Anda di halaman 1dari 35

Assalamu alaikum wr,wb

Dalam kesempatan kami dari kelompok 5 akan mengkaji tentang hukum


stratifikasi sosial di mana Sangat antusias dalam mengkaji perihal tersebut
maka dari itu kami siap untuk membahas dalam persentasi yang di saksikan
peserta dalam forum ini dan kami berharap dalam pembahasan ini kami mampu
menemukan pengetahuan yang jauh lebih luas dari sebelumnya karna kami
memahami bahwa pembahasan yang di lakukan lewat banyaknya pandangan
hukum mengenai stratifikasi sosial di mana dalam hukum ini perlu pengkajian
yang mendalam tentang sosial itu sendiri di mana dalam hal ini melalui hasil
pengkajian yang kami lakukan bersama tim kelompok ini. Pandangan ini
mungkin akan menghasilkan landasan pandangan yang baru, semoga kedapan
lewat kesempatan ini kami mendapatkan hal yang akan memperluas khasanah
pengetahuan hukum kita bersama, karna pahaman kami mencakup tentang
kebenaran yang bisa datang dari mana saja termasuk dari pendapat dan
argumen saudara-saudara sekalian, kami berharap sudara-saudara sekalian
mampu berdiskusi dengan kami dengan landasan yang berbeda-beda demi
mendapatkan kebenaran yang seutuhnya dalampembahasan kali ini.

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................... i


Daftar Isi .... ii
Nama - nama aggota kelompok . 1
Hasil diskusi .. 2
Pembahasan. 3
Hukum Dan Stratifikasi Sosial.... 3
1. Stratifikasi Sosial 3
2. Hukum Dan Gejala Sosial . 9
3. Hukum Sebagai Variabel Kuantitatif 10
4. Struktur Sosial Dan Hukum . 12
4. 1 Fungsi Struktur Sosial .. 13
5. Hubungan Kaidah-Kaidah Sosial Dan Hukum ... 14
6. Hubungan antara Lembaga-Lembaga Sosial dan Hukum ... 16
7. Pengaruh Stratifikasi Sosial Terhadap Fungsi Hukum ... 18
8. Kenyataan Penegak Hukum Dalam Stratifikasi Sosial 23
9. Solusi Pada Masalah Hukum Bertemu Dengan Stratifikasi Sosial . 28
Kesimpulan .. 31
Daftar Pustaka .. 33

2
NAMA NAMA ANGGOTA KELOMPOK

1.

2.

3.

4.

5.

6.

HASIL DISKUSI

2
PEMBAHASAN

HUKUM DAN STRATIFIKASI SOSIAL

2
1. STRATIFIKASI SOSIAL
Selama ini dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dihargai, setiap
masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, maka barang sesuatu
itu akan menjadi bibit yang akan dapat menumbuhkan adanya sistem yang
berlapis-lapis atau stratifikasi sosial dalam masyarakat tersebut. Stratifikasi
sosial tersebut dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat
ke dalam kelas-kelas secara hierarkis (Soerjono & Mustafa, 1982: 197).
Misalnya, masyarakat Gowa yang terbagi atas kasta-kasta atau DIY (atau
tempat-tempat lainnya) ada orang-orang kaya, setengah kaya, dan miskin.
Stratifikasi sosial merupakan aspek vertikal dari kehidupan sosial dimana
terjadi distribusi yang tidak seimbang dari sandang, pangan, tanah, bahan-bahan
mentah, dan seterusnya sehingga adakalanya stratifikasi sosial diidentikkan
dengan ketidak seimbangan kekayaan materiil.
Setiap masayrakat memiliki penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu
dalam masyarakatnya. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu
akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi. Kalau suatu
masyarakat lebih menghargai kekayaan materi daripada kehormatan, misalnya
mereka yang lebih banyak mempunyai kekayaan meteri akan menempati
kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain.
Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat yang merupakan pembedaan
posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda
secara vertikal (Dikutip dari buku M. Solly Lubis, Sistem Nasional, Mandar
Maju, Bandung, 2002, halaman 1.).

2
Masyarakat merupakan suatu kesatuan yang didasarkan ikatan-ikatan yang
sudah teratur dan boleh dikatakan stabil. Sehubungan dengan itu maka dengan
sendirinya masyarakat merupakan kesatuan dalam pembentukannya
mempunyai gejala yang sama.
Seorang Filsuf bangsa Yunani yaitu Aristoteles mengatakan, bahwa di
dalam tiap-tiap negara terdapat 3 unsur lapisan masyarakat, yaitu mereka yang
kaya sekali, mereka yang berada di tengah-tengahnya dan mereka yang melarat.
Ucapan Aristoteles ini membuktikan bahwa terjadinya lapisan-lapisan dalam
masyarakat telah ada sejak atau bahkan diduga bahwa zaman sebelumnya telah
diakui adanya tingkatan atau lapisan-lapisan di dalam msayarakat.
Pitirm A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul Socias
Stratification mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu
meruapakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup
teratur. Jadi yang diamkasud dengan stratifikasi sosial (Social Stratification)
adalah stratification berasal dari Stratum (jamaknya strata yang berarti lapisan).
Menurut Pitirm A. Sorokin, bahwa Social Stratification adalah perbedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas-kelas secara bertingkat.
(Soejono Soekanto, 1982: 227)
Menurut Robert MZ. Lawang (Teori social klasik dan modern), Pelapisan
sosial merupakan penggolongan orang-orang dalam suatu sistem sosial tertentu
secara hierarki menurut dimensi kekuasaan, privelese, dan prestise. Sedangkan
menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore, menyatakan bahwa tak ada
masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali tanpa kelas, menurut

2
pandangan mereka, stratifikasi adalah keharusan fungsional (George Ritzer-
Douglas J.Goodman 2008).
Stratifikasi sosial terjadi karena ada sesuatu yang dihargai dalam
masyarakat, misalnya harta, kekayaan, ilmu pengetahuan, kesalehan, keturunan,
dan lain sebagainya. Stratifikasi sosail akan selalu ada selama dalam
masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai (Selo Soermardjan/ Http://
sosionamche. Blogspot. Com.).
Stratifikasi sosial akan menimbulkan kelas sosial, dimana setiap anggota
masyarakat akan menempati kelas sosial sesuai dengan kriteri yang mereka
miliki. Kelas sosial adalah golongan yang terbentuk karena adanya perbedaan
kedudukan tinggi dan rendah, dan karena adanya rasa segolongan dalam kelas
tersebut masing-masing, sehingga kelas yang satu dapat dibedakan dari kelas
yang lain (Hasan Sadili, hukum-dan-stratifikasi-sosial-suatu.html).
Dasar dan inti dari lapisan-lapisan yang terdapat dalam masyarakat itu
adalah ketidakseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban serta
tanggung jawab terhadap nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota
masyarakat. Pada masyarakat yang kebudayaannya masih sederhana lapisan
masyarakat pada mulanya hanya berkisar pada perbedaan antara yang
memimpin dengan yang dipimpin. Kemudian ketika masyarakat sudah
berkembang sedemikian rupa, maka lapisan-lapisan dalam masyarakat itu
memasuki ke sektor lain, misalnya status seseorang karena ia kaya, mempunyai
kepandaian tertentu sehingga ia di tokohkan dalam kelompoknya. Akibat dari
stratifikasi sosial ini adalah timbulnya kelas-kelas sosial tertentu dalam
masyarakat yang dihargai oleh masyarakat tersebut, sebaliknya ada juga

