Anda di halaman 1dari 10

118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)

VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129


JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

MENYOROTI BUDAYA PATRIARKI DI INDONESIA

Oleh:
Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah Siti A.2
1

1. Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran)


2. Departemen Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran
Email:
(sakinaade@gmail.com dan dessyhasanenoch@gmail.com)

Abstrak

Sampai saat ini budaya patriarki masih langgeng berkembang di tatanan masyarakat Indonesia.
Budaya ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek dan ruang lingkup, seperti ekonomi, pendidikan,
politik, hingga hukum sekalipun. Akibatnya, muncul berbagai masalah sosial yang membelenggu
kebebasan perempuan dan melanggar hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh perempuan. Meskipun
Indonesia adalah negara hukum, namun kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu
mengakomodasi berbagai permasalahan sosial tersebut. Penyebabnya masih klasik, karena ranah
perempuan masih dianggap terlalu domestik. Sehingga penegakan hukum pun masih cukup lemah
dan tidak adil gender. Oleh karena itu, peran pekerja sosial sangat dibutuhkan pada situasi ini agar
penyelesaian masalah bisa cepat dilakukan. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan
mengumpulkan data melalui studi pustaka, yaitu buku dan jurnal. Hasilnya menunjukkan keterkaitan
antara budaya patriarki dan berbagai permasalahan sosial serta realitas sosial yang terjadi di
masyarakat Indonesia.
Kata kunci: Patriarki, Gender, Perempuan, Penegakan Hukum

Abstract

Uptonow, patriarchy culture still exist in Indonesian society. This culture can be found in any aspects,
such as economy, education, politic, even law. As a result, many social problems come up that
restrain ZRPHQ¶V freedom and violate ZRPHQ¶VULJKW $OWKRXJK ,QGRQHVLD LV D ODZ country, but in the
fact the law itself can not accommodate any of those socia lproblems. It becauses the ZRPHQ¶V
problems are considered just the domestic ones. This makes law enforcement still in undercontrol
and gender injustice. So that is why, the role of social workers is really needed, in order to help
solving the problems.This article is using qualitative research method and collecting datas through
literarure review, such as book and journal. The result shows a link between patriarchy cultureand
any of social problems also social reality that happens in Indonesian society.
Keywords: Patriarchy, Gender, Women, Law Enforcement.

