Anda di halaman 1dari 6

Kerabat Dan Bukan Kerabat (Antropologi Budaya) - Bruner, Oxford 1973

“Ada yang mengatakan bahwa bagi masyarakat primitif, orang-orang yang berada di luar
batas-batas kesukuannya, tidak dianggapnya termasuk umat manusia. Ucapan itu memang ada
dasarnya. Orang primitif menganggap semua orang di luar kelompoknya sebagai orang asing, yaitu
kotor atau orang kasar yang setengah manusia atau malahan dianggap sebagai bukan manusia: hewan
yang berbahaya atau hantu” (Levi Strauss 1996:166)
Masalah tersebut tidak terbatas pada dunia primitif saja. Kota-kota modern merupakan
contoh-contoh yang paling khas di mana manusia dan bermacam macam suku bangsa, golongan etnis
dan kategori sosial datang berkumpul dan pranata-pranata baru yang akan menjadi dasar dan tata
sosial dan huhungan antar manusia harus dibina.
Pusat-pusat kota modern lebih banyak bertumbuh karena imigrasi daripada karena
pertumbuhan penduduk secara alamiah: mereka yang berpindah ke kota-kota di Afrika, Asia, dan di
mana saja pada saat-saat pertama bingung karena harus menghadapi beraneka ragam manusia, yang
berbeda dari diri mereka sendiri, yang berbicara logat yang berlain-lainan, dan mempunyai adat-
istiadatnya yang kadang-kadang dianggapnya hampir tidak masuk akal.
Memang. konteks modern barangkali secara kebalikan dan yang primitif dapat didefinisikan
sebagai masyarakat yang meliputi begitu banyaknya jenis manusia yang berbeda-beda. Dunia primitif
selama ini secara kiasik dipandang sebagai hal yang dibatasi oleh saling pengertian bersama di mana
terdapat suatu konsepsi yang sudah menetap mengenai tata moral yang dibangun.  Akan tetapi dengan
meningkatnya mobilitas geografis dan semakin meningkatriya perjalanan antarbenua, dan serbuan dan
modernitas terhadap dunia sejagat maka cini khas dan konteks modern kini justru adalah percampuran
orang-orang yang memiliki konsep-konsep kebudayaan yang berbeda-beda. Para ahli antropologi kini
semakin meningkat perhatiannya kepada konteks modern.
Supaya dapat saling berhubungan mereka hanyalah perlu mengetahui secukupnya untuk dapat
kira-kira meramalkan perilaku orang lain akan tetapi setiap orang harus juga mempunyai sesuatu
sistem kategorisasi yang berarti haginya.  Dan perspektif semacam ini urbanisasi dapat dilihat sebagai
suatu proses bagaimana para imigran mengatasi masalah kebinekaan kehidupan kota.
Kertas kerja ini akan mencoha mempergunakan perspektif ini untuk memberi interpretasi
kepada data hasil studi lapangan yang dikumpulkan mengenai suku Batak Toha di Indonesia. Imigrasi
yang dilakukan orang Batak itu merupakan gejala yang umum yang contohnya bisa dijumpai di
kebanyakan kota Afrika dan juga di tempat lain di dunia, sehingga titik tolak yang digunakan dan
kesimpulan umum yang dapat dirumuskan juga relevan untuk tempat lain.. Orang Batak telah
berpindah meninggalkan suatu cakrawala di mana segala sesuatu hersifat “kampung-Batak”. Di situ
semua orang pada dasarnya sama sifatnya dan karena alasan pribadi atau karena alasan ekonomis
supaya dapat pindah dari kampung halamannya sendiri.
Di seluruh Tapanuli pada umumnya dapat dikatakan bahwa untuk kelompok keturunan
tertentu, dapat dipastikan daerah asalnya. Setiap satuan kerabat keturunan satu kakek (submarga)
tidak saja mendiami tempat yang telah tertentu, akan tetapi garis keturunan yang lebih besar seperti
marga-marga eksogam yang disebutkan juga memiliki daerah asal yang tertentu. Memang tidak
pernah kita secara pasti sekali dapat menentukan hubungan marga dan tempat asal, dan tidak mungkin
untuk menentukan desa asal seorang dengan memperhatikan nama marga saja, akan tetapi dengan
penelusuran cabang garis keturunan patrlineal dalam suatu marga atau kalau perlu, dengan
penyebutan nama kakeknya, kebanyakan orang Batak bisa menentukan tempat asal seseorang. Dalam
alam pikiran orang Batak keturunan dan kampung asal saling berkaitan dan menjadi komponen inti
dan sistem sosialnya.
