Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH HUKUM PENINTESIER

PIDANA MATI

DIUSULKAN OLEH :

PUTRI MEGAWATI 04020200194

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR

2022

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki
peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena
itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius. Adagium ini muncul karena
hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat.
Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai
kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis,
makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon). 1Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum,
semuanya adalah hubungan hukum. Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan
hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur
yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum
tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus
menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena
bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum.
Pidana mati merupakan salah satu pidana bawaan dari pidana buatan belanda dalam
masa penjajahan dahulu yang sampai sekarang terkadang masih di implikasikan terhadap
pidana di Indonesia walaupun sebenarnya dalam masa kerajaan dahulu pidana mati juga
sempat di terapkan untuk suatu tindakan pidana tertentu, dan dalam UUD 1945 juga terdapat
aturan tentang pidana mati tersebut maka sebenarnya pidana mati salah jika di anggap tidak
sesuai dengan pancasila sebagai dasar ideologi bangsa.
Konsistensi penerapan hukuman mati di dunia selalu saja menjadi hal yang
kontroversi, baik di kalangan pemerintah, praktisi hukum, agamawanmaupun masyarakat
sendiri. Karena dirasa melanggar hak yang paling mendasarbagi manusia yaitu hak untuk
hidup dan memperbaiki kehidupannya. Hukumanmati merupakan jenis pidana yang terberat
dibandingkan dengan pidana lainnya,karena dengan pidana mati terenggut nyawa manusia
untuk mempertahankanhidupnya.2
Kontroversi inilah yang akan di bahas dalam makalah ini dengan dihubungkannya
pidana mati tersebut dengan teori-teori tujuan pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana
yang ada di dunia, yang sekiranya hukuman mati akan pas atau tidaknya jika di terapkan
dalam KUHP Indonesia. Yang sekiranya menurut penulis pidana mati merupakan pidana
yang mungkin layak untuk di terapkan dalam sistem hukum pidana yang ada di Indonesia.

1
A. Hamzah & A. Sumangelipu, “Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan”, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1985.
2
Komariah Emong SuparDjaja,“Permasalahan Pidana Mati di Indonesia,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia,Vol 4,
No. 4 Desember 2007. hlm 19.

2
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah disebutkan pada latar belakang penulisan makalah ini, maka
permasalahan yang akan dianalisis oleh penulis adalah:
1. Bagaimana pengaturan tentang pidana mati di Indonesia ?
2. Bagaimana hubungan pidana mati dengan teori-teori tujuan pemidanaan?
3. Bagaimana pandangan para ahli hukum tentang penerapan pidana mati?
4. Bagaimana tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pidana Mati dan Tujuan Pemidanaan


Pidana mati merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa
seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman
tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan
dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak
menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.3
Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di
Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan
dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu,
umpamanya :
1. mencuri dihukum potong tangan ;

2. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab),
kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar
(tanjir), dan sebagainya.4
Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada keterangan
di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat
dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan
dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka
eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan
memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan
kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik
kesimpulan bahwa bukan Belanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan
berdasarkan pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari
1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang
tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman
gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945
Nomor123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara
ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun
1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang
nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak
mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri)

3
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm. 187.
4
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor,hlm 14.

4
sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak
kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah
dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap
dan kepada si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden.
Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie
(persetujuan Presiden).
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan
sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang
tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat
luas bahkan negara sekalipun
Mengenai korelasi pidana penjara secara normatif tidak ada kaitanya sama sekali,
hanya saja pidana mati dipergunakan sebagai sarana bagi Negara untuk merampas
kemerdekaan terpidana menjelang dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan diri.
Berdasarkan hal tersebut, timbulah permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah
dijatuhkan Negara sebagai bentuk hukuman tambahan terhadap terpidana mati. Dikatakan
demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita pelaksanaan eksekusi mati terhadap
terpidana berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Maka di Negara ini seolah-olah
sebagian besar terpidana mati menjalani dua bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali
pidana penjara terlebih dahulu, lalu barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya
dijatuhkan padanya yaitu pidana mati.
Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan
penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan
alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan
secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan
pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh
di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh.
Dalam penjatuhan pidana, yang selalu menjadi pertanyaan adalah apakah sebenarnya
tujuan penjatuhan pidana itu. Dari sekian banyak jawaban, belum begitu memuaskan banyak
pihak.Dalam rancangan KUHP Baru disebutkan dalam Pasal 50 bahwa pemidanaan bertujuan
untuk :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang


yang baik dan berguna;