71
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

Pendahuluan misalnya, pada zaman Vedic 1500 SM,


perempuan tidak mendapat harta warisan dari
Menurut Alfian Rokhmansyah(2013)
suami atau keluarga yang meninggal. Dalam
di bukunya yang berjudul Pengantar Gender
tradisi masyarakat Buddha pada tahun 1500
dan Feminisme, patriarki berasal dari kata
SM, perempuan dinikahkan sebelum mencapai
patriarkat, berarti struktur yang menempatkan
usia puberitas. Mereka tidak memperoleh
peran laki-laki sebagai penguasa tunggal,
pendidikan, sehingga sebagian besar menjadi
sentral, dan segala-galanya. Sistem patriarki
buta huruf. Dalam hukum agama Yahudi,
yang mendominasi kebudayaan masyarakat
wanita dianggap inferior, najis, dan sumber
menyebabkan adanya kesenjangan dan
polusi. Dengan alasan tersebut, perempuan
ketidakadilan gender yang mempengaruhi
dilarang menghadiri upacara keagamaan, dan
hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia.
hanya diperbolehkan berada di rumah
Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol
peribadatan. Begitu pula di Indonesia, pada era
utama di dalam masyarakat, sedangkan
penjajahan Belanda maupun Jepang,
perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh
perempuan dijadikan sebagai budak seks bagi
atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada
tentara-tentara asing yang sedang bertugas di
wilayah-wilayah umum dalam masyarakat,
Indonesia. Serta terdapat peraturan yang
baik secara ekonomi, sosial, politik, dan
melarang perempuan mengenyam pendidikan,
psikologi, bahkan termasuk di dalamnya
kecuali mereka berasal dari kalangan priyayi
institusi pernikahan. Hal ini menyebabkan
atau bangsawan. (ConventionWatch, 2007)
perempuan diletakkan pada posisi subordinat
atau inferior. Pembatasan-pembatasan peran Praktik budaya patriarki masih
perempuan oleh budaya patriarki membuat berlangsung hingga saat ini, ditengah berbagai
perempuan menjadi terbelenggu dan gerakan feminis dan aktivis perempuan yang
mendapatkan perlakuan diskriminasi. gencar menyuarakan serta menegakkan hak
Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan. Praktik ini terlihat pada aktivitas
perempuan ini menjadi salah satu hambatan domestik, ekonomi, politik, dan budaya.
struktural yang menyebabkan individu dalam Sehingga hasil dari praktik tersebut
masyarakat tidak memiliki akses yang sama. menyebabkan berbagai masalah sosial di
Selain itu, produk dari kebijakan pemerintah Indonesia²seperti merujuk pada definisi
yang selama ini tidak sensitif terhadap masalah sosial dari buku karangan Soetomo,
kebutuhan perempuan telah membuat masalah sosial adalah suatu kondisi yang tidak
perempuan sering kali menjadi korban dari diingingkan terjadi oleh sebagai besar dari
kebijakan tersebut. Lemahnya perlindungan warga masyarakat² yaitu Kekerasan Dalam
hukum terhadap kaum perempuan, secara tidak Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual,
langsung juga telah menempatkan angka pernikahan dini, dan stigma mengenai
posisiperempuan menjadi perceraian. Dilihat melalui pendekatan
termarjinalisasikan.Aspek historis dan budaya masalahnya, dampak dari budaya patriarki di
menempatkan perempuan sebagai pihak yang Indonesia masuk ke dalam system blame
ditundukkan melalui hubungan kekuasaan approach, yaitu permasalahan yang
bersifat patriarkat, baik secara personal diakibatkan oleh sistem yang berjalan tidak
maupun melalui pengaturan negara.45 sesuai dengan keinginan atau harapan.
Sejak masa lampau, budaya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),
pelecehan seksual, angka pernikahan dini, dan
masyarakat di dunia telah menempatkan laki-
laki pada hierarki teratas, sedangkan stigma mengenai perceraian terjadi karena
perempuan menjadi kelas nomor dua. Ini sistem budaya yang memiliki kecenderungan
terlihat padapraktekmasyarakat Hindu untuk memperbolehkan itu terjadi serta sistem

45

http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66158/pot
ongan/S2-2013-306599-chapter1.pdf

72
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

penegakan hukum yang berlaku di Indonesia Dominasi dari pihak laki-laki sangat
juga membiarkan kasus diatas terjadi secara terlihat pada bagian ini karena budaya patriarki
terus menerus. tadi yang menciptakan sebuah konstruksi
sosial bahwa perempuan adalah pihak yang
Artikel ini menjelaskan tentang
lemah dan bisa disakiti, baik hati atau fisiknya.
bagaimana pengaruh budaya patriarkiyang
Dalam relasinya dengan laki-laki, pemaknaan
dialami perempuan di Indonesia pada masalah
sosial dari perbedaan biologis tersebut
sosial tersebut serta peran pekerja sosial
menyebabkan memantapnya mitos, streotipe,
didalamnya.. Data yang tersajididapatkan
aturan, praktik yang merendahkan perempuan
melalui studi pustaka dari berbagai buku dan
dan memudahkan terjadinya kekerasan.
jurnal.
Kekerasan dapat berlangsung dalam keluarga
dan relasi personal, bisa pula di tempat kerja
Contoh Masalah Sosial Akibat Belenggu atau melalui praktik-praktik budaya. 46Laporan
Budaya Patriarki kasus KDRT pun tidak semuanya terungkap
karena sebagian besar korban tidak berani
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga untuk membuka suara kepada pihak berwajib,
(KDRT) serta penyebab lain yang terjadi adalah
Seperti yang dilansir dari kompasiana.com, sebagian besar pihak perempuan merupakan
Komnas Perempuan mendokumentasikan ibu rumah tangga dan tidak memiliki
259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan penghasilan, sehingga apabila ia melaporkan
terjadi sepanjang tahun 2016, dengan rincian suaminya ke pihak berwajib maka ada
sebanyak 245.548 kasus diperoleh dari 358 kekhawatiran jika ia dan anak-anaknya akan
Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang kehilangan seseorang untuk memberikan
ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan nafkah.
layanan.Data ini tersebar ke 34 provinsi di Potret budaya bangsa Indonesia yang
Indonesia. masih patriarki sangat tidak menguntungkan
Berbagai kasus kekerasan dalam rumah posisi perempuan korban kekerasan.
tangga tidak lepas dari masih ajegnya budaya Seringkali perempuan korban kekerasan
patriarki yang masih melekat sebagai pola disalahkan (atau ikut disalahkan) atas
pikir hingga menjadi faktor penyebab. kekerasan yang dilakukan pelaku (laki-laki).
Termasuk juga memberi legitimasi pada Misalnya, isteri korban KDRT oleh suaminya
tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki disalahkan dengan anggapan bahwa KDRT
kepada pasangannya. Budaya patriarki yang yang dilakukan suami korban adalah akibat
memberikan pengaruh bahwa laki-laki itu perlakuannya yang salah kepada suaminya.
lebih kuat dan berkuasa daripada perempuan, Stigma korban terkait perlakuan (atau
sehingga istri memiliki keterbatasan dalam pelayanan) kepada suami ini telah
menentukan pilihan atau keinginan dan menempatkan korban seolah seburuk pelaku
memiliki kecenderungan untuk menuruti kejahatan itu sendiri. (Kania:2015)
semua keinginan suami, bahkan keinginan
yang buruk sekalipun. Terdapat sebuah realitas
sosial yang kerap terjadi di masyarakat apabila 2. Kasus Pelecehan Seksual
kekerasan Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan
³EROHK VDMD´ GLODNXNDQ DSDELOD LVWUL WLGDN Tahunan (Catahu) tahun 2016 dengan temuan
menuruti keinginan suami. terdapat 16.217 kasus pelecehan seksual yang
berhasil didokumentasikan.

