Anda di halaman 1dari 16

TUGAS PENGANTAR ILMU HUKUM

RESUME PENGANTAR ACARA HUKUM


PERADILAN TATA USAHA NEGARA\

Oleh :
MUH.NUR HIDAYAT
31.0955
D-5

FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN DAERAH

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


Judul Buku : Pengantar acara hukum peradilan tata usaha Negara
Penulis : Endra Wijaya
Penerbit : Hak penerbit pada Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila
(PKIH FHUP).
Tahun Terbit : 2011
BAB I
PENDAHULUAN

A. Negara Hukum dan Peradilan Tata Usaha Negara

Sejarah terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN) merupakan rangkaian
peristiwa yang telah berjalan dalam waktu yang panjang. Sejarah terbentuknyaPeradilan TUN
dapat dilihat mulai dari adanya ide negara hukum. Ide negara hukum ini berkaitan dengan
konsep nomocracy. Nomos berarti norma, dan cratos berarti kekuasaan. Dengan demikian,
dapatlah dipahami bahwa di dalam nomokrasi, maka yang berperan sebagai faktor penentu
dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itulah, istilah nomokrasi
erat hubungannyadengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan yang
tertinggi.
Dalam ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan yang tertinggi, yang
sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukannya orang. Dari
bukunya Plato yang berjudul Nomoi, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan The
Laws, dapat diperoleh gambaran dengan jelas bahwa ide nomokrasi itu sesungguhnya telah
sejak lama dikembangkan, yaitu sejak zaman Yunani kuno.
Kemudian pada zaman modern, konsep negara hukum di negara-negara Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Julius Stahl dan Fichte, dengan menggunakan
istilah rechtsstaat. Dalam sistem Anglo Saxon, konsep negara hukum dikembangkan antara
lain oleh AV. Dicey, dengan sebutan the rule of law.

B. Sejarah Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia

1. Masa Sebelum Indonesia Merdeka


Pada masa penjajahan Belanda, tidak terdapat Peradilan TUN yang secara khusus dan
berdiri sendiri untuk menyelesaikan sengketa TUN.Penyelesaian terhadap Pengantar Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara sengketa di bidang TUN diselesaikan oleh hakim di
Peradilan Umum atau oleh badan-badan khusus di lingkungan pemerintah sendiri.
Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang, badanbadan pemerintahan dan peraturan -
peraturan yang berlaku pada masa Hindia Belanda masih tetap diberlakukan sepanjang tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer Jepang. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 3
Osamu Seirei Nomor 1 Tanggal 7 Maret 1942, yang berbunyi: “Semua badan-badan
pemerintahan dan kekuasaannya, hukum serta undang-undang dari pemerintah yang terdahulu
tetap diakui sah bagi sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan
pemerintahan militer”.
Dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahan penjajah Jepang ini tidak terjadi
perubahan atau perkembangan yang mendasar dalam bidang Peradilan TUN.
2. Masa Setelah Indonesia Merdeka
UU Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman dan
Kejaksaan, yang dalam Pasal 6 ayat (1)-nya menyebutkan isitilah “Peradilan Tata Usaha
Pemerintahan”. Selain Pasal 6 ayat (1) tersebut, UU Nomor 19 Tahun 1948, dalam Pasal 66
dan Pasal 67, juga memuat ketentuan mengenai Peradilan TUN.
Selanjutnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor
II/MPRS/1960 menetapkan agar segera dibentuknya Peradilan Administrasi. Kemudian,
ketentuan ini diatur lebih lanjut pada tahun 1964 dengan diundangkannya UU Nomor 19
Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pada tahun 1975, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, Bandung melakukan penelitian mengenai masalah pengaturan Pera-
dilan Administrasi Negara dalam undang-undang dari pandangan ahli-ahli hukum administrasi
negara dari masa ke masa, terutama pendapat para ahli hukum administrasi negara Indonesia.
Kegunaan praktis penelitian ini adalah agar dapat terwujudnya sebuah Peradilan Administrasi
Negara yang memiliki wewenang yang konkret dan tegas
Akhirnya pada bulan April 1986, pemerintah sekali lagi menyampaikan RUU tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang telah disempurnakan kepada DPR masa bakti 1982-1987.
Pada tanggal 20 Desember 1986, DPR menyetujui RUU tersebut menjadi undang-undang,
yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Namun
demikian, lembaga Peradilan TUN itu sendiri baru benar-benar terbentuk pada tahun 1991,
dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

BAB II.
PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ACARA
PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Perbedaan antara hukun acara perdata dan hukum acara peradilan antara lain :

N Titik perbedaan Hukum acara perdata perdata Hukum acara Peradilan


O TUN

1 Objek sengketa. Wanprestasi dan perbuatan Keputusan tata usaha negara


. melawan hukum (keputusan TUN).