Komponen inti lainnya adalah hubungan-hubungan karena perkawinan. Setiap perkawinan
orang Batak meletakkan dasar bagi hubungan yang permanen antara kelompok keturunan mempelai
wanita, yaitu kelompok pemberi isteri atau hula-hula, dan kelompok keturunan mempelai lelaki,
kelompok penerima isteri atau boru. Pemberi isteri mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan
secara sistematis pada berbagai upacara antara kedua kelompok itu tenjadi pertukaran uang, barang,
yang mempunyai nilai ekonomis maupun simbolis.
Kelahiran. perkawinan, dan kematian dan keturunan pasangan suami-isteri bersangkutan
adalah peristiwa-penistiwa yang paling penting untuk mengadakan upacara dan pertukaran benda
antara kelompok pembeni isteni dan kelompok penerima Isteri terjadi pada waktu itu. Kalau menurut
seorang Batak suatu perkawinannya berhasil, berdasarkan ukuran: banyaknya anak, kesehatan yang
baik, umur panjang, serta kemakmuran ekonomis, atau kalau sekiranya ada alasan pohtis untuk
melanjutkan hubungan antara kedua satuan kerabat itu, maka setiap usaha akan diadakan untuk
memperbarui hubungan perkawinan itu pada generasi berikutnya.
Semua orang Batak turut mencari dan memberi keterangan untuk menentukan hubungan
kekerabatan. kecuali mereka yang oleh masyarakat dikategorikan sebagai anak-anak, atau yang belum
dewasa, yang berarti mereka yang belum kawin. Tentu saja ada orang dewasa yang helum kawin: tapi
bila ditanyakan apakah mereka sudah kawin, jawabnya tentulah “belum”.  Bukannva ‘tidak”. selalu
masih ada kemungkinan untuk kawin, dan mereka secara sosiologis tetap dianggap sebagat anak-
anak. Hanya mereka yang telah kawin yang turut dalam upacara-upacara Batak. yang boleh turut
bicara dalam urusan-urusan keluarga, dan yang mempunyai hak menjadi anggota penuh dalam
organisasi-organisasi marga, yang telah bermunculan di kota-kota. Orang-orang muda yang belum
kawin. terutama mahasiswa, biasanya memakai nama kecilnya sehagai nama panggilan, dan
kebanyakan mereka sedikit sekali pengetahuannya tentang adat kekerabatan Batak, berhubung
peranannya juga kecil sekali dalam kegiatan kegiatan adat itu. Namun hampir semua mereka sadar
bahwa peranan mereka dalam masyarakat Batak akan sangat berubah setelah kawin, apalagi kalau
sudah mempunyai anak.
Di dunia dewasa di Tapanuli. semua orang adalah orang Batak dan anggota kerabat dan
walaupun ada perbedaan adat di tempat-tempat yang berlainan, namun gagasan dasarnya adalah sama
dan cara penggolongan kerabat bersifat seragam. Di Indonesia. dalam teorinya semua tanah adalah
milik pemerintah, akan tetapi dalam kenyataannya di Tapanuli dan di beherapa wiilayah lain yang
bersamaan sifatnya, tanah herada di bawah penguasaan kelompok turun temurun dan tidak dapat
dijual kepada orang luar. Tidak ada satu orang asing pun yang boleh membeli tanah di Tapanuli, dan
hanya dalam keadaan yang sangat istimewa seorang orang luar boleh bertempat tinggal di sana.
Tapi janganlah orang Batak desa disamakan dengan misalnya penduduk asli Australia, yang
menganggap orang bukan kerabat sebagai bukan manusia. Orang Batak sangat sadar bahwa banyak
manusia jenis lain lagi di dunia di luar Tapanuli. Mereka berdagang dengan orang-orang itu, mereka
sering bertemu dengan orang luar itu di perbatasan daerahnya mereka juga metierima pengaruh
kebudayaan luar. dan rupanya hubungani-hubungan itu telah herlangsung sejak lama.
