Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MATA KULIAH ANTROPOGENESE

“Becoming Human : Dari Aspek Perkembangan Otak”

Kelompok 5
1. Hani Elza Niken (071811733009)
2. Yemima Siwi Aji P. K. (071811733018)
3. Janet Christie N. (071811733019)
4. Carla Lien M. B. (071811733043)
5. Anisa Dyah Berlianti (071811733064)
6. Rizqi Kurnianingrum (071811733070)

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
Daftar Isi

Daftar Isi..........................................................................................................................................2

BAB I...............................................................................................................................................3

PENDAHULUAN...........................................................................................................................3

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................3

BAB II.............................................................................................................................................4

PEMBAHASAN..............................................................................................................................4

2.1 Perkembangan Morfologi Kepala Manusia Dalam Kurun Evolusi.......................................4

2.2 Perkembangan Otak Manusia Dalam Kurun Evolusi............................................................5

2.2.1 Otak dan Kemampuan Berbahasa...............................................................................6

2.2.1.1 Gen FOXP2.........................................................................................................6

2.2.1.2 Daerah Broca dan Wernicke................................................................................7

2.2.1.3 Bukti Fosil : “Apakah Homo Erectus Sudah Dapat Berbicara?”......................9

2.2.2 The Brain Cost..........................................................................................................10

2.3 Kekhasan Bahasa dan Kemampuan Intelektual Manusia....................................................12

2.3.1 Kekhasan Bahasa..........................................................................................................12

2.3.2 Kemampuan Intelektual Manusia.................................................................................13

Daftar Pustaka................................................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otak manusia mengalami perkembangan secara dari sekitar 2 juta hingga 300.000 tahun
yang lalu. Ini sekitar 5 kali lebih besar dari yang diharapkan bila dibandingkan dengan mamalia
rata-rata ukuran tubuh manusia, dan juga sekitar tiga kali lebih besar dari primata rata-rata
ukuran tubuh manusia (Schoenemann, 2009). Spesies fosil Lucy yang terkenal, Australopithecus
afarensis, memiliki tengkorak dengan volume internal antara 400 dan 550 mililiter, sedangkan
tengkorak simpanse memiliki sekitar 400 ml, dan gorila antara 500 dan 700 ml. Selama masa
ini, otak Australopithecine mulai menunjukkan perubahan halus dalam struktur dan bentuk
dibandingkan dengan kera. Sebagai contoh, neokorteks telah mulai berkembang, mengatur
kembali fungsinya dari pemrosesan visual ke daerah otak lainnya. Homo habilis, yang pertama
dari genus Homo yang muncul 1,9 juta tahun yang lalu, melihat lompatan kecil dalam ukuran
otak, termasuk perluasan bagian yang terhubung dengan bahasa pada lobus frontal yang disebut
daerah Broca. Tengkorak fosil pertama Homo erectus, 1,8 juta tahun yang lalu, memiliki otak
rata-rata sedikit lebih besar dari 600 ml. Dari sini, spesies memulai gerak maju lambat,
mencapai lebih dari 1.000 ml pada 500.000 tahun yang lalu. Homo Sapiens awal memiliki otak
dalam kisaran orang saat ini, rata-rata 1.200 ml atau lebih.
Peningkatan ukuran otak yang signifikan ini seharusnya merupakan adaptasi fungsional,
atau mereka akan dipilih, karena secara metabolik mahal untuk mempertahankan otak besar.
Satu unit jaringan otak dikatakan membutuhkan 22 kali jumlah energi metabolisme yang
dibutuhkan untuk unit jaringan otot yang sama (Aiello, 1997). Otak yang lebih besar juga
dikaitkan dengan periode pematangan yang lebih lama pada primata, yang mengarah ke lebih
sedikit keturunan per satuan waktu (Schoenemann, 2009).
Salah satu manfaat lain dari otak yang lebih besar adalah bagaimana hal itu dapat
menyebabkan lebih banyak area kortikal yang berbeda di otak (Kaas, 2013). Akibatnya, area
spesifik neokorteks, yang merupakan struktur otak yang terlibat dalam fungsi kognitif yang lebih
tinggi seperti bahasa, menjadi kurang terhubung satu sama lain, yang memungkinkan area
tersebut untuk melakukan tugas secara independen satu sama lain. Ini membawa lokalisasi
fungsional, yang mungkin telah berkontribusi pada pengembangan area bahasa pada manusia
(Schoenemann, 2009).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Morfologi Kepala Manusia Dalam Kurun Evolusi