2 Para pihak yang Pada prinsipnya, siapa saja Kedudukan penggugat dan tergugat
bersengketa, dan dapat menjadi penggugat telah ditentukan secara limitatif.
hubungannya asalkan dia cakap untuk
dengan rekonvensi bertindak hukum dan
(gugatan balik). mempunyai kepentingan
dalam mengajukan
gugatannya.
3 Sikap hakim. Hakimnya pasif Hakimnya aktif. Hal itu disebabkan
karena kedudukan antara
penggugat dan tergugat yang “tidak
seimbang”

4 Upaya perdamaian. Di awal persidangan, hakim Tidak mengenal upaya perdamaian,


sudah wajib mulai tetapi penggugat dimungkinkan
menganjurkan agar pihak- untuk mencabut gugatannya (lihat
pihak yang bersengketa Pasal 76).
berdamai melalui mediasi

5 Cara (tahap) Sengketa perdata diselesaikan 2 macam cara penyelesaian


Penyelesaian dengan langsung mengajukan sengketa, yaitu:
sengketa. gugatan ke pengadilan. a. Melalui upaya administratif;
b. Langsung mengajukan gugatan
ke Pengadilan TUN

6 Wewenang juru sita. Berwenang untuk melakukan Wewenangnya bukan untuk mela-
eksekusi riel. kukan eksekusi riel

BAB III
SUBJEK (PARA PIHAK) DALAM SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Peradilan TUN memiliki wewenang hanya untuk mengadili sengketa TUN. Menurut
Pasal 1 butir 10 UU Nomor 51 Tahun 2009: “Sengketa tata usaha negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Mengacu kepada rumusan pengertian sengketa TUN tersebut, maka dapat dipahami bahwa
yang menjadi unsur-unsur pembentuk dari sengketa TUN ialah:
1. Subjek yang bersengketa, yang terdiri dari orang atau badan hukum perdata di satu pihak,
dan badan atau pejabat TUN di lain pihak.
2. Objek sengketanya yang berupa keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat
TUN (beschikking).

Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 dapat dipahami
juga bahwa sengketa TUN baru akan terjadi apabila keputusan TUN yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat TUN menimbulkan akibat hukum yang merugikan bagi orang atau badan
hukum perdata.
A. Penggugat
Pihak yang mempunyai hak untuk menggugat dalam sengketa TUN ialah hanya
seseorang atau badan hukum perdata. Seseorang itu tentunya ialah manusia sebagai
pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hak untuk menggugat baru dapat
digunakan apabila yang diberikan hak menggugat itu merasa kepentingannya telah
dirugikan oleh keluarnya suatu keputusan TUN.

B. Tergugat
Dalam hukum acara Peradilan TUN, para pihak yang bersengketa telah ditentukan
secara limitatif. Penggugatnya hanya individu atau badan hukum perdata, sedangkan yang
menjadi tergugatnya hanya “...badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya...”
(Pasal 1 butir 12 UU Nomor 51 Tahun 2009).
Kemudian UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 juga
memberikan perincian lebih lanjut mengenai badan atau pejabat TUN yang dapat
dijadikan sebagai tergugat dalam sengketa TUN, yaitu bahwa “Badan atau pejabat tata
usaha negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Pasal 1 butir 8 UU
Nomor 51 Tahun 2009).
Apabila badan atau pejabat TUN di pusat maupun di daerah sedang melakukan
kegiatan yang bersifat eksekutif, yang kegiatannya itu diwujudkan dalam bentuk
keputusan TUN dan keputusan TUN itu disengketakan, maka badan atau pejabat TUN
tadi dapat dijadikan sebagai tergugat. Yang termasuk dalam pengertian badan atau pejabat
TUN itu ialah terdiri dari instansi-instansi, lembaga-lembaga, badan-badan, jabatan-
jabatan, komisi-komisi yang memiliki fungsi dan kewenangan eksekutif (bukan legislatif
dan yudikatif) yang diberikan kepadanya oleh peraturan perundang-undangan.

