100 cc.
Lokasi Penemuan
1. Sangiran.
Pada tahun 1936 dan 1941 G.H.R Von Koenigswald menemukan fosil manusia purba.
Dalam penggaliaanya di daerah Sangiran ia menemukan rahang bawah yang ukurannya jauh
lebih besar dan kuat dari Pithecanthropus Erectus yang ditemukan oleh Eugene Dubois. Fosil
manusia purba yang ditemukan tersebut diperkirakan berasal dari zaman Pleistosen Tua
(bawah) yaitu berada pada lapisan jetis. Von Koenigswald menamakan fosil temuannya ini
dengan sebutan Meganthropus Paleojavanicus (raksasa dari Jawa). Fosil yang ditemukan
adalah sebuah rahang bawah dan 3 buah gigi (1 gigi taring dan 2 gigi geraham) berasal dari
lapisan Pleistosen Bawah (Truman Simanjuntak, 2000). Hasil rekontruksi dari rahang dan
gigi yang ditemukan menunjukkan bahwa makhluk ini adalah pemakan tumbuhan yag tidak
dimasak terlebih dahulu.
Gambar: Von Koenigswald dan rekontruksi Meganthropus Paleojavanicus
2. Trinil, Ngawi, Jawa Timur.
Pada tahun 1890-1891 dalam penelitian di Trinil (Ngawi) seorang dokter tentara
Belanda berkebangsaan Perancis, Dr. Eugene Dubois melakukan penggalian yang dilakukan
pada formasi Kabuh (Pleistosen Tengah). Dari hasil penggalian ditemukan rahang bawah,
temputung kepala, tulang paha, serta geraham atas dan bawah. Dr. Eugene Dubois
menamakannya Pithecanthropus Erectus. Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di
Trinil telah membawa penemuan sisa-sia manusia purba yang sangat berharga bagi dunia
pengetahuan.
Tengkotak Pithecanthropus Erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke
belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, volume di antara otak kera (600 cc) dan otak
manusia modern (1.200 cc – 1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian
belakang orbit mata terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak belum
berkembang.
Pada tahun 1939, Von Koenigswald menemukan beberapa fosil manusia purba di desa
Trinil dekat Ngawi, Jawa Timur. Dalam penyelidikannya di daerah Trinil, Bersama dengan
peneliti lain bernama Weidenreich, mereka menemukan fosil sejenis Pithecanthropus yang
ditemukan di Mojokerto, namun ukurannya lebih besar dan lebih kuat. Berdasarkan pada
bentuk fosil tersebut mereka memberikan nama Pithecanthropus Robustus yang berarti
manusia kera yang besar dan kuat (Herimanto, 2012).

Gambar: Tengkorak Pithecanthropus Erectus


3. Perning, Mojokerto, Jawa Timur.
Tahun 1936 Von Koenidswald menemukan atap tengkorak anak-anak berusia antara 3-
5 tahun di Sumber tengah sekitar 3 km di sebelah utara Perning, Jawa Timur. Fosil ini berasal
dari lapisan yang sama dengan Meganthropus yaitu dari lapisan Pleistosen Bawah
(Pucangan). Hasil penemuan berupa tengkorak anak-anak ini diperkirakan dari keluarga
Pithecanthropus (manusia kera), karena fosil itu pula fosil ini diberi nama Pithecanthropus
Mojokertensis yang berarti manusia kera dari Mojokerto (Herimanto, 2012). Tengkorak
tersebut memiliki ciri-ciri dengan penyempitan tulang kening, penyempitan pada daerah orbit
mata, maupun bagian belakang yang sangat runcing yang merupakan ciri kuat Homo
Erectus.

