Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar
kekuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
(Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 UUD
1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Tahun 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan
Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai lingkungan peradilan yang
terakhir dibentuk yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5
tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang”
undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah untuk mewujudkan tata
kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang
menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin
terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur
di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian
lahirnya PTUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum
yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi
Manusia (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem
ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Dari ketiga lembaga tersebut, eksekutif memiliki porsi, peran dan wewenang
yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh
karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and
balances. Salah satu bentuk kontrol yudisial atas tindakan administrasi
pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka

1
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986,
yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah
disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.

1.2 Permasalahan
1.2.1 Bagaimana istilah, pengertian, definisi, & ruang lingkup dari hukum
acara tata usaha negara?
1.2.2 Bagaimana sejarah acara tata usaha negara?
1.2.3 Dari mana sumber hukum acara tata usaha negara?
1.2.4 Apa saja asas-asas hukum acara tata usaha negara?
1.2.5 Bagaimana sistem & prosedur hukum acara tata usaha negara?
1.2.6 Seperti apa pelaksanaan putusan tata usaha negara?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Istilah, Pengertian, Definisi, & Ruang Lingkup


Beberapa istilah dari Hukum Acara Tata Usaha Negara, antar lain:
a). Menurut Prayudi, bahwa Administrasi Negara (AN) dan Tata Usaha
Negara (TUN) berbeda, dalam hal ini maka administrasi negara memiliki
ruang lingkup yang lebih luas,
b). Sjachran Basah , memberikan nama yang lain terhadap mata kuliah
HAPTUN, yakni Hukum Acara Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan
Administrasi (HAPLA), namun istilah ini kurang populer,
c). Adapun alasan pemilihan istilah ini menurutnya, karena dalam Hapla
ini pemahamannya lebih luas karena di dalamnya tercakup mengenai per
adilan administrasi murni dan semu (kuasi). Hal ini didasarkan pada
adanya beberapa kasus yang tidak diselesaikan di Pengadilan Tingkat I
namun harus melalui peradilan semu.

Secara definisi maka HAPTUN adalah adalah hukum yang mengatur


tentang cara-cara bersengketa di Peradilan Tata Usaha Negara, serta mengatur
hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian
sengketa tersebut. Beberapa pengertian yang dapat diketahui mengenai
HAPTUN, antara lain:
a). HAPTUN; formil, sedangkan Hukum Administrasi Negara (HAN);
materiil,
b). Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(UU PTUN),maka pengertian HAN dan Hukum Tata Usaha Negara
(HTUN) sama,
c). HAPTUN membahas dan mengkaji bagaimana Hukum Administrasi
materiil ditegakan oleh hukum acaranya,
d). Hukum formal berbicara bagaimana peranannya di dalam menegakan
hukum materiildan hal inilah yang merupakan persamaan dari setiap
hukum acara,

3
e). Hubungan kausalitas antara hukum formil dengan hukum materiil yaitu
berkaitandengan peradilan, bahwa peradilan tanpa hukum formil akan
menjadi liar, tidakmempunyai arah, dan peradilan tanpa hukum materiil
akan menjadi lumpuh,
f). Menurut Sjachran Basah bahwa hukum acara mengabdi pada hukum
materiil. Untuk timbulnya hukum acara maka dalam pembentukannya ada
pilihan, antara lain:
1). Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama dengan hukum
materiilnya,
2). Ketentuan prosedur berperkara diatur berbeda-beda/terpisah.
g). Yang ingin ditegakan oleh hukum formal adalah hukum materiil yang
akan diprosesuntuk diungkap mengenai aspek keadilannya melalui
pengadilan administrasi murni,
h). Pada hakikatnya hukum formil masuk pada rumpun hukum publik,
berdasarkan teori residu dari van Vollenhoven , bahwa hukum acara
merupakan bagian dari hukum publik dan merupakan bagian dari hukum
Administrasi Negara sehingga pemahamannya yang muncul adalah
bahwa hukum formil sebagai sarana hukum public (publik rechtelijk
instrumentarium),
i). Perbedaan HAPTUN dengan Hukum Acara Perdata (HAPER) adalah
bahwa HAPER Kitab UU hukum materiil dan formilnya dituangkan
dalam kitab yang berbeda, sedangkan dalam HAPTUN tidak ada kitab UU
hukumnya, yang ada hanya UU saja yaitu UUPTUN.