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan


keeimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan

5
5. Memaafkan terpidana.5

Dalam penjelasan Pasal 50 Rancangan KUHP disebutkan bahwa pemidanaan


merupakan suatu proses. Sebelum proses ini berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia
mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan
menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu. Ketentuan dalam pasal ini
dikemukakan tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat,
rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hukum adat, serta aspek psikologis
untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Meskipun pidana pada dasarnya
merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan
tidak merendahkan martabat manusia.6
Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai kini telah menjurus ke arah yang
lebih rasional. Yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan
pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi
korban kejahatan. Hal ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya
pada zaman modern ini, seperti akan disebutkan di belakang, unsur-unsur primitif dari hukum
pidana paling sukar dihilangkan, berbeda dengan cabang hukum yang lain. Tujuan yang juga
dipandang kuno ialah penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu
melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan balas antara yang hak
dan batil.7
Menurut pendapat penulis, tujuan untuk memperbaiki penjahat sehingga menjadi
warga negara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama
bagi delik-delik tanpa korban (victimless crime) seperti homoseks, mucikari dan sejenisnya.
Tujuan pemidanaan yang berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk-bentuk :
penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada
mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat: perlindungan kepada masyarakat dari
perbuatan jahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat. Yang tersebut terakhir yang paling
modern dan popular dewasa ini. Bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan
tetapi juga mencari alternatif lain lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar
hukum.8
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan ini Romli Atmasasmita berpendapat bahwa
masalah tujuan pemidanaan merupakan bagian yang sangat mendasar dan penting dalam
kehidupan hukum pidana di Indonesia bahkan di seluruh negara. Hal ini disebabkan karena
perkembangan peradaban suatu bangsa antara lain juga ditentukan oleh sejauh manakah
perlakuan bangsa yang bersangkutan terhadap terpidananya. Tujuan pemidanaan merupakan
pencerminan dari falsafah suatu bangsa, dan tuua pemidaan akan menjiwai para pelaksana
aparat penegak hukum terutama hakim, jaksa dan petugas Lembaga Pemasyarakatan.9

B. Teori-Teori Pemidanaan
5
Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, 1999 - 2000.
6
Ibid, hlm. 32-33.
7
Andi Hamzah, Hukum Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradya Paramitha, 1986
8
Ibid, hlm. 218
9
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1955), hlm. 90.

6
Tujuan pemidanaan pada prinsipnya termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang
lazim dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari penggabungan
kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori
pemidanaan yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana :
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),

2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien),

3. Teori gabungan (verenigingstheorien).

Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).


Teori ini juga dikenal dengan teori mutlak ataupun teori imbalan dan teori ini lahir
pada akhir abad ke-18. Menurut teori-teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan
pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena telah
melakukan kejahatan.10 Maka, pemberian pidana disini ditujukan sebagai bentuk pembalasan
terhadap orang yang telah melakukan kejahatan.
Ada banyak filsuf dan dan ahli hukum pidana yang menganut teori ini, diantaranya
ialah Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl, JJ Rousseau. Dari banyak pendapat ahli tersebut
penulis tertarik dengan pendapat yang disampaikan Hegel mengenai argumennya terhadap
hukuman bila dikolerasikan dengan teori absolut. Dimana hukuman dipandang dari sisi
imbalan sehingga hukuman merupakan dialectische vergelding. Hal ini memperlihatkan
bahwa pembalasan (vergelding) diuraikan dengan nuansa dialektika sebagaimana pola Hegel
berfilsafat.
Jadi, dalam teori ini pidana dapat disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang
diberikan oleh negara yang bertujuan menderitakan penjahat akibat perbuatannya. Tujuan
pemidanaan sebagai pembalasan pada umumnya dapat menimbulkan rasa puas bagi orang,
yang dengan jalan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah
dilakukan.11

Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien).


