Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Peralihan Hak Atas Tanah

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah)

HUKUM AGRARIA

Dosen Pengampu :

Dr. Muwahid, SH., M.Hum

Disusun oleh:

1. Andika Santoso Yudoyono (C02219006)


2. M Naufal Alfaiq (C02219022)
3. Nur Hanifah (C92219131)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah adalah sumber kebutuhan hidup bagi manusia, karena tanah dalam
fungsinya baik itu sebagai sarana untuk mencari kehidupan seperti pendukung mata
pencarian di berbagai bidang pertanian, perkebunan ,pertenakan, perikanan, industri,
maupun digunakan sebagai perumahan dengan didirikannya tempat tinggal. Semakin
banyaknya jumlah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, maka tanah sangat
diperlukan guna sebagai lahan yang akan dibangunkan perumahan untuk tempat
tinggal. Bertambahnya perkembangan ekonomi, sosial-budaya, dan teknologi
menjadikan 3 manusia memerlukan jumah tanah yang banyak terutama untuk
perkantoran, perkebunan, pabrik dan sebagainya.1
Dengan adanya ketidakseimbangan antara persediaan lahan tanah yang
terbatas dengan kebutuhan manusia akan tanah yang sangat besar, mengakibatkan
timbulnya berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut menyebabkan kebutuhan
masyarakat akan tanah semakin meningkat dan mendorong peningkatan kegiatan jual
beli tanah sebagai sarana dan bentuk proses peralihan hak atas tanah. Berdasarkan
ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Agraria jo Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah melalui
jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian hukum dalam jual beli
tersebut, proses jual beli tanah tersebut hanya dapat dilakukan diatas tanah yang
dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah. Artinya, obyek tanah yang disahkan dengan
bukti kepemilikan hak atas tanah.2

1
Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta; Ghalia Indonesia,1977 ),7.

2
J. Andy Hartanto, Hukum Pertanahan, (Surabaya; LaksBang Justitia, 2014) 83.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hak Atas Tanah?
2. Syarat-syarat Peralihan Hak atas Tanah Melalui Jual Beli, Hibah, Wakaf, Waris,
Lelang?

C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah
2. Mengetahui Syarat-syarat Peralihan Hak atas Tanah Melalui Jual Beli, Hibah,
Wakaf, Waris, Lelang
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Peralihan Hak Atas Tanah


Peralihan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum memindahkan
suatu hak atas tanah yang dimilikinya kepada orang lain. Menurut John
Salindeho, pengertian peralihan hak atas tanah dengan pemindahan hak atas tanah
adalah sama, ia berpendpat bahwa peralihan hak atas tanah atau pemindahan hak
atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan atau
mengalihkan hak atas tanah dari yang mengalihkan kepada yang menerima
pengalihan.3
Sedangkan menurut Haryanto dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) Pasal 20 ayat (2) disebutkan bahwa hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain. Yang dimaksud dalam pasal ini adalah hak milik dapat
dijual, ditukarkan dengan benda lain, dihibahkan dan diberikan dengan wasiat.
Pengertian dialihkan menunjukkan bahwa hak milik dapat berpindah kepada pihak
lain karena adaya perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar
pihak lain memperoleh hak itu.4
Lain halnya dengan Effendi Perangin-Angin yang berpendapat bahwa
pemindahan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih dari
seseorang kepada orang lain. Jadi pemindahan adalah suatu perbuatan hukum
yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah berpindah dari yang
mengalihkan kepada yang menerima pengalihan. Perbuatan hukum itu mungkin
jual beli, tukar menukar, hibah atau dengan pemberian dengan wasiat.5
Setiap peralihan hak atas tanah yang dilakukan oleh seseorang kecuali
pemindahan hak melalui lelang, harus didasarkan pada suatu akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997.

3
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Grafika, 1993), 37.
4
Haryanto, Cara Mendapatkan Sertipikat Hak Atas Tanah, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 3.
5
Effendi Perangin-Angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandangan Praktisi Hukum, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Perkasa, 1986), 1.
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa :
”(1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian
menurut hukum adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik dan pengawasannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
(2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat
dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau
tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada
seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut dalam Pasal 21 ayat 2,
adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap
berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik
tidak dapat dituntut kembali”.

