Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak fundamental yamg
melekat pada kodrat manusia sendiri, yaitu hak-hak yang paling dasar dari aspek-aspek
kodrat manusia sebagai manusia.Setiap manusia adalah ciptaan luhur dari tuhan yang
maha esa. Setiap manusia harus dapat mengembangkan dirinya sedemikian rupa
sehingga ia harus berkembang secara leluasa. Pengembangan diri sebagai manusia
dipertanggungjawabkan kepada tuhan sebagai asal dan tujuan manusia. Dengan
demikian hak-hak ini adalah hak universal atau berlaku di semua dunia , dimanapun
manusia berada dilindungi oleh HAM.

Bagir manan1 membagi HAM pada beberapa kategori, yaitu; hak sipil, hak-
hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak perlakuan
yang sama di depan hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok
anggota masyarakat tertentu dan hak hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari hak
kebebasan berserikat dan berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan
lisan, tulisan dan hak untuk menyampaikan pendapat di depan umum. Hak ekonomi
terdiri dari hak jaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan dan hak
pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya terdiri dari hak memperoleh
pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan dan hak memperoleh perumahan
dan pemukiman.

1
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Danpengaturan Hak Asasi Manusia Di Indonesia,
Alumni, Bandung, 2001, Hlm. 198

1
Tipologi tripatrit adalah sebuah kerangka yang secara khusus membedakan
kewajiban negara untuk “menghormati”, “melindungi”, dan “memenuhi” setiap hak
asasi manusia.2Kewajiban negara untuk menghormati (respect) adalah kewajiban
negatif untuk tidak bertindak atau untuk menahan diri, kewajiban untuk melindungi
(protect) adalah kewajiban positif untuk melindungi individu terhadap tindakan
tertentu oleh pihak ketiga, dan memenuhi (fulfill) adalah untuk menyediakan atau
memudahkan layanan tertentu bagi setiap warga

Adalah ketentuan konstitusional yang meletakan kewajiban dan tanggungjawab


dalam penyelenggaraan dan pemenuhan hak-hak asasi atau hak konstitusional bagi
negara dan pemerintah sesuai dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (4) yang menyatakan
bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Kesembuhan dan penyembuhan
adalah langkah utama dalam upaya pemenuhan hak konstitusional orang sakit jiwa, dan
kiranya ini adalah bukan sekedar permasalahan konstitusional tapi juga merupakan
permasalahan tuntutan moralitas dalam penghormatan hak-hak asasi manusia yang
dianugerahkan tuhan dalam kelahirannya.

Dalam preambule Undang-undang dasar Negara republik Indonesia dinyatakan


dengan tegas bahwa tujuan Negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
” Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social”.

2
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGrafino Persada, Jakarta,
2013, Hlm. 53.

2
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.”3

Konsep perlindungan dalam islam pun sangat jelas sebagaimana dalam firman
Allah SWT sebagai berikut,

“Dan Sungguh, kami telah memuliakan anak cucu adam, dan kami angkut mereka di
darat dan di laut, dan kami beri mereka rezeki dari yang biak-baik dan kami lebihkan
mereka diatas banyak mahluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. (
Al-Isra’/ 17: 70)

Ayat itu menandakan bahwa manusia memiliki hak yang tinggi dan mulia dihadapan
Allah SWT. Kemudian dalam ayat lain juga Allah SWT berfirman yang artinya.

Sungguh, kami telah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya. (At-Tin/ 95


:14)

Islam adalah agama rahmatan lilaalamin, Allah SWT. Berfirman

“Dan kami tidak mengutus engkau ( Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam. (Al Anbiya/21 : 107)

Gangguan jiwa adalah sindrom atau pola prilaku yang secara klinis bermakna
yang berkaitan langsung distress (penderitaan) dan menimbulkan hendaya (disabilitas)
pada satu atau lebih fungsi kehidupan manusia. Fungsi jiwa yang terganggu meliputi
fungsi biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Secara umum gangguan fungsi jiwa
yang dialami seseorang individu dapat terlihat dari penampilan, komunikasi, proses