Lahirnya teori ini menurut penulis merupakan suatu bentuk negasi terhadap teori
absolut (walaupun secara historis teori ini bukanlah suatu bentuk penyempurnaan dari teori
absolut) yang hanya menekankan pada pembalasan dalam penjatuhan hukuman terhadap
penjahat. Teori yang juga dikenal dengan nama teori nisbi ini menjadikan dasar penjatuhan
hukuman pada tujuan dan maksud hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu
penghukuman (nut van destraf).
Teori ini berprinsip penjatuhan pidana guna menyelenggarakan tertib masyarakat
yang bertujuan membentuk suatu prevensi kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda:

10
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 23.
11
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 47.

7
menakutkan, memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus.
Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.
Feurbach sebagai salah satu filsuf penaganut aliran ini berpendapat pencegahan tidak
usah dilakukan dengan siksasaan tetapi cukup dengan memberikan peraturan yang
sedemikian rupa sehingga bila orang setelah membaca itu akan membatalkan niat jahatnya.
Selain dengan pemberian ancaman hukuman, prevensi umum (general preventie) juga
dilakukan dengan cara penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman (eksekusi). Eksekusi
yang dimaksud dilangsungkan dengan cara-cara yang kejam agar khalayak umum takut dan
tidak melakukan hal yang serupa yang dilakukan oleh si penjahat.
Seiring perkembangan zaman, apa yang menjadi substansi tujuan pemidanaan
sebagaimana yang terurai dalan prevensi umum menuai kritikan. Salah satu kritikan yang
paling mendasar dapat penulis perlihatkan berdasarkan pendapat Dewey yang menyatakan :
Banyak pelaku kejahatan tidak mempertimbangkan hukuman. Terkadang karena
mereka mengalasakit jiwa ayau “feebleminded” — atau berbuat dibawah tekanan emosi
yang berat. Terkadang ancaman hukuman itu menjadikan mereka seolah-olah dibujuk.
Banyak tahanan yang mengemukakan reaksi kejiwaaannya dikala proses dari pelanggaran
undang-undang. Semua ini memperlihatkan bahwa sesunggyhnya hanya sedikit yang
mempertimbangkan undang-undang penghukuman.12
Pada prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi si penjahat agar ia
tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilakukannya. Van Hamel dalam hal ini menunjukkan
bahwa prevensi khusus dari suatu pidana ialah :
1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang
mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat buruknya.

2. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki si terpidana.

3. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki.

4. Tujuan satu-satunya pidana ialah mempertahankan tertib hukum.


Maka dapat disimpulkan bahwa dalam teori relatif, negara dalam kedudukannya
sebagai pelindung masyarakat menekankan penegakkan hukum dengan cara cara prenventif
guna menegakkan tertib hukum dalam masyarakat.

Teori gabungan (verenigingstheorien).


Teori gabungan merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan teori relatif
yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan tertib hukum masyarakat. Dalam
teori ini, unsur pembalasan maupun pertahanan tertib hukum masyarakat tidaklah dapat
diabaikan antara satu dengan yang lainnya.

12
Sutherland & Cressey (disadur oleh Sudjono D), The Control of Crime Hukuman dalam Perkembangan Hukum
Pidana, Tarsito, Bandung, 1974, hlm. 62.

8
Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut ke
dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan menjadikan tiga bentuk yaitu, teori
gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, teori gabungan teori gabungan yang
menitikberatkan pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yangmemposisikan
seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.
Menurut, Wirjono Prodjodikoro, bagi pembentuk undang-undang hukum pidana, bagi
para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu dari ketiga macam teori hukum pidana
tersebut dalam menunaikan tugas. Penulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat
dengan apa yang disampaikan Wirjono Prodjodikoro dikarenakan nilai-nilai keadilan
bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan unsur humanis yang
berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si pembuat (penjahat) yang diproses melalui
perpaduan logika dan hati yang terlahir dalam sebuah nurani.

