PIDANA MATI
DIUSULKAN OLEH :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan suatu pedoman yang mengatur pola hidup manusia yang memiliki
peranan penting dalam mencapai tujuan ketentraman hidup bagi masyarakat. Oleh karena
itulah, hukum mengenal adanya adagium ibi societes ibi ius. Adagium ini muncul karena
hukum ada karena adanya masyarakat dan hubungan antar individu dalam bermasyarakat.
Hubungan antar individu dalam bermasyarakat merupakan suatu hal yang hakiki sesuai
kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri karena manusia adalah makhluk polis,
makhluk yang bermasyarakat (zoon politicon). 1Semua hubungan tersebut diatur oleh hukum,
semuanya adalah hubungan hukum. Maka untuk itulah dalam mengatur hubungan-hubungan
hukum pada masyarakat diadakan suatu kodifikasi hukum yang mempunyai tujuan luhur
yaitu menciptakan kepastian hukum dan mempertahankan nilai keadilan dari subtansi hukum
tersebut. Sekalipun telah terkodifikasi, hukum tidaklah dapat statis karena hukum harus terus
menyesuaikan diri dengan masyarakat, apalagi yang berkaitan dengan hukum publik karena
bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak dan berlaku secara umum.
Pidana mati merupakan salah satu pidana bawaan dari pidana buatan belanda dalam
masa penjajahan dahulu yang sampai sekarang terkadang masih di implikasikan terhadap
pidana di Indonesia walaupun sebenarnya dalam masa kerajaan dahulu pidana mati juga
sempat di terapkan untuk suatu tindakan pidana tertentu, dan dalam UUD 1945 juga terdapat
aturan tentang pidana mati tersebut maka sebenarnya pidana mati salah jika di anggap tidak
sesuai dengan pancasila sebagai dasar ideologi bangsa.
Konsistensi penerapan hukuman mati di dunia selalu saja menjadi hal yang
kontroversi, baik di kalangan pemerintah, praktisi hukum, agamawanmaupun masyarakat
sendiri. Karena dirasa melanggar hak yang paling mendasarbagi manusia yaitu hak untuk
hidup dan memperbaiki kehidupannya. Hukumanmati merupakan jenis pidana yang terberat
dibandingkan dengan pidana lainnya,karena dengan pidana mati terenggut nyawa manusia
untuk mempertahankanhidupnya.2
Kontroversi inilah yang akan di bahas dalam makalah ini dengan dihubungkannya
pidana mati tersebut dengan teori-teori tujuan pemidanaan dan aliran-aliran hukum pidana
yang ada di dunia, yang sekiranya hukuman mati akan pas atau tidaknya jika di terapkan
dalam KUHP Indonesia. Yang sekiranya menurut penulis pidana mati merupakan pidana
yang mungkin layak untuk di terapkan dalam sistem hukum pidana yang ada di Indonesia.
1
A. Hamzah & A. Sumangelipu, “Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan”, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1985.
2
Komariah Emong SuparDjaja,“Permasalahan Pidana Mati di Indonesia,” dalam Jurnal Legislasi Indonesia,Vol 4,
No. 4 Desember 2007. hlm 19.
2
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah disebutkan pada latar belakang penulisan makalah ini, maka
permasalahan yang akan dianalisis oleh penulis adalah:
1. Bagaimana pengaturan tentang pidana mati di Indonesia ?
2. Bagaimana hubungan pidana mati dengan teori-teori tujuan pemidanaan?
3. Bagaimana pandangan para ahli hukum tentang penerapan pidana mati?
4. Bagaimana tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia ?
3
BAB II
PEMBAHASAN
2. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab),
kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar
(tanjir), dan sebagainya.4
Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada keterangan
di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat
dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan
dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka
eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan
memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan
kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik
kesimpulan bahwa bukan Belanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan
berdasarkan pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari
1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang
tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman
gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945
Nomor123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara
ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun
1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang
nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak
mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri)
3
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm. 187.
4
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor,hlm 14.
4
sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak
kepolisian.
Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah
dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap
dan kepada si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden.
Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie
(persetujuan Presiden).
Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan
sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang
tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat
luas bahkan negara sekalipun
Mengenai korelasi pidana penjara secara normatif tidak ada kaitanya sama sekali,
hanya saja pidana mati dipergunakan sebagai sarana bagi Negara untuk merampas
kemerdekaan terpidana menjelang dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan diri.