3
UUD 1945 pasal 28i ayat 1

3
berpikir, interaksi dan aktifitasnya sehari-hari.4
Menurut Y.H. Krikorian Jiwa adalah kemampuan untuk meramalkan suatu
perbuatan apakah berakhir positif atau negatif. Lebih lanjut menurut leighton jiwa
memiliki fungsi “ Jika tindakan yang anda lakukan di dasarkan atas pertimbangan
akal, maka dalam hal ini, anda mengingat kembali masa lampau, meramalkan masa
depan, dan menyadari keterlibatan anda dalam akibat-akibat tindakan anda, dan pada
akhirnya memilih melakukan sesuatu bukan yang lain.”5
Upaya penyembuhan orang sakit jiwa membutuhkan biaya untuk mendapatkan
perawatan kesehatan/mental. Kemalangan bagi kaum yang ekonominya lemah, jika
sanak keluarganya mengalami sakit jiwa, anggota keluarganya tersebut biasanya
dibiarkan atau kalau tidak, diobati ke paranormal, bahkan kebanyakan dipasung karena
dianggap mengganggu dan merugikan masyarakat. Padahal dalam upaya penyembuhan
orang sakit jiwa terdapat perawatan dan penanganan khusus, bukan hanya sekedar
pemberian obat.
Penelantaran anggota keluarga pada umumnya seringkali terjadi apabila
anggota keluarga tersebut mengalami gangguan kejiwaan. Dalam penelitian sering
ditemukan orang yang menderita gangguan jiwa masih di terlantarkan oleh pihak-pihak
yang seharusnya bertanggung jawab untuk memberikan fasilitas terhadap penderita
gangguan jiwa tersebut. Salah satunya yaitu fasilitas pelayanan kesehatan karena sering
ditemukan penderita gangguan jiwa yang terlantar tidak mendapatkan haknya terkait
dengan pelayanan kesehatan. Karena ketentuan tersebut telah diatur oleh Undang-
Undang nomor 36 Tahun 2009 dan dijelaskan di dalam pasal 147 menyebutkan bahwa;6
1. Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan tanggung

4
https://www.academia.edu/9323126/MAKALAH_ASKEP_KEPERAWATAN_JIWA_DENGAN
MASALAH_WAHAM/ di akses pada tanggal 14 oktober 2018 pukul 20.00 WIB
5
Louis O. Katstsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1992, Hlm. 313
6
Undang-undang nomor 36 tahun 2009 pasal 147

4
jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
2. Upaya penyembuhan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang tepat dengan tetap
menghormati hak asasi penderita.
3. Untuk merawat penderita gangguan kesehatan jiwa, digunakan fasilitas
pelayanan kesehatan khusus yang memenuhi syarat dan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Didalam Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


menyebutkan bahwa : “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau
cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan
martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Permasalahan yang lebih memilukan lagi adalah terjadi kasus kemanusiaan


yaitu orang dengan gangguan jiwa yang di pasung, padahal dalam undang undang Pasal
28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)“Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.” 7

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun.”8

7
UUD 1945 pasal 28g ayat 2
8
UUD 1945 pasal 28i ayat 1

5
Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang
signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar
35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia,
serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis,
psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan
jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan
produktivitas manusia untuk jangka panjang.

Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional


yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke
atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia.
Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar
400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk.9
Banyaknya orang dengan gangguan jiwa khususnya di Indonesia begitu
memilukan apalagi banyak diantara mereka yang dipasung. Pada 2014, ada 1.274 kasus
pasung yang dilaporkan dari 21 provinsi, bahkan pada 2016 data dari Human Right
Watch Indonesia, terdapat 18.000 orang yang masih dipasung.10

Orang dengan gangguan jiwa di Indonesia merupakan satu masalah serius, yang
tidak bisa di anggap remeh. Sangat disayangkan meskipun telah ada aturan perundang-
undangan yang jelas tentang larangan dan sanksi terhadap pemasungan. kasus demi
kasus tetap masih sering di temukan, penulis tidak akan mampu menuliskan semuanya
disini, namun penulis hanya akan mengemukakan beberapa kasus saja.

9
http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-kesehatan-jiwa-
masyarakat.html diakses pada 22 november 2018 pukul 15.31 WIB
10
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160320_indonesia_hrw_pasung
diakses pada 17 oktober 2018 pukul 15.21 WIB

6
Kasus pertama terjadi di Bangkala, Makassar Sulawesi selatan adalah Janisah
seorang ibu berusia 48 tahun dipasung dengan cara dirantai pergelangan kaki dan
tangannya lantaran mengidap penyakit psikosis. Ia dipasung selama tujuh tahun oleh
saudara dan anak kandungnya sendiri di rumahnya, Jalan Tanggapan Raya III,
Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Kasus lain terjadi kepada Dartam,Lelaki asal Desa Pageraji Kecamatan


Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah dipasung selama 24 tahun di sebuah gubuk kecil.
Ada juga kasus dari Kampung Waringin Jaya, RT 02 RW 06, Desa Waringin Jaya,
Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat atas nama Deni aditama yang
di pasung di depan kandang ayam sejak umur 11 tahun hingga umur 35 tahun.11

Kasus terbaru pada bulan oktober 2018 terjadi di Desa Winning, Kecamatan Pasarwajo,
Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) Dua warga Asri (26) dan La Ode Amsar
(36) terpaksa dipasung oleh keluarganya karena mengalami gangguan kejiwaan. Satu
warga dipasung menggunakan kayu dan satu lagi dirantai besi.12 Kasus-kasus tersebut
kiranya sudah bisa menggambarkan betapa masih banyak masyarakat yang tidak peduli
terhadap kemanusiaan. Khususnya terhadap mereka orang dengan gangguan jiwa yang
dipasung.