46
Jauhariyah, W. (2017, Juli 14). Jurnal http://www.jurnalperempuan.org/blog2/-akar-
Perempuan Online. Retrieved from Akar kekerasan-seksual-terhadap-perempuan
Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan:

73
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

Budaya patriarki memposisikan laki- Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan
laki sebagai pihak yang gagah dan cenderung Indonesia di bawah umur 15 tahun sudah
memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun menikah dan putus sekolah. Jumlah ini
terhadap perempuan. Ini yang menyebabkan diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta
tingginya angka pelecehan seksual di orang di tahun 2030. Dari banyak kasus yang
Indonesia. Budaya ini juga memberikan berhasil dihimpun oleh Komnas Perempuan,
konstruksi dan pola pikir apabila laki-laki hampir 50% pernikahan dini dilakukan antara
berkaitan erat dengan ego maskulinitas perempuan berusia dibawah 18 tahun dengan
sementara femininitas sendiri diabaikan dan laki-laki berusia diatas 30 tahun dan terjadi
dianggap sebagai sesuatu yang lemah. dibawah tekanan atau paksaan.
Masyarakat seperti membiarkan jika ada laki-
Terdapat pengaruh dari budaya
laki bersiul dan menggoda kaum perempuan patriarki dan konstruksi sosial yang dibentuk
yang melintas di jalan, tindakan mereka oleh masyarakat mengenai pernikahan dini,
seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan seperti perempuan adalah penerima nafkah dan
wajar sebab sebagai laki-laki, mereka harus hanya berkecimpung di sektor domestik.
berani menghadapi perempuan, laki-laki Implikasinya adalah kebebasan mereka benar-
dianggap sebagai kaum penggoda sementara benar dibatasi dengan status seorang istri,
kaum hawa adalah objek atau makhluk yang seperti misalnya mereka tidak diberi
pantas digoda dan tubuh perempuan dijadikan kesempatan untuk meneruskan pendidikan
sebab dari tindakan kekerasan itu sendiri. hingga ke jenjang yang lebih tinggi atau
Terdapat pula yang disebut dengan mengembangkan bakat serta kemampuan yang
victimblaming, atau suatu kondisi dimana mereka miliki. Sebagian besar dari mereka
pihak korban yang justru menjadi objek atau berstatus sebagai ibu rumah tangga dan
sasaran kesalahan dari sebuah kejadian. Pada cenderung tidak produktif sama sekali.
kasus pelecehan seksual, perempuan justru Pekerjaan mereka hanya berkutat di mencuci,
menjadi pihak yang disalahkan, entah itu memasak, menyapu, dan membersihkan
berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah rumah. Di buku Dinamika Gender dan
laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi Pengelolaan Kekayaan Alam karangan
yang tidak menempatkan laki-laki sebagai E.Linda Yuliani dijelaskan bahwa budaya
pelakuf. Dasar dari justifikasi tersebut adalah patriarki yang masih terjadi di masyarakat
merupakan sesuatu yang normal untuk laki- membuat posisi perempuan menjadi terpojok
laki melakukan pelecehan seksual karena dalam kasus pernikahan dini. Mereka tidak
mereka memiliki libido atau syahwat yang memiliki kebebasan untuk melakukan
tinggi, letak permasalahannya justru terdapat penolakan karena di beberapa adat, perempuan
GL SHUHPSXDQ \DQJ ³PHQXUXW PRUDOLWDV yang menolak untuk dinikahi adalah
PDV\DUDNDW´ WLGDN ELVD PHQMDJD GLULQ\D perempuan yang hina dan tidak tahu diri.
dengan baik atau terhormat. Para korban pun Maka, meskipun realitas sosial yang terjadi
akhirnya diberi label oleh lingkungan sosial bahwa banyak dari mereka yang belum siap
dengan label yang jelek atau bahkan hina. secara mental untuk menikah, namun
sayangnya fakta tersebut masih diabaikan.