2
masyarakat yang tidak menghargai lapisan-lapisan tersebut karena mereka
menganggap sesuatu yang dimiliki oleh seseorang tidak mempunyai nilai yang
berarti baginya.
Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu yang dapat dihargainya, maka
hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-
lapis dalam masyarakat itu. Barang sesuatu yang dihargai itu mungkin juga
keturunan dari keluarga yang terhormat. Bagi masyarakat yang tidak
mempunyai sesuatu yang berharga dari hal tersebut itu, ada kemungkinan
masyarakat lain memandang sebagai masyarakat dengan kedudukan yang
rendah. Sesuatu yang berharga dan tidak berharga ini akan membentuk lapisan
masyarakat, yaitu adanya masyarakat lapisan atas, lapisan bawah yang
jumlahnya ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Lapisan dalam masyarakat
ini selalu ada yang jumlahnya banyak sekali dan berbeda-beda, sekalipun dalam
masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan sebagainya. Lapisan masyarakat
itu ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama dalam organisasi
sosial. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi
sesuatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan dalam masyarakat.
Terjadinya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat adakalanya terbentuk
dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu seperti tingkat
umur, kepandaian, dan kekayaan. Adapula yang sengaja disusun untuk
mengejar suatu tujuan bersama, hal ini biasanya berkaitan dengan pembagian
kekuasaan dan wewenang resmi dalam organisasi-organisasi formal seperti
pemerintahan, perusahaan, partai politik angkatan bersenjata atau perkumpulan
(Abdul Manan, 2006: 79-80). Dari kelompok-kelompok sosial inilah dapat

2
dimulainya perbuatan yang berasal dari persamaan dan perbedaan dalam cara
pandang terhadap suatu peristiwa, keadaan, situasi, dan lingkungan tempat
mereka tinggal yang memengaruhi kehidupan mereka dan keadaan ini pula
yang dapat memengaruhi adanya suatu perubahan produk hukum.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Soerjono Soekanto,
1999: 216) ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolongkan
anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan adalah pertama: ukuran kekayaan
atau kebendaan, siapa yang memiliki kekayaan atau kebendaan yang paling
banyak mempunyai peluang untuk memasuki ke dalam lapisan yang paling
atas, misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah, mobil, gaya hidup yang
dimiliki seseorang,kedua: ukuran kehormatan, biasanya ukuran ini terlepas dari
ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati
akan mendapat tempat teratas dalam kelompoknya dan ukuran seperti ini dapat
ditemukan pada kelompok masyarakat tradisional, ketiga: ukuran kekuasaan,
barang siapa yang memiliki kekuasaan atau mempunyai wewenang yang besar,
ia akan menempati lapisan yang teratas, keempat: ukuran ilmu pengetahuan,
dalam kriteria ini ilmu pengetahuan menjadi ukuran utama untuk menempatkan
seseorang pada lapisan yang tertinggi. Tentang hal ini sekarang sudah
mempunyai banyak menimbulkan efek negatif, sebab ternyata bukan mutu ilmu
pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi ukuran kesarjanaannya,
padahal orang tersebut tidak mempunyai kepintaran sesuai dengan kesarjanaan
yang dimilikinya, karena memperolehnya tidak melalui prosedur normal yang
ditentukan.

2
Ukuran tersebut di atas tidaklah bersifat limitatife, sebab masih banyak
ukuran lain yang dapat dijadikan kriteria dan ukuran dalam menentukan
lapisan-lapisan dalam masyarakat. Akan tetapi ukuran dan kriteria yang disebut
disini merupakan ukuran dan kriteria paling menonjol dalam lahirnya lapisan-
lapisan dalam kehidupan dalam masyarakat. Selain dari pada itu, ada faktor lain
yang juga menentukan dalam mewujudkan sistem berlapis-lapis dalam
kehidupan masyarakat yaitu kedudukan (status) dan peranan (role). Kedua hal
ini mempunyai arti penting dalam sistem sosial masyarakat karena kedua hal
tersebut merupakan pola yang mengatur hubungan timbal balik antara individu-
individu tersebut supaya tidak saling bertabrakan satu dengan yang lain. Dalam
kaitan hubungan timbal balik ini, kedudukan dan peran harus dapat berfungsi
secara baik karena langgengnya kehidupan masyarakat itu harus ada
keseimbangan antara kepentingan-kepentingan individu yang tumbuh dalam
masyarakat. Agar hal ini dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan hukum
yang mengaturnya dan oleh karena itu jika hukum yang lama itu sudah tidak
sesuai lagi dengan kondisi masa tersebut maka harus diadakan pembaruan
dengan kondisi zaman.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dinamika dalam stratifikasi
sosial ditandai dengan adanya lapisan-lapisan kehidupan masyarakat yang tidak
statis. Setiap kelompok masyarakat pasti mengalami perkembangan dan
perubahan, yang membedakannya adalah dalam cara perubahan itu, yaitu ada
yang perubahan itu terjadi sangat lambat dan ada pula perubahannya yang
sangat cepat, ada yang direncanakan dan ada pula yang tidak di rencanakan, ada
pula perubahan itu di kehendaki dan ada pula yang tidak dikehendaki. Pada

2
umumnya perubahan itu terjadi sebagai akibat pengaruh reformasi dari pola-
pola yang ada dalam kelompok sosial yang sudah mapan. Perubahan sebagai
akibat dari pengaruh luar pada umumnya berupa perubahan keadaan dimana
kelompok masyarakat itu tinggal. (Al Fitri, Aspek Pengubah Hukum dari
Perspektif Sosial Budaya).
Jadi, dari uaraian di atas dapat dikatakan bahwa stratifikasi sosial adalah
pelapisan atau tingkatan secara vertikal yang ada dalam masyarakat yang
terkadang disebebkan oleh faktor ekonomi, kekuasaan dan pengetahuan yang
dimiliki oleh masyarakat tersebut.