B. Identifikasi Masalah

Bagaimana kebijakan hukum terhadap pemasungan orang dengan gangguan


jiwa di Indonesia?

11
https://www.liputan6.com/news/read/2689855/6-kisah-pemasungan-yang-memilukan Diakses
pada tanggal 15 oktober 2018 pukul 01.00 WIB
12
https://daerah.sindonews.com/read/1344747/174/2-warga-buton-dipasung-dengan-rantai-dan-
kayu-1539066292 (diakses pada 21 November 2018, pukul 17.25 WIB)

7
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gila menurut Hukum Islam

Gila dapat didefinisikan dengan hilangnya akal. Pengertian ini mencakup gila

dan dungu serta berbagai keadaan sakit dan sakit jiwa yang mengakibatkan hilangnya

kekuatan berfikir (akal).13 Berikut ini adalah keadaan-keadaan gila dan yang masuk

dalam kategorinya, yaitu:14

1. Gila yang Terus-Menerus (Junu>n Mut}baq)

Gila yang terus-menerus (junu>n mut}baq) adalah suatu keadaan pada diri

seseorang di mana ia tidak dapat berpikir sama sekali atau gila secara menyeluruh dan

terus menerus, baik itu bawaan yang diderita sejak lahir maupun bukan. Gila dapat

dinamai junu>n mut}baq karena seseorang terus menerus sakit gila atau karena

orang itu gila secara menyeluruh di mana ia sama sekali tidak dapat memahami apa

pun.15

2. Gila yang Berselang/Kambuhan (Mutaqat}t}i’)

13
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung : CV. Pustaka Setia,2006),
243.
14
Rachmat Syafe’i, Ilmu Us{u>l Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, tt), 243
15
Ibid

8
Gila kambuhan adalah keadaan orang yang tidak dapat berfikir sama sekali,

tetapi gilanya tidak terus menerus. Terkadang ia kambuh dan terkadangia sembuh.

Jika sedang kambuh, akalnya akan hilang secara sempurna, namun jika telah sembuh,

akalnya akan kembali normal.

Keadaan junu>n mutaqat}t}i’ ini sama seperti keadaan junu>n mut}baq.

Perbedaannya terletak pada keberlangsungan waktu gilanya. Orang yang gila

kambuhan tidak bertanggungjawab secara pidana ketika gilanya sedang kambuh,

sedangkan jika akalnya sudah kembali normal, ia tetap akan dikenai tanggung jawab

pidana atas tindak pidana yang dilakukan.16

3. Gila Sebagian

Gila sebagian adalah gila yang tidak secara keseluruhan atau gila (tidak dapat

berpikir) yang hanya terbatas pada satu aspek atau lebih. Dalam hal ini, si penderita

kehilangan kekuatan berfikirnya dalam satu atau beberapa aspek (perkara) tertentu

saja, tetapi ia dapat menggunakannya pada perkara lainnya. Orang yang gila sebagian

ini tetap dikenai tanggung jawab pidana atas apa yang dapat dijangkau oleh akalnya

dan tidak bertanggung jawab pada apa yang tidak dapat djangkaunya.17

4. Dungu

16
Ibid
17
Ibid,

9
Para fukaha mendefinisikan dungu sebagai keadaan orang yang sedikit

pemahamannya, kacau pembicaraannya, dan rusak penalarannya, baik tibul karena

sakit maupun pembawaan sejak lahir. Dapat dipahami bahwa dungu adalah tingkatan

gila yang paling rendah.

Dapat dikatakan bahwa gila mangakibatkan hilang atau cacatnya akal,

sedangkan dungu mengakibatkan lemahnya akal yang berbeda-beda tingkatannya.

Akan tetapi dalam hal ini, kekuatan berfikir (akal) orang dungu bagaimanapun juga

tidak sampai kepada tingkatan orang dewasa yang normal.18

B. Kebijakan Hukum Terhadap Pemasungan Orang Dengan Gangguan Jiwa Di


Indonesia

1. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-NYA yang wajib dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.19

Pada intinya dampak tindakan pemasungan yaitu si korban akan mengalami


keterbatasan ruang dan gerak seperti manusia normal pada umumnya, otomatis hak-
hak yang telah disebutkan diatas dan hak lainnya tidak akan ia peroleh akibat dari

18
Ibid,
19
Darji Darmodihardjo, Santiaji Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 2009), Hlm.77-79.

10
pemasungan. Pemasungan terhadap orang yang diduga mengidap gangguan kejiwaan
merupakan tindakan yang bertentangan dengan HAM. Tindakan pemasungan
merupakan gejala yang umum ditemukan di negara berkembangan, termasuk di
Indonesia. Ketiadaan aturan hukum, rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan
pemahaman terhadap gejala gangguan kejiwaan, serta keterbatasan ekonomi
merupakan faktor utama munculnya kejadian pasung.20

Semangat penghapusan diskriminasi dalam hal ini artinya hak setiap warga
negara adalah sama, tidak boleh ada pembedaan termasuk terhadap orang yang
mengalami gangguan jiwa (equality before the law). Dengan kata lain hak-hak dasar
antara orang normal dengan penderita gangguan jiwa itu sama Pasal 27 ayat (1) UUD
1945. Gangguan jiwa adalah pola perilaku atau psikologi yang secara klinis bermakna
dan secara khas berkaitan dengan gejala, serta penderitaan.