3. Angka Pernikahan Dini


4. Stigma Mengenai Perceraian
Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender
dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun Badan Kependudukan dan Keluarga
2015, angka pernikahan dini di Indonesia Berencana Nasional (BKKBN) tiga tahun
peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. merilis data bahwa angka perceraian di
Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia
dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun Pasifik dengan jumlah terlapor sebanyak
2015, angka pernikahan dini di Indonesia 212.400 kasus perceraian dan 75% pihak
peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. penggugat datang dari pihak perempuan.

74
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

Perceraian merupakan hal paling tidak kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam
diimpikan oleh setiap pasangan suami-istri, realitas sosial mereka.
terlebih bagi kaum perempuan. Budaya Pensubordinasian terhadap perempuan
patriarki memberi kesan negatif kepada janda dianggap telah menjadi sesuatu yang struktural
daripada duda. Kaum janda seringkali dan digambarkan sebagai sebuah budaya
ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang patriarki. Di negara Indonesia sendiri,
rendah, lemah, tidak berdaya dan memperlihatkan mengenai kedudukan seorang
membutuhkan belas kasih, sehingga dalam laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
kondisi sosial budaya seringkali Sejarah nasional pun menguak sebuah fakta
terjadiketidakadilan dan diskriminasi, dimana kaum perempuan tidak diperbolehkan
termasuk pada stigma. Perempuan menjadi
untuk menempuh pendidikan (kecuali
objek yang disalahkan atas terjadinya sebuah perempuan tersebut berasal dari kalangan
perceraian. Beberapa persepsi muncul pada priyayi atau bangsawan), apalagi memiliki
kasus perceraian, bahwa kesalahan terdapat sebuah profesi diluar rumah atau ikut
pada perempuan yang tidak mau bersabar berpartisipasi dalam birokrasi. Maka, muncul
sedikit menjaga keutuhan rumah tangganya. gerakan dari seorang bangswan kelahiran
Padahal persoalan perceraian tidak lepas dari Jepara, R.A Kartini yang memperjuangkan
kedua belah pihak. Bukan hal yang asing lagi emansipasi perempuan di bidang pendidikan.
DSDELOD WHUGDSDW FHORWHKDQ VHSHUWL ³SDQWDV LD
GLFHUDLNDQ ROHK VXDPLQ\D LD WHUODOX FHUHZHW´ Sebagaimana yang telah digambakan
DWDX ³2K LD FHUDL GHQJDQ VXDPLQ\D 3DQWDV LWX sejarah bahwa perempuan adalah kaum yang
terjadi karena suaminya sudah tidak tahan termarginalkan, paradigma terus terhegomoni
GHQJDQ LVWULQ\D \DQJ VDQJDW SHQGLDP´ hingga sekarang sehingga perempuan selalu
Padahal menyandang status sebagai seorang dianggap kaum lemah dan tidak berdaya.
janda bukan perkara mudah bagi seorang Inilah faktanya bahwa seberapa kuat gerakan
perempuan, sebab status tersebut feminisme di Indonesia namun budaya
memunculkan trauma yang berkepanjangan, patriarki yang sudah dipegang erat oleh
bahkan banyak perempuan disalahkan atas masyarakat Indonesia susah untuk
kondisi yang demikian. dihilangkan. Walaupun perempuan saat ini
sudah dapat menempuh pendidikan dengan
bebas namun kembali lagi jika sudah berumah
Kritik Feminis dan Gender tangga harus dapat membagi peran,
sebenarnya bias gender seperti ini muncul
Setiap manusia dilahirkan dengan hak
karena kontruksi masyarakat itu sendiri.
yang sama, baik laki-laki maupun perempuan.
Oleh karena itu, seharunya mereka memiliki
akses yang sama dalam hal memperoleh
Telaah Kritis Hukum Indonesia mengenai
pekerjaan, penddidikan, mengambil
Perempuan.
keputusan, bergabung dalam politik, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, terjadi ketimpangan Stagnansi sistem hukum Indonesia
gender akibat dari masih kentalnya pandangan tidak berpihak pada kepentingan dan
dalam budaya masyarakat kita terhadap laki- perlindungan perempuan. Implementasi UU
laki dan perempuan. Hakikat keadilan dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
kesetaraangender memang tidak bisa Tangga (PKDRT) belum sesuai dengan filosofi
dilepaskan dari konteks yang selama ini lahirnya UU tersebut.47 Hal tersebut nampak
dipahami oleh masyarakat tentang peranan dalam kasus kriminalisasi perempuan korban