Pasal 37 PP 24/1997 menyatakan:


”(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui
jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya kecuali pemindahan hak
melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang
dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri,
Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas sebidang
tanah hak milik, yang dilakukan diantara perorangan warga negara
Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT,
tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar
kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang
bersangkutan”.
Dari pasal-pasal di atas dapatlah dilihat bahwa setiap perbuatan
pengalihan hak atas tanah tersebut harus didaftarkan ke Kantor Badan Pertanahan
Nasional, dengan terlebih dahulu dibuatkan akta pada PPAT. Hal ini perlu agar
peralihan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat, sehingga bila terjadi
masalah di kemudian hari dan penerima pengalihan tersebut mempunyai
bukti otentik bahwa tanah tersebut adalah kepunyaannya.

2. Bentuk Peralihan Hak atas Tanah


A. Jual Beli
Dalam UUPA istilah jual beli disebutkan dalam Pasal 26 yaitu yang
menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam pasal-pasal lainnya, tidak ada
kata yang menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan.
Pengertian dialihkan menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk
memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-
menukar, dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal haknya disebutkan
dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas
tanah karena jualbeli.
Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah
hukum adat. Hukum adat yang dimaksud Pasal 5 UUPA tersebut adalah
hukum adat yang telah di- saneer (disaring) yang dihilangkan dari cacat-
cacatnya/hukum adat yang sudah disempurnakan/hukum adat yang telah
dihilangkan sifat kedaerahannya dan diberi sifat nasional. Menurut Adrian
Sutedi yang mengemukakan pengertian jual beli tanah menurut hukum adat
merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang.
Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya
dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan
mengucapkan kata-katadengan mulut saja belumlah terjadi jual beli, hal ini
dikuatkan dalam Putusan MA Nomor 271/K/Sip/1956 dan Nomor
840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual
beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun
tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual. Sifat
terang dipenuhi pada umumnya pada saat dilakukannya jual beli itu disaksikan
oleh Kepala Desa, karena Kepala Desa dianggap orang yang mengetahui hukum
dan kehadiran Kepala Desa mewakili warga masyarakat desa tersebut.
Sekarang sifat terang berarti jual beli dilakukan menurut peraturan tertulis yang
berlaku.6

6
Effendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah, (Jakarta; Cetakan Kedua, Rajawali,1990),76-77.
Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun1997 tentang
Pendaftaran Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang
bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan PPAT,
dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap, yang dilakukan
secara sembunyi- sembunyi). Akta jual beli yang ditandatangani para pihak
membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya
dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan
menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang
bersangkutan telah dilaksanakan. Akta tersebut membuktikan bahwa benar
telah dilakukan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya dan
pembayaran harganya. Karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan
perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa
penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang haknya yang baru. Akan
tetapi, hal itu baru diketahui oleh para pihak dan ahli warisnya, karenanya juga
baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi PPAT sifatnya
tertutup bagi umum.7
Agar jual beli tanah sah menurut hukum, maka harus dipenuhi syarat-
syaratnya. Syarat-syarat jual beli tanah dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu
syarat materiil dan syarat formiil
1. Syarat Materiil
Syarat materiil ini merupakan syarat yang menentukan sah tidaknya peralihan
hak atas tanah (jual beli tanah), yang merupakan syarat materiil yaitu:
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Untuk menentukan
berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh tanah yang dibelinya
tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai. Hal ini terkait
dengan ketentuan Pasal 21 UUPA bahwa yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah hanya Warga Negara Indonesia tunggal dan badan-
badan hukum tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah. Jika pembeli
mempunyai kewarganegaraan asing di samping kewarganegaraan
Indonesia, maka jual belinya batal demi hukum dan tanahnya jatuh
menjadi tanah negara, demikian pula apabila pembeli berbentuk badan