Gangguan jiwa merupakan sebuah penyakit yang menyebabkan perubahan


pada fungsi jwa yang dapat terjadi pada siapa saja. Selain dari pengaturan dari hak asasi
manusia, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemasungan terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa, diantaranya:

1. Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)


“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”

2. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945


“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan

20
Alifiatzi Fitrikasari, Penilaian Fungsi Pribadi dan Sosial Sebelum dan Sesudah Mendapatkan
Pengobatan pada Penderita Gangguan Jiwa Korban Pemasungan, (Semarang: Media Medika
Indonesiana, 2012), Hlm. 22

11
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”21

3. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU
HAM”)

a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan


meningkatkan taraf kehidupannya

b. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera


lahir dan batin

c. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat22

Dari bunyi pasal-pasal di atas jelas kiranya diketahui bahwa hak untuk hidup
bebas merupakan hak asasi manusia. Selain itu, bagi penderita cacat mental, diatur hak-
haknya dalam Pasal 42 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi:

“Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara,
untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”23

4. Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada bab IX diatur khusus
tentang kesehatan jiwa, diantaranya :

a) Pasal 147 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Upaya penyembuhan penderita gangguan
jiwa merupakan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat”.

21
Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 I ayat 1
22
Undang-undang nomor 39 tahun 2009 pasal 9
23
Undang-undang nomor 39 tahun 1999 pasal 42

12
b) Pasal 148 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Penderita gangguan jiwa mempunyai
hak yang sama sebagai warga negara”.

c) Pasal 149 ayat (1) menyebutkan bahwa : “Penderita gangguan jiwa yang dapat
mengganggu ketertiban wajib mendapat pengobatan dan perawatan difasilitas
pelayanan kesehatan”.

d) Pasal 149 ayat 2 menyebutkan bahwa : “Pemerintah, pemerintah daerah dan


masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan difasilitas pelayanan
kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang,
mengancam keselamatan dirinya atau orang lain, dan/atau mengganggu
ketertiban umum”.24

5. Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa Pasal 86


dinyatakan bahwa: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan,
penelantaran, kekerasan dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan
pemasungan, penelantaran,dan/atau kekerasan terhadap ODMK dan ODGJ
atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi ODMK dan ODGJ, dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”25
6. Konvensi tentang hak-hak penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh
Indonesia dan dituangkan kedalam Undang-Undang No.19 Tahun 2011
tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas.26

Definisi Disabilitas menurut Undang-Undang tersebut adalah orang yang


memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu yang
lama yang dalam berinteraksinya mengalami hambatan dengan lingkungannya.
Kemudian dijelaskan tentang Hak-Hak penyandang Disabilitas, yaitu : “Setiap

24
Undang-undang nomor 36 tahun 2009
25
Undang-undang nomor 18 tahun 2014 pasal 86
26
Undang-undang no 19 tahun 2011

13
penyandang Disabilitas harus bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan
perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas
integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan oranglain. Termasuk
didalamnya hak untuk mendapatkan perlindungan dan pelayanan sosial dalam rangka
kemandirian, serta dalam keadaan darurat”.

Melihat dari peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan diatas, maka


pola pikir yang tercipta yakni penderita gangguan jiwa dikategorikan sebagai
penyandang disabilitas moral. Orang yang mengalami gangguan jiwa/disabilitas
mental tetap memiliki hak yang sama seperti manusia normal lainnya sepanjang
undang-undang tidak membatasinya. Pemasungan tidak diatur secara khusus dalam
KUHP, namun tindakan pemasungan dapat dikategorikan sebagai tindakan
perampasam kemerdekaan. Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan, yang
berbunyi :

1. “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan


seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian,
diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.

2. “Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat maa yang bersalah


diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.

3. “Jika mengakibatkan mati diancam dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun”.

14
4. “Pidana yang ditentukan dalam Pasal ini diterapkan juga bagi orang yang
dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan
kemerdekaan”.27

Berdasarkan Pasal diatas, perampasan kemerdekaan merupakan suatu tindakan


yang dapat dikenai pidana dan sanksi. Tindakan pemasungan terhadap penderita
gangguan jiwa dapat dikategorikan sebagai tindakan perampasan kemerdekaan, maka
seseorang yang melakukan pemasungan berarti sudah melakukan tindak
pidana/kejahatan.