2. HUKUM DAN GEJALA SOSIAL


(Zainuddin Ali, 2010: 58)
Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa rule of law berarti persamaan
di hadapan hukum, yaittu setiap warga negara harus tunduk kepada hukum.
Demikian pengertian yang dapat dipahami dari suatu negara hukum. Namun
demikian, terhadap kecenderungan keterkaitan antara hukum dengan gejala-
gejala social, dalam hal ini stratifikasi social yang terdapat pada setiap
masyarakat. Tujuann kajiannya tidak lain hanya untuk mengidentifikasi fakta,
yang mungkin ada manfaaatnya di dalam pelaksanaan penegakan hukum yang
saat ini banyak dipersoalkan oleh masyarakat di Indonesia, terutama
masyarakat yang mendiami wilayah perkotaan. Kasus- kasus semacam ini dapat
di ungkapakan, miasalnya peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan
Universitas Tadulako oleh oknum aparat keamanan ketika melakukan aksi

2
demonstrasi atas porotes terhadap situasi kondisi perekonomian negara,
Dwifungsi ABRI dan semacamnya, baik di Jakarta, Makasar, dan Palu.
Terhadap kasus penembakan tersebut, muncul pertanyaan mengapa oknum
aparat POLRI dan/ atau TNI melakukan penembakan terhadap Mahasiswa?
Mungkin akan dapat diungkapkan latar belakang sosialnya, sehingga kita
semua akan lebih mengerti mengapa peristiwa- peristiw tersebut terjadi di
negara hukum yang berdasarkan Pancasila.
Selama ini memang terjadi banyak peristiwa yang agaknya mengejutkan,
datangnya sedemikian bertubu- tubi, sehingga kelihatan bahwa mekanisme
hukum memeng kurang efektif; seolah- olah telah terjadi anarki di dalam
kesibukan penegakan hukum. Untuk praktisnya, di dalam tulisan ini hukum
diartikan sebgai aturan yang ditetapkan oleh penguasa. Peraturan- peraturan
tadi dapat bersifat umum dan dapat juga bersifat khusus dari sudut ruang
lingkup norma- normanya. Hal itu kemudian dihubungkan dengan stratifikasi
social, oleh karena masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Jadi,
hukum di sini diartikan sebagai suatu jenis social control yang diterapkan oleh
penguasa.

3. HUKUM SEBAGAI VARIABEL KUANTITATIF


Suatu variable adalah karakteristik dari suatu gejalah yang berubah- ubah,
tergantung dari situasi atau kondisi di mana keadaan tersebut berada atau
terjadi. Ada suatu pendapat dalam sosiologi yang melihat hukum sebagai suatu
variable kuantitatif, oleh karena menurut situasi dan kondisi, hukum dapat
bertambah atau bahkan berkurang di dalam perwujudannya. Suatu pengaduan

2
di kantor polisi misalnya, adalah peristiwa hukum apabila dibandingkan dengan
suatu kantor polisi yang sama sekali tidak ada pengaduan semacam itu.
(Zainuddin Ali, 2010: 58)
Secara kuantitatif terjadi lebih banyak proses hukum apabila frekuensi
gugatan pada suatu pengadilan negeri adalah tinggi, bila dibandingkan pada
suatu keadaan pengadilan yang sama sekali kurang terjadi gugatan- gugatan.
Kalau penguasa pada suatu masa mengeluarkan lebih banyak peraturan tertulis
daripada masa lain, maka terdapat lebih banyak hukum.
Hal di atas ditemukan melalui pendekatan sosiologis sebagai salah satu
dasar perikelakuan yang nyata ataupun fakta yang terlihat. Hal ini mungkin
berarti pada suatu ketika jenis- jenis social control lainnya lebih menonjol
peranannya daripada hukum. Sebab, integrasi dan keteraturan dalam
masyarakat tidak hanya di sebabkan oleh adanya hukum, akan tetapi justru
mungkin karena adanya jenis- jenis social control lain, seperti kaidah- kaidah
kesusilaan, sopan santun dan seterusnya. Maka adakalanya para sosiolog
bertitik tolak pada hipotesis, bahwa bertambahnya hukum adalah sesuai dengan
berkurangnya jenis- jenis social control lainnya; atau berkurangnya hukum
adalah sejalan dengan bertambahnaya jenis- jenis control social selain
hukum. (Zainuddin Ali, 2010: 59)
Social Control biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang
direncanakan maupun tidak , yang bersifat, mendidik, mengajar, atau bahkan
memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi sistem kaedah-kaedah dan
nilai-nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin sesudah
pemidanaan, konpensasi, terapi maupun konsiliasi. Perwujudan social control

2
tersebut di atas tidaklah berdiri sendiri dalam wujud-wujudnya yang murni akan
tetapi murni merupakan kombinasi antara berbagai alternatif. Di Indonesia,
misalnya dikenal delik-delik aduan, yang tergantung pada inisiatif korban. Di
dalam kenyataannya masing-masing wujud tersebut akan menonjol pada
situasi-situasi tertentu yang merupakan refleksi keadaan masyarakat. (Soerjono
dan Mustafa, 1982: 195)

4. STRUKTUR SOSIAL DAN HUKUM


Struktur sosial secara harfiah, struktur bisa diartikan sebagai susuanan atau
bentuk. Struktur tidak harus dalam bentuk fisik, ada pula struktur yang
berkaitan dengan sosial. Menurut ilmu sosiologi, struktur sosial adalah tatanan
atau susunan sosial yang membentuk keompok-kelompok sosial dalam
masyarakat. Susunannya bisa vertikal atau horizontal. George Simmel
merumuskan bahwa struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola
perilakunya. Soerjono Soekanto, struktur sosial adalah hubungan timbal balik
antara posisi-posisi dan peranan-peranan sosial. (http://datarental.blogspot.com)
Struktur sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Muncul pada kelompok masyarakat
Struktur sosial hanya bisa muncul pada individu-individu yang memiliki status
dan peran. Status dan peranan masing-masing individu hanya bisa terbaca
ketika mereka berada dalam suatu kelompok atau masyarakat. Status yang
berbeda itu merupakan pencerminan hak dan kewajiban yang berbeda-beda.
2. Berkaitan erat dengan kebudayaan.

