Dalam literatur mengenai hak-hak asasi manusia (HAM), salah satu isu penting yang
mengundang perdebatan adalah mengenai pembatasan atas HAM. Seperti disampaikan Heiner
Bielefeldt, mantan pelapor khusus PBB untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, isu
pembatasan amat penting karena ia memiliki signifikansi praktis yang nyata.1 Pemerintah atau
masyarakat kerap berupaya membatasi hak untuk KBB yang terkadang dipandang tak sejalan
dengan upaya pemerintah mengontrol sebagian warga negaranya, atau keistimewaan yang
dinikmati sekelompok masyarakat. Ada amat banyak contoh nyata untuk ini di banyak negara.
Di Indonesia pun, argumen bahwa HAM perlu dibatasi kerap disampaikan oleh penegak hukum
maupun sebagian kelompok masyarakat, demi membatasi individu atau kelompok-kelompok
masyarakat lain.2
KBB adalah bagian dari HAM sebagai hukum internasional yang sudah diakui dalam
hukum nasional Indonesia. HAM diteguhkan dalam UUD 1945 (Pasal 28A-J dan Pasal 29) dan
beberapa UU, seperti UU No. 29/1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, UU HAM No. 39/1999, dan UU NO. 12/2005
tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR (Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
1
. Heiner Bielefeldt, “Religion and Human Rights”, diskusi terbatas yang diselenggarakan oleh CRCS UGM-NHCR
Oslo University-DIAN/Interfidei, di Ruang Sekip, University Club UGM, Yogyakarta, pada 27 Juni 2017.
2
Zainal Abidin Bagir and Dkk, Membatasi Tanpa Melanggar (Yogyakarta: Center for Religious and Cross-cultural
Studies (CRCS), 2019).
Pembatasan di Indonesia
Ada beberapa sumber yang secara eksplisit mendaftar perkecualian dalam bentuk
pembatasan atas hak KBB, yang tak semuanya konsisten:3
A Dalam UUD 1945, pembatasan disebut di Pasal 28J (hasil Amandemen Kedua, 2000):
pembatasan ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata:
1. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain;
2. dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan: - pertimbangan moral, - nilai-nilai
agama, - keamanan, - ketertiban umum.
3. dalam suatu masyarakat demokratis.
B Dalam Kovenan Hak Sipil & Politik (diratifikasi melalui UU No. 12/2005), pasal 18 (3)
menjelaskan bahwa pembatasan harus berdasarkan hukum dan sepanjang diperlukan
untuk melindungi :
1. keselamatan masyarakat (public),
2. ketertiban masyarakat,
3. kesehatan masyarakat,
4. moral masyarakat,
5. hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Syarat-Syarat Pembatasan.
Dalam suatu pembatasan tentu saja membutuhkan syarat yang harus terpenuhi agar
pembatasan tersebut berjalan baik. Syarat tersebut ada tiga, yakni merujuk pada Prinsip Sirakusa
dan telah diadaptasi oleh hukum internasional di banyak negara, yaitu: “ditentukan oleh hukum”
(prescribed by law), “dalam masyarakat demokratis” (in a democratic society), dan “diperlukan
untuk melindungi” (necessary to protect) sekaligus “sebanding” (proportionate).4
3
Ibid.
4
Ibid. hal.81
Dalam konteks Indonesia, hukum adalah terminologi yang sangat luas. Kalaupun kita
kaitkan hukum hanya dalam makna peraturan yang mengikat publik ia tetap luas. Oleh
karena itu, penting kiranya melihat batasan hukum internasional tentang apa yang
dimaksud hukum atau ditentukan oleh hukum. Apa yang dimaksud dengan prescribed by
law dapat kita temukan dalam Prinsip Sirakusa dan Komentar Umum No. 22 tentang
penjelasan pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik. Berdasarkan dua ketentuan tersebut
kita dapat mengetahui bahwa syarat “ditentukan oleh hukum” memiliki syarat/batasan
yang mencakup bentuk hukum, isi hukum tersebut, pemberlakuannya, dan setelah
pemberlakuan.5
Pasal 28J ayat (1) kemudian mengatur lebih khusus lagi yaitu “dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang...” Berdasarkan dua ayat konstitusi di atas, dapat diketahui jika
Indonesia secara ketat mengatur pembatasan hak asasi manusia yang hanya dapat diatur
melalui undang-undang.