Menurut S.R. Sianturi, S.H., yang dimaksud dengan merampas kemerdekaan


adalah meniadakan atau membatasi kebebasan seseorang bergerak meninggalkan suatu
tempat untuk pergi ke tempat lainnya yang dia inginkan. Perampasan kemerdekaan itu
dapat terjadi dengan mengurung seseorang di suatu ruangan tertutup, dengan mengikat
kaki atau anggota tubuh lainnya dari seseorang sehingga tidak dapat memindahkan diri,
menempatkan seseorang di suatu tempat di mana ia tidak mungkin pergi dari tempat
itu, dan mungkin juga dengan cara psychis (hipotis) sehingga ia kehilangan
kemampuan untuk pergi dari suatu tempat dan lain-lain.

Walaupun tidak boleh dikurung atau dipasung, akan tetapi bukan berarti keluarga
dapat membiarkan orang gila tersebut berkeliaran secara bebas. Karena jika keluarga
membiarkan orang gila tersebut berkeliaran secara bebas, keluarga dapat juga dijerat
dengan Pasal 491 butir 1 KUHP: “Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh
ratus lima puluh rupiah barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya
bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa
dijaga.”28

27
KUHP pasal 333
28
KUHP pasal 491

15
Menurut S.R. Sianturi, S.H., walaupun pada Pasal 10 Reglemen tentang orang
gila Stb 97/54, 4 Februari 1897 di Indonesia diatur ada kewenangan keluarga dekat dari
seorang gila untuk memohon kepada ketua pengadilan negeri agar orang gila itu
dirawat di lembaga perawatan orang gila demi ketentraman dan ketertiban umum atau
demi penyembuhan orang gila itu sendiri, namun dalam prakteknya sulit dapat
diharapkan kemampuan pemerintah untuk merawat semua orang gila.29

Karenanya, tetaplah merupakan kewajiban moril dan moral dari keluarga yang
bersangkutan untuk merawat keluarganya yang sakit sesuai dengan kemampuannya.
Akan tetapi, mengingat keterbatasan kemampuan warga pada umumnya, maka dapat
disaksikan adanya orang gila berkeliaran tanpa penjagaan. Tetapi hal ini masih lebih
manusiawi dibandingkan dengan jika mereka dipasung. Oleh karena itu, akan lebih
baik jika orang gila tersebut dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk mendapat
perawatan yang semestinya dan agar tidak mengganggu masyarakat sekitar..

2. Pandangan Hukum dan Teori Sosiologi Mengenai Pemasungan Terhadap


Orang Dengan Gangguan Jiwa
Pemasungan terhadap ODGJ dapat dianalisis melalui beberapa teori sosiologi.
Analisis ini menggunakan pendekatan secara antropologis – personal. ODGJ juga erat
hubungannya dengan teori penjulukan (labeling theory) berkaitan rentetan julukan
“gila” atau “sinting” mengubah konsep diri sang korban yang awalnya “normal”
menjadi konsep diri baru (sinting atau gila) yang dibangun orang lain dan
diinternalisasikan sang korban.30 Selain itu fenomena pemasungan pada ODGJ dapat
ditelaah mengenai masalah sosial yang paling kuat melatar belakangi pemasungan,

29
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP, (Jakarta: Alumni AHM PTHM), Hlm.547

30
http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/05/01/pemasungan-dan-teori-penjulukan-368143,
diakses pada 15 oktober 2018 pukul 12.00 WIB

16
serta fungsi social control dalam sosiologi dapat menjadi alasan pembenar terjadinya
pemasungan.
a. Pendekatan Antropologis – Personal
Manusia sebagai mahluk individu merupakan basic bahwa setiap pribadi
memiliki jati diri yang berbeda-beda. Setiap manusia memiliki tanggung jawab dan
hak- kewajibannya masing-masing. Hukum mengedepankan faham bahwa
individualisme memiliki tanggung jawab pribadi.31 Dalam hal pertanggung jawaban,
yang dapat dibebankan pertanggung jawaban salah satunya adalah orang, namun untuk
melaksanakan hak dan kewajiban orang tersebut harus cakap.32 Pembebanan tanggung
jawab ini dalam hukum diberi pembatasan spesifik bahwa orang tersebut harus cakap
hukum (termasuk pelaksanaan kewajiban).
Syarat-syarat seorang dikatakan tidak cakap hukum menurut menurut pasal
1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah

a) Orang-orang yang belum dewasa


b) Mereka yang berada dibawah pengampuan
c) Wanita yang bersuami. (Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya Undang-
Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-Undang ini
menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing-
masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.)
Maka, dapat dianalisis bahwa orang yang cakap hukum adalah :
a) Seseorang yang berumur 21 tahun berdasar pasal 330 KUH Perdata
b) Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah
c) Seseorang yang sedang tidak menjalani hukum
d) Berjiwa sehat dan berakal sehat.