2
Kelompok masyarakat lama kelamaan akan membentuk suatu kebudayaan dan
memiliki struktur sosialnya sendiri.
4. 1 Fungsi Struktur Sosial
1. Fungsi Identitas
Struktur sosial berfungsi sebagai penegas identitas yang dimiliki oleh sebuah
kelompok. Kelompok yang memiliki kesamaan dalam latar belakang ras, sosial
dan budaya akan mengembangkan struktur sosialnya sendiri sebagai pembeda
dari kelompok lain.
2. Fungsi Kontrol,
Dalam kehidupan bermasyarakat, selalu muncul kecenderungan dalam diri
individu untuk melanggar norma, nilai, atau peraturan lain yang berlaku dalam
masyarakat. Jika individu tadi mengingat peranan dan status yang dimilikinya
berada dalam struktur sosial, kemungkinan individu tersebut akan
mengurungkan niatnya melanggar aturan karena pelanggaran aturan akan
berpotensi menimbulkan konsekuensi yang pahit.
3. Fungsi Pembelajaran
Individu belajar dari struktur sosial yang ada dalam masyarakatnya. Hal ini
dimungkinkan mengingat masyarakat merupakan salah satu tempat
berinteraksi. Banyak hal yang dapat dipelajari dari sebuah struktur sosial
masyarakat, dimulai dari sikap, kebiasaan, kepercayaan, dan kedisiplinan.
(Sabian Utsman, 2010: 165-181)

Struktur ataupun dinamika sosial tidaklah terlepas dari interaksi dan


sebagai dasar dari interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang

2
dianamis menyangkut antara hubungan orang perorangan atau diri pribadi (my
self), antara kelompok dengan kelompok, atau antara orang perorangan atau diri
pribadi dengan kelompok manusia lainnya. Adapun pokok bahasan dalam
struktur sosial dan hukum paling tidak ada tiga hal yang senyatanya hidup dan
berproses dalam interaksinya di masyarkat, yaitu :
1. Hubungan antara kaidah-kaidah sosial dengan hukum.
2. Hubungan antara lembaga-lembaga sosial dengan hukum
3. Hubungan antara lapisan-lapisan sosial dengan hukum.

5. Hubungan Kaidah-Kaidah Sosial dan Hukum


Dalam proses kehidupan tentang manusia menemui pengalaman yang
memengaruhi latar kehidupannya terutama bagaimana cara untuk bertahan
hidup atau memenuhi kebutuhan pokok dalam kehidupannya (primary needs)
paling tidak antara lain: sandang, pangan, papan, keselamatan jiwa dan harta,
harga diri, potensi untuk berkembang, serta kasih sayang.
Sistem nilai yang senyatanya hidup di masyarakat adalah berpengaruh
terhadap pola- pola berpikir manusia sehingga dengan modal primer pola- pola
berpikir tersebut menjadi pedoman mental. Kemudian pola- pola pikir manusia
memengaruhi tingkah laku yang pada akhirnya berproses membentuk kaidah-
kaidah social.
Secara sosiologis adalah sangat lumrah atau wajar dalam proses kehidupan
dalam masyarakat terjadinya beberapa perbedaan yaitu antara kaidah- kaidah
hukum dengan peri-kelakuan social (social behavior) yang senyatanya terjadi
di masyarakat. Terjadinya perbedaan itu lebih disebabkan karena kaidah hukum

2
hanyalah konsepsi sebagai patokan tentang apa- apa tindakan dan atau perilaku
social yang dicita- citakan sehingga merupakan abstraksi sebagai wujud dari
pola- pola dan atau variable-variable perilaku dan atau tindakan social yang
akan terjadi.
Setiap masyarakat memang memerlukan system pengendalain social
(mechanism of social control), yaitu suatu proses yang di rencanakan agar
masyarakat selalu berada dalam situasi tertib. Dari banyak macam pengendalian
social, sudah barang tentu tidak semuanya termasuk dalam kaidah- kaidah
hukum, kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah apa yang membedakan
kaidah hokum dengan kaidah- kaidah lainnya.
Dalam hal system hukum, sebagai pokok atau inti dari suatu system
hukum adalah sangat terletak pada kesatuan antara primary rules dan
secondary rules H. L. A. Hert dalam Qomariah (2002) bahwasanya inti dari
suatu system hokum terletak pada kesatuan aturan- aturan utama (primary
rules) dan aturan- aturan (secondary rules). Semakin modern, kompleks suatu
masyarakat maka primary rules semakin pudar. Untuk mengelolah perubahan
dan atau proses pemudaran dan atau proses sebaliknya, maka diperlukan
ketentuan- ketentuan sekunder yang terdiri dari:
Rules of recogrition; aturan- aturan yang menjelaskan apa yang dimaksudkan
dengan aturan utama dan dimana perlu.
Rules of change; aturan yang mensahkan adanya aturan- aturan utama yang
baru.

2
Rules of adjudication, aturan- aturan yang memberikan hak- hak kepada orang
perseorangan untuk menentukan apakah pada peristiwa- peristiwa tertentu suatu
aturan utama dilanggar.
Reinstitutionalization of norm; (pelembagaan kembali dari norma- norma).

Yang dimakud hukum terdiri dari aturan- aturan atau kebiasaan ejektif yang
telah mengalamu proses perkembangan kembali artinya kebiasaan dari
lembaga- lembaga kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa sehingga
dapat dipergunakan oleh lembaga- lembaga kemasyarakatan lainnya yang
memang dibentuk untuk maksud tersebut. Menurut Bahannam dalam
Qomariyah (2002), bahwa lembaga hukum itu mencakup dua jenis aturan:
1. Hukum substantive; penetapan kembali daripada aturan lembaga- lembaga
non hukum.
2. Hukum ajektif; aturan yang mengatur aktifitas- aktifitas daripada lembaga-
lembaga hokum itu sendiri.
Jadi bisa saja kita katakan bahwa aturan dan lembaga- lembaga hukum
adalah mengatur hampir di seluruh perilaku social dalam masyarakat.

6. Hubungan antara Lembaga-Lembaga Sosial dan Hukum


Lembaga- lembaga social atau institusi social adalah sebagai sarana atau
alat yang bisa menjadi perlengkapan suatu masyarakat sehingga untuk
menjamin agar kebutuhan- kebutuhan dalam masyarakat dapat terpenuhi sesuai
proses dan fakta social hokum yang hidup di masyarakat.

2
Salah satu dari banyak kebutuhan dalam proses bermasyarakat yang
senyatanya dirasakan oleh setiap hak hidup yang paling asasi adalah akan
kebutuhan rasa keadilan, keadilan diakui sebagai kebutuhan masyarakat yang
melahirkan lembaga atu institusi hukum.
Sebagai langkah indentifikasi agar lembaga- lembaga hokum kelihatan
mempunyai ciri- ciri tersendiri sehingga memudahkan kita memahami lembaga
hokum. Berikut adalah ciri- ciri lembaga hukum:
Mempunyai dimensi stabilitas, adalah menimbulkan suatu kemantapan serta
keteraturan dalam hal proses usaha manusia untuk memperoleh keadilan.
Menyumbangkan suatu kerangka social terhadap kebutuhan- kebutuhan yang
hidup di masyarakat. Dan tututan kebutuhan yang bersifat pribadi bertemu
dengan pembatasan- pembatasan yang hal mana dibuat oleh masyarakat
Sebagai kerangka social untuk kebutuhan manusia itu maka lembaga hokum
menampilkan wujudnya dalam bentuk norma.
Proses jalinan antara lembaga, sehingga perubahan suatu lembaga akan
memengaruhi lembaga.
Lembaga social yang juga hokum termasuk salahsatu diantara lembaga
social tersebut memanglah perlu pelembagaan, hal ini agar kaedah- kaedah
hukum mudah diketahui, mudah dimengerti, ditaati, dihargai dalam proses
kehidupan sehari- hari yang pada gilirannya masyarakat menjiwai
(internalized). Kemudian, penyelenggaraan hokum adalah sebagai lembaga
social yang erat berkaitan dengan tingkat kemampuan suatu masyarakat.

