Kelompok 5
1. Hani Elza Niken (071811733009)
2. Yemima Siwi Aji P. K. (071811733018)
3. Janet Christie N. (071811733019)
4. Carla Lien M. B. (071811733043)
5. Anisa Dyah Berlianti (071811733064)
6. Rizqi Kurnianingrum (071811733070)
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2020
Daftar Isi
Daftar Isi..........................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................................................4
Daftar Pustaka................................................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otak manusia mengalami perkembangan secara dari sekitar 2 juta hingga 300.000 tahun
yang lalu. Ini sekitar 5 kali lebih besar dari yang diharapkan bila dibandingkan dengan mamalia
rata-rata ukuran tubuh manusia, dan juga sekitar tiga kali lebih besar dari primata rata-rata
ukuran tubuh manusia (Schoenemann, 2009). Spesies fosil Lucy yang terkenal, Australopithecus
afarensis, memiliki tengkorak dengan volume internal antara 400 dan 550 mililiter, sedangkan
tengkorak simpanse memiliki sekitar 400 ml, dan gorila antara 500 dan 700 ml. Selama masa
ini, otak Australopithecine mulai menunjukkan perubahan halus dalam struktur dan bentuk
dibandingkan dengan kera. Sebagai contoh, neokorteks telah mulai berkembang, mengatur
kembali fungsinya dari pemrosesan visual ke daerah otak lainnya. Homo habilis, yang pertama
dari genus Homo yang muncul 1,9 juta tahun yang lalu, melihat lompatan kecil dalam ukuran
otak, termasuk perluasan bagian yang terhubung dengan bahasa pada lobus frontal yang disebut
daerah Broca. Tengkorak fosil pertama Homo erectus, 1,8 juta tahun yang lalu, memiliki otak
rata-rata sedikit lebih besar dari 600 ml. Dari sini, spesies memulai gerak maju lambat,
mencapai lebih dari 1.000 ml pada 500.000 tahun yang lalu. Homo Sapiens awal memiliki otak
dalam kisaran orang saat ini, rata-rata 1.200 ml atau lebih.
Peningkatan ukuran otak yang signifikan ini seharusnya merupakan adaptasi fungsional,
atau mereka akan dipilih, karena secara metabolik mahal untuk mempertahankan otak besar.
Satu unit jaringan otak dikatakan membutuhkan 22 kali jumlah energi metabolisme yang
dibutuhkan untuk unit jaringan otot yang sama (Aiello, 1997). Otak yang lebih besar juga
dikaitkan dengan periode pematangan yang lebih lama pada primata, yang mengarah ke lebih
sedikit keturunan per satuan waktu (Schoenemann, 2009).
Salah satu manfaat lain dari otak yang lebih besar adalah bagaimana hal itu dapat
menyebabkan lebih banyak area kortikal yang berbeda di otak (Kaas, 2013). Akibatnya, area
spesifik neokorteks, yang merupakan struktur otak yang terlibat dalam fungsi kognitif yang lebih
tinggi seperti bahasa, menjadi kurang terhubung satu sama lain, yang memungkinkan area
tersebut untuk melakukan tugas secara independen satu sama lain. Ini membawa lokalisasi
fungsional, yang mungkin telah berkontribusi pada pengembangan area bahasa pada manusia
(Schoenemann, 2009).
BAB II
PEMBAHASAN
Pada tahun 1861 Pierre Paul Broca menemukan daerah otak, yang merupakan pusat
motoris bicara, yaitu mengatur motorik lidah, rahang dan bibir. Daerah ini terletak dalam baga
dahi (lobus frontalis). Kerusakan atau gangguan dalam daerah Broca ini menyebabkan timbulnya
afasia, di mana orang sama sekali tak dapat berbicara atau berbicara sangat tidak jelas, karena
tidak sanggup berartikulasi; walau ia memahami bahasa lisan.
Pada tahun 1874 Carl Wernicke menemukan bagian otak lain yang terkait erat dengan
kemampuan berbicara. Pusat ini terletak dalam sebagian baga ubun-ubun (lobus parietalis) dan
sebagian baga pelipis (lobus temporalis). Kerusakan pada daerah Wernicke ini mengakibatkan
ketidakmampuan mengerti bahasa, baik lisan maupun visual/tertulis, dan sulit membentuk
kalimat. Pusat optis (di lobus occipitalis) tersambung dengan daerah Wernicke dan daerah ini
bersambungan dengan daerah Broca, sehingga di antara ketiga pusat ini terjadi kerja sama.
Nyatanya, daerah Wernicke merupakan pusat bukan hanya pengertian bahasa tetapi juga
koordinasinya (Aiello & Dean, 1991).
Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa proses pembentukan bahasa dalam
otak jauh lebih rumit daripada yang dilukiskan di atas. Ganglia pada telencphalon memainkan
peranan besar dalam pembentukan dan pengertian bahasa.