31
Catatan Perkuliahan Sosiologi Hukum oleh Prof. Soedjito pada 19 September 2017
32
Wahjadi Dharmabrata, (Psikiatri Forensik, Buku Kedoktern EGC, 2003), Jakarta, hlm.87

17
Orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ adalah orang yang berada di bawah
pengampuan sehingga tidak dapat melakukan kewajiban dan pertanggung jawaban
hukum. Selayaknya warga Negara yang memiliki hak asasi,hak-hak ODGJ diatur
dalam pasal 70 ayat (1) Undang-undang Nomor18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Jiwa bahwa ODGJ berhak:
a. Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa di fasilitas pelayanan kesehatan
yang mudah dijangkau;
b. Mendapatkan pelayanan Kesehatan Jiwa sesuai dengan standar pelayanan
Kesehatan Jiwa;
c. Mendapatkan jaminan atas ketersediaan obat psikofarmaka sesuaidengan
kebutuhannya;
d. Memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya;
e. Mendapatkan informasi yang jujur dan lengkap tentang data kesehatan
jiwanya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan
Jiwa;
f. Mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan,
eksploitasi, serta diskriminasi;
g. Mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguanjiwa; dan
h. Mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan
kepadanya. (Hak ODGJ untuk mengelola sendiri harta benda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h hanya dapat dibatalkan atas penetapan
pengadilan.)
Mengenai pertanggung jawaban dan kewajiban dari ODGJ sendiri,dapat
mengacu pada Torekenbaarheid atau kemampuan bertanggung jawab yang seharusnya
disimpulkan dari kelakuan individu itu sebagai suatu keseluruhan dalam persektif
terhadap dunia luar dan dunia dalam. Hal ini tidak dapat dilihat hanya dari gejala

18
gangguan jiwa,psikiater harus berpendapat dan menilai berdasar tingkat kemanusiaan
dan kebebasan sehingga sangat mempengaruhi tingkat atau derajad pertanggung
jawabannya. 33
Hal yang perlu diingat bahwa pengampuan diatur menurut pasal 433 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Tiga alasan untuk pengampuan adalah keborosan,
lemah akal budinya (imbisil / debisil), kekurangan daya berpikir (sakit ingatan) dan
dungu (termasuk yang disertai sering mengamuk). Dari klasifikasi tersebut, ODGJ
merupakan orang di bawah pengampuan. Definisi pengampuan atau Curatelle bahwa
seorang dewasa namun dianggap tidak cakap untuk bertindak sesuai lalu lintas hukum,
sehingga di tempatkan di bawah pertanggung jawaban orang lain yang disebut
Pengampu atau Curator yang kemudian bertanggung jawab tindakan orang yang
diampu.34
Melalui pendekatan antropologis – personal, manusia sebagai orang per orang
yang membentuk hukum sudah membentuk hukum yang sifatnya personal dan
dinamis. Saat diimplementasikan terhadap ODGJ,maka hukum secara tertulis sudah
mengakomodir hak dan kewajiban individu (berbasis hukum perdata). Kemandirian
dan daya juang yang kurang pada ODGJ membuatnya menggantungkan pada
pertolongan orang.

b. Teori Penjulukan (Labeling Theory)


Penganut interaksionisme simbolis mengembangkan teori pemberian label
yang menempatkan focus pada siknifikansi label (nama atau reputasi yang diberikan.35
ODGJ sering mendapat label dengan sebutan : sakit, sinting, edan, bahkan setiap

33
Ibid.
34
Ibid, hlm. 91
35
James Hensin, (Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Erlangga, 2006,) Jakarta, Hlm.155

19
daerah memiliki julukannya sendiri. Label cenderung menjadi konsep diri dan
membantu masuk ke jalur yang mendorong ke penyimpangan atau pengalihan diri. 36

Kekuatan teori penjulukan ini sangat kuat,dilansir dari sebuah artikel yang
ditulis anggota dewan redaksi Pikiran Rakyat dan guru besar Fikom Unpad, faktor apa
yang menyebabkan orang “sakit jiwa”, salah satunya yang sering luput dari
pembahasan adalah problem komunikasi yang melibatkan orang bersangkutan dengan
lingkungannya. Meski merasa sebagai orang waras, akhirnya bisa gila dalam arti
sebenarnya jika setiap orang menuduh gila, apalagi jika si penuduh itu orang-orang
yang punya hubungan dekat, seperti orangtua dan anggota keluarga lainnya. Kegilaan
akan sempurna jika penguasa, media massa dan media sosial pun menuduh demikian,
37
dan menyebarkan hal itu ke khalayak luas. Pemikiran yang belum terpikirkan
sebelumnya inilah yang sering terjadi dalam masyarakat dan justru tidak
menyembuhkan atau setidakanya mengurangi gejala pada ODGJ.