Jika dibandingkan dengan morfologi primata lainnya, morfologi manusia memiliki ciri
khas di bagian kepala. Berbeda dengan simpanse, terdapat splanchnocranium yang relatif kecil
pada Homo Sapiens yang terletak di bawah neurocranium yang besar.

Splanchnocranium (wajah) mengalami reduksi, sedangkan neurocranium (otak)


bertambah besar berkat perkembangan otak, khususnya ke atas dan ke arah belakang. Akibatnya,
foramen occipitale magnum bersama condyli occipitales seolah-olah tergeser ke depan, sehingga
pada Homo Sapiens terletak hampir di tengah dasar tengkorak. Reduksi dimensi rahang
mengakibatkan grasilisasi (pengecilan) otot kunyah, terutama musculus temporalis. Ini sekaligus
berakibat pada tergesernya foramen occipitale magnum ke depan, dan memperkecil otot leher.
Reduksi besarnya otot tersebut menyebabkan tulang tengkorak makin tipis.
Kemudian, reduksi rahang tidak terjadi sama rata; reduksi processus alveolaris
memendek lebih cepat daripada bagian basal corpus mandibulae, sehingga dagu makin
menonjol. Jumlah gigi tetap sama, hanya saja dimensinya menyusut. Yang tidak mengalami
reduksi adalah hidung, yang pada manusia agak menonjol dibanding dengan primata lainnya.
Selain hidung, bibir mukosal serta telinga tidak mengalami perubahan mencolok. Proses ini
bukan hanya terjadi sebelum hominisasi, tetapi juga selama proses perubahan mulai dari Homo
Erectus (Pithecanthropus) sampai pada Homo Sapiens.
2.2 Perkembangan Otak Manusia Dalam Kurun Evolusi
Dalam otak, terdapat partikel abu-abu (substantia grisea) ini terdiri dari sel-sel saraf
(neuron) dan disebut cortex dan partikel putih (substantia alba) yang terbentuk oleh neurit—yang
merupakan penghubung antara neuron. Sel-sel saraf tidak seragam. Ada yang mempunyai hanya
satu neurit saja dan ada yang mempunyai banyak neurit (polineurit), sehingga satu sel saraf dapat
berkomunikasi dengan banyak sel saraf lain sekaligus. Sel polineurit sangat efektif dalam
pengolahan data. Selain di cortex, ada juga kumpulan partikel abu-abu di bagian dalam hemisfer,
yang disebut nuclei subcorticales. Di antaranya ada bagian yang disebut thalamus atau juga
sistem limbik. Bagian otak yang terdiri terutama dari jenis neuron yang pertama disebut
archipallium atau archicortex, sedangkan bagian yang tersusun khususnya dari sel polineurit
disebut neopallium atau neocortex. Archipallium mengandung sentra primer yang berhubungan
langsung dengan indra, terutama indra penciuman, sedangkan neocortex tidak mempunyai
hubungan langsung dengan indra dan disebut sentra sekunder, yang berfungsi asosiatif dan
integratif. Neocortex terdiri terutama dari sel saraf polineurit inilah sentra pengolahan informasi
secara lebih sempurna.
Dipandang dari segi filogenetis, neocortex baru berkembang pada Mammalia. Pada
primata otak bertambah makin besar. Yang bertambah adalah neocortex dan ini berarti bukan
hanya pembesaran, tetapi juga penyempurnaan otak, yang mampu mengolah informasi makin
cepat dan makin sempurna. Neocortex paling besar dimiliki oleh manusia, di mana otaknya
terdiri 20% dari archipallium dan 80% dari neopallium.