7
Ayu Larasati ,Raffles “Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli Menurut Hukum Pertanahan
Indonesia” Zaaken Journal of Civil and Bussiness Law, Vol 1 No 1, 2020, Hal 131
hukum yang tidak termasuk badan hukum yang dapat memiliki hak milik
maka jual belinya juga dianggap batal demi hukum dan tanahnya jatuh
menjadi tanah negara (Pasal 26 ayat (2) ) UUPA).
b. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan. Yang berhak menjual
suatu bidang tanah tentu saja pemegang hak atas tanah tersebut yang
disebut pemilik, kalau pemilik sebidang tanah hanya satu orang maka ia
berhak menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi bila pemilik tanah adalah
dua orang, maka yang berhak menjual tanah itu adalah dua orang
tersebut secara bersama-sama, tidak diperbolehkan satu orang saja yang
menjual sebidang tanah tersebut.
c. Tanah yang bersangkutan boleh dialihkan dan tidak dalam keadaan
sengketa. Mengenai tanah-tanah hak apa saja yang boleh diperjual
belikan telah ditentukan dalam UUPA yaitu hak milik (pasal 20), hak
guna usaha (pasal 28), hak guna bangunan (pasal 35), dan hak pakai
(pasal 41). Jika salah satu syarat materiil tersebut tidak terpenuhi, dalam
arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang
dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat sebagai pemengang hak
atas tanah, atau tanah yang diperjual belikan dalam keadaan sengketa,
maka jual beli tersebut tidak sah.
2. Syarat Formiil
Syarat formil merupakan syarat administratif dalam peralihan hak atas
tanah (jual beli). Syarat formiil ini tidak menentukan sah tidaknya jual beli
tanah, yang menentukan sah tidaknya jual beli tanah adalah syarat materiil di
atas, yang merupakan syarat formiil dalam peralihan hak adalah dibuatkanya
akta jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta tanah (PPAT). Akta PPAT ini
merupakan dasar bagi kepala BPN untuk mengeluarkan sertifkat tanah atas
nama pembeli, tanpa akta PPAT kepala BPN tidak akan mengeluarkan
sertifkat tanah atas nama pembeli (Pasal 37 PP No. 24 tahun 1997). Sehingga
walaupun jual belinya dianggap sah oleh hukum akan tetapi ia tidak
mendapatkan hukum sepenuhnya karena ia tidak mempunya alat bukti
kepemilikan yang berupa sertifikat tanah. Sebelum akta PPAT dibuat,
disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang diperlukan
kepada PPAT, yaitu:
a. jika tanahnya sudah bersertifikat; sertifikat tanahnya yang asli dan
tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.
b. Jika tanahnya belum bersertifikat; surat keterangan bahwa tanah
tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada yang
memerlukan penguatan dari kepala desa dan camat, dilengkapi dengan
surat-surat yang membuktikan identitas penjual dan pembeli yang
dipergunakan untuk pensertifikatan tanahnya setelah dilakukan jual
beli.
Setelah akta dibuat selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak akta tersebut
ditandatangani, PPAT menyerahkan akta tersebut kepada kantor pendaftaran
tanah untuk pendaftaran pemindahan haknya (pasal 40 PP. No. 24 Th 1997).8

B. Hibah
Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak
ada penggantian apapun dan dilakukan secara suka rela, tanpa ada kontraprestasi
dari pihak penerima pemberian, daan pemberian itu dilangsungkan pada saat si
pemberi masih hidup.
Dalam Pasal 1666 KUH Perdata disebutkan “Hibah adalah suatu perjanjian
dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan
tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si
penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui
lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup”
Sebagaimana jual beli, agar hibah sah menurut hukum, maka harus dipenuhi
syarat materiil dan syarat formiil. Syarat materiil terkait dengan kewenangan
pemberi hibah dan penerima hibah. Pemberi hibah adalah orang yang berhak atas
sebidang tanah, sedangkan penerima hibah adalah orang yang berwenang
memiliki hak atas tanah, jika penerima hibah tidak berwenang memiliki tanah,
misalnya dia orang asain atau mempunyai dua kewarganegaraan, maka hibahnya
batal demi hukum. Sedangkan syarat formiil adalah pelaksanaan hibah harus
dilakukan di hadapan PPAT untuk mendapatkan akta PPAT. Berdasarkan
ketentuan pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 peralihan hak atas
tanah melaui jual beli, hibah, pemasukan dalam perusahaan harus dilakukan di

8
Muwahid, Pokok-Pokok Hukum Agraria Di Indonesia,( Surabaya, UIN SA Press ,Cet 1 2016), 116-118
hadapan PPAT, tanpa akta PPAT penerima hibah akan kesulitan dalam
memperoleh sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak yang kuat.9

C. Lelang
Lelang adalah suatu penentu penjualan barang yang dilakukan secara terbuka
untuk umum dengan harga penawaran yang semakin meningkat atau menurun
untuk mencapai harga tertinggi, yang diajukan secara tertulis maupun secara lisan
sebelumnya didahului pemberitahuan akan adanya pelelangan atau penjualan
barang10
Lelang mengandung unsur –unsur yang tercantum dalam defenisi jual beli
yaitu adanya subjek hukum yaitu penjual dan pembeli, adanya kesepakatan antara
penjual dan pembeli tentang barang dan harga, adanya hak dan kewajiban yang
timbul antara pihak penjual dan pembeli. Esensi dari lelang dan jual beli adalah
penyerahan barang dan pembayaran harga.
Kekuatan hukum pada risalah lelang sebagai dasar untuk melakukan
pendaftaran tanah yang berasal dari proses lelang eksekusi yang digugat oleh
pemilik tanah sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada
para pemegang hak atas tanah.
PP NO 24 Tahun 1997 memberikan penegasan mengenai kekuatan
pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh
UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan bahwa selama belum dibuktikan
sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus
diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum maupun dalam
sengketa pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum
dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Lihat Pasal 32 ayat (1) PP
No 24 Tahun 1997) dan orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertifikat
atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama 5 Tahun sejak
dikeluarkannya sertifikat itu tidak diajukan gugatan kepada pengadilan, sedangkan
tanah tersebut dieperoleh orang atau badan lain tersebut dengan itikad baik dan
secara fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang
mendapat persetujuannya (Lihat Pasal 32 ayat (1) PP No 24 Tahun 1997).