Memang ada orang yang bukan Batak yang bertempat tinggal di kota-kota dagang yang kecil
dan di kota pusat pemenintahan setempat sepanjang jalan utama di dataran tinggi Tapanuli. Di kota-
kota Balige dan Tarutung ada juga beberapa toko Cina yang kecil. restoran-restoran Cina, dan
kadang-kadang misionaris Barat atau dokter misi; di kantor polisi, militer. dan kantor pemerintah
setempat selalu ada beberapa orang Indonesia dan golongan etnis lainnya seperti orang Jawa. Menado.
Kecuali pedagang Cina itu. orang lain itu biasanya hanya tinggal sementara di situ; jarang mereka
mempelajari bahasa Batak, dan mereka tidak mengintegrasikan din ke dalam masyarakat desa di
sekitarnya.
Alat komunikasi pertama adalah sekolah, mass media seperti surat kabar dan radio, cerita-
cerita orang tua dan kaum tua-tua di desa dan terutama berita dan kerabat yang tinggal di kota waktu
datang berkunjung. Hampir semua anak-anak di Tapanuli masuk sekolah dasar: selama tiga tahun
pertama bahasa pengantar adalah bahasa Batak dan kemudian dilanjutkan dengan bahasa Indonesia
selama 3 tahun terakhir. Menarik untuk membandingkan terna-tema yang dibicarakan dalam buku-
buku sekolah yang ditulis dalam bahasa Batak dan bahasa Indonesia.
Semua orang desa Batak sadar bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa terdiri dan golongan-
golongan etnis yang berbeda-beda (suku bangsa) yang masing-masing mempunyai daerah asalnya
sendiri di pulau tertentu, dan bahwa masing-masingnya memiliki adat-istiadatnya sendiri. Menurut
pandangan orang Tapanuli, golongan-golongan etnis dalam hangsa Indonesia itu dapat dibandingkan
derian kelompok-kelompok orang Batak Toba, berhuhung semua sama asal-usulnya dari sama tempat
asalnya, dan masing-masing memiliki logat dan adat yang berbeda (cf. Skinner, 1959)
Mengenai kebanyakan golongan etnis di Indonesia ada bebenapa stereotip yang umurnnya
ditenima. Pada umumnya, sikap utama orang-orang desa teradap orang lain adalah hati-hati dan
curiga. Orang Jawa halus, dan berhudaya. tapi tidak seorang pun yang tahu apa yang sesungguhnya
dipikirkannya. Tetangga-tetangga orang Batak Selatan, orang Minangkahau di Sumatra Tengah,
biasanya gampang memakai racun,dan orang Aceh di utara akan mencabut pisaunya bila mereka
diganggu. Di luar Tapanuli orang selalu harus berhati-hati, kemungkinan kena guna-guna mengintai
di mana-mana. Banyak pedagang-pedagang Batak, tentara, dan bahkan beherapa mahasiswa memakai
jimat untuk melindungi dirinya terhadap racun atau guna-guna. Seorang dewasa menceritakan
pengalamannya ketika dia waktu masih gadis belasan tahun dipukul oleh orang tuanya karena dalam
ketololannya mau menerima makanan dan suatu keluarga Jawa.

Konteks Kota

Data sensus terakhir mengenat pemerincian penduduk menurut suku bangsa kota Medan tidak
ada, tapi suku-suku yang terbesar adaah orang Batak Toba dan kelompok-kelompok suku Batak
lainnya seperti Mandailing. Angkola, Pakpak, Simelungun, dan Karo, orang Aceh, Minangkabau, dan
suku-suku lainnya dari Sumatra, orang Melayu asli. orang Jawa, dan orang Cina, dan India. Ada juga
beherapa orang Sunda, Madura, Menado, Ambon, Bugis, dan mungkin juga beberapa orang dan
ratusan golongan etnis hainnya di Indonesia. Wahaupun Medan muncul sebagat kota kolonial
Belanda, jumlah orang Barat tidak pernah besar di situ. Penduduk kota Medan keseluruhannya
tumbuh pesat dan 76.000 tahun 1930 menjadi setengah juta pada tahun 1960, dan ada petunjuk yang
cukup jelas bahwa tingkat pertuinbuhan penduduk tidak menurun pada tahun-tahun terakhir ini.
Orang Batak Toba dianggap sebagai pendatang-tidak-diundang yang agresif dan malahan
sering dianggap “penyerbu”, dan memang terdapat persaingan politis dan ekonomis di antara
golongan-golongan etnis di Medan. Walaupun di masa pemerintahan kolonial kebanyakan orang
Batak memasuki Medan sehagai pegawal (White-collar workers), terutama sebagai klerk* dan guru,
sekarang mereka menduduki hampir semua posisi sosiologis yang mungkin dicapai dan bisa dijumpai
di setiap tingkat stratifikasi. Orang Batak Toba kebanyakan beragama Kristen yang mempunyai
gerejanya sendiri, HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), dan kebaktian gereja dilangsungkan dalam
bahasa Batak Toba.