2.2.1 Otak dan Kemampuan Berbahasa


Kemampuan untuk perkembangan neocortex. Diduga bahwa kemampuan membentuk
gambar dan pengertian abstrak baru dimungkinkan apabila neocortex mencapai volume tertentu
yang terletak dalam batas variasi Homo. Selain neocortex, sistem limbik pada manusia juga lebih
besar dibanding dengan Hominoidea. Sistem limbik merupakan pusat emosi, namun ada ahli
(Vilensky et al., 1982 kutipan Aiello & Dean, 1991), yang berpendapat bahwa sistem limbik
amat penting dalam perkembangan bahasa, karena terlibat dalam ingatan bahasa. Menurut
mereka, secara filogenetis perkembangan sistem limbik bahkan mendahului perkembangan
neocortex.
2.2.1.1 Gen FOXP2
Fungsi gen FOXP2 berperan sangat penting dalam perkembangan neocortex dan sistem
limbik serta saling keterkaitannya. Salah satu kekhasan otak manusia adalah asimetrinya
(Gambar 2). Di bagian atas baga pelipis (lobus temporalis), baga ubun-ubun (lobus temporalis)
dan baga dahi (lobus frontalis) bagian kiri lebih luas daripada bagian kanan. Ternyata, bahwa
hemisfer kanan menanggung hanya 2%, sedangkan hemisfer kiri menanggung 98% dari segala
fungsi yang terkait dengan bahasa. Asimetri ini berkembang pada umur 4-5 tahun. Sampai saat
ini belum jelas sejauh mana asimetri ini menguntungkan fungsi otak (Aiello & Dean, 1991).
2.2.1.2 Daerah Broca dan Wernicke