C. Perkembangan dalam Praktik: Perguruan Tinggi Swasta sebagai Tergugat dalam Sengketa
Tata Usaha Negara

Dalam perkembangan di praktik, badan hukum perdata, seperti yayasan perguruan


tinggi swasta dan pejabat di dalamnya, dapat dianggap juga sebagai badan atau
pejabat TUN yang dapat digugat dalam sengketa TUN. Hal itu dapat dilihat pada putusan -
putusan berikut ini:
1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA.
RI.) Nomor 269 K/TUN/1996, yang mendudukkan Ketua
Umum Dewan Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi
Kristen Satya Wacana sebagai tergugat.
2. Putusan MA. RI. Nomor 61 K/TUN/1999, yang men-
dudukkan Rektor Universitas Trisakti sebagai tergugat.
3. Putusan MA. RI. Nomor 210 K/TUN/2001, yang men-
dudukkan Rektor Universitas Tarumanegara sebagai
tergugat.
BAB IV.
OBJEK SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 menjelas kan
bahwa “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi”.
Dalam proses Peradilan TUN, yang selalu menjadi pokok sengketa (pokok permasalahan)
ialah mengenai sah atau tidaknya tindakan penggunaan wewenang pemerintahan badan atau
jabatan TUN menurut hukum publik. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan menurut
hukum publik adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh badan atau pejabat TUN dalam
rangka melaksanakan urusan pemerintah. Tindakan hukum pemerintah (badan atau pejabat
TUN) itu memang dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum (menciptakan hak
dan kewajiban tertentu).
Wujud pelaksanaan wewenang pemerintahan menurut hukum publik yang berupa
tindakan-tindakan hukum publik dari badan atau pejabat TUN dituangkan dalam bentuk
penetapan tertulis (keputusan TUN atau beschikking). Hal itulah yang kemudian menjadi
objek dalam sengketa TUN.

A. Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)


Pasal 1 butir 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor
51 Tahun 2009 menjelaskan bahwa “Keputusan tata usaha negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan dan atau pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Dari ketentuan Pasal 1 butir 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009
tersebut, maka dapat diperoleh unsur-unsur keputusan TUN sebagai objek sengketa TUN,
yaitu:
1. Bentuk penetapan itu harus tertulis;
2. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN;
3. Berisi tindakan hukum TUN;
4. Bersifat konkret, individual dan final;
5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

B. Keputusan Tata Usaha Negara yang Fiktif Negatif


Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 menjelaskan bahwa:
“(1). Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
keputusan tata usaha negara.
(2). Jika suatu badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atau pejabat tata usaha negara
tersebut dianggap telah menolak mengeluar-kan keputusan yang dimaksud.
(3). Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu untuk menjawab permohonan, maka setelah lewat jangka waktu 4
(empat) bulan sejak diterimanya per-mohonan, badan atau pejabat tata usaha negara
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan”.

BAB V.
UPAYA ADMINISTRATIF

Pengertian upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh
seseorang atau badan hukum perdata apabila dia tidak puas terhadap suatu keputusan TUN.
Dan prosedur ini dilaksanakan di lingkungan pemerintah sendiri (lingkungan kekuasaan
eksekutif).

Upaya administratif ini terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu:


1. Prosedur keberatan ditempuh dengan cara mengajukan keberatan atas dikeluarkannya
keputusan TUN kepada badan atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan
tersebut.
2. Banding administratif ditempuh dengan cara mengajukan banding (keberatan)
kepada instansi (lembaga) atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan
yang disengketakan.