47
Irianto, S. (2006). Perempuan & Hukum.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

75
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

KDRT. Situasi ini merupakan indikasi yang sering tidak tersentuh hukum. Ketika ada
lemahnya pemahaman institusi penegak pelaporan KDRT kepada pihak yang berwajib,
hukum terhadap hak-hak korban dan maka biasanya cukup dijawab dengan cara
kurangnya analisa gender dalam penggunaan kekeluargaan. Sebelum keluarnya
UU PKDRT. Berdasarkan data dari UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Informasi Perempuan, aparat Penegak Hukum Tangga (PKDRT), korban tidak mendapat
(APH) belum mengutamakan kepentingan perlindungan hukum yang memadai.
korban. Sehingga akses keadilan bagi korban Pada tataran lain, kelemahan dalam
terhambat bahkan korban kehilangan hak- proses penyelidikan dan penyidikan oleh
haknya untuk mendapatkan perlindungan
kepolisian menyangkut laporan korban,
sebagaimana tertera dalam Pasal 10 UU
dimana korban tidak langsung melapor atau
PKDRT. Kondisi tersebut berimplikasi pada
kurangnya bukti terhadap kasus. Akibat
tingkat kekerasan terhadap korban. 12 persen
lemahnya bukti atau keterlambatan laporan
dari kasus yang melaporkan secara pidana
kepada pihak kepolisian, menyebabkan korban
mengalami kekerasan berlapis, diikuti dengan
pelecehan seksual pun kehilangan hak untuk
impunitas terhadap pelaku.Kendala lain yang menuntut balas pada pelaku.Banyak kasus
menghambat perempuan korban mencari yang dilaporkan sebagai perkosaan oleh
keadilan diantaranya pemahaman APH terkait korban dianggap oleh kepolisian tidak
jumlah saksi dalam UU PKDRT dan memenuhi unsur-unsur perkosaan dalam
pemahaman definisi korban; sulitnya .8+3 \DNQL ³XQVXU SDNVDDQ´ \DQJ KDUXV
menerobos birokrasi penegakan hukum;
dibuktikan secara fisik. Padahal dalam
penolakan APH terhadap laporan korban pengalaman perempuan, paksaan tidak mesti
dengan wilayah hukum berbeda; Aparat secara fisik, cukup dengan adanya tekanan
Penegak Hukum masih banyak yang menolak yang dilakukan oleh seorang yang memiliki
untuk mengeluarkan Penetapan Perlindungan pengaruh atau pihak yang dominan dalam
sementara terhadap korban; Belum ada relasi yang tidak setara membuat korban tidak
putusan hakim yang menjatuhkan sanksi berdaya. Paksaan secara psikis seperti ini
terberat sebagaimana diatur dalam pasal 50 justru sangat membekas dan menimbulkan
UU PKDRT. 48Kendala ini menambah beban trauma yang mendalam di diri korban.49 Selain
bagi korban, karena membebankan korban itu, menurut data Komisi Nasional
dengan keterbatasannya harus menghadirkan Perlindungan Anak, setiap tahun rata-rata
saksi, alat bukti lain, membayar visum, hanya 5% dari seluruh kasus hukum terkait
mencari perlindungan secara mandiri, kekerasan seksual pada anak yang mendapat
membuktikan dirinya sebagai korban. hukuman maksimal sesuai UU Nomor 35
Bahkan pada awalnya Kekerasan Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yakni
dalam rumah tangga (KDRT) tidaklah 15 tahun penjara.50
dianggap sebagai pelanggaran hak asasi
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
perempuan. Letaknya pada ranah domestik
Dasar 1945, yang menjelaskan adanya
menjadikan KDRT sebagai jenis kejahatan