Pada tahun 1861 Pierre Paul Broca menemukan daerah otak, yang merupakan pusat
motoris bicara, yaitu mengatur motorik lidah, rahang dan bibir. Daerah ini terletak dalam baga
dahi (lobus frontalis). Kerusakan atau gangguan dalam daerah Broca ini menyebabkan timbulnya
afasia, di mana orang sama sekali tak dapat berbicara atau berbicara sangat tidak jelas, karena
tidak sanggup berartikulasi; walau ia memahami bahasa lisan.
Pada tahun 1874 Carl Wernicke menemukan bagian otak lain yang terkait erat dengan
kemampuan berbicara. Pusat ini terletak dalam sebagian baga ubun-ubun (lobus parietalis) dan
sebagian baga pelipis (lobus temporalis). Kerusakan pada daerah Wernicke ini mengakibatkan
ketidakmampuan mengerti bahasa, baik lisan maupun visual/tertulis, dan sulit membentuk
kalimat. Pusat optis (di lobus occipitalis) tersambung dengan daerah Wernicke dan daerah ini
bersambungan dengan daerah Broca, sehingga di antara ketiga pusat ini terjadi kerja sama.
Nyatanya, daerah Wernicke merupakan pusat bukan hanya pengertian bahasa tetapi juga
koordinasinya (Aiello & Dean, 1991).
Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa proses pembentukan bahasa dalam
otak jauh lebih rumit daripada yang dilukiskan di atas. Ganglia pada telencphalon memainkan
peranan besar dalam pembentukan dan pengertian bahasa.
Daerah Broca hanya mampu mengatur fungsi motoris bicara dalam kerja sama dengan
ganglia ini. Oleh karenanya lebih baik bisa tidak menyebut area ini sebagai daerah Broca, tetapi
lingkaran atau circuit Broca— karena ada saling keterkaitan antara Daerah Broca dengan ganglia
tadi (Lieberman, 2007).
Daerah Broca terletak bersebelahan dengan pusat motoris cortex. Perintah dari daerah
Broca dikirim ke sentra motoris yang selanjutnya mengatur gerakan lidah, bibir dan rahang.
Salah satu saraf motoris yang penting untuk dapat berbicara adalah nervus hypoglossus, yang
keluar dari medulla oblongata dan lewat canalis hypoglossus, yang menembus condyli
occipitales, untuk sampai ke lidah. Gerakan lidah amat penting dalam artikulasi kata. Pada
primata Hominoidea, nervus hypoglossus berukuran agak kecil dibanding dengan pada manusia.
Dari situ ditarik kesimpulan bahwa mobilitas lidah bergantung pada jumlah saraf yang
menginervasinya.
2.2.1.3 Bukti Fosil : “Apakah Homo Erectus Sudah Dapat Berbicara?”
Berdasarkan besarnya otak, umumnya telah dapat diterima oleh para ahli bahwa Homo
Erectus (Pithecanthropus) adalah jenis manusia tertua yang pernah hidup di bumi. Menurut
bentuk endocastnya dapat diduga bahwa neocortexnya sudah agak luas.
Namun Homo Erectus, khususnya yang berasal dari masa geologis agak tua (Homo
Modjokertensis, 1,8 juta tahun yang lalu) memiliki dahi agak miring, karena itu daerah Broca
belum berkembang secara sempurna atau daerah ini sangat kecil. Dalam proses evolusi sampai
ke Homo Soloensis yang ditentukan sebagai berasal dari masa geologis paling muda (sekitar 200
ribu tahun yl.) volume otak bertambah besar dan bagian dahinya makin tegak, sehingga
kemungkinan besar daerah Broca telah lebih berkembang.
Pada umumnya agak sulit merekonstruksi bagian lunak rongga nasopharynx, larynx dan
mulut. Namun berdasarkan benjolan dan bekas letaknya otot pada bagian tulang dapat kita
perkirakan struktur bagian lunak juga. Australopithecus Africanus (Sts 5 dan MLD 37/38, TM
dari Kromdraai) serta Homo Erectus yang dideskripsi oleh Weidenreich (1943) memiliki
processus Eustachii mirip monyet. Ciri ini berbeda pada Paranthropus (dan manusia modern),
sehingga dapat diduga bahwa seluruh rongga nasopharynx-nya lebih luas; selain itu dasar
tengkorak berbentuk sudut mendekati bentuk manusia modern (Aiello & Dean, 1990).
Kay et al. (1998) mengukur canalis hypoglossus pada primata Hominoidea dan juga pada
fosil-fosil Australopithecinae, Homo Habilis, Homo Erectus, Homo Neandertalensis, Homo
Sapiens fossilis dan manusia dewasa ini. Ternyata ditemukan bahwa baru pada Homo
neandertalensis dan Homo sapiens canalis hypoglossus mencapai kelebaran seperti pada manusia
dewasa ini. Maka mereka menarik kesimpulan bahwa bahasa seperti yang dijumpai pada masa
kini baru muncul paling cepat sekitar 600.000 tahun yang lalu. Walaupun demikian, berdasarkan
hasil anatomi komparatif para ahli tidak sepakat apakah fosil hominid sanggup berbicara atau
tidak.
Laitman (1977), Laitman & Heimubuch (1982), dan Laitman et al. (1978, 1979, 1982),
misalnya, yakin bahwa meratanya dasar tengkorak pada sebagian besar hominid fosil belum
merupakan bukti yang cukup untuk mengatakan dengan pasti, bahwa mereka belum sanggup
berbicara, karena kita sulit dapat merekonstruksi dengan pasti saluran pernafasan fosil hominid.
Dean (1985) meragukan apakah fleksi pada dasar tengkorak Paranthropus merupakan bukti
cukup untuk mengatakan bahwa dia sanggup berbicara. Lieberman dan Celin (1971) berusaha
merekonstruksi saluran suara Homo neandertalensis dan membandingkannya dengan saluran
suara anak dan manusia dewasa.