Untuk menentukan apakah suatu sengketa diselesaikan melalui upaya administratif terlebih
dahulu, ataukah langsung mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN, maka harus dilihat pada
keputusan TUN yang disengketakan, apakah di dalamnya terbuka kemungkinan untuk
melakukan upaya administratif atau tidak.
Pada suatu keputusan TUN, terbukanya kemungkinan untuk melakukan upaya
administratif apabila suatu sengketa terjadi dapat dilihat pada:
1. Bagian pertimbangan hukum (konsiderans) suatu keputusan TUN, atau;
2. Salah satu isi pasal dari keputusan TUN, atau;
3. Catatan kaki pada keputusan TUN yang disengketakan.

Yang diperiksa dalam upaya administratif ialah:


1. Sudut doelmatigheid (sudut kebijaksanaan):
a. Alasan mengapa suatu keputusan TUN dikeluarkan;
b. Apa yang menjadi pertimbangan badan atau pejabat TUN dalam mengeluarkan
keputusan TUN?
2. Sudut rechtmatigheid (sudut legalitas):
a. Apa yang menjadi dasar hukum dikeluarkannya keputusan TUN;
b. Apakah badan atau pejabat TUN pada saat mengeluarkan keputusan TUN
memang mempunyai wewenang untuk hal tersebut?;
c. Apakah tata cara (formalitas) pengeluaran suatu keputusan TUN telah ditempuh
terlebih dahulu oleh badan atau pejabat TUN yang mengeluar-kannya? Seperti,
sebagai contoh, sebelum keputusan TUN tentang pembongkaran atau pemecatan
dikeluarkan, apakah terlebih dahulu ada peringatan kepada pihak yang akan
dikenakan pembongkaran atau pemecatan?

BAB VI.
PEMBERIAN KUASA

Pada suatu keadaan yang menyebabkam seseorangatau badan hukum tidak dapat secara
langsung bertindak untuk dan atas namanya dalam melakukan suatu perbuatan hukum, maka
dia dapat diwakili oleh pihak lain. Untuk me-nunjuk wakil itu, maka diperlukan surat kuasa.
Surat kuasa dapat diartikan sebagai suatu dokumen yang isinya seseorang (pemberi kuasa)
menunjuk dan memberikan wewenang kepada pihak lain (penerima kuasa) untuk melakukan
perbuatan hukum untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Pasal 57 UU Nomor 5 Tahun 1986 telah mengatur tata cara pemberian kuasa dalam
lingkup hukum acara Peradilan TUN. Dari Pasal 57 itu bisa disimpulkan bahwa pemberian
kuasa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara, yaitu:

1. Secara tertulis, yang dapat diwujudkan ke dalam bentuk:


a. Surat kuasa yang dibuat di dalam negeri.
b. Surat kuasa yang dibuat di luar negeri.
2. Secara lisan.

Surat kuasa yang dibuat di dalam negeri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bersifat khusus.
2. Mencantumkan secara jelas identitas pemberi dan penerima kuasa, yang terdiri dari:
nama, kewarganegaraan, alamat tempat tinggal (domisili), dan pekerjaan yang
bersangkutan.
3. Menjelaskan hal apa yang dikuasakan kepada penerima kuasa. Pada bagian ini
setidaknya harus dijelaskan mengenai:
a. Objek sengketanya secara tertentu;
b. Tindakan hukum (proses hukum) apa yang akan dilakukan terhadap objek
sengketa dimaksud, dan;
c. Di mana tindakan hukum tersebut akan dilaksanakan.
4. Tanggal pemberian kuasa.
5. Meterai, dan tanda tangan pemberi serta penerima kuasa.

Sedangkan surat kuasa yang dibuat di luar negeri pada prinsipnya harus memenuhi ketentuan -
ketentuan sebagai berikut:
1. Dibuat sesuai dengan peraturan tentang pembuatan surat kuasa di negara yang
bersangkutan.
2. Diketahui oleh perwakilan negara Indonesia di negara tersebut.
3. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh pe-nerjemah resmi.
Kemudian bagi individu pencari keadilan yang tidak bisa membaca dan menulis, maka
pengadilan memberikan kemudahan dalam hal pemberian kuasa, yaitu melalui pemberian
kuasa secara lisan. Tata cara pemberian kuasa secara lisan itu ialah:
1. Dilakukan di muka persidangan.
2. Pemberi dan penerima kuasa hadir di muka persidangan.
3. Dicatat di dalam berita acara pemeriksaan persidangan oleh panitera.
4. Dibubuhi cap jempol pemberi kuasa.
5. Disaksikan oleh tergugat.