2
7. PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL TERHADAP FUNGSI HUKUM
Keadilan adalah milik setiap orang. Setiap orang berhak merasakan sebuah
keadilan termasuk juga keadilan hukum. Sebagaimana juga yang terdapat
dalam sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Hukum
tidak memandang kaya atau miskinnya seseorang. Setiap orang baik kaya
ataupun miskin punya hak yang sama untuk merasakan keadilan hukum.
Namun, pada kenyataanya, tidak demikian. Terkadang terkesan bahwa hukum
lebih berpihak pada kaum strata atas. Lapisan kelas atas masih dianggap
sebagai personifikasi dari sebuah struktur dalam masyarakat. Termasuk juga
struktur hukumnya. Yang menentukan hukum adalah kaum kalangan atas dan
kaum strata bawah dianggap sebagai alat struktur dan pelaksana dari struktur.
(de_rechter_2007@blog.uns.ac.id)
Hukum berlaku top-down. Artinya bahwa hukum ditentukan oleh kalangan
atas kemudian diterapkan pada masyarakat kalangan bawah. Pada posisi inilah
kaum strata bawah mulai tertekan. Tertekan oleh sebuah aturan yang ditetapkan
oleh strata atas. Hukum yang dibuat oleh kaum strata atas dimasuki oleh
kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Keadaan ini di perparah lagi dengan
pengetahuan kaum miskin yang terbatas tentang hukum. Oleh karena itu, saat
hukum menghadapkan antara kaum strata atas dengan kaum strata bawah kaum
strata atas secara tidak langsung lebih unggul.
Bahasan mengenai keadilan hukum bagi masyarakat miskin memang perlu
untuk diungkapkan. Realita yang ada sekarang ini adalah hukum tidak berpihak
pada kaum miskin, Masyarakat mempunyai struktur yang bertingkat.

2
Tingkatan-tingkatan di dalam masyarakat ini desebut dengan stratifikasi social.
Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelasyang lebih rendah.
Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya
keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiba, kewajiban dan tanggung
jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Stratifikasi berdampak pada diskriminasi antara kelas sosial satu dengan kelas
sosial yang lain. Kelas sosial yang lebih tinggi akan diperlakukan lebih
istimewa daripada kelas sosial yang tingkatannya lebih rendah.
Adanya diskriminasi di dalam masyarakat yang disebabkan oleh
pembedaan kelas sosial ini coba diatasi dengan hukum. Hukum menjanjikan
adanya kesetaraan di hadapan hukum. Salah satu asas hukum adalah equality
before the law yang artinya adalah kedudukan setiap orang adalah sama di
hadapan hukum. Hukum tidak membedakan status, kedudukan, kasta, dan kelas
sosial. Semua sama dihadapan hukum. Namun stratifikasi tetap saja muncul.
Oleh karena itu, antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang
biasa disebut dengan legal gap. Terjadi perbedaan antara apa yang seharusnya
terjadi menurut hukum dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat.
Masyarakat merupakan struktur organisasi kehidupan bersama. Di dalam
struktur, setiap orang memainkan perannya masing-masing. Suatu peran
berhubungan dengan peran yang lain. Hal tersebutlah yang membuat stratifikasi
sosial tetap ada walaupun hukum berusaha untuk menghilangkannya. Setiap
peran mempunyai tugasnya masing-masing. Aktivitas kerja seseorang berkaitan
dengan peran yang dimainkannya disebut dengan Ocupation. Keanekaragaman
peran yang ada dalam masyarakat menimbulkan apresiasi yang berbeda

2
terhadap pemegang peran. Ada profesi yang dianggap ada pada struktur lapisan
atas seperti contohnya presiden, menteri, pengusaha, dosen, guru, dan profesi
lain yang dipandang oleh masyarakat baik. Namun ada juga kelompok profesi
yang menurut masyarakat dianggap berada pada struktur lapisan masyarakat
tingkat bawah seperti tukang becak, kuli, dan profesi yang lain yang dianggap
masyarakat kurang terpandang. Walaupun secara moral pekerjaan tersebut tidak
tercela, namun tetap saja oleh masyarakat dipandang rendah.
Hal yang terjadi kemudian adalah disfungsi hukum bagi masyarakat
kalangan bawah. Hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
Seharusnya hukum tidak membeda-bedakan dan berlaku adil bagi semua
kalangan. Namun hal tersebut tidak terjadi dalam struktur ini. Hukum tidak
berpihak pada rakyat miskin. Keadaan ini membuat berlakunya diskriminasi
hukum di dalam masyarakat. Bagi masyarakat lapisan atas, hukum terkesan
amat menguntungkan. Hal ini disebabkan karena memang merekalah yang
menentukan hukum. Bagi masyarakat lapisan bawah, dirasakan banyaknya
ketidak adilan dalam hukum yang berlaku. Akibatnya, masyarakat strata bawah
akan lebih cenderung untuk menyelesaikan perkara-perkara lewat caranya
sendiri dari pada cara-cara formal menurut prosedur Hukum (Soetandyo, 2008:
189)
Adanya diskriminasi bagi masyarakat miskin membuat kalangan idealis
dari kaum elite membuat sebuah konsep bantuan hukum bagi kalangan bawah.
Bantuan hukum bagi masyarakat strata bawah terdapat dalam dua model. Dua
model tersebut berbentuk bantuan secara konvensional dan bantuan secara
structural. Para ahli hukum yang berprofesi sebagai pengacara mencoba