Berdasarkan rekonstruksi ini mereka yakin bahwa H. Neadertalensis tidak sanggup


mengucapkan 'a', 'i' dan 'u'. Namun ahli lain tidak menerima hipotesis ini, karena bagaimana pun
kita tidak sanggup merekonstruksi saluran suara dengan pasti. Berdasarkan penemuan-penemuan
di atas dapat dikatakan bahwa Homo Erectus belum dapat berbicara seperti manusia yang hidup
masa kini. Jacob (1980) meyakini bahwa Homo Erectus telah dapat berkomunikasi lisan, tetapi
ia belum dapat berbicara seperti manusia masa kini. Dengan kata lain, Homo Erectus hanya bisa
bertutur saja. Namun, apa pun yang dikatakan mengenai kemampuan berbicara pada fosil
hominid, ini merupakan taraf spekulasi saja, karena agak sulit dalam merekonstruksi bagian
lunak seluruh kompleks larynx dan rongga nasopharynx, apa lagi mengatakan secara persis
kemampuan phonetion mereka.
2.2.2 The Brain Cost
Jaringan otak mengkonsumsi sejumlah besar oksigen dan glukosa, dan ia melakukannya
terus menerus, terlepas dari keadaan fisik dan mental. Ini berlaku untuk semua mamalia, tetapi
kebutuhan metabolisme otak manusia sangat besar. Pada manusia, rasio antara oksigen yang
dikonsumsi oleh otak dan seluruh tubuh adalah 20%, dua kali lipat dari kera (Macaca mulata;
Hofman, 1983). Selain itu, indeks metabolisme untuk korteks manusia adalah 43% lebih besar
daripada bagian otak lainnya. Dalam istilah komparatif lintas primata, kebutuhan 'berlebihan'
korteks tidak tergantung pada ukuran tubuh, tetapi tingkat perkembangan evolusi gray matter
(Hofman, 1983). Adanya kebutuhan metabolisme yang tinggi merupakan pertimbangan penting
ketika menilai bagaimana seleksi alam mendukung korteks yang meluas.

Katherine Milton (1988) menyarankan bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi


tuntutan metabolisme otak untuk genus Homo adalah perubahan pola makan menuju nutrisi yang
lebih kaya, terutama daging. Usus manusia modern relatif lebih kecil daripada usus primata
lainnya. Kelihatannya aneh bahwa sepanjang evolusi, satu organ — otak — telah membutuhkan
jumlah nutrisi yang lebih besar, sementara usus merespons dengan mengurangi ukurannya.
Milton (1988) percaya bahwa ini dijelaskan oleh fakta bahwa sistem pencernaan manusia adalah
khusus, dengan usus kecil yang relatif panjang dibandingkan dengan panjang usus besar kera.
Penelitian Aiello dan Wheeler (1995) tentang hubungan antara ukuran otak dan panjang usus
menyebabkan kesimpulan yang sama. Primata herbivora, dengan usus yang lebih besar,
memiliki otak yang relatif lebih kecil daripada primata frugivora. Penjelasan Aiello dan Wheeler
dikenal sebagai hipotesis pengeluaran. Dua spesies hewan yang berbeda dengan tingkat
metabolisme yang sama harus 'memilih' antara jaringan usus dan otak, mengingat keduanya
memiliki kebutuhan energi yang sangat tinggi. Diet herbivora membutuhkan usus yang sangat
besar untuk pencernaan, sehingga sistem yang mahal ini akan menjadi penghalang untuk
ensefalisasi tinggi.
Robert Martin (1996) memberikan penjelasan berbeda untuk mekanisme yang
memungkinkan peningkatan filogenetik ukuran otak. Menurut Martin, korelasi antara diet
karnivora dan ensefalisasi tinggi bertentangan dengan otak kecil pada kelelawar pemakan
serangga, yang ususnya relatif lebih kecil daripada kelelawar yang memakan buah-buahan. Otak
besar alternatif / usus kecil - otak kecil / usus besar, yang mendasari hipotesis Aiello dan
Wheeler, tampaknya tidak menjadi hukum umum. Namun, dalam semua keadilan, memang
benar bahwa sementara hipotesis jaringan mahal menetapkan bahwa jika usus besar, otak juga
tidak bisa besar, ia tidak mengatakan apa-apa tentang apa yang diharapkan dengan sistem
pencernaan pendek. Tetapi Martin (1996) menawarkan cara alternatif untuk membangun
hubungan antara sumber energi dan perkembangan otak, yang dikenal sebagai hipotesis energi
ibu. Hipotesis ini berpendapat bahwa pertumbuhan otak primata awalnya terjadi di dalam janin,
selama kehamilan, dan kemudian selama eksterogestasi dengan menyusui. Oleh karena itu,
sumber daya energetik yang tersedia untuk ibu saat hamil dan menyusui adalah variabel penting.
Seorang ibu dapat menghasilkan keturunan berotak besar dengan meningkatkan periode
kehamilan atau dengan meningkatkan laju metabolisme. Martin (1996, 2000) menggarisbawahi
risiko yang terlibat dalam membangun korelasi statistik dan menyimpulkan hubungan kausal dari
mereka ketika tingkat metabolisme, berat badan, massa otak, dan periode kehamilan
dibandingkan. Dia menyimpulkan bahwa hipotesis energi ibu dapat menjelaskan peningkatan
'pasif' dalam ensefalisasi. Ini dapat dicapai karena perubahan pola makan (seperti peningkatan
konsumsi daging) yang memungkinkan tingkat metabolisme yang lebih tinggi, atau karena
peningkatan periode kehamilan, atau karena keduanya. Namun, Martin juga mencatat
kemungkinan 'peningkatan aktif' dalam ukuran otak relatif karena tekanan selektif terhadap otak
yang lebih besar dan lebih kompleks.