C. Pengaturan Pidana Mati di Indonesia


Pidana mati tercantum dalam KUHP yang merupakan warisan dari pemerintahan
kolonial yang telah dinasionalisasikan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946.
Namun sesudah Indonesia merdeka beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan kemudian,
ternyata tercantum juga ancaman pidana mati di dalamnya.
Dengan demikian, alasan bahwa pidana mati itu tercantum dalam W.v. S (KUHP)
pada waktu itu diberlakukan oleh pemerintah kolonial didasarkan pada antara lain "alasan
berdasarkan faktor rasial", mungkin hanya berlaku dahulu saja, dan tidak lagi sekarang,
karena Pemerintah Republik Indonesia juga ternyata mengeluarkan Undang-Undang selain
KUHP, yang mencantumkan ancaman pidana mati.13

1. Pidana Mati di dalam KUHP


Di dalam KUHP tercantum pasal - pasal yang mengandung ancaman hukuman mati
antara lain sebagai berikut:
a. Makar, membunuh Kepala Negara (Pasal 104 KUHP).
b. Membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu
dilakukan atau jadi perang (Pasal 111 ayat (2) KUHP).
c. Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam keadaan perang (Pasal
124 ayat (1) KUHP)
d. Membunuh Kepala Negara Sahabat (Pasal 140 ayat (3) KUHP)
e. Pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu (Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340
KUHP).
f. Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam
atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang yang
terluka berat atau mati (Pasal 365 ayat (4) KUHP).
g. Pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai sehingga ada orang mati (Pasal 444
KUHP).

13
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung, 1979, hlm. 29

9
h. Pada waktu perang menganjurkan hura-hura, pemberontakan dan sebagainya (Pasal
124 bis KUHP).
i. Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (Pasal
127 dan Pasal 129 KUHP)
j. Pemerasan dengan pemberantasan (Pasal 368 ayat (2) KUHP).

2. Pidana Mati Dalam Perundang-Undangan di luar KUHP

a. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Pasal 80 ayat (1),
Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82
ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, Pasal 82 ayat (3) huruf a.
b. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Ancaman Pidana
mati dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diatur dalam
pasal 59 ayat (2)
c. Dalam Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman
pidana mati dalam Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat
terlihat dalam Pasal 2 ayat (2).
d. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Ancaman pidana mati dalam ketentuan undang-undang ini adalah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 89 ayat (1).
e. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM). Adapun ancaman pidana mati dalam undang-undang ini diatur
dalam Pasal 36 dan Pasal 37.
f. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Ancaman pidana mati dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan tindak pidana Terorisme tercantum dalam beberapa pasal, antara lain
Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 14.

D. Pro dan Kontra Mengenai Keberadaan Pidana Mati


Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai
pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi
hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi
manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga
pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Kecendrungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya,
umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu kebutuhan pidana mati sangat
dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan
umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra
terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi
manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah
eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim.