BAB VII.
GUGATAN

Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 jo. UUNomor 9 Tahun 2004 menjelaskan bahwa
“Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi”.
Dari Pasal 53 ayat (1) tersebut dapat dipahami bahwa gugatan itu merupakan salah satu
wujud dari ketidakpuasan seseorang (individu) atau badan hukum perdata terhadap terbitnya
keputusan TUN yang dianggap merugikan dirinya.
Pengertian gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN
dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan (Pasal 1 butir 11 UU Nomor 51
Tahun 2009). Apa isi tuntutan dalam gugatan tersebut? Isi tuntutan pokoknya ialah agar
keputusan TUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah. Sedangkan, tuntutan
tambahannya dapat berupa ganti rugi dan/atau rehabilitasi (Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5
Tahun 1986 jo. UU Nomor 9 Tahun 2004).
Untuk merumuskan gugatan dalam bentuk yang tertulis(surat gugatan) ada beberapa
syarat yang harus diperhatikan dan dipenuhi. Syarat-syarat itu ada yang secara tegas
disebutkan di dalam undang-undang, dan ada pula yang tidak secara tegas disebutkan dalam
undang-undang namun lazim dipatuhi dalam praktik beracara di pengadilan

BAB VIII.
PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN

1. Gugatan ( pasal 56 UU No 5 tahun 1986 )


2. Gugatan didaftarkan ( pasal 59 )
3. Proses dismissal ( pasal 62 )
Tujuan : terutama untuk memastikan bahwa gugatan yang masuk benar benar merupakan
sengketa TUN ( yang menjadi wewenang pengadilan )
4. Pemeriksaan persiapan ( pasal 63 )
Tujuan : Untuk melengkapi ( menyempurnakan ) gugatan.
5. Pemeriksaan persidangan
Tujuan : untuk memeriksa pokok perkara (sah atau tidaknya keputusan TUN yang di
sengketa)

BAB IX
JAWABAN, REPLIK, DUPLIK, PEMBUKTIAN, SIMPULAN, DAN PUTUSAN

A. Jawaban
Jawaban merupakan tanggapan yang dibuat oleh pihak tergugat terhadap dalil-dalil yang
telah disampaikan oleh peng-gugat di dalam surat gugatannya.

Kerangka surat jawaban :


6. Tanggal dan penjelas tujuan surat
7. Identitas pihak tergugat
8. Pernyataan sangkalan secara umum
9. Dasar ( alasan atau dalil ) jawaban
10. Petilum
11. Tanda tangan pihak tergugat
B. Replik Dan Duplik
Replik merupakan tanggapan yang dibuat oleh pihak penggugat terhadap jawaban yang
telah disampaikan oleh tergugat. Isi replik bisa memperkuat dalil gugatan.

Duplik merupakan tanggapan yang dibuat oleh pihak tergugat terhadap replik yang telah
disampaikan oleh peng-gugat. Isi duplik bisa memperkuat dalil jawaban
C. Pembuktian
Pembuktian merupakan tahap yang penting di dalam pemeriksaan perkara di muka
persidangan. Karena pada ta-hap ini, masing-masing pihak yang bersengketa mengajukan
bukti-bukti untuk memperkuat dalil yang telah mereka ajukan.

Untuk mencapai kebenaran materiel, maka di dalam sistem pembuktian hukum acara
Peradilan TUN hakim dapat menentukan sendiri:
1. Apa yang harus dibuktikan?
2. Siapa yang harus dibebani pembuktian, dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh
hakim sendiri?
3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk digunakan dalam pembuktian?
4. Bagaimana kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan?
D. Simpulan
Simpulan merupakan ringkasan (resume) dari jalannya rangkaian persidangan yang dibuat
oleh masing-masing pihak. Kesimpulan merupakan hak, sehingga boleh dibuat, boleh juga
tidak.
E. Putusan
Setelah para pihak memberikan dalil-dalilnya masing-masing, telah menyerahkan bukti-
bukti dan kesimpulannya, serta majelis hakim memandang telah cukup semua fakta (data),
maka diambillah suatu putusan.
Macam-macam putusan pengadilan (Pasal 97 ayat (7) UU Nomor 5 Tahun 1986) ialah terdiri
dari:
1. Gugatan ditolak
2. Gugatan dikabulkan
3. Gugatan tidak diterima
4. Gugatan gugur