2.3 Kekhasan Bahasa dan Kemampuan Intelektual Manusia


2.3.1 Kekhasan Bahasa
Dari penelitian-penelitian pada primata non-manusia ditemukan bahwa mereka
mempunyai sistem komunikasi vokal, namun sistem ini berbeda dengan bahasa manusia. Hocket
dan Ascher menyebut sistem komunikasi vokal pada primate non-manusia ini dengan call.
Diketahui bahwa gibbon, misalnya mempunyai enam macam call (Keraf, 1984:15-21), yaitu:
menandakan adanya makanan, menyatakan adanya bahaya, menyatakan persahabatan, tanda
orientasi—dimana seekor anggota kelompok berada agar tidak terpisah atau tersesat dari
kelompoknya, menyatakan perhatian seksual, dan menyatakan kebutuhan akan perlindungan.
Sistem call bersifat tertutup (closed system) dan eksklusif secara timbal balik (mutually
exclusive), yang berarti bahwa call tertentu tidak dapat berubah dan/atau dikombinasi. Padahal
bahasa bersifat terbuka (open system) atau produktif. Terbuka berarti bahwa kita dapat
mengucapkan dengan bebas sesuatu yang belum kita ucapkan sebelumnya dan maknanya dapat
dipahami dengan mudah.
Sistem call dan bahasa berbeda dalam tiga hal berikut ini:
Sistem Call Bahasa
Selalu terikat pada situasi konkrit. Memiliki kemungkinan pemindahan
(displacement), yang berarti bahwa kita dapat
berbicara mengenai benda/hal yang sedang
tidak hadir atau yang pernah terjadi dalam
waktu lampau atau yang akan terjadi pada
masa depan.
Tidak terdapat kekembaran pola (duality of Terdapat kekembaran pola (duality of
patterning. patterning) karena terdiri dari satuan-satuan
tanda (fonem) sebagai pemisah ujaran-ujaran
yang bermakna (morfem).
Memiliki sifat tetap. Mampu untuk dipelajari—dalam artian
mengubah kata, membentuk kata baru dan
sebagainya.