Seorang dengan ODGJ sebaiknya tidak dihujani dengan stigma negatif. Selain
hal-hal yang mengkonstruksi ODGJ diberi treatment pasung, labeling ini dapat juga
terjadi pada keluarga. Keluarga yang malu dan tidak kuasa menahan stigma mengenai
anggotanya yang ODGJ akan memilih jalan praktis untuk memasungnya.

c. Masalah Sosial dan Sosial Kontrol

Menurut hasil analisis dari Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa hal yang
paling dominan dalam dilakukannya pemasungan oleh keluarga adalah faktor ekonomi,
dimana keluarga dengan status ekonomi yang rendah lebih sering melakukan
pemasungan terhadap keluarga nya yang menderita gangguan jiwa. Rendah nya status

36
Ibid.
37
Deddy Mulyana,Op. Cit.

20
ekonomi keluarga bisa menyebabkan kurang nya pengetahuan tentang fasilitas-fasilitas
kesehatan serta cara penanganan ODGJ tanpa harus melakukan pemasungan. 38

Kemiskinan itu sendiri dapat diartikan kondisi dimana seseorang tersebut tidak
mampu untuk berusaha secara maksimal baik secara fisik ataupun mental untuk masuk
kedalam suatu kelompok tertentu. Ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak
menganggap kemiskinan sebagai suatu masalah sosial, karena mereka sudah ikhlas atas
keadaan yang mereka capai sehingga menganggap kemiskinan tersebut adalah takdir
dari Tuhan jadi mereka tetap menjalani kehidupannya sesuai apa adanya. Tetapi
sekarang ini terutama di kota-kota besar yang laju pertumbuhannya berlangsung pesat,
kemiskinan dianggap sebagai masalah social dimana keadaan ekonomi-sosial
seseorang menjadi satu tolok ukur derajat hidup seseorang. Hal tersebut bisa
mempengaruhi kehidupan orang tersebut di bidang-bidang kehidupan lainnya. 39

Dengan adanya keterbatasan keluarga akan akses atau informasi tentang cara
penanganan terhadap ODGJ, otomatis keluarga akan melakukan hal-hal yang
menurutnya bisa dilakukan untuk melindungi ODGJ ataupun keluarga itu sendiri.
Penyebaran rasa malu karena ada desas desus tentang anggota keluarga yang
mengalami perilaku menyimpang akan menyebabkan terjadinya hubungan yang
sumbang antara keluarga tersebut dengan lingkungan sekitar. Harapan dari keluarga
tersebut dengan melakukan pemasungan antara lain menciptakan situasi yang
sedemikian rupa untuk ODGJ agar dipaksa untuk patuh. Pengendalian sosial terutama
bertujuan untuk mencapai stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi di
masyarakat, dimana pengendalian social tersebut bisa dilakukan oleh satu individu ke
individu lainnya. 40

38
Sri Idalani, 2015, Jurnal : Faktor Yang Paling Dominan Terhadap Pemasungan Orang Dengan
Gangguan Jiwa Di Indonesia, Hlm. 5
39
Soerjono Soekanto, (Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, 2012), Jakarta, Hlm.320
40
Ibid, Hlm. 179

21
Beberapa faktor tersebut di dalam masyarakat atau keluarga melakukan
tindakan pemasungan sebagai hal yang lumrah dilakukan dalam lingkungan karena
untuk mencegah penderita ODGJ melakukan kekerasan terhadap diri sendiri maupun
orang lain. Selain itu, upaya ini dilakukan supaya tidak kambuh dalam arti kata kabur
dari rumah, perilaku kekerasan dan isolasi sosial. Faktor pendidikan dan kemiskinan
juga menjadi salah satu hal penting dimana dari sisi pendidikan masyarakat kurang
paham tentang penanganan ODGJ itu sendiri dan dari sisi ekonomi yaitu kemiskinan,
serta anggapan bahwa ODGJ tidak kunjung sembuh dan tindakan keluaga untuk
mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga melakukan pemasungan.
Kendala ekonomi keluarga berpengaruh pada biaya pengobatan yang harus ditanggung
pasien atau keluarga ODGJ tidak hanya meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan
pelayanan medik seperti harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya
seperti biaya transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya.41

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam


membentuk tindakan seseorang Overt Behavior , namun faktor pengetahuan atau
kognitif dapat dipengaruhi kecenderungan seseorang untuk memilih ataupun tidak
untuk melakukan suatu perbuatan. Niat dari perbuatan ditentukan oleh sejauh mana
individu memiliki sikap positif pada perilaku tertentu serta sejauh mana dia memilih
untuk melakukan perilaku itu dia mendapat dukungan dari orang-orang lain yang
berpengaruh dalam kehidupannya. Seseorang yang mempunyai niat berperilaku tinggi,
maka seseorang yang bersangkutan akan melakukan perilaku tersebut. Namun jika
seseorang yang bersangkutan memiliki niat yang rendah maka perbuatan tidak
dilakukan atau terwujud. Maka dari itu, pengetahuan juga dapat berpengaruh terhadap
penanganan orang dengan ODGJ, karena semakin tinggi dan luas pengetahuan