Ada hanyak cabang agama Kristen di Medan; dan bukan semua orang BatakToba menjadi
anggota HKBP; akan tetapi titik kontras yang terpenting adalah bahwa kebanyakan orang Indonesia
dan golongan etnis lainnya beragama Islam. Faktor-faktor tersebut turut berpengaruh waktu pertikaian
antaretnis pernah berlangsung di Medan dan kota-kota lainnya di Indonesia. Pernah terjadi pertikaian
sengit antara orang Batak dan orang Aceh, Minangkabau, dan orang Menado dalam jangka waktu
yang berbeda-beda. Kebanyakan orang Batak Toba di Medan tentu saja mempunyai hubungan yang
ramah dan bersahabat dengan mereka yang bukan orang Batak yang menjadi tetangganya, yang
dikenalnya di sekolah, di tempat kerja, di pasar; hampir setiap orang Indonesia berusaha untuk
mencapai harmoni kesukuan dan berusaha keras untuk menghindarkan perselisihan terbuka;
perkelahian antarsuku yang pernah terjadi itu sebenarnya hanya melibaikan beberapa gelintir orang
saja.
Namun, semua golongan sadar bahwa pertikaian terbuka telah terjadi di masa lalu dan hahwa
ada saja kemungkinan dapat terjadi lagi.  Cara-cara penyesuaian diri terhadap orang yang bukan Batak
seperti yang biasa diikuti di Tapanuli tidak lagi efektif di Medan. Sangat tidak realistis untuk mencoba
mengangkat semua orang asing di kota ke dalam marga dan dengan demikian memperluas sistem
Batak ke luar, karena kebanyakan orang lain tidak mau diangkat masuk ke dalam tatanan sosial Batak.
Mereka mempunyai adat-istiadatnya sendiri. Ada pedagang-pedagang Cina di dataran Tapanuli
sebagaimana di Medan, akan tetapi terdapat perbedaan yang hesar dalam perilaku mereka. Orang Cina
di Tapanuli sadar bahwa mereka berada di daerah asing. Mereka mencoba belajar bahasa Batak dan
menyesuaikan dirinya ke dalam kebudayaan setempat. Cara demikian menguntungkan usaha mereka.
Tapi di Medan, keadaan sebaliknya yang terjadi. yaitu orang Batak yang menyesuaikan dirinya
kepada orang Cina. Ada orang Batak Toba kelahiran Medan yang telah belajar bahasa Cina;
pengetahuan itu menguntungkan mereka dalam proses tawar-menawar waktu belanja sehari-hari.
Kebanyakan imigran Tapanuli, tentu tidak dalam waktu singkat, akan tetapi dalam jangka
waktu berbulan-bulan bahkan bentahun-tahun, akhir-akhirnya belajar juga bahwa di Medan mereka
tidak dapat mengikuti cara berlaku seperti di kampungnya. Desakan supaya mereka berubah bukan
saja datang dan warga golongan etnis lainnya, akan tetapi, bahkan lebih kuat lagi dan orang-orang
Batak Toba penghuni menetap yang sudah lama di Medan. Bila orang Jawa dan orang lainnya
digambarkan bersifat lebih halus, orang Batak dianggap mempunyai sifat sebaliknya yaitu kasar, dan
untuk dirinya sifat itu ditafsirkannya sebagai keras tetapi juga terus terang dan terbuka, dan malahan
dia bangga ditandai dengan sifat-sifat itu. Tapi di Medan dan lebih-lebih di kota-kota di Jawa, dia
semakin menyadari bahwa kasar ditafsirkan orang sebagai tidak mengenal cara bergaul sopan dan
tidak berbudaya. Pengetahuan tentang cara berlaku yang tepat terhadap kelompok lainnya di
Medan,biasanya mereka peroleh secara berangsur-angsur dan prosesnya cukup lama.