2
membantu mengatasi persoalan kesenjangan kaya-miskin ini dengan cara
memberikan bantuan hukun secara cuma-cuma kepada golongan miskin,
apabila golongan miskin ini harus berperkara dan beracara di siding-sidang
pengadilan. Bantuan ini desebut dengan legal aid. Menurut pendapat para ahli
hukum yang peduli terhadap rakyat miskin tanpa bantun hukum yang serius
dari pihak-pihak yang mengerti hukum modern, orang miskin akan
terdiskriminasi oleh hukum. Bantuan hukum macam ini akan membantu kaum
miskin untukdiperlakukan sama di hadapan hukum. Dengan bantuan hukum
yang diberikan, kepercayaan kalangan miskin terhadap hukum tidak akan
hilang. Bentuk inilah yang kemudian disebut dengan bantuan secara
konvensional.
Menurut pandangan kaum kritisi, bantuan hukum yang terbatas pada
bantuan hukum dalam persidangan saja belum cukup untuk melepaskan kaum
miskin dari diskriminasi yang disebabkan oleh stratifikasi. Bantuan hukum juga
dilakukan dengan memperjuangkan kaum miskin pada rancangan undang-
undang yang akan diberlakukan. Pada bentuk bantuan ini, para ahli hukum akan
berusaha agar hak-hak kaum miskin tidak terpinggirkan, Perjuangan semacam
ini disebut dengan legal service. Bantuan model ini juga disebut dengan
bantuan secara struktural. Pada dasarnya, kebijakan dalam bantuan hukum
struktural ditempuh untuk merealisasikan apa yang disebut dengan kebijakan
diskriminasi terbalik atau yang sering disebut juga kebijakan diskriminatif
positif. Dikatakan demikian karena diskriminasi yang diputuskan untuk
dilakukan itu demi hukum akan memberikan kesempatan dan hak yang lebih
kepada mereka yang berada pada strata bawah dibanding dengan strata atas.

2
Langkah-langkah legislatif untuk membuat undang-undang baru dilakukan
dengan sadar untuk memajukan kepentingan sosial ekonomi mereka yang ada
pada strata bawah. Hukum perundang-undangan yang dibuat atas dasar
kebijakan seperti itu dikenal secara luas sebagai hukum perundang-undangan
sosial. Contoh dari kebijakan sosial adalah kebijakan pajak yang diberlakukan
secara progresif. Bagi kalangan atas, ia akan membayar pajak yang jumlahnya
lebih besar. Pendapatan pajak dari kalangan strata atas tersebut pada akhirnya
akan disalurkan kepada kaum yang berada pada strata bawah dengan cara
pembagian subsidi dan penyediaan layanan umum. (Soetandyo, 2008:193)
Masyarakat dalam realitanya memiliki lapisan-lapisan di dalamnya.
Terdapat masyarakat lapisan atas yang ditempati oleh orang-orang kaya dan
terpandang dan masyarakat lapisan bawah yang ditempai masyarakat miskin.
Hal tersebut tidak dapat dihilangkan. Hukum berusaha menghilangkan
perbedaan ini dengan mengusung asas equality before the law yang artinya
bahwa kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan hukum tidak
memandang kaya atau miskin. Namun pelapisan sosial tetap saja tidak dapat
dihilangkan karena di dalam masyarakat terdapat peranan yang dimainkan
masing-masing individu. Setiap peran yang dimainkan memiliki prestige yang
berbeda. Ada peran yang dianggap oleh masyarakat baik, ada pula yang
dianggap tidak baik.
Stratifikasi sosial ini pada akhirnya akan melahirkan sebuah stratifikasi
hukum. Hal ini disebabkan karena ada asumsi yang mengatakan bahwa yang
menentukan hukum yang berlaku adalah masyarkat kalangan atas. Masyarakat
kalangan atas berusaha memasukkan kepentingannya pada aturan yang

2
ditetapkan. Hal ini membuat kaum miskin semakin terpojok. Hal ini membuat
kaum elite yang idealis berpikir bagaimana caranya untuk memberikan bantuan
hukum bagi kalangan msikin. Bantuan diberikan dengan dua cara. Cara yang
pertama melalui proses yuridis yaitu pendampingan hukum terhadap kasus
yang menimpa kaum miskin atau biasa disebut dengan legal aid dan proses
legislatif yang dilakukan dengan cara memperjuangkan hak-hak kaum miskin
dalam pembuatan suatu undang-undang yang biasa disebut dengan legal
service. Stratifikasi sosial memang tidak dapat dihilangkan. Namun sebenarnya
hal tersebut tidak perlu dihilangkan. Hal tersebut adalah sebuah dinamika
dalam masyarakat. Stratifikasi dengan system yang terbuka akan menimbulkan
sebuah persaingan yang sehat. Kaum strata atas akan berusaha meraih strata
atas, sedangkan masyarakat strata atas akan mempertahankan kedudukannya.
Hal yang harus dihilangkan adalah diskriminasi dalam hukum. Tidak
seharusnya hukum hanya dibuat oleh kaum strata atas saja. Hukum menyangkut
kehidupan setiap orang. Tidak peduli dari strata atas atau bawah. Oleh kerena
itu, hukum seharusnya dibuat secara bersama-sama untuk kebaikan bersama.
Semua kalangan harus dilibatkan dalam sebuah perumusan hukum agar hukum
dapat diterima semua pihak.

8. KENYATAAN PENEGAK HUKUM DALAM STRATIFIKASI SOSIAL


(STRATIFIKASI/stratifikasi-sosial-dan-hukum1.html)
Salah satu karakteristik dari negara berkembang adalah lemah dalam hal
penegakan hukum, hukum selalu dijadikan alat bagi pihak-pihak yang

2
berkepentingan secara pribadi dalam mewujudkan kehendak dan ambisi pribadi
dan golongan.
Atas dasar hal tersebut diatas tidak heran jika kita sering menyaksikan dan
mendengar, seseorang mendapat vonis yang jauh dari nilai keadilan yang
seharusnya ia (terpidana) terima atas kejahatan yang dilakukanya. Sebagai
contoh adalah seseorang yang mencuri sendal, jika tertangkap dan masuk
penjara maka ia akan mendapat hukuman yang lebih berat jika dibanding
seseorang yang mencuri uang rakyat korupsi.
Menarik diceramati bagi kita semua, manakala kita disuguhi kejadian-
kejadian yang terjadi dalam penegakan hukum dinegeri ini. Penegakan hukum
demikian sejalan dengan adanya dua hipotesa yang dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto (Pokok-Pokok Sosiologi, 2005: 94) sebagai beriku:
a. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin
sedikit hukum yang mengaturnya
b. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi sosialnya, semakin
banyak hukum yang mengaturnya.
Hipotesa tersebut dapat dibuktikan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya rencana pemeriksaan terhadap waprees Boediono oleh KPK yang
akan dilakukan dikantor wapres
2. Rencana pemeriksaan terhadap Menkeu Sri Mulyani oleh kPK, akan dilakukan
dikantor Kemenkeu
3. Pembelaan yang berlebihan oleh para pengacara/penasehat hukum terhadap
mantan ketua KPK Antasari Azhar