2.3.2 Kemampuan Intelektual Manusia


Manusia memiliki gambaran internal mengenai diri sendiri atau kesadaran diri (self-
awareness) tentang eksistensinya tercampur dengan perasaan kuat mengenai eksistensi dirinya
sendiri dalam perjalanan waktu. Self-awareness ini merupakan suatu dunia internal, suatu
gambaran integral, yang terbentuk berdasarkan bermacam-macam pengalaman pada masa
lampau dan yang dapat diproyeksikan sebagai gambaran ke masa depan (Jerison, 1973 kutipan
Aiello & Dean, 1991).
Konsep tentang dirinya (self) ini terbentuk berangsur-angsur mulai dari masa bayi
berdasarkan informasi dan pengalaman sensoris, yang disimpan dan diolah oleh cortex otak.
Sejak umur kanak-kanak atau pun sejak bayi manusia sanggup mengenali dirinya dalam cermin.
Kebanyakan binatang tidak sanggup mengenali dirinya, kecuali jenis primate Hominoidea, jenis
ikan paus dan ikan lumba-lumba (Cetanea). Konsep kesadaran terintegrasi ini sangat erat terkait
dengan kemampuan untuk berbahasa (Humphrey, 1986 kutipan Aiello & Dean, 1991).
Dunia internal manusia ini merupakan suatu proses perkembangan progresif, di mana
ingatan yang tak terputus terkombinasi dengan dorongan untuk mengenal lingkungan sekitar
serta masa depan. Inilah dasar kesanggupan untuk berbahasa (Popper & Eccles, 1977 kutipan
Aiello & Dean, 1991). Pengalaman ini sanggup kita/Manusia terjemahkan ke dalam simbol dan
kata (pengertian abstrak), yanhhhhhhhhhhhhhhg merupakan dasar dan kerangka bahasa. Walau
dibentuk oleh manusia berdasarkan pengalaman, sistem abstrak ini merupakan dunia yang
terpisah dari ego manusia sendiri. Karena itu, manusia mampu memanipulasi ide-ide secara
bebas dan terlepas dari realitas konkrit. Baik kesadaran ini maupun bahasa terkait dengan cortex
otak manusia (Aiello & Dean, 1991).
Dengan perkembangan bahasa manusia, berkembang pula kemampuan berimajinasi dan
berinvestasi, yang memungkinkan manusia menciptakan dunia internal yang abstrak. Humphrey
(humphrey adalah ahli neuropsikologi Inggris yang berbasis di Cambridge, yang dikenal karena
karyanya tentang evolusi kecerdasan dan kesadaran primata. )(1986) menyebut kesadaran khas
ini an inner eye, yang mempersilahkan (yang mana manusia dapat) manusia untuk “melihat”
merasakan , apa yang terjadi dalam otaknya sendiri. Hal ini merupakan dasar memprediksi
perasaan dan pikiran yang terjadi dalam otak orang lain. Kemampuan “membaca” pikiran orang
lain sangat menguntungkan evolusi interaksi sosial dalam kelompok hominid purba. Berkat
bahasa, komunikasi menjadi lebih cepat dan tepat.
Binatang memiliki perasaan, mereka bereaksi atas rangsangan (stimuli) dari luar dan
dalam organisme, namun sampai sekarang belum ada bukti sedikit pun bahwa binatang mampu
membentuk simbol, yang merupakan inti bahasa (Reynolds, 1976 kutipan Aiello & Dean. 1991).
Berpijak pada observasi primate non-manusia dewasa ini, Dunbar (1990 kutipan Aiello &
Dean, 1991) menekankan peran komunikasi sosial antara anggota kelompok. Komunikasi ini
sangat penting bagi organisasi dan harmoni dalam kelompok dan terdiri dari saling memberi
perhatian, saling mengurus dan seolah-olah saling bercanda. Dunbar mengaitkan perilaku ini
(dapat dikaikan perilaku) dengan perkembangan neocortex. Namun komunikasi sosial semacam
ini kelihatan terlalu sulit dalam kelompok besar. Maka terbentuk kebutuhan untuk berkomunikasi
lebih sempurna, yakni bahasa, yang dapat tercipta berkat pertambahan neocortex.
Daftar Pustaka

Aiello, L.C. 1997. Brains and Guts in Human Evolution : The Expensive Tissue Hypothesis.
Brazilian Journal of Genetics, 20.
Cela-Conde, Camilo J., et al. 2007. Human Evolution. New York : Oxford University Press.
Glinka, J., et al. 2009. Manusia Makhluk Sosial Biologis. Surabaya : Airlangga University Press.
Kaas, J.H. 2013. The Evolution Brain From Early Mammals to Humans. Wiley Interdisciplinary
Reviews : Cognitive Science, 4(1), 33-45.
Schoenemann, P.T. 2009. Evolution of Brain and Language. Language Learning, 59, 162-186.

Anda mungkin juga menyukai