Jika melihat ruang lingkup dari Peradilan Tata Usaha Negara, maka
peradilan termasuk dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan
wewenang: “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara
orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau
Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat
dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku“ (vide
Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

4
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa
yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata
sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai
Tergugat . Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat
Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking).

2.2 Sejarah Acara Tata Usaha Negara


Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar
kekuasaan, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman).
Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 24 Undang-Undang
Dasar 1945 (Perubahan) Jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, ditegaskan
bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) merupakan lingkungan
peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, adapun tujuan
dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk
mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram
serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum
dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras
antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat.
Dengan terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) menjadi
bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-
nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 pada tanggal 14
Januari 1991, Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) resmi beroperasi,
salah satunya adalah PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
JAKARTA yang berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dengan daerah
hukumnya meliputi wilayah Kabupaten/Kota.

5
2.3 Sumber Hukum Acara Tata Usaha Negara
1. Hukum Tertulis
Setiap peraturan perundang-undangan, dalam arti material, yang berisi
tentang wewenang Badan atau Jabatan TUN untuk melakukan tindakan-
tindakan hukum TUN dan yang mengatur tentang kemungkinan
menggugat tindakan hukum TUN yang bersangkutan. Hukum tertulis
dapat dibedakan dalam dua bagian:
a). Hukum TUN yang bersifat umum. Yaitu peraturan perundang-
undangan itu berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
bentuk dan isi tindakan hukum TUN serta hubungan-hubungan
hukum yang dilahirkan pada umumnya,
b). Hukum TUN yang bersifat khusus. Yaitu peraturan perundang-
undangan yang memberikan wewenang kepada para Badan dan
Jabatan TUN untuk melakukan tindakan-tindakan hukum TUN
dalam mengurus atau mengatur suatu bidang kehidupan dalam
masyarakat.
2. Hukum Tidak Tertulis
Sumber hukum ini berkembang dalam teori hukum dan jurisprudensi
pemerintahan maupun peradilan. Sebelum dibentuknya peradilan tata
usaha negara di Indonesia, perkembangan dan penerapan asa-asas tersebut
sudah terjadi dalam yurisprudensi hukum perdata, hal itu dikenal dengan
adanya perbuatan-perbuatan penguasa yang dinyatakan sebagai umpaya
bersifat sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dilakukan
dengan itikad buruk, melanggar norma kepatutan, yang sekarang
berkembang sebagai asas umum pemerintahan yang baik.
Sesungguhnya keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara telah
dikehendaki sejak jaman Hindia Belanda yang dituangkan dalam
ketentuan Pasal 134 Pasal (1) IS (ternyata konkordan dengan Grondwet di
Nederland yaitu pasal 160 dan 161) dan Pasal 20 R.O. (Reglemen op de
rechtelijke het beleid der justitie) atau Peraturan Susunan Pengadilan dan
Kebijaksanaan Kehakiman (LNHB 1847 No 57), RO ini merupakan
peraturan jaman Hindia Belanda yang tidak dicabut dan tetap berlaku

6
berdasarkan Peraturan Peralihan Pasal II Undang-Undang Dasar 1945
(berdasar UUD 1945 setelah amandemen adalah Pasal I).
Pasal-pasal tersebut selain memberikan kemungkinan diadakan suatu
peradilan Administrasi yang mandiri, juga mengatur tentang dasar
kompetensi antara hakim biasa dengan hakim administratif.

2.4 Asas-asas Hukum Acara Tata Usaha Negara


Menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-
pikiran dasar yang terdapat didalam dan di belakang system hukum masing-
masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim,yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan
keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.
Beberapa asas Hukum PTUN, yakni:
1). Asas praduga Rechtmating (Vermoeden van rechtmatigheid, prasumptio
iustae causa). Ini terdapat pada pasal 67ayat 1UU PTUN,
2). Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan KTUN
yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari
penggugat. Terdapat pada pasal 67ayat 1dan ayat 4 huruf a,
3). Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem),
4). Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di
peradilan judex facti, maupun kasasi dengan MA sebagai Puncaknya,
5). Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas
dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara
langsung dan tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi
keobyektifan putusan peradilan. Pasalb 24 UUD 1945 jo pasal 4 4 UU
14/1970,
6). Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan ringan ( pasal 4
UU 14/1970),
7). Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok
sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratn untuk menertapakan
apakah gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar atau
dilengkapi dengan pertimbangan (pasal 62 UU PTUN), dan pemeriksaan