2
4. Perlakuan berbeda dapat dilihat manakala terjadi penegakan hukum terhadap
kasus seorang nenek Minah yang dituduh melakukan pencurian sebanyak 3
buah biji kakau di daerah jawa tengah.
5. Begitupun keja`dian-kejadian yang pernah menimpa terhadap mantan
presiden era orde baru bapak Soeharto.
Penegakan hukum terhadap lapisan-lapisan masyarakat yang
tergolong upper class begitu terasa tumpul, lambat dan tidak jelas akhirnya. Hal
yang berbeda manakala yang menjadi pelaku/korbannya adalah golongan yang
berkategori masyarakat lapisan bawah (Low/Botom Class). Sehingga dalam
penerapanya dikenal dengan penegakan hukum seperti tajamnya sebilah mata
pisau. Artinya pisau akan terasa tajam manakala diarahkan kebawah, pada saat
yang sama pisau akan terasa tumpul jika diarahkan keatas.
Penomena penegakan hukum yang terasa pincang, berbeda, dan terasa jauh
dari memenuhi asas equality of justice dapat dijelaskan sebagai berikut:
Struktur kekuasaan yang komplek, umumnya ditemukan pada masyarakat-
masyarakat yang tidak lagi sederahana, pada giliranya juga akan menimbulkan
penegakan hukum yang tidak sederhana lagi. Hubungan dengan masalah
struktur kekuasaan yang komplek, berakibat adanya penegakan hukum yang
selektif.
Kelahiran dari penegakan hukum yang selektif dalam masyarakat modern
atau kompleks dapat dijelaskan sebagai berikut: sifat dan ciri sitem hukum yang
dilahirkan dalam masyarakat yang komplek diturunkan dari konplik-konplik
yang inheren pads struktur masyarakat tersebut, yaitu yang berlapis-lapis secara
ekonomi dan politik. (Satjipto Rahardjo, 2009: 67)

2
Penegakan hukum adalah suatu proses yang didalamnya merupakan
perwujudan dari tujuan suatu organisasi. Maka walaupun penegakan hukum itu
dilakukan oleh orang perorang akan tetapi tetap hal tersebut tidak dapat lepas
dari organiasi dari orang- orang tersebut berada.
Suatu organisasi pasti mempunyai tujuan. Tujuan tersebut ada yang
dirumuskan secara formal dan merupakan bagian dari struktur organisasi. Maka
dari tujuan tersebut dapat diketahui apa yang dikehendaki dan ingin dilakukan
oleh organisasi dalam masyarakat.
Tujuan organisasi penegakan hukum akan menentukan bagaiamana tingkah
laku organisasi. Dalam menjalankan tujuan suatu organisasi, disatu sisi harus
dapat melayani masyarakat. Pada sisi yang lainya organisasi tersebut harus
hidup ditengah-tengah masyarakat tersebut. Dalam kondisi demikian terjadi
proses penyesuaian yang menimbulkan gejala yaitu goal substitution dan goal
displacemen. (Ibid. Hlm. 67)
Didalam goal substitution. Maka, tujuan yang formal digantikan oleh
kebijakan-kebijakan dan langkah-langkah yang akan lebih menguntungkan bagi
organisasi disatu pihak dan dipihak lain akan menekan sedapat mungkin
ancaman-ancaman terhadapnya..
Didalam goal displacement. Maka, tujuan-tujuan organisasi yang sudah
diterima dan disetujui ditelantarkan demi tujuan-tujuan lain.
Diantara badan-badan penegakan hukum dengan masyarakat terdapat
hubungan yang resiprositas yang dapat dilihat melalui goal
substitution dan goal displacement. Dalam kontek tersebut, maka badan-badan
penegak hukum berusaha untuk meningkatkan atau mencari keuntungan dari

2
masyarakat dan menekan hambatan-hambatan serta ancaman-ancaman yang
datang kepadanya. Atas kondisi demikian maka penegakan hukum cendrung
meringankan golongangolongan yang mempunyai kekuasaan dan
memberatkan bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan tersebut.
Jika dari paparan-paparan diatas ditarik kedalam kondisi kekinian dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Adanya perlakuan yang berbeda yang diterima oleh wapres Boediono dan
Menkeu Sri Mulyani, disebabkan oleh keduanya tersebut mempunyai kekusaan
yang tinggi dinegeri ini. Badan-badan penegak hukum dalam menjalankan
tujuan organisasinya . maka mau tidak mau haru menyesuaikan terhadap
keduanya. Yaitu disatu sisi memberikan layanan terahadap keduanya dan pada
sisi yang lain harus menyelamatkan organisasi tersebut, sehingga terjadilah
proses goal substitution dan goal displacement.
Dalam kasus yang berbeda seperti penyerobotan pemeriksan terhadap
hakim dalam perkara Gayus oleh MA, yang sebelumnya sudah direncanakan
akan dilakukan pemeriksan oleh KY. Adanya penyerobotan tersebut dapat
ditafsir sebagai bentuk perlindungan oleh MA terhadap hakim-hakim nakal
yang tergabug dalam lokomotif dan gerbong Mahkamah Agung.
Pemeriksaan yang dilakukan MA tersebut terhadap hakim-hakim nakal
selama ini sesungguhnya lebih berfungsi sebagai pembekalan dan
pengkondisian(A. Ahsin Thohari, Sekutu Berdesain Setru, Kompas Edisi
Jumat, 30 April 2010) terhadap hakimnya. Sehingga, cukup punya alasan untuk
ngeles dari bidikan KY. Motivasi inilah yang dilakukan oleh MA dengan
melakukan penyerobotan pemeriksaan.

2
Sehingga nyatalah ungkapan yang menyatakan bahwa penegakan hukum
(law enforcment) di Indonesia seperti sebilah mata pisau. Jika kita lihat bahwa
pisau mempunyai dua sisi, sisi bawah mempunyai ketajaman yang baik artinya
bahwa hukum hanya tajam dengan baik untuk menjangkau golongan-golongan
lemah (masyarakat miskin, pinggiran, dan masyarakat tak berdaya). Sebaliknya
pada sisi lainya (atas) pisau mempunyai ketajaman yang kurang/tumpul jika
diarahkan keatas, begitupun dengan hukum akan terasa tidak berdaya untuk
menjerat golongan-golongan pejabat, pengusaha, dan orang-orang berpengaruh
dinegeri ini. Orang-orang tersebut notabene berstataus hight social ( upper
class).