Daerah Broca hanya mampu mengatur fungsi motoris bicara dalam kerja sama dengan
ganglia ini. Oleh karenanya lebih baik bisa tidak menyebut area ini sebagai daerah Broca, tetapi
lingkaran atau circuit Broca— karena ada saling keterkaitan antara Daerah Broca dengan ganglia
tadi (Lieberman, 2007).
Daerah Broca terletak bersebelahan dengan pusat motoris cortex. Perintah dari daerah
Broca dikirim ke sentra motoris yang selanjutnya mengatur gerakan lidah, bibir dan rahang.
Salah satu saraf motoris yang penting untuk dapat berbicara adalah nervus hypoglossus, yang
keluar dari medulla oblongata dan lewat canalis hypoglossus, yang menembus condyli
occipitales, untuk sampai ke lidah. Gerakan lidah amat penting dalam artikulasi kata. Pada
primata Hominoidea, nervus hypoglossus berukuran agak kecil dibanding dengan pada manusia.
Dari situ ditarik kesimpulan bahwa mobilitas lidah bergantung pada jumlah saraf yang
menginervasinya.
2.2.1.3 Bukti Fosil : “Apakah Homo Erectus Sudah Dapat Berbicara?”
Berdasarkan besarnya otak, umumnya telah dapat diterima oleh para ahli bahwa Homo
Erectus (Pithecanthropus) adalah jenis manusia tertua yang pernah hidup di bumi. Menurut
bentuk endocastnya dapat diduga bahwa neocortexnya sudah agak luas.
Namun Homo Erectus, khususnya yang berasal dari masa geologis agak tua (Homo
Modjokertensis, 1,8 juta tahun yang lalu) memiliki dahi agak miring, karena itu daerah Broca
belum berkembang secara sempurna atau daerah ini sangat kecil. Dalam proses evolusi sampai
ke Homo Soloensis yang ditentukan sebagai berasal dari masa geologis paling muda (sekitar 200
ribu tahun yl.) volume otak bertambah besar dan bagian dahinya makin tegak, sehingga
kemungkinan besar daerah Broca telah lebih berkembang.
Pada umumnya agak sulit merekonstruksi bagian lunak rongga nasopharynx, larynx dan
mulut. Namun berdasarkan benjolan dan bekas letaknya otot pada bagian tulang dapat kita
perkirakan struktur bagian lunak juga. Australopithecus Africanus (Sts 5 dan MLD 37/38, TM
dari Kromdraai) serta Homo Erectus yang dideskripsi oleh Weidenreich (1943) memiliki
processus Eustachii mirip monyet. Ciri ini berbeda pada Paranthropus (dan manusia modern),
sehingga dapat diduga bahwa seluruh rongga nasopharynx-nya lebih luas; selain itu dasar
tengkorak berbentuk sudut mendekati bentuk manusia modern (Aiello & Dean, 1990).
Kay et al. (1998) mengukur canalis hypoglossus pada primata Hominoidea dan juga pada
fosil-fosil Australopithecinae, Homo Habilis, Homo Erectus, Homo Neandertalensis, Homo
Sapiens fossilis dan manusia dewasa ini. Ternyata ditemukan bahwa baru pada Homo
neandertalensis dan Homo sapiens canalis hypoglossus mencapai kelebaran seperti pada manusia
dewasa ini. Maka mereka menarik kesimpulan bahwa bahasa seperti yang dijumpai pada masa
kini baru muncul paling cepat sekitar 600.000 tahun yang lalu. Walaupun demikian, berdasarkan
hasil anatomi komparatif para ahli tidak sepakat apakah fosil hominid sanggup berbicara atau
tidak.
Laitman (1977), Laitman & Heimubuch (1982), dan Laitman et al. (1978, 1979, 1982),
misalnya, yakin bahwa meratanya dasar tengkorak pada sebagian besar hominid fosil belum
merupakan bukti yang cukup untuk mengatakan dengan pasti, bahwa mereka belum sanggup
berbicara, karena kita sulit dapat merekonstruksi dengan pasti saluran pernafasan fosil hominid.
Dean (1985) meragukan apakah fleksi pada dasar tengkorak Paranthropus merupakan bukti
cukup untuk mengatakan bahwa dia sanggup berbicara. Lieberman dan Celin (1971) berusaha
merekonstruksi saluran suara Homo neandertalensis dan membandingkannya dengan saluran
suara anak dan manusia dewasa.
Aiello, L.C. 1997. Brains and Guts in Human Evolution : The Expensive Tissue Hypothesis.
Brazilian Journal of Genetics, 20.
Cela-Conde, Camilo J., et al. 2007. Human Evolution. New York : Oxford University Press.
Glinka, J., et al. 2009. Manusia Makhluk Sosial Biologis. Surabaya : Airlangga University Press.
Kaas, J.H. 2013. The Evolution Brain From Early Mammals to Humans. Wiley Interdisciplinary
Reviews : Cognitive Science, 4(1), 33-45.
Schoenemann, P.T. 2009. Evolution of Brain and Language. Language Learning, 59, 162-186.