48 49
sejuk.org. (2014, Januari 24). Tegakkan Hukum
Kalyanamitra.or.id. (2016, Januari 19). Lemahnya
Penegakan Hukum Kasus-kasus Kekerasan terhadap terhadap Kasus-kasus Kekerasan Seksual! Retrieved
Perempuan dan Meningkatnya Kriminalisasi dan from Sejuk Website: http://sejuk.org/2014/01/24/tuntut-
Reviktimisasi Perempuan. Retrieved from Kalyanamitra penegakan-hukum-kasus-kasus-kekerasan-seksual/
Online: 50
http://www.kalyanamitra.or.id/2012/01/lemahnya- mediaIndonesia.org. (2016, Mei 14). Proses Hukum
penegakan-hukum-kasus-kasus-kekerasan-terhadap- Kejahatan Seksual Lemah. Retrieved from Media
perempuan-dan-meningkatnya-kriminalisasi-dan- Indonesia Web site:
reviktimisasi-perempuan/ http://mediaindonesia.com/news/read/45278/proses-
hukum-kejahatan-seksual-lemah/2016-05-14

76
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi penuntutan di pengadilan serta memberikan


seluruh warga negara tanpa kecuali. Prinsip bimbingan secara objektif. Pekerja sosial juga
persamaan ini menghapuskan diskriminasi, melakukan kerja sama atau negoisasi dengan
karenanya setiap warga negara mempunyai pihak lain agar kasus yang menimpa para klien
hak yang sama di hadapan hukum dan dapat diusut dengan seadil mungkin.
pemerintahan tanpa memandang agama, suku, 2. Negotiator
jenis kelamin, kedudukan, dan golongan.Ini
artinya secara yuridis, dalam tataran Pekerja sosial menjadi wakil dari kliendalam
internasional maupun nasional, Instrumen menyuarakan hak nya dan berdiskusi dengan
hukum dan peraturan perundang-undangan pihak-pihak lain yang dapat memberikan
Indonesia mengakui tentang adanya prinsip bantuan, misalkan pekerja sosial menjadi
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. wakil di dalam diskusi tentang penanganan
Namun, dalam tataran implementasi kasus KDRT dengan lembaga KOMNAS
penyelenggaraan bernegara, diskriminasi dan PEREMPUAN. Di dalam diskusi tersebut,
ketidakadilan terhadap kaum perempuan pekerja sosial menjelaskan kondisi korban
masih tetap ada. Bahkan mereka kerap dengan jelas dan apa saja kerugian yang
tertinggal dan termarjinalkan dalam bidang mereka alami.
ekonomi, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, 3. Koordinator
maupun dalam bidang politik.
Pekerja sosial menjadi koordinator di dalam
Peraturan perundang-undangan harus proses memberikan bantuan atau pelayanan
diikuti dengan adanya penegakan hukum yang terhadap klien. Dalam hal ini juga, pekerja
sensitif gender serta yang tidak kalah sosial memberikan arahan kepada berbagai
pentingannya adalah perubahan budaya pihak untuk bekerja sama dalam
patriarki yang cenderung diskriminatif memperjuangkan kepentingan
terhadap perempuan. Untuk mengubah nilai korban.Misalkan, pekerja sosial membentuk
budaya tertentu bukanlah hal yang mudah, sebuah tim yang memiliki tujuan untuk
bahkan tidak dapat dilakukan dengan paksaan mencegah terjadinya pernikahan dini, maka
hukum. Cara yang lebih tepat adalah dengan pekerja sosial tersebut membagi peran serta
merevitalisasi nilai budaya itu sendiri dan tugas kepada setiap individu di dalam tim,
merefleksikan pengakuan terhadap hak-hak mulai dari yang berperan untuk melakukan
perempuan sehingga dapat dengan mudah proses identifikasi s.d selesai.
diterima oleh masyarakat pada umumnya.
4. Perantara
Pekerja sosial menghubungkan klien dengan
Peran Pekerja Sosial. pihak yang berpotensi untuk memberikan
Menurut Soejono Soekanto (1999), peran bantuan atau layanan. Pekerja sosial juga yang
merupakan sebuah konsep yang dapat mempertemukan kedua pihak tersebut untuk
dilakukan individu dalam sebuah masyarakat mengidentifikasi masalah apa yang terjadi dan
sebagai sebuah organisasi. Peran juga meliputi bersama-sama mencari penyelesaiannya.
norma-norma yang dihubungkan dengan posisi 5. Enabler (pemungkin)
atau tempat seseorang dalam masyarakat.
Dalam menghadapi berbagai isu yang Pekerja sosial membantu klien dalam
merupakan dampak dari budaya patriarki, mengidentifikasi permasalahannya dengan
pekerja sosial memiliki beberapa peran, yaitu: jelas, serta kembali menemukan potensi yang
mereka miliki setelah semua permasalahaan
1. Advokator atau kejadian traumatik yang terjadi. Misalkan,
Pekerja sosial membantu memberikan pekerja sosial memfasilitasi klien korban
perlindungan hukum kepada klien. Cara yang KDRT untuk kembali menemukan semangat
dilakukan adalah dengan mendampingi korban hidup melalui kegiatan atau aktivitas yang
pada tingkat penyidikan, pemeriksaan, dan menyenangkan.