9. SOLUSI PADA MASALAH HUKUM BERTEMU DENGAN


STRATIFIKASI SOSIAL
Hukum Bertemu dengan Stratifikasi Sosial ANGIN TIMUR.htm
Seharusnya bekerjanya hukum dalam masyarakat seyogyanya digunakan
untuk mewujudkan kehidupan yang selaras, damai, dan tenang. Dan untuk
mewujudkannya dengan cara mewujudkan peradilan yang harus adil dan tanpa
melihat status sosial seseorang yang terbagi di dalam stratifikasi sosial yang
terdapat dalam masyarakat. Dan didalam mewujudkannya harus diperlukan dari
seluruh pihak yang berkaitan dengan peradilan seperti hakim, jaksa, polisi, dan
penegak hukum lainnya. Para hakim yang membuat keputusan haruslah
progresif dan tidak hanya mengeja undang-undang seperti yang dikatakan oleh
Prof. Dr. Esmi. Warasih S.H., M.H. mengatakan seharusnya hakim

2
mengutamakan nuraninya, baru kemudian mencarikan dasar hukumnya dalam
peraturan perundang-undangan. Prinsip kesetaraan harus dipegang teguh.
Diperlukan jaksa seperti (alm) Baharuddin Lopa, Hakim Bismar Siregar,
Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto mereka adalah contoh dari penegak hukum
yang merujuk pada hati nurani didalam membuat keputusan tanpa melihat
status sosial dari seseorang maupun jabatan seseorang yang berada di dalam
masyarakat baik itu golongan low class, middle class, ataupun high
class. Karena menjalankan hukum tidak hanya didasarkan pengetahuan logika
peraturan tetapi juga logika lain seperti keadilan dan kepatutan sosial (social
reasonableness).
Pengadilan sekarang haruslah sebagai tempat menemukannya keadilan
oleh golongan kelas bawah, karena pengadilan dituntut untuk terus
menunjukkan dan membuktikan kemanfaatan sosial. Pengadilan seharusnya
menjadi tempat untuk menemukan keadilan bukan menjadi medan perang
untuk mencari menang. Hakim harus mendengarkan, melihat, membaca, lalu
menjatuhkan pilihan yang yang adil tanpa melihat status seseorang itu berasal
dari golongan kelas manapun.
Karena inti dari negara hukum dan adanya negara hukum itu ingin
mendatangkan keadilan dan itu memerlukan pengerahan energi besar, karena
membutuhkan dedikasi, komitmen, kejujuran, dan determinasi. Dan tidak ada
lagi hukum yang memihak pada masyarakat dan golongan tertentu, karena inti
dari hukum itu adalah keadilan.
Berbicara tentang penegakan hukum, berarti berbicara juga tentang hukum
itu sendiri. Di dalam ilmu hukum mengenal asas equality before the law. Dalam

2
konteks ini, idealnya semua orang mempunyai kedudukan yang sama di dalam
penjara. Tidak peduli kaya atau miskin, anak pejabat atau rakyat jelata, bahkan
tidak peduli sebelumnya berstatus pejabat tinggi atau pengangguran. Semuanya
memiliki perlakuan sama di depan hukum.
Namun realitasnya, penegakan asas equality before the law dalam konteks
penegakan hukum memang sulit ditemukan. Menurut Donald Black dalam
buku The Behaviour of Law, proses bekerjanya hukum di samping menegakkan
pasal-pasal dalam undang-undang, juga dipengaruhi oleh faktor di luar hukum.
Salah satunya adalah stratifikasi sosial. Semakin kuat stratifikasi sosial
(kedudukan) seseorang, maka semakin berpotensi orang itu mendapatkan
perlakuan berbeda di depan hukum. Lihat saja bagaimana perlakuan hukum
terhadap pencuri, antara pencuri ayam dengan pencuri uang rakyat (koruptor),
tentunya koruptor akan mendapat perlakuan yang berbeda di setiap tahapan
proses hukum. Lihat juga bagaimana Artalyta dapat memainkan hukum dengan
mudahnya dalam setiap tahapan proses hukum yang dihadapinya. Hal ini
karena pelaku memiliki stratifikasi sosial yang berbeda baik karena
kekayaannya, kekuasaannya, akses jaringan politik, faktor intelektual dan lain
sebagainya. (STRATIFIKASI/Anehnya Pemerintah Negeri Ini _ The Achmad
Institute.htm)

2
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulakan bahwa:
1. Staratifikasi sosial adalah bentuk pelapisan secara vertikal yang ada
dalam masyarakat yang disebabkan karena adanya sesuatu yang dihargai
misalnya keuasaan, pengetahuan.
2. Rule of law yang berarti persaaman di hadapan hukum, dimana setiap
warga harus tunduk pada hukum, namun dalam realita dan uraian di atas
jelas terlihat bahwa mekanisme hukum tidak berjalan efektif.
3. Hukum sebagai variabel kuantitatif, dimana banyak terjadi proses hukum
apabila frekuensi gugatan di suatu pengadilan terbilang tinggi dan
menyebabkan terjadinya perubahan ataupun pembaharuan hukum.
4. Struktur sosial dan hukum, struktur sosial adalah kumpulan individu-
individu yang membentuk suatu kelompok yang terkadang disebabkan
karena adanya persamaan baik itu kebudayaan, ras,mata pencaharian
maupun sebuah organisasi, dalam hal inilah hukum memiliki fungsi
sebagai social control dalam kelompok tersebut.
5. Dalam penegakan hukum stratifikasi sosial sangat berpengaruh walaupun
dalam konsep hukum menyatakan bahwa setiap orang memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law)
namun dapat dilihat uarain di atas keadilah hanya berpihak pada orang-
orang yang berada dalam kelas-kelas elite dan menyebabkan terjadinya
diskriminasi terhadap orang-orang yang berada dalam kelas-kelas
menengah ke bawah.
6. Dari uaraian fakta di atas dapat disimpulakn bahwa hukum selalu
dijadikan alat bagi pihak-pihak yang berkepentingan secara pribadi
dalam mewujudkan kehendak dan ambisi pribadi dan golongan.

2
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddi. 2010. Sosiologi Hukum. Sinar Garfika: Jakarta.

2
Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegak Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta
Publising: Yogyakarta.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana:
Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Mustafa Abdullah. 1982. Sosiologi Hukum dalam
Masyarakat. Rajawali Pers: Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 2005. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Rajawali Grapindo:
Jakarta.
Utsman, Sabian. 2010. Dasar-dasar Sosiologi Hukum. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
STRATIFIKASI/Stratifikasi Sosial dan Hukum _ Syailendra Wisnu's Blog.htm
(diakses tgl 23 Maret 2012,www.google.com)
STRATIFIKASI/hukum-dan-stratifikasi-sosial-suatu.html (diakses tgl 23 Maret
2012, www.google.com)
STRATIFIKASI/Anehnya Pemerintah Negeri Ini _ The Achmad Institute.htm
(diakses tgl 23 Maret 2012www.google.com)
http://datarental.blogspot.com/2010/04/definisi-struktur-sosial.html
Http:// sosionamche. Blogspot. Com

Anda mungkin juga menyukai