Orang Batak kota yang paling modern pun mulai dengan polarisasi dasar yang sama yang
membagikan orang jadi dua bagian, dengan perhedaan yaitu telah ada cukup pengenalannya untuk
lebih memperhalus pembagian orang yang bukan Batak ke dalam bermacam-macam golongan. Dalam
perspektif kertas kerja ini, menjadi orang kota (urban) bisa disamakan dengan atau diukur dan sampai
berapa jauh seseorang dapat menggolongkan orang yang bukan Batak dalam kategoni-kategori yang
lebih halus.
Sebenarnya pertanyaan yang timbul dalam setiap pergaulan adalah bagaimana persisnya
seorang dapat membedakan seorang Batak dan yang bukan Batak dan lebih jauh lagi, bagammana
seorang dapat membedakan satu suku bangsa dan suku lamnnya di Indonesia. Masalah yang utama
adatah bahwa identifikasi etnis  adalah informasi yang relevan bagi semua orang Indonesia. dan
penting sekali bahwa pembedaan itu dilakukan secara tepat. Penampilan merupakan suatu petunjuk.
Jenis warna kulit, bentuk rambut, raut muka dan gaya menggerakkan tubuh memungkinkan sebagian
orang untuk menentukan suku bangsa orang bersangkutan.
Orang Batak memakai nama marganya, dan ini pasti merupakan cara yang positif untuk
menentukan. Orang Jawa dan golongan etnis lainnya juga merniliki nama-nama yang gampang
diketahui ciri khasnya. Gaya berbahasa Indonesia merupakan indikasi lainnya untuk menentukan
daerah asal seseorang. Ada lelucon etpis mengenai gaya bahasa Indonesia orang Batak atau orang
Jawa, dan ada orang yang mampu meniru cara berbahasa Indonesia dan suku-suku yang beragam-
ragam pula caranya dan hal demikian menjadi bahan tertawaan bagi banyak orang.
Menentukan golongan etnis seseorang dengan tepat bukanlah demi perasaan menyenangkan
atau demi sopan santun di Medan. Identifikasi demikian menjadi suatu keharusan ekonomis dan
politis. Terutama dalam keadaan di mana mungkin saja terjadi sengketa atau persaingan, kadang-
kadang men jadi suatu keharusan untuk mengetahui suku bangsa dan orang yang dihadapi. Seorang
perigusaha perlu menentukan sampai ke batas mana dia bisa memaksakan suatu proses tawar-
menawar. Seorang pria remaja harus tahu kapan dia harus mundur bila ditantang dalam suatu
pertemuan di lingkungan orang bertetangga. Dalam situasi semacam ini dan dalam situasi lainnya
masalah suku bangsa merupakan dasar pertama untuk mengatur strategi seseorang, yaitu didasarkan
pada perkiraan tentang apa yang bisa disebut sebagai batas-batas etnis, suatu perhitungan mengenai
batas maksimal yang dapat diusahakan.

Kesimpulan

Dalam kertas kerja ini telah kami berikan uraian singkat tentang beberapa persepsi orang
Batak Tapanuli yang berpindah ke Medan. Kategori dan stereotip tentang golongan etnis lainnya yang
diperoleh di desa tidak memperlengkapi mereka dengan tepat untuk menghadapi orang-orang kota
yang begitu beragam  dan heterogen. Pertentangan yang paling dasar dalam hubungan interpersonal
yang dibagi dalam dua bagian adalah antara orang Batak dan yang bukan Batak Bila pengalaman
kehidupan kota semakin meningkat dengan berlakunya waktu yang lebih lama maka terjadilah
perluasan skop kategorisasi tentang orang lain yang bukan orang Batak. Proses perluasan dalam
kategorisasi itu tidaklah seragam dalam semua sektor penduduk kota; untuk sebagian orang hal
tersehut berlangsung cepat dan luas, sedangkan untuk orang lainnya proses itu berlangsung sangat
minimal, tergantung dan posisi seseorang secara struktural dan kecenderungan pribadi.
Hipotesa penulis adalah bahwa di Indonesia mempertentangkan antara Batak dan bukan Batak
mempunyai relevansi yang lebih umum yaitu bahwa pembedaan yang serupa juga dibuat oleh
golongan-golongan yang etnis lain. Di Jawa Barat, yang dipertentangkan adalah orang Sunda dan
bukan Sunda, dan di Padang antara Minangkabau dan bukan Minangkabau. Hipotesa ini mendalilkan
bahwa pembedaan yang pertama-tama dibuat dalam hubungan antarpribadi di Indonesia adalah atas
dasar kesukuan (Brunner, 1973).

Anda mungkin juga menyukai