77
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

6. Konselor budaya patriarki tersebut melalui cara-cara


yang tersistematis dengan baik.
Pekerja sosial memberikan bimbingan
psikologis kepada klien dengan melakukan
active listening dan memfasilitasi klien dalam
membicarakan mengenai masalahnya. Lalu,
pekerja sosial juga memberikan empati kepada DAFTAR PUSTAKA
klien melalui pemberian dukungan secara
moriil. Misalkan, pekerja sosial mendengarkan
cerita dari perempuan yang menjadi bulan- Bridges, K. M. (2013). Factors Contributing to
bulanan masyarakat karena baru bercerai Juvenile Delinquency. Journal of
dengan suaminya dengan seksama dan sabar.
Criminal Law and Criminology.

Kesimpulan dan Penutup Burfeind, J., & Bartusch, D. J. (2006). The


Data dalam artikel ini memperlihatkan Study of Juvenile Delinquency. In J.
bahwa banyak masalah sosial yang memiliki
akar penyebab yang sama, yakni langgengnya Burfeind, & D. J. Bartusch, Juvenile
budaya patriarki. Perjuangan melawan budaya Delinquency: An Integrated Approach
patriarki yang menjadikan perempuan sebagai
objek yang lemah telah dilakukan sekitar satu (2nd ed., pp. 10-11). London: Jones
abad yang lalu oleh Raden Ajeng Kartini, and Bartlett Publisher International.
hingga sekarang tentunya telah terjadi banyak
perubahan secara substansi, struktur, maupun Carroll, A., Houghton, S., Durkin, K., &
kultur mengenai perjuangan perempuan.
Meskipun tidak mudah untuk mengubah Hattie, J. A. (2009). Adolescent
kebijakan yang bias gender dengan konstruksi Reputations and Risk. New York:
yang lebih adil gender dan ramah perempuan,
namun hal itu harus tetap diupayakan. Springer.
Perjuangan tersebut harus harus diikuti secara
simultan dengan advokasi untuk mendukung CB Magazine. (2014, July 21). Alumni SMAN
terjadinya perubahan sikap dan prilaku secara
struktural maupun kultural yang adil gender. 5 dan SMAN 20 Bandung Tawuran.