Berdasarkan hal tersebut, timbulah permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah
dijatuhkan Negara sebagai bentuk hukuman tambahan terhadap terpidana mati. Dikatakan
demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita pelaksanaan eksekusi mati terhadap
terpidana berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Maka di Negara ini seolah-olah
sebagian besar terpidana mati menjalani dua bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali
pidana penjara terlebih dahulu, lalu barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya
dijatuhkan padanya yaitu pidana mati.
Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan
penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana dan
alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang yang dengan
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) dinyatakan
secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana. Tentunya, hak penjatuhan
pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta pelaksanaannya tersebut berada penuh
di tangan negara dalam realitasnya sebagai roh.
Dalam penjatuhan pidana, yang selalu menjadi pertanyaan adalah apakah sebenarnya
tujuan penjatuhan pidana itu. Dari sekian banyak jawaban, belum begitu memuaskan banyak
pihak.Dalam rancangan KUHP Baru disebutkan dalam Pasal 50 bahwa pemidanaan bertujuan
untuk :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
5
5. Memaafkan terpidana.5
B. Teori-Teori Pemidanaan
5
Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, 1999 - 2000.
6
Ibid, hlm. 32-33.
7
Andi Hamzah, Hukum Pidana dan Pemidanaan Indonesia, PT. Pradya Paramitha, 1986
8
Ibid, hlm. 218
9
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Mandar Maju, 1955), hlm. 90.
6
Tujuan pemidanaan pada prinsipnya termaktub dalam berbagai teori pemidanaan yang
lazim dipergunakan. Secara garis besar, teori pemidanaan terbagi dua dan dari penggabungan
kedua teori pemidanaan tersebut lahir satu teori pemidanaan lainnya. Adapun tiga teori
pemidanaan yang dijadikan alasan pembenar penjatuhan pidana :
1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),
10
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 23.
11
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 47.
7
menakutkan, memperbaiki, atau mebinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus.
Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.
Feurbach sebagai salah satu filsuf penaganut aliran ini berpendapat pencegahan tidak
usah dilakukan dengan siksasaan tetapi cukup dengan memberikan peraturan yang
sedemikian rupa sehingga bila orang setelah membaca itu akan membatalkan niat jahatnya.
Selain dengan pemberian ancaman hukuman, prevensi umum (general preventie) juga
dilakukan dengan cara penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman (eksekusi). Eksekusi
yang dimaksud dilangsungkan dengan cara-cara yang kejam agar khalayak umum takut dan
tidak melakukan hal yang serupa yang dilakukan oleh si penjahat.
Seiring perkembangan zaman, apa yang menjadi substansi tujuan pemidanaan
sebagaimana yang terurai dalan prevensi umum menuai kritikan. Salah satu kritikan yang
paling mendasar dapat penulis perlihatkan berdasarkan pendapat Dewey yang menyatakan :
Banyak pelaku kejahatan tidak mempertimbangkan hukuman. Terkadang karena
mereka mengalasakit jiwa ayau “feebleminded” — atau berbuat dibawah tekanan emosi
yang berat. Terkadang ancaman hukuman itu menjadikan mereka seolah-olah dibujuk.
Banyak tahanan yang mengemukakan reaksi kejiwaaannya dikala proses dari pelanggaran
undang-undang. Semua ini memperlihatkan bahwa sesunggyhnya hanya sedikit yang
mempertimbangkan undang-undang penghukuman.12
Pada prevensi khusus, tujuan pemidanaan ditujukan kepada pribadi si penjahat agar ia
tidak lagi mengulangi perbuatan yang dilakukannya. Van Hamel dalam hal ini menunjukkan
bahwa prevensi khusus dari suatu pidana ialah :
1. Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang
mempunyai kesempatan untuk tidak melakukan niat buruknya.
12
Sutherland & Cressey (disadur oleh Sudjono D), The Control of Crime Hukuman dalam Perkembangan Hukum
Pidana, Tarsito, Bandung, 1974, hlm. 62.
8
Berdasarkan penekanan atau sudut dominan dalam peleburan kedua teori tersebut ke
dalam bentuk teori gabungan, teori ini dibedakan menjadikan tiga bentuk yaitu, teori
gabungan yang menitikberatkan unsur pembalasan, teori gabungan teori gabungan yang
menitikberatkan pertahanan tertib masyarakat, dan teori gabungan yangmemposisikan
seimbang antara pembalasan dan pertahanan tertib masyarakat.
Menurut, Wirjono Prodjodikoro, bagi pembentuk undang-undang hukum pidana, bagi
para jaksa dan hakim tidak perlu memilih salah satu dari ketiga macam teori hukum pidana
tersebut dalam menunaikan tugas. Penulis dalam hal ini secara tegas menyatakan sepakat
dengan apa yang disampaikan Wirjono Prodjodikoro dikarenakan nilai-nilai keadilan
bukanlah didasarkan dari teori apa yang dianut melainkan berdasarkan unsur humanis yang
berkenaan dengan kondisi masyarakat dan si pembuat (penjahat) yang diproses melalui
perpaduan logika dan hati yang terlahir dalam sebuah nurani.