BAB X.
ACARA PEMERIKSAAN DALAM HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEG
ARA

Acara pemeriksaan di muka persidangan terhadap suatu gugatan TUN terdiri dari beberapa tahap
yaitu: pem-bacaan gugatan, jawaban, replik, duplik, pembuktian, sim-pulan, dan putusan dari m
ajelis hakim.
Pada acara pemeriksaan di muka persidangan tersebut, baik pihak penggugat maupun tergugat, di
berikan kesempatan yang sama untuk mengajukan dalil (argumen) mereka masing-masing (asas
audi et alteram partem).
Secara lebih rinci, macam-macam acara pemeriksaan yang dikenal di dalam hukum acara Peradil
an TUN ialah terdiri dari:
1. Acara biasa yang diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 97 UU Nomor 5 Tahun 1986.
2. Acara cepat yang diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 99 UU Nomor 5 Tahun 1986.
3. Acara singkat yang diatur dalam Pasal 62 UU Nomor 5 Tahun 1986.

A. Pemeriksaan dengan Acara Biasa (Acara Contradictoir)


Secara garis besar, pemeriksaan dengan acara biasa ini ialah acara pemeriksaan terhadap pok
ok perkara (sengketa TUN) yang telah dimuat dalam gugatan pihak penggugat. Pada pemeri
ksaan dengan acara biasa, untuk me-nyelesaikan suatu sengketa TUN, yaitu mulai dari tahap
an pembacaan gugatan sampai dengan tahap pembacaan putusan dari majelis hakim, diusaha
kan agar dapat selesai dalam waktu 6 (enam) bulan.
B. Pemeriksaan dengan Acara Cepat Pemeriksaan dengan acara cepat bertujuan untuk me-meri
ksa pokok perkara, namun dilakukan dalam waktu yang relatif cepat. Pemeriksaan dengan ac
ara cepat ini dilakukan karena adanya alasan kepentingan penggugat yang cukup mendesak,
sehingga perlu menempuh proses pemeriksaan sengketa yang relatif lebih cepat.

Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan cara:


1. Penggugat harus terlebih dahulu mengajukan per-mohonan untuk dilakukannya pemeriksaa
n dengan acara cepat kepada ketua pengadilan.
2. Permohonan untuk melakukan pemeriksaan dengan acara cepat di dalamnya harus memuat
penjelasan alasan-alasan yang melatarbelakangi mengapa peng-gugat menginginkan diadak
annya pemeriksaan dengan acara cepat tersebut. Alasan-alasan itu berkaitan dengan adanya
keadaan kepentingan yang cukup mendesak yang dihadapi oleh penggugat.
3. Tidak melalui tahap pemeriksaan persiapan.
4. Pemeriksaan acara cepat ini dilakukan dengan hakim tunggal yang ditetapkan oleh ketua p
engadilan.
5. Batas waktu yang disediakan mulai dari tahap jawaban sampai dengan pembuktian hanya 1
4 (empat belas) hari.

C. Pemeriksaan dengan Acara Singkat Pemeriksaan dengan acara singkat bertujuan untuk mem
eriksa gugatan perlawanan terhadap penetapan hasil pro-ses dismissal yang dikeluarkan oleh
Ketua Pengadilan. Pemeriksaan dengan acara singkat dilakukan dengan cara:
1. Penggugat yang tidak puas terhadap penetapan hasil proses dismissal yang dikeluarkan
oleh ketua penga-dilan dapat mengajukan gugatan perlawanan terhadap penetapan terse
but.
2. Gugatan perlawanan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari
setelah pe-netapan diucapkan.
3. Dengan adanya gugatan perlawanan yang diajukan oleh penggugat (pelawan), maka oto
matis gugatan perlawanan tersebut akan diperiksa dengan meng-gunakan acara singkat.