Substansi bias gender tidak akan Retrieved Maret 24, 2017, from cb-
mungkin berubah menjadi adil gender, apabila magazine.blogspot.co.id: http://cb-
secara struktural penyelenggara negara tidak
sensitif terhadap gender dan masalah mengenai magazine.blogspot.co.id/2014/07/alum
perempuan itu sendiri dan masyarakat masih ni-sman-5-dan-sman-20-bandung.html
melanggengkan konstruksi sosial yang tidak
adil gender di masyarakatnya. Perjuangan Curtis, A. C. (2015). Defining Adolescence.
perempuan dalam mengakhiri sistem yang
tidak adil (ketidakadilan gender) bukan hanya Journal of Adolescence and Family
sekadar perjuangan perempuan melawan laki- Heatlh, 7(2).
laki, melainkan perjuangan melawan sistem
dan struktur ketidakadilan masyarakat serta
budaya patriarki yang memiliki stigma negatif. detikNews. (2013, Februari 19). Duh, Pelajar

Serta tentunya sebagai pihak di Jabar Tertinggi Pengguna Narkoba.


profesional, pekerja sosial memiliki Retrieved Maret 24, 2017, from
kewenangan dalam membantu mengatasi
berbagai hal yang terjadi akibat dari pengaruh news.detik.com:

78
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

http://news.detik.com/jawabarat/2173 Welfare. London: SAGE Publication


861/duh-pelajar-di-jabar-tertinggi- Inc.
pengguna-narkoba
Payne, M. (2014). Modern Social Work
Doel, M. (2006). Using Groupwork. Madison Theory. Chicago, Illionis: Lyceum
Ave New York: Routledge. Book, Inc.

Ferguson, E. A. (1963). Social Work an Poulin, J. (2005). Strenghts-Based Generalist


Introduction. Philadelphia & New Practice: A Collaborative Approach
York: Skidmore College J. B second edition. Belmont USA:
Lippincott Company. Thompson Books/Cole.

Hardina, D., ., Middleton, J., Montana, S., & Pujileksono, S. (2016). Perundang-undangan
Simpson, R. (2007). An Empowering Sosial dan Pekerjaan Sosial:
Approach to Managing Social Service Perspektif Pemenuhan Keadilan &
Organizations. New York: Springer Kesejahteraaan Sosial Masyarakat.
Publishing Company. Malang-Jawa Timur: Setara Press.

Kim, H.-S., & Kim, H.-S. (2008). Juvenile Rumini, S. (1997). Psikologi Pendidikan.
Delinquency and Youth Crime. New Yogyakarta: UPP IKIP Yogyakarta.
York: Nova Science Publisher.
Selignman, M. E., & Csikszentmihalyi, M.
Kompas.com. (2016, Desember 29). Ini 11 (2000). Positive Psychology. American
Jenis Kejahatan yang Menonjol Psychologist, 55 no 1.
Selama 2016. Retrieved Maret 24,
Shoemaker, D. J. (2013). JUVENILE
2017, from megapolitan.kompas.com:
DELINQUENCY. The Journal of
http://megapolitan.kompas.com/read/2
Academic Social Science Studies, 578-
016/12/29/17470511/ini.11.jenis.kejah
588.
atan.yang.menonjol.selama.2016
Shulman, L. (1991). Interactional Social Work
Lall, M., & Sharma, S. (2009). Personal
Practice: toward an empirical theory.
Growth & Traning & Development.
Itasca Illinois: Peacock publisher, inc.
New Delhi: Excel Books.
Siegel, L. J., & Welsh, B. C. (2013). Juvenile
Midgley, J. (1995). Social Development - The
Delinquency: The Core (4th ed.). New
Developmental Perspective In Social
York: Cengage Learning.

79
118SHARE: SOCIAL WORK ISSN:2339 -0042 (p)
VOLUME: 7 NOMOR: 1 HALAMAN: 1 - 129
JURNAL ISSN: 2528-1577 (e)

Supriadi, Y. (2015, Agustus 14). Sepuluh Ribu


Anak Kini Berhadapan Dengan
Hukum. Retrieved Maret 24, 2017,
from www.pikiran-rakyat.com:
http://www.pikiran-
rakyat.com/bandung-
raya/2015/08/04/337054/sepuluh-ribu-
anak-kini-berhadapan-dengan-hukum

Suryanto, A. (n.d.). Juvenile Delinquency in


Indonesia. Retrieved April 7, 2017,
from drianyanto.wordpress.com:
https://drianyanto.wordpress.com/201
1/03/21/juvenile-delinquency-in-
indonesia/

Zamrozik, A. (2009). Social Policy In The


Post-Welfare State. australia.

Zastrow, C. (1987). Social Work with Groups.


Chicago: Nelson-Hall Publisher .

Zastrow, C. (1995). The Practice of Social


Work fifth edition. Pasific Grove
California: Brooks/Cole Publishing
Company.

80

Anda mungkin juga menyukai