13
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Bandung, 1979, hlm. 29
9
h. Pada waktu perang menganjurkan hura-hura, pemberontakan dan sebagainya (Pasal
124 bis KUHP).
i. Dalam waktu perang menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang (Pasal
127 dan Pasal 129 KUHP)
j. Pemerasan dengan pemberantasan (Pasal 368 ayat (2) KUHP).
a. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, Pasal 80 ayat (1),
Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82
ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) huruf a, Pasal 82 ayat (3) huruf a.
b. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. Ancaman Pidana
mati dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diatur dalam
pasal 59 ayat (2)
c. Dalam Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman
pidana mati dalam Undang-Undang 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat
terlihat dalam Pasal 2 ayat (2).
d. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Ancaman pidana mati dalam ketentuan undang-undang ini adalah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 89 ayat (1).
e. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM). Adapun ancaman pidana mati dalam undang-undang ini diatur
dalam Pasal 36 dan Pasal 37.
f. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Ancaman pidana mati dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan tindak pidana Terorisme tercantum dalam beberapa pasal, antara lain
Pasal 6, Pasal 9, dan Pasal 14.
10
Penjatuhan pidana sebagai suatu nestapa kepada pelaku tindak pidana merupakan obat
terakhir (ultimum remedium), yang hanya dijalankan apabila upaya-upaya lain seperti
pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk sanksi yang paling berat adalah pidana
mati yang selalu diperdebatkan keberadaan dan urgensinya selama ratusan tahun oleh para
sarjana hukum pidana dan kriminologi.
Pro dan kontra pidana mati ini memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada
pembela pidana mati yang mengatakan pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan
menakutkan penjahat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana
mati dapat menyebabkan ketidakadilan, tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan
dilakukan karena panas hati dan emosi yang diluar jangkauan kontrol manusia.
Menurut B. Bawazirj wartawan Kantor Berita Antara di Kairo Mesir dalam tulisannya
mengenai sikap pro dan kontra penjatuhan pidana mati di Mesir dan Lebanon antara lain
mengatakan "bahwa pidana penjara seumur hidup adalah lebih kejam, karena penderitaan
yang dijatuhi pidana ini adalah lebih hebat daripada penderitaan orang yang dalam sekejap
mata pindah ke alam baqa". Selain itu pidana penjara seumur hidup dianggap tidak cukup
menakutkan, sehingga pengaruhnya untuk mencegah kejahatan kurang efektif. Dalam
hubungan ini mereka menunjukkan kejahatan, bahwa diberbagai negara yang sudah terlanjur
menghapuskan pidana mati dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidananya, terpaksa akhirnya
memberlakukan kembali.14
Ada negara negara yang belum menghapuskan pidana mati, tetapi pelaksanaannya
dipersukar sehingga menurun seperti Amerika Serikat antara lain tahun 1930-1934 sebanyak
155 eksekusi. Antara tahun 1961-1965 sebanyak 26 eksekusi. Ada pula negara yang
menghapuskan pidana mati seperti Belanda, Jerman, Italia, Portugal, Austria, Swiss, dan
negara-negara Skandinavia lainnya. Ada pula negara yang menghapuskannya pidana mati
tetapi kemudian mengadakannya lagi, seperti Rusia.
Baru-baru ini Cile menghapuskan pidana mati. Hal ini terlihat dengan telah
dikeluarkannya Undang-Undang yang berisi penghapusan pidana mati di negara tersebut
yang sudah ditandatangani Presiden Cile Ricardo Lagos. Sejak ketentuan pidana mati
pertama kali dijalankan tahun 1890, sudah sebanyak 37 warga negara Cile yang secara resmi
terkena pidana mati. Pidana mati diterapkan terakhir kali pada tahun 1985 saat pemerintahan
Presiden Augusto Pinochet berkuasa.
Republik Rakyat Cina termasuk negara yang masih menerapkan pidana mati. Hal ini
bisa terlihat di mana Cina telah mengeksekusi 28 orang yang terlibat kejahatan, yakni para
perampok bersenjata, pembunuh maupun para pemerkosa. Pelaksanaan hukuman mati itu
sebagai kampanye tindakan sangat keras untuk memberantas kejahatan dan kekerasan yang
terorganisasi di negara berpenduduk 1,3 Milyar itu.