BAB XI
INTERVENSI

Intervensi adalah masuknya pihak ke tiga ke dalam suatu sengketa yang sedang diperiksa oleh pe
ngadilan. Jika pihak ke tiga tersebut akan melakukan intervensi, maka dia harus memiliki kepenti
ngan terhadap sengketa yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Pihak ke tiga yang melakukan int
ervensi disebut dengan intervenient.

Dapat berkedudukan sebagai apakah pihak ke tiga dalam intervensi?


1. Pihak yang membela haknya (kepentingannya) sendiri, atau;
2. Berpihak kepada salah satu pihak yang sedang ber-sengketa.

Bagaimanakah cara intervenient masuk ke dalam suatu sengketa yang sedang diperiksa oleh pen
gadilan?
1. Atas prakarsa (inisiatif) sendiri, yaitu dengan membuat surat permohonan intervensi, dan me
ngajukannya ke-pada majelis hakim yang sedang melakukan pe-meriksaan sengketa (Pasal 8
3 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986), atau;
2. Ditarik oleh majelis hakim. Dalam keadaan seperti itu, pihak ke tiga tidak perlu membuat su
rat permohonan intervensi (Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986), atau;
3. Atas permintaan salah satu pihak yang sedang bersengketa (lihat bagian Penjelasan Pasal 83
ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1986).
Kemudian, kapankah permohonan intervensi tersebut dapat diajukan? Intervensi diajukan pada ta
hap pemeriksaan persidangan, sampai sebelum masuk tahap pembuktian. Namun dalam praktik,
permohonan intervensi masih dapat diajukan hingga saat tahap pemberian simpulan.
Alasan kenapa intervensi baru dapat dilakukan sejak saat tahap persidangan ialah karena baru pa
da tahap pe-meriksaan persidangan inilah yang bersifat terbuka untuk umum. Dengan terbukanya
sidang untuk umum, maka pihak ke tiga baru bisa mengetahui apakah kepentingannya akan terga
nggu (terpengaruhi) dengan diperiksanya suatu sengketa. Kerangka permohonan intervensi.
Tanggal …….
Kepada Yang Terhormat Ketua Majelis Hakim Perkara Nomor ……. di .......

Identitas pemohon intervensi.


Identitas perkara. Contoh penulisannya: ……. Bersama ini mengajukan permohonan intervensi u
ntuk menjadi pihak dalam perkara Nomor ……., antara ……. melawan …….
Dasar permohonan
1. Penjelasan (ringkas) mengenai objek sengketa, penggugat, dan tergugat.
2. Penjelasan mengenai kepentingan pemohon intervensi terhadap sengketa yang sedang diperiks
a.
3. ……. Hal-hal yang diminta untuk diputuskan oleh majelis hakim.

Contoh penulisannya:
1. Mengabulkan permohonan intervensi pemohon.
2.Menyatakan pemohon intervensi sebagai pihak dalam perkara Nomor ……., dan mendudukkan
nya sebagai …….
3. Menyatakan biaya perkara yang timbul akan diperhitungkan bersama dengan putusan akhir pe
rkara ini.