41
Djatmiko, dalam Rohmadoni Aditya, Mundzakir, “Analisis Faktor Yang Mempengaruhi
Keluarga Melakukan Pemasungan Pada Anggota Keluarga Dengan Gangguan Jiwa”, Tesis, Universitas
Muhamadiyah Surabaya 2015, Hlm. 23

22
seseorang, maka diharapkan dapat memperlakukan penanganan ODGJ dengan baik
begitu juga sebaliknya.42

Dalam melihat fenomena pemasungan terhadap ODGJ oleh keluarga, apabila


dilihat secara social dan hukum terjadi sebuah benturan. Bilamana dilihat secara hukum
kemudian keluarga sebagai pelaku pemasungan dikenai pidana dengan ancaman pasal
333 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan tuduhan merampas kemerdekaan
seseorang dan dikenai sanksi pidana, muncul fenomena siapa yang akan menjadi
pengampu bagi ODGJ tersebut. Analisis ini dibuat cenderung melihat dari sisi social,
dimana juga memperhatikan peran keluarga dalam ODGJ dan pemenuhan hak nya
secata hukum karena keluarga adalah agen utama dalam terbentuknya sosialisasi
primer dan pembentukan kepribadian seseorang.

1. Orang yang di pasung rata-rata dari keluarga tidak mampu sehingga mereka
takut akan biaya yang akan dikeluarkan ketika keluarganya yang memiliki
gangguan kejiwaan ke rumah sakit jiwa untuk melakukan pengobatan,
2. Tidak mengetahui bahwa saat ini pengobatan gratis bagi orang dengan
gangguan jiwa
3. Tidak mengetahui peraturan tentang perlindungan orang dengan gangguan jiwa
serta ancaman pidana bagi orang yang melakukan pemasungan.
Dari contoh kasus diatas jelaslah bahwa di butuhkan kerja sama dari seluruh
stakeholder dari pemerintah pusat hingga daerah untuk benar benar memperhatikan dan
memenuhi hak-hak dari orang dengan gangguan jiwa.

42
Notoatmodjo dalam loc. cit

23
III. Simpulan
Setiap warga Negara memiliki hak yang sama di depan hokum tanpa
membedakan status, ras, buadaya, agama dan lai-lain, begitu pula terhadap orang
dengan gangguan jiwa. Oleh karena itu Negara telah membentuk berbagai peraturan
perundang-undangan tentang orang dengan gangguan jiwa.

Namun sangat disayangkan meskipun aturan-aturan telah dibuat, tetap saja


masih banyak hak-hak orang gila yang tidak terpenuhi terutama kehidupan yang layak,
yang lebih menyedihkan adalah masih banyaknya kasus pemasungan terhadap orang
dengan gangguan jiwa. Pemerintah harus lebih serius lagi dalam memenuhi hak-hak
orang dengan gangguan jiwa sebagaimana yang di amanatkan oleh peraturn
perundang-undangan.

24
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Alifiatzi Fitrikasari, Penilaian Fungsi Pribadi dan Sosial Sebelum dan Sesudah
Mendapatkan Pengobatan pada Penderita Gangguan Jiwa Korban Pemasungan,
Semarang: Media Medika Indonesiana, 2012,
Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran Danpengaturan Hak Asasi Manusia Di
Indonesia, Alumni, Bandung, 2001,
Darji Darmodihardjo, Santiaji Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 2009
Djatmiko, dalam Rohmadoni Aditya, Mundzakir, 2015, “Analisis Faktor Yang
Mempengaruhi Keluarga Melakukan Pemasungan Pada Anggota Keluarga
Dengan Gangguan Jiwa”, Tesis, Universitas Muhamadiyah Surabaya
James Hensin, Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi, Penerbit Erlangga, Jakarta,
2006,
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGrafino Persada, Jakarta
2013,
Louis O. Katstsoff, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1992
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung : CV. Pustaka
Setia,2006)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Us{u>l Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, tt)
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP, Jakarta: Alumni AHM PTHM
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 2012
Sri Idalani, Jurnal : Faktor Yang Paling Dominan Terhadap Pemasungan Orang
Dengan Gangguan Jiwa Di Indonesia, 2015,
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1999,
Wahjadi Dharmabrata, Psikiatri Forensik, Penerbit Buku Kedoktern EGC, Jakarta
2003

25
B. Internet/Surat kabar
http://www.pikiran-rakyat.com/kolom/2016/05/01/pemasungan-dan-teori-penjulukan-
368143, diakses pada 15 oktober 2018 pukul 12.00 WIB
https://www.liputan6.com/news/read/2689855/6-kisah-pemasungan-yang-memilukan
https://www.academia.edu/9323126/MAKALAH_ASKEP_KEPERAWATAN_JIW
A_DENGAN MASALAH_WAHAM/ di akses pada tanggal 22 April 2015

26

Anda mungkin juga menyukai