Alasan yang pro terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang
membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat
suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan ketertiban hukum di Indonesia adalah
lebih besar. Hazewinkel Suringa berpendapat bahwa pidana adalah suatu alat pembersih
radikal yang pada setiap masa revolusioner dapat dipergunakan. Van Veen menganggap
14
Andi Hamzah dan Sumangilepu, Ancaman Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu dan Masa Depan, Ghalia
Indonesia, Jakarta
11
pidana mati sebagai alat pertahanan bagi masyarakat yang sangat berbahaya dan juga pidana
mati dapat dan boleh dipergunakan sebagai alat demikian.
Barda Nawawi Arief termasuk salah satu pakar hukum yang masih mentolerir
penerapan pidana mati sebagaimana dikemukakannya dalam debat publik RUU tentang
KUHP sebagai berikut:
Dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakekatnya bukan sarana utama/
pokok untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki individu/ masyarakat. Pidana mati
hanya merupakan sarana perkecualian. Hal ini dapat diidentikkan dengan sarana amputasi/
operasi di bidang kedokteran, yang pada hakekatnya juga bukan sarana/ obat utama,
tetapihanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/ obat terakhir. Oleh karena itu
ditegaskan dalam konsep (Pasal 80), bahwa pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai
upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat."15
Adapun yang kontra terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh Beccaria
yang mengatakan bahwa hidup adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal dan
membunuh adalah tercela. Oleh karena itu pidana mati adalah immoral dan makanya tidak
sah. Sebenarnya pada tahun 1964 seorang guru besar Austria Joseph von Sonnefels sudah
menentang pidana mati yang dipandangnya bertentangan dengan tujuan pidana.
12
pelaksanaan pidana mati yang dilaksanakan di Amerika Serikat, sebab di samping tidak
memerlukan tenaga yang banyak dan biayanya relatif sedikit dan pelaksanaannya tidak harus
mencari-cari tempat yang tidak dilihat orang banyak/umum yang saat ini dengan
perkembangan perkotaan sudah jarang tempat-tempat yang tidak ditempati orang. Selain itu
pelaksanaan hukuman mati tersebut cukup dilaksanakan dalam satu kamar, dan menurut
pendapat penulis pelaksanaan pidana mati tersebut sebaiknya dilaksanakan di tempat khusus
pada Lembaga Pemasyarakatan karena Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk
melaksanakan pidana.
BAB III
PENUTUP
13
A. Kesimpulan
Pidana mati sesuai dengan teori pembalasan, dimana pidana dijatuhkan semata-mata
hanya untuk membalas perbuatan si pelaku. Namun pidana jenis ini juga kerap digunakan
sebagai senjata pamungkas (ultimum remidium) terhadap jenis-jenis kejahatan tertentu.
Pidana mati di Indonesia mengacu kepada aliran hukum pidana neo-klasik, dimana menurut
aliran ini pidana mati dirumuskan secara alternatif, jadi pidana mati dirumuskan dengan jenis
pidana pokok lainnya (pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu
20 tahun) dalam suatu pasal yang mengatur mengenai suatu perbuatan pidana.
Pidana mati merupakan bentuk hukuman yang sejak ratusan tahun lalu telah menuai
pro dan kontra. Pro dan kontra tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi
hampir di seluruh Negara yang ada pada saat ini. Setiap ahli hukum, aktivis hak asasi
manusia dan lain sebagainya selalu menyandarkan pendapat pro dan kontra pada lembaga
pidana mati dengan alasan yang logis dan rasional.
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa
seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini juga merupakan hukuman
tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan
dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak
menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.
Hukuman mati masih diterapkan di Indonesia dan tertuang dalam hukum positif
Indonesia yaitu Pasal 10 KUHP dan termasik sebagai pidana pokok, hal tersebut juga
didukung dengan kualifikasi tindak pidana yang bisa dikategorikan ataupun diancam dengan
pidana mati antara lain tindakan makar, ataupun mengajak negara asing untuk menyerang
Indonesia begitu juga dalam Rancangan KUHP juga terdapat pengaturan pidana mati.
B. Saran
Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum hendaknya
lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu rumusan yang berisi
tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak hukum harus lebih memperhatikan
aspek futuristik yg sifatnya mengantisipasi beserta alasan tentang penerapan pidana mati.
DAFTAR PUSTAKA
14
Buku-buku Sumber :
A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di
Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985.
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005.
Azra, Azyumardi. Demokrasi HAM dan masyarakat madani. Jakarta: Tim ICCE
UIN,2003.
Djamali, R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali
Pers, 2005.
Mustofa, Bachsan. Sistem Hukum Indonesia. Bandung: Remaja Karya,1984.
R. Soesilo. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus.
Bogor: Politea, 2001.
Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2004.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
15