Tanda tangan pemohon intervensi

BAB XII
UPAYA HUKUM

A. Banding
Setelah dibacakan putusan pengadilan tingkat pertama, kepada penggugat dan tergugat diberit
ahukan hak-hak mereka atas putusan tersebut
1. Bisa menerima putusan atau
2. Menolak putusan tersebut, serta mengajukan upaya hukum banding. Kepada pihak yang tida
k setuju dengan putusan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding. Apabila ing
in mengajukan upaya banding, pembanding di-wajibkan untuk menandatangani akta pernyat
aan banding yang telah disediakan di pengadilan tingkat pertama.
Jangka waktu untuk mengajukan akta pernyataan banding ini:
1. 14 (empat belas) hari setelah putusan dibacakan, bagi mereka yang hadir pada saat putusa
n dibacakan atau;
2. 14 (empat belas) hari setelah kiriman salinan putusan mereka terima, bagi mereka yang ti
dak hadir pada saat putusan dibacakan.
Setelah mengajukan akta pernyataan banding, pem-banding boleh mengajukan memori banding
(tidak wajib), dan oleh karenanya terbanding mengajukan kontra memori banding (juga tidak waj
ib sifatnya). Berkas-berkas yang terdiri dari akta pernyataan ban-ding, memori banding dan kontr
a memori banding, kemudian dikirimkan oleh pengadilan tingkat pertama ke pengadilan tingkat
banding. Berkas yang dikirimkan tersebut, juga termasuk berkas yang terdiri dari: surat kuasa, su
rat gugatan yang belum diperbaiki, surat gugatan yang telah diperbaiki, jawaban, replik, duplik, p
embuktian, kesimpulan, putusan dan berita acara persidangan. Berkas yang terdiri dari: surat kua
sa, surat gugatan yang belum diperbaiki, surat gugatan yang telah diperbaiki, jawaban, replik, du
plik, pembuktian, kesimpulan, putusan dan berita acara persidangan, disebut dengan bundel A. B
erkas yang terdiri dari: akta pernyataan banding, memori banding dan kontra memori banding, di
sebut dengan bundel B. Pemeriksaan yang terjadi di pengadilan tingkat banding hanya merupaka
n pemeriksaan berkas-berkas saja. Pada prinsipnya pemeriksaan di tingkat banding bukanlah mer
upakan pemeriksaan sidang yang bersifat terbuka untuk umum. Macam-macam putusan pengadil
an tingkat banding:
1. Mengabulkan permohonan banding yang diajukan oleh pembanding
2. Menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama
3. Membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan mengadili sendiri
4. Memperbaiki putusan pengadilan tingkat pertama.
Putusan banding tersebut akan dikirimkan lagi ke pengadilan tingkat pertama, untuk selanjutnya
akan dikirimkan ke pihak-pihak yang bersengketa.

B. Kasasi
Kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding, pem-banding dan terbanding dapat lagi
mengajukan upaya hukum kasasi. Tenggang waktu untuk mengajukan akta pernyataan kasas
i ini adalah 14 (empat belas) hari setelah salinan putusan pengadilan banding diterima oleh p
embanding dan terbanding (sifatnya wajib). Setelah menandatangani akta pernyataan kasasi
yang telah disediakan di pengadilan tingkat pertama, pemohon kasasi wajib membuat memo
ri kasasi dalam waktu 14 (empat belas) hari. Termohon kasasi dalam menghadapi memori ka
sasi diperbolehkan membuat kontra memori kasasi. Dossier yang terdiri dari bundel A dan b
undel B tersebut, kemudian dilengkapi dengan: putusan pengadilan tingkat banding, akta per
nyataan kasasi, memori kasasi dan kontra memori kasasi. Setelah itu, dikirimkanlah dossier
ke Mahkamah Agung untuk diadakan proses kasasi.
Pada tingkat kasasi, hanya diadakan pemeriksaan berkas-berkas. Tidak ada pemeriksaan dalam b
entuk sidang yang terbuka untuk umum. Setelah pemeriksaan berkas selesai, maka kemudian kel
uarlah putusan tingkat kasasi. Macam-macam putusan tingkat kasasi:
1. Mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan
2. Menguatkan putusan pengadilan tingkat banding
3. Membatalkan putusan pengadilan tingkat banding dan mengadili sendiri
4. Memperbaiki putusan pengadilan tingkat banding.
Putusan kasasi akan dikirimkan lagi ke pengadilan tingkat pertama, untuk selanjutnya disampaik
an ke pihak-pihak yang bersengketa. Putusan kasasi merupakan putusan yang telah memiliki kek
uatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), sehingga putusan ini sudah dapat dilaksanakan (diek
sekusi) walaupun para pihak ada yang mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan ke
mbali.
C. Peninjauan Kembali
Mengenai tata cara (prosedur) upaya hukum luar biasa peninjauan kembali yang berlaku bag
i sengketa TUN, UU Nomor 5 Tahun 1986 hanya mengaturnya secara singkat. Pasal 132 ay
at (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 menentu-kan bahwa “Terhadap putusan Pengadilan yang tel
ah mem-peroleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepa
da Mahkamah Agung”. Pasal 132 ayat (2) kemudian menambahkan lagi bahwa acara pemer
ik-saan peninjauan kembali akan mengikuti ketentuan mengenai peninjauan kembali sebagai
mana dimaksud dalam UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

Anda mungkin juga menyukai