Gambar: Tengkorak Homo Erectus yang ditemukan di Perning


Sebuah pertanggalan metode potassium-argon oleh T.Jacob dan Curtis terhadap batu
apung yang ditemukan di dekat tengkorak menghasilkan angka kepurbaan kira-kira 1,9 – 0,4
juta tahun lalu. Apabila hasil pertanggalan tersebut benar adanya, maka tengkorak Homo
Erectus dari Mojokerto ini merupakan individu Homo Erectus yang paling purba di Indonesia
(Harry Widiant, dalam Taufik Abdullah, 2016)
4. Ngandong, Blora, Jawa Tengah.
Pada tahun 1931-1933, Ter Haar menemukan endapan teras yang mengandung fosil-
fosil vertebrata pada suatu lekukan Bengawan Solo. Dari hasil pengalian tersebut ia
menemukan dua buah atap tengkorak manusia purba. Temuan ini kemudian dideskripsikan
oleh Oppernoort sebagai Homo Soloensis. Dari karakter morfologi yang dimiliki, manusia
Ngandong ini digolongkan sebagai Homo Erectus kelompok maju yang diperkirakan berumur
antara 300.00 – 100.000 tahun lalu.

Gambar: Tengkorak Homo Erectus paling evolutif di Ngandong


Tengkorak Homo Soloensis berukuran besar dengan volume otak rata – rata 1.100 cc.
Bentuk atap tengkorak terlihat lebih bundar dan lebih tinggi. Dengan ciri tersebut menurut
Von Kognigswald, Homo Soloensis memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada
Pithecanthropus Erectus. Apabila dikaitkan dengan tiga tingkat evolusi yang pernah terjadi di
Indonesia, Homo Soloensis merupakan tengkorak Homo Erectus yang paling berevolusi dan
lebih maju. Data lingkungan purba di Ngandong telah memungkinkan rekontruksi habitat
manusia purba termuda (Homo Soloensis) hidup pada era formasi Notopuro (Kala Pleistosen
Atas).
5. Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah.
Pada tahun 1873 ketika penduduk setempat sedang menggali kanal untuk melancarkan
aliran Bengawan Solo menemukan sebuah fosil tengkorak manusia purba yang kemudian
diberi naman Homo Erectus Soloensis. Aziz dan Van Den Bergh menemukan sebuah rahang
stegodon kerdil dan tulang rusa kecil pada batu gamping yang tersingkap di dasar kanal.
Komposisi fauna Sambungmacan khususnya kehadiran Homo Erectus Soloensis
mengindikasikan persamaannya dengan fauna Ngandong. Sartono yang melakukan
penggalian di daerah Sambungmacam menemukan beberapa kerangka fosil sejenis
Pithecanthropus dan diberinya nama Pithecanthropus Soloensis (manusia kera dari Solo).

Gambar: Tengkorak manusia purba di Sambungmacan


Dari berbagai segi Homo Erectus Sambungmacan memiliki Banyak kesamaan dengan
Homo Erectus Ngandong yang dalam posisi evolusinya berada pada Homo Erectus yang
paling maju. Temuan fosil tengkorak dari situs Sambungmacan memiliki ciri kekar, atap
tengkoraknya lebih tinggi dan lebih bundar dari Homo Erectus Sangiran, dan menyamai atap
tengkorak yang berasal dari Ngandong, termasuk volume otaknya masih mencirikan volume
otak Homo Erectus Ngandong. Mengenai posisi lapisan manusia pendukung daerah
Sambungmacam masih dalam perdebatan. Studi Palinologi yang dilakukan oleh Anne-Marie
Semah menunjukkan lingkungan vegetasi Sambungmacan sepadan dengan yang ditunjukkan
oleh Lapisan Kabuh di Trinil. Sementara berdasarkan pada data Paleontologis ciri tengkorak
manusia purba yang ditemukan di Sambungmacam memperlihatkan kesamaan dengan
tengkorak Ngandong dari Kala Pleistosen Atas. Di sisi lain berdasarkan hasil studi
stratigrafis lapisan pengandung artefak diperkirakan berumur Pleistosen Tengah (Harry
Widianto, dalam Taufik Abdullah, 2016).

Anda mungkin juga menyukai