7
persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas,
sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (pasal 63 UU PTUN),
8). Asas sidang terbuka untuk umum. Asas inimembawa konsekuensi bahwa
semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila di ucapkan dalam siding terbuka untuk umum (pasal 17 dan pasal
18 UU 14/1970 jo pasal 70 UU PTUN),
9). Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan di mulai dari tingkat yang
paling bawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, kemudian Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung,
10). Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan.
Asas ini menempatkan pengadilan sebagai ultimatum remedium. (pasal
48 UU PTUN),
11). Asas Obyektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau
panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubngan suami atau istri
meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat
hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga
terdapat hubungan sebagaimana yang di sebutkan di atas, atau hakim atau
paniteratersebut mempunyai kepentingan langsung dan tidak langsung
dengan sengketanya. (pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN).

2.5 Sistem & Prosedur Hukum Acara Tata Usaha Negara


Berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan
(beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu Pertama, melalui banding
administrasi atau upaya administrasi dan, Kedua, melalui peradilan. Hal ini
sesuai dengan ketetentuan Pasal 48 UU No 5 tahun 1986 yang berbunyi
sebagai berikut:
1). Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang
oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu,

8
maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/administratif yang tersedia,
2). Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa upaya


administratif itu merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan
perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa TUN yang dilaksanakan
dilingkungan pemerintahan sendiri (bukan oleh peradilan yang bebas) yang
terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 48 disebutkan bahwa upaya
administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau
badan hukum perdata apabila yang bersangkutan tidak puas terhadap suatu
KTUN. Prosedur itu dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri.
Prosedur ini dinamakan banding administratif. Sementara untuk penyelesaian
KTUN yang dilakukan sendiri oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut
disebut keberatan.
Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya harus diingat dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Beberapa Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, telah menyebutkan sebagai berikut:
1). Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya
administrative berupa pengajuan surat keberatan, maka gugatan terhadap
KTUN yang bersangkutan diajukan kepada PTUN,
2). Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya administratif
berupa pengajuan surat keberatan dan atau mewajibkan pengajuan surat
banding administratif, maka gugatan terhadap KTUN yang telah diputus
dalam tingkat banding administratif diajukan langsung kepada PTTUN
dalam tingkat pertama yang berwenang.

Perbedaan pentingnya antara upaya administratif dan PTUN adalah


bahwa PTUN hanyalah memeriksa dan menilai dari segi hukumnya saja

9
(rechtmatigheid). Sedangkan penilaian dari segi kebijaksanaan bukan menjadi
wewenang PTUN (doelmatigheid). Pemeriksaan melalui upaya administratif,
badan TUN selain berwenang menilai segi hukumnya, juga berwenang menilai
segi kebijaksanaannya. Dengan demikian penyelesaian sengketa melalui upaya
administratif menjadi lengkap (vol beroep). Tetapi, penilaian secara lengkap
tersebut tidak termasuk pada prosedur banding. Berikut ini adalah Proses/Alur
Pemeriksaan Perkara Tata Usaha Negara, yaitu:
1). Pembacaan Gugatan (Pasal 74 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1986)
Pemeriksaan Sengketa Dimulai Dengan Membacakan isi Gugatan dan
Surat yang Memuat Jawabannya Oleh Hakim Ketua Sidang, dan Jika
Tidak Ada Surat Jawaban, Pihak Tergugat Diberi Kesempatan Untuk
Mengajukan Jawabannya,
2). Pembacaan Jawaban (Pasal 74 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1986)
Pemeriksaan Sengketa Dimulai Dengan Membacakan isi Gugatan dan
Surat yang Memuat Jawabannya Oleh Hakim Ketua Sidang, dan Jika
Tidak Ada Surat Jawaban, Pihak Tergugat Diberi Kesempatan Untuk
Mengajukan Jawabannya,
3). REPLIK (Pasal 75 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)
Penggugat Dapat Mengubah Alasan yang Mendasari Gugatan Hanya
Sampai Dengan Replik, Asal Disertai Alasan yang Cukup Serta Tidak
Merugikan Kepentingan Tergugat, dan Hal Tersebut Harus Disaksikan
Oeh Hakim,
4). DUPLIK (Pasal 75 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)
Tergugat Dapat Mengubah Alasan yang Mendasari Jawabannya Hanya
Sampai Dengan Duplik, Asal Disertai Alasan yang Cukup Serta Tidak
Merugikan Kepentingan Penggugat dan Hal Tersebut Harus
Dipertimbangkan Dengan Seksama Oleh Hakim,
5). Pembuktian (Pasal 100 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)
Yang Dapat Dijadikan Alat Bukti Dalam Persidangan Adalah Sebagai
Berikut:

10
a). Surat atau Tulisan,
b). Keterangan Ahli,
c). Keterangan Saksi,
d). Pengakuan Para Pihak,
e). Pengetahuan Hakim.
6). Kesimpulan (Pasal 97 Ayat 1 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)
Dalam Hal Pemeriksaan Sengketa Sudah Diselesaikan, Kedua Belah
Pihak Diberi Kesempatan Untuk Mengemukakan Pendapat yang Terakhir
Berupa Kesimpulan Masing – Masing,
7). Putusan (Pasal 108 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)
Pembacaan putusan (Pasal 108 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)
a). Putusan Pengadilan Harus Diucapkan Dalam Sidang Terbuka Untuk
Umum,
b). Apabila Salah Satu Pihak atau Kedua Belah Pihak Tidak Hadir Pada
Waktu Putusan Pengadilan Diucapkan, Atas Perintah Hakim Ketua
Sidang Salinan Putusan itu Disampaikan Dengan Surat Tercatat
Kepada yang Bersangkutan,
c). Tidak Dipenuhinya Ketentuan Sebagaimana Dimaksud Dalam Ayat
(1) Berakibat Putusan Pengadilan Tidak Sah dan Tidak Mempunyai
Kekuatan Hukum.

Materi Muatan Putusan (Pasal 109 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)
a). Kepala Putusan Yang Berbunyi: ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”,
b). Nama, Jabatan, Kewarganegaraan, Tempat Kediaman, atau Tempat
Kedudukan Para Pihak Yang Bersengketa,
c). Ringkasan Gugatan dan Jawaban Tergugat Yang Jelas,
d). Pertimbangan dan Penilaian Setiap Bukti Yang Diajukan dan Hal Yang
Terjadi Dalam Persidangan Selama Sengketa Itu Diperiksa,
e). Alasan Hukum Yang Menjadi Dasar Putusan,
f). Amar Putusan Tentang Sengketa Dan Biaya Perkara,
g). Hari, Tanggal Putusan, Nama Hakim Yang Memutus, Nama Panitera,
Serta Keterangan Tentang Hadir atau Tidak Hadirnya Para Pihak.

11
Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986)
a). Gugatan Ditolak,
b). Gugatan Dikabulkan,
c). Gugatan Tidak Diterima,
d). Gugatan Gugur.

2.6 Pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara


Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Undang undang
Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dapat
dikualifikasi kepada 4 (empat) kategori, yaitu:
1). Putusan Pokok yaitu pernyataan batal atau tidak sah keputusan
administrasi negara yang disengketakan (tuntutan berdasarkan Pasal 53
ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004),
2). Putusan Tambahan Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan
tersebut dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat
pemerintah yang mengeluarkan keputusan. Kewajiban tersebut berupa:
a). Pencabutan keputusan administrasi negara yang bersangkutan;,
b). Pencabutan keputusan administrasi yang bersangkutan,
c). Penerbitan keputusan dalam hal obyek gugatan keputusan fiktif
negatif.
3). Putuan Remidial (pemulihan) Putusan Remidial yaitu untuk memulihkan
akibat yang telah ditimbulkan oleh keputusan pemerintah yang dinyatakan
batal atau tidak sah, berupa ganti rugi dan rehabilitasi,
4). Putusan Penguat (pengefektifan) Putusan Penguat yaitu putusan sebagai
alat pemaksa, supaya putusan yang bersifat kondemnatoir dapat
terlaksana, yaitu:
a). Kewajiban pembayaran sejumlah uang paksa,
b). Penjatuhan sanksi administratif,
c). Perintah mengumumkan pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pada media massa cetak,

12
d). Mengajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan,
e). Mengajukan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan
fungsi pengawasan. Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan
oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa tata usaha negara selesai
yang mengakhiri sengketa tersebut.

Menurut Pasal 97 ayat (7), putusan akhir pengadilan dapat berupa:


1). Gugatan ditolak. Dalam hal demikian tidak perlu pelaksanaan putusan,
2). Gugatan tidak diterima. Dalam hal demikian tidak diperlukan
pelaksanaan,
3). Gugatan dinyatakan gugur. Dalam hal demikian juga tidak diperlukan
pelaksanaan,
4). Gugatan dikabulkan.