10
Penjatuhan pidana sebagai suatu nestapa kepada pelaku tindak pidana merupakan obat
terakhir (ultimum remedium), yang hanya dijalankan apabila upaya-upaya lain seperti
pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk sanksi yang paling berat adalah pidana
mati yang selalu diperdebatkan keberadaan dan urgensinya selama ratusan tahun oleh para
sarjana hukum pidana dan kriminologi.
Pro dan kontra pidana mati ini memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada
pembela pidana mati yang mengatakan pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan
menakutkan penjahat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana
mati dapat menyebabkan ketidakadilan, tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan
dilakukan karena panas hati dan emosi yang diluar jangkauan kontrol manusia.
Menurut B. Bawazirj wartawan Kantor Berita Antara di Kairo Mesir dalam tulisannya
mengenai sikap pro dan kontra penjatuhan pidana mati di Mesir dan Lebanon antara lain
mengatakan "bahwa pidana penjara seumur hidup adalah lebih kejam, karena penderitaan
yang dijatuhi pidana ini adalah lebih hebat daripada penderitaan orang yang dalam sekejap
mata pindah ke alam baqa". Selain itu pidana penjara seumur hidup dianggap tidak cukup
menakutkan, sehingga pengaruhnya untuk mencegah kejahatan kurang efektif. Dalam
hubungan ini mereka menunjukkan kejahatan, bahwa diberbagai negara yang sudah terlanjur
menghapuskan pidana mati dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya, terpaksa akhirnya
memberlakukan kembali.14
Ada negara negara yang belum menghapuskan pidana mati, tetapi pelaksanaannya
dipersukar sehingga menurun seperti Amerika Serikat antara lain tahun 1930-1934 sebanyak
155 eksekusi. Antara tahun 1961-1965 sebanyak 26 eksekusi. Ada pula negara yang
menghapuskan pidana mati seperti Belanda, Jerman, Italia, Portugal, Austria, Swiss, dan
negara-negara Skandinavia lainnya. Ada pula negara yang menghapuskannya pidana mati
tetapi kemudian mengadakannya lagi, seperti Rusia.
Baru-baru ini Cile menghapuskan pidana mati. Hal ini terlihat dengan telah
dikeluarkannya Undang-Undang yang berisi penghapusan pidana mati di negara tersebut
yang sudah ditandatangani Presiden Cile Ricardo Lagos. Sejak ketentuan pidana mati
pertama kali dijalankan tahun 1890, sudah sebanyak 37 warga negara Cile yang secara resmi
terkena pidana mati. Pidana mati diterapkan terakhir kali pada tahun 1985 saat pemerintahan
Presiden Augusto Pinochet berkuasa.
Republik Rakyat Cina termasuk negara yang masih menerapkan pidana mati. Hal ini
bisa terlihat di mana Cina telah mengeksekusi 28 orang yang terlibat kejahatan, yakni para
perampok bersenjata, pembunuh maupun para pemerkosa. Pelaksanaan hukuman mati itu
sebagai kampanye tindakan sangat keras untuk memberantas kejahatan dan kekerasan yang
terorganisasi di negara berpenduduk 1,3 Milyar itu.
Alasan yang pro terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang
membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat
suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan ketertiban hukum di Indonesia adalah
lebih besar. Hazewinkel Suringa berpendapat bahwa pidana adalah suatu alat pembersih
radikal yang pada setiap masa revolusioner dapat dipergunakan. Van Veen menganggap

14
Andi Hamzah dan Sumangilepu, Ancaman Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu dan Masa Depan, Ghalia
Indonesia, Jakarta

11
pidana mati sebagai alat pertahanan bagi masyarakat yang sangat berbahaya dan juga pidana
mati dapat dan boleh dipergunakan sebagai alat demikian.
Barda Nawawi Arief termasuk salah satu pakar hukum yang masih mentolerir
penerapan pidana mati sebagaimana dikemukakannya dalam debat publik RUU tentang
KUHP sebagai berikut:
Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakekatnya bukan sarana utama/
pokok untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki individu/ masyarakat. Pidana mati
hanya merupakan sarana perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan sarana amputasi/
operasi di bidang kedokteran, yang pada hakekatnya juga bukan sarana/ obat utama,
tetapihanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/ obat terakhir. Oleh karena itu
ditegaskan dalam konsep (Pasal 80), bahwa pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai
upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat."15
Adapun yang kontra terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh Beccaria
yang mengatakan bahwa hidup adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal dan
membunuh adalah tercela. Oleh karena itu pidana mati adalah immoral dan makanya tidak
sah. Sebenarnya pada tahun 1964 seorang guru besar Austria Joseph von Sonnefels sudah
menentang pidana mati yang dipandangnya bertentangan dengan tujuan pidana.

E. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati


Sebagaimana diketahui bahwa dalam pelaksanaan pidana mati tiap negara yang
menganut pidana mati mempunyai tata cara berbeda dalam pelaksanaan pidana mati. Pidana
mati merupakan sesuatu yang sangat menakutkan dan merupakan shock therapy yang sangat
tepat bagi mereka yang melakukan tindak pidana narkotika dengan akibat yang begitu besar
terhadap tatanan kehidupan, baik berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1969 yaitu dilakukan dengan ditembak sampai mati (Pasal 1) yang
pelaksanaannya dilakukan di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan yang
menjatuhkan putusan pada tingkat pertama (Pasal 2). Sedangkan yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaan pidana mati tersebut adalah Jaksa, dimana Jaksa menentukan waktu dan
tempat pelaksanaan pidana mati, sedangkan Kepala Kepolisian setempat bertanggung jawab
atas keamanan dan ketertiban pada waktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-
tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu (Pasal 3). Adapun pelaksanaan pidana mati
dilakukan tidak dimuka umum dan dengan cara sesederhana mungkin kecuali ditetapkan lain
oleh Presiden. Pelaksanaannya yaitu Kepala Kepolisian setempat membentuk regu tembak
terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama dibawah pimpinan seorang perwira
yang semuanya dari Brigade Mobil, dimana regu tembak tersebut berada dibawah perintah
Jaksa sampai selesai Pelaksanaan Pidana Mati.
Apabila melihat tata cara pelaksanaan pidana mati tersebut ternyata pelaksanaannya
memerlukan tenaga yang cukup banyak, menurut pendapat penulis apakah tidak sebaiknya
pelaksanaan pidana mati tersebut diganti dengan cara disuntik sampai mati seperti halnya
15
Barda Nawawi Arief, Masalah Pidana Mati dan Pidana Anak Dalam RUU KUHP, Jakarta, 27-28 November
2000, hlm. 2.

12
pelaksanaan pidana mati yang dilaksanakan di Amerika Serikat, sebab di samping tidak
memerlukan tenaga yang banyak dan biayanya relatif sedikit dan pelaksanaannya tidak harus
mencari-cari tempat yang tidak dilihat orang banyak/umum yang saat ini dengan
perkembangan perkotaan sudah jarang tempat-tempat yang tidak ditempati orang. Selain itu
pelaksanaan hukuman mati tersebut cukup dilaksanakan dalam satu kamar, dan menurut
pendapat penulis pelaksanaan pidana mati tersebut sebaiknya dilaksanakan di tempat khusus
pada Lembaga Pemasyarakatan karena Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk
melaksanakan pidana.

BAB III
PENUTUP

13
A. Kesimpulan
Pidana mati sesuai dengan teori pembalasan, dimana pidana dijatuhkan semata-mata
hanya untuk membalas perbuatan si pelaku. Namun pidana jenis ini juga kerap digunakan
sebagai senjata pamungkas (ultimum remidium) terhadap jenis-jenis kejahatan tertentu.
Pidana mati di Indonesia mengacu kepada aliran hukum pidana neo-klasik, dimana menurut
aliran ini pidana mati dirumuskan secara alternatif, jadi pidana mati dirumuskan dengan jenis
pidana pokok lainnya (pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu
20 tahun) dalam suatu pasal yang mengatur mengenai suatu perbuatan pidana.
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai
pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi
hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi
manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga
pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa
seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman
tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan
dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak
menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.
Hukuman mati masih diterapkan di Indonesia dan tertuang dalam hukum positif
Indonesia yaitu Pasal 10 KUHP dan termasik sebagai pidana pokok, hal tersebut juga
didukung dengan kualifikasi tindak pidana yang bisa dikategorikan ataupun diancam dengan
pidana mati antara lain tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang
Indonesia begitu juga dalam Rancangan KUHP juga terdapat pengaturan pidana mati.

B. Saran
Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya
lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi
tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan
aspek futuristik yg sifatnya mengantisipasi beserta alasan tentang penerapan pidana mati.

DAFTAR PUSTAKA

14
Buku-buku Sumber :
A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di
Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005.
Azra, Azyumardi. Demokrasi HAM dan masyarakat madani. Jakarta: Tim ICCE
UIN,2003.
Djamali, R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali
Pers, 2005.
Mustofa, Bachsan. Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remaja Karya,1984.
R. Soesilo. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus.
Bogor: Politea, 2001.

Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2004.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

15

Anda mungkin juga menyukai