9
Ibid. 119
10
Rasmadi Usman, Hukum Lelang,(Jakarta; Sinar Grafika,2016),19.
Setiap perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, haruslah dibuktikan dengan
suatu bukti peralihan hak. Dalam peralihan hak melalui lelang, bukti peralihan hak
tersebut dituangkan dalam suatu risalah lelang. “Peralihan hak melalui lelang
hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat
oleh pejabat lelang”.11
Lelang sebagai suatu perbuatan hukum bertujuan untuk mengalihkan hak
milik kebendaan yang dijual.”penyerahan kebendaan tidak bergerak dilakukan
dengan membuat akta otentik yang bertujuan untuk mengalihkan hak atas tanah
tersebut, dengan demikian sebelum penyerahan terlebih dahulu ada peristiwa
perdata berupa perjanjian antara penjual dan pembeli dalam wujud jual beli yang
bertujuan mengalihkan hak milik tersebut”.12
Menurut R. Subekti, bahwa “eksekusi riil atau pengosongan tersebut
merupakan satu kesatuan dengan pelelangan, sesuai asasa eksekusi riil dalam
penjualan lelang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dalam eksekusi
pembayaran sejumlah uang.”13
Peralihan hak atas tanah melalui lelang hanya dapat didaftarkan kepada Kantor
Pertanahan jika dibuktikan melalui kutipan risalah lelang yang dibuat oleh pejabat
lelang yang dibuat oleh pejabat lelang. Dalam waktu 7 (tujuh) hari sebelum
dilakukannya lelang, Kepala Kantor lelang mempunyai kewajiban untuk meminta
keterangan mengenai data fisik, dan data yuridis yang tersimpan di dalam peta
pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, dan buku tanah dari Kantor Pertanahan.
Kantor Pertanahan kemudian menyampaikan keterangan tersebut kepada Kepala
Kantor Lelang dalam waktu 5 (lima) hari semenjak permintaan tersebut diterima.
Keterangan tersebut diperlukan untuk menghindari terjadinya pelelangan umum
yang tidak jelas obyek tanahnya, sehingga Pejabat Lelang akan mempunyai
keyakinan lebih untuk melelang tanah tersebut.
Permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang diperoleh melalui
lelang diajukan oleh pembeli lelang atau kuasanya kepada Kepala Kantor
Pertanahan dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Kutipan risalah lelang;

11
H.M.Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika,2015), 166.
12
Sianturi, Purnama T., Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui
Lelang,(Bandung; Mandar Maju, 2007). 101
13
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta; Pradnya Paramitha,1975),98.
2. Sertifikat hak milik atas tanah maupun satuan rumah susun, apabila hak atas
tanah yang akan dilelang sudah terdaftar;
3. Surat keterangan dari Kepala Kantor lelang tentang alasan tidak diberikannya
sertifikat, apabila sertifikat hak atas tanah tersebut tidak diserahkan kepada
pembeli lelang;
4. Jika tanah tersebut belum terdaftar, maka melampirkan:
(1) Surat bukti hak, seperti bukti-bukti tertulis mengenai hak atas tanah,
keterangan saksi, dan/atau pernyataan yang bersangkutan mengenai
kepemilikan tanah yang akan dinilai oleh panitia Adjudkasi/Kepala Kantor
Pertanahan atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan mengenai
penguasaan tanah, dan
(2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa tanah tersebut belum
bersertifikat dari Kantor Pertanahan
5. Bukti identitas opembeli lelang;
6. Bukti pelunasan harga pembelian;
7. Bukti pelunasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