Dikabulkannnya gugatan dapat berupa pembatalan untuk seluruhnya atau


sebagian dari keputusan TUN yang digugat. Menurut Pasal 97 ayat (8) dan (9),
dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh badan atau pejabat TUN yang
mengeluarkan keputusan, dengan kewajiban berupa:
1). Pencabutan,
2). Pencabutan keputusan yang digugat dan menerbitan keputusan yang baru,
3). Penerbitan keputusan dalam hal yang digugat didasarkan pada Pasal 3
(tidak mengeluarkan keputusan setelah jangka waktu lewat).

Pelaksanaan secara paksa putusan PTUN


Mengenai pelaksanaan putusan diatur dalam Pasal 116. Salinan putusan
harus diberitahukan kepada para pihak dalam jangka waktu dalam jangka
waktu 14 hariDalam jangka waktu 4 bulan apabila setelah putusan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana ketentuan pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu mencabut
keputusan yang digugat, maka keputusan TUN yang digugat tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum.Dalam hal putus yang telah mempunyai kekuatan

13
hukum tetap tersebut adalah mewajibkan tergugat melakukan perbuatan
hukum sebagaimana dimaksuad sebagaimana ketentuan Pasal 97 ayat (9) huruf
b dan c, yaitu mencabut keputusan TUN yang digugat disertai dengan perintah
menerbitkan yang baru, maka apabila setelah 3 bulan putusan tersebut dikirim
ternyata Tergugat tidak melaksanakannya, maka Penggugat dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan agar memerintahkan Tergugat
melaksanakan putusan tersebut.Apabila Tergugat tidak bersedia melaksanakan
putusan tersebut, maka terhadap pejabat tersebut dapat dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administrasi.Terhadap pejabat yang tidak melaksanakan upaya paksa tersebut
akan diumumkan pada media masa setempat oleh Panitera sejak tidak
terpenuhinya putusan TUN tersebut.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Indonesia sebagai Negara Hukum, menjamin hak Asasi Manusia tiap-tiap
penduduknya. termasuk dalam hal administrasi Negara. Pemerintah sebagai
aparat yang melaksanakan kegiatan administrasi di Negara ini, tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan penyelewengan-penyelewengan kekuasaan,
sehingga merugikan masyarakat Indonesia. Untuk itu Pemerintah berdasarkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara yang berdasarkan Pasal 144 diberikan
perlindungan hukum terhadap warga masyarakat atas perbuatan yang
dilakukan oleh penguasa.
Sengketa tata usaha. Negara yang terjadi di lingkungan administrasi, baik
itu sengketa intern, yang menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN
yang disengketakan dalam satu departemen atau suatu departemen dengan
departemen yang lain dan sengketa ekstern yakni perkara administrasi yang
menimbulkan sengketa antara. administrasi Negara dengan rakyat. Maka,
sengketa ini diselesaikan melalui upaya administrative, yang mana upaya
administratif ini berdasarkan penjelasan Pasal 48 disebutkan bahwa itu
merupakan suatu prosedur yang ditempuh oleh seseorang atau badan hokum
yang merasa tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

3.2 Saran
Untuk menciptakan Negara Indonesia yang dapat menjamin kemakmuran
dan kesejahteraan rakyatnya, hendaknya kinerja dari Pengadilan Tata Usaha
Negara ini lebih ditingkatkan. Mengingat saat ini keberadaan Pengadilan Tata
Usaha Negara kurang begitu menjadi sorotan masyarakat, padahal
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh apparat pemerintahan
sering terjadi, yang tentunya itu merugikan sebagian besar masyarakat.

15
DAFTAR PUSTAKA

 http://scholar.unand.ac.id/23755/2/BAB%20I.%20PENDAHULUAN.pdf
 https://www.google.com/amp/s/http716.wordpress.com/2016/10/28/hukum-
ptun-pengertian-asas-asas-dan-perbedaan-antara-acara-ptun-dengan-acara-
perdata/amp/
 https://ptun-makassar.go.id/proses-alur-pemeriksaan-persiapan/
 https://www.ptun-tanjungpinang.go.id/?page_id=677
 https://ptun-jakarta.go.id/?page_id=975
 https://www.academia.edu/22896104/HUKUM_ACARA_PERADILAN_TA
TA_USAHA_NEGARA_disharmonisasi_hukuk
 https://ptun-jakarta.go.id/?page_id=14
 https://www.academia.edu/29427177/Makalah_Peradilan_Tata_Usaha_Nega
ra
 https://www.academia.edu/16445920/Hukum_Acara_Administrasi_Negara_
Peradilan_Tata_Usaha_Negara

16

Anda mungkin juga menyukai