D. Wakaf
Pengertian wakaf disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977, yaitu perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selamalamanya untuk kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam. Sedangkan menurut
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yang dimaksud wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah. Ada perbedaan antara Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 mengenai
jangka waktu wakaf. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977,
wakaf tidak mempunyai jangka waktu tertentu tetapi untuk selama-lamanya,
sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
wakaf bisa untuk selama-lamanya atau untuk jangka waktu tertentu.14
Unsur-unsur yang harus ada dalam pelaksanaan pendaftaran wakaf tanah Hak
Milik, yaitu:
1. Wakif.
Pihak yang mewakafkan tanah disebut wakif. Menurut Pasal 1 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, wakif adalah orang atau orang-
orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya, sedangkan
menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, wakif
adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Wakif bisa berupa
orang per orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,
ataupun badan hukum yang memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik.
Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi
persyaratan, yaitu: dewasa; berakal sehat; tidak terhalang untuk melakukan
perbuatan hukum, dan; pemilik sah tanah Hak Milik. Wakif badan hukum
hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan sebagai subjek
tanah Hak Milik.
2. Nadzir
Menurut Pasal 1 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977,
yang dimaksud nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf. Menurut Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, nazhir adalah pihak yang
menerima harta benda wakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan
peruntukannya. Nadzir atau nazhir bisa berupa perseorangan atau badan
hukum. Persyaratan bagi perseorangan untuk menjadi nadzir atau nazhir
menurut Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 adalah:
Warga Negara Republik Indonesia; beragama Islam; sudah dewasa; sehat
jasmaniah dan rohaniah; tidak berada di bawah pengampuan; bertempat
tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan. Persyaratan bagi
nadzir yang berbentuk badan hukum menurut Pasal 6 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 adalah: badan hukum Indonesia dan

14
Urip Santoso, Kepastian Hukum Wakaf Tanah Hak Milik, Jurnal Perspektif, Vol. XIX No.2 Tahun 2014 Edisi
Mei, 74.
berkedudukan di Indonesia dan mempunyai perwakilan di kecamatan tempat
letaknya tanah yang diwakafkan.
3. Tanah yang Diwakafkan (mauquf)
Oleh karena dalam wakaf tanah terdapat perbuatan berupa penyerahan tanah
untuk selama-lamanya, maka tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah
yang berstatus Hak Milik sebab sifat tanah Hak Milik adalah turun temurun,
artinya tanah Hak Milik tidak mempunyai batas jangka waktu tertentu. Tanah
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Sewa Untuk
Bangunan tidak dapat diwakafkan sebab mempunyai batas jangka waktu
tertentu. Kalau Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak
Sewa Untuk Bangunan mau diwakafkan, maka hak atas tanah tersebut diubah
terlebih dahulu menjadi Hak Milik. Tanah Hak Milik yang diwakafkan bisa
sudah bersertipikat atau baru bertanda bukti petuk pajak bumi/landrente, girik,
ketitir, pipil, verponding Indonesia, IPEDA, IREDA, atau Kutipan Letter C.
4. Ikrar Wakaf.
Menurut Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yang
dimaksud dengan ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk
mewakafkan tanah miliknya. Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004, yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan
kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir
untuk mewakafkan harta benda miliknya
5. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta ikrar wakaf.
6. Penggunaan Tanah wakaf.
Tanah Hak Milik yang diwakafkan oleh pemiliknya dipergunakan untuk
kepentingan peribadatan dan atau kepentingan sosial lainnya, misalnya gedung
pendidikan, gedung panti asuhan, gedung kesehatan (Rumah Sakit/Pusat
Kesehatan Masyarakat).15

E. Waris
15
Ibid, 75-76
Peralihan hak atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan dari pemilik
tanah kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26 UUPA. Pewarisan adalah
beralihnya hak atas tanah dari pewaris kepada ahli waris karena peristiwa hukum,
dengan meninggalnya pewaris maka hak atas tanah berpindah kepada ahli waris.
Pewarisan dapat terjadi karena ketentuan Undang-undang dan karena wasiat.
Syarat sahnya pewarisan hak atas tanah untuk kepentingan pendaftaran tanah
adalah sebagai berikut:
1. Syarat materiil.
Syarat materiil dalam pewarisan hak atas tanah adalah terkait dengan
kewenangan penerima warisan sebagai penerima hak, sebagai uraian berikut:
a. jika objek pewarisan tanah berupa hak milik, hak guna, usaha, dan hak
guna bangunan, maka yang dapat menjadi ahli waris adalah warga
negara Indonesia.
b. Jika objek pewarisan tanah berupa hak pakai, maka yang dapat
menjadi ahli warisnya adalah warga negara Indonesia dan warga
negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
2. Syarat formiil.
Syarat formiil dalam pewarisan hak atas tanah adalah adanya surat keterangan
kematian dan surat keterangan ahli waris, tanpa surat keterangan kematian dan
surat keterangan sebagai ahli waris penerima warisan akan mengalami
kesulitan dalam melakukan pendaftaran tanah.16

16
Muwahid, op.cit, 119-120

Anda mungkin juga menyukai