Asas Kebebasan
Pada dasarnya, asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU
No. 7 Tahun 1989 merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 24
UUD 1945 dan Pasal 1 UU no 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehakiman. Memang seperti yang diutarakan berulang kali pada bagian konsideran
maupun pada penjelasan umum.UU no 17 Tahun 1989 merupakan salah satu upaya
“melaksanakan” UU No. 14 Tahun 1970. Lebig lanjut dalam penjelasan umum angka I
alinea kelima ditegaskan: “dengan demikian undang-undang yang mengatur
susunan,kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama ini
merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan asas yang tercantum dalam Undang-
Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,” Dari bunyi
rumusan penjelasan yang dimaksud, UU no 7 Tahun 1989,merupakan pelaksanaan
ketentuan dan asas yang tercantum pada UU No. 14 Tahun 1970.
Peradilan dan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman tidak leh
dicampuri oleh badan kekuasaan pemerintahan yang lain. Pihak eksekutif,
legislatif atau badan kekuasaan lain yang mana pun, tidak boleh mencampuri
jalannya peradilan. Dengan demikian kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan
ningsi peradilan benar benar mampu berdiri sendiri. Tidak berada di bawah
subordinasi atau di bawah pengaruh dan kendali badan eksekutif, legislatif, atau
badan kekuasaan lainnya. Dalam hal ini, kebebasan dan kemerdekaan itu benar-
benar mandiri dan absolut.
II. Bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dan pihak
extrajudicial.
Sifat kebebasannya "tidak mutlak". tapi kebebasan hakim terbatas dan relatif
dengan acuan :
a. menerapkan hukum yang bersumber dari peranan pemudang-undangan yang
tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya
sesuai dengan asas dan statuta law must prevail (ketentuan undang-undang
yang diunggulkan);
b. menafsirkan hukum yang tepat melalui cara pendekatan pentium yang
dibetulkan (penciutan sistematik, sosiologis, bahasa, analogis dan continuo).
atau mengutamakan kadilan daripada peraturan perundang-undangan apabila
ketentuan undang undang tidak potensial melindungi kepentingan umum.
Penerapan yang demikian mulai dengan equity must prevail (keadilan yang
diunggulkan),
IV. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum dasar-dasar dan masa hukum
melalui dokrtin ilmu hukum. norma hukum tidak tertulis (hukum adat)
yurisprudensi maupun melalui pendekatan "realisme" yakni mencari dan
menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama
kepatutan,dan kelaziman.
Boleh melalui penafsiran sosiologis sehingga ditemukan suatu nilai hukum yang
situasional secara kontekstual antara rumusan teks peraturan atau undang-undang dengan
kondisi perkembangan kesadaran masyarakat. Dibenarkan pula penafsiran melalui
pendekatan pengertian bahasa, sehingga dapat diwujudkan am dan nilai hukum yang
bersifat aktual menyejajari dinamika perkembangan nilai dan rasa keadilan. Hakim boleh
juga melakukan pendekatan penafsiran analogis dan a contrano Yang dalam doktrin
hukum Islam pendekatan penafsiran yang seperti ini barangkali dapat disamakan dengan
upaya kegiatan ijtihad dalam bentuk qiyas yang dapat diperluas kegiatannya dalam
bentuk istiksan, atau dari dalil yang kully kepada hukum takhshish.
Bisa juga penafsiran melalui pendekatan maslahah mursalah atas alasan dalil
yang sudah disepakati para ulama bahwa kemaslahatan manusia sifatnya selalu aktual
yang tidak pernah berakhir. Yang pokok asal penafsiran melalui pendekatan maslahah
mursalah, sekurang-kurangnya "diperkirakan" hakim mengandung kemaslahatan yang
bersifat "umum" dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash.
Kemudian mengenai kebebasan hakim untuk mencari dan menemukan hukum,
erat sekali hubungannya dengan asas yang melarang hakim atau pengadilan menolak
menyelesaikan perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas.
Asas ini tercantum dalam Pasal 56 ayat ( 1) UU No 7 Tahun I989. Apabila kasus perkara
yang diajukan tidak ada aturan perundang-undangannya atau tidak jelas dasar hukum
peraturannya, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutusnya.
Menghadapi kasus yang seperti itu, hakim bebas dalam arti berupaya melakukan kegiatan
memben dan menemukan dasardasar dan asas-asas hukum melalui pendekatan
yurisprudensi, doktrin ilmu hukum, nilai nilai kekuatan ekonomi, sosial, agama,
moraLadat kebiasaan, kepatutan, kelaziman, dan kananusiaan. Dalam hukum Islam
misalnya dibenarkan melalui pendekatan "ijma" dan "urf".
memberi petunjuk.
memberi teguran, serta;
memberi peringatan yang dipandang perlu.
Namun demikian, Pasal 53 ayat (4) membatasi, pemberian petunjuk. teguran, dan
peringatan. tidak boleh mengurangi kebebasan hakim memeriksa dan memutus perkara.
Ada saatnya hal yang ingin dibicarakan mengenai kaitan pengawasan dan kebebasan
hakim, terutama yang menyangkut pengawasan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan
Agama atau Ketua Pengadilan Tinggi Agama. Ruang lingkup pengawasan mereka
terhadap hakim yang ada di wilayah hukumnya menurut Pasal 53. meliputi:
pelaksanaan tugas,
tingkah laku (di dalam dan di luar dinas),
memberi petunjuk,
memberi teguran, dan
memberi peringatan yang dipandang perlu.
Sehubungan dengan hal tersebut, sering terjadi benturan antara yang mengawasi
dengan yang diawasi. Para hakim, merasa dan menganggap pengawasan yang dilakukan
ketua pengadilan sudah terlampau jauh, sehingga sudah melenyapkan atau mengurangi
kebebasan dalam memeriksa dan memutus perkara. Pada pihak lain, ketua pcngadtlan
menganggap hakim yang diawasi membandel dan tidak disiplin. Kenapa sering terjadt
benturan yang demikian. Menurut pengamatan, disebabkan kedua belah pihak tidak
saling memahami dan menyadari patokan pengawasan pada satu segi dan batasan
kebebasan hakim pada segi lain. Patokan pengawasan ketua pengadilan terhadap para
haknu sudah dirinci dalam Pasal 53. Sedang batasan kebebasan sudah dirumuskan dalam
Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 berikut penjelasan Pasal 1 itu sendiri. Jika kedua belah
pihak memberi patokan dan batasan tersebut, tidak terjadi bentrokan dan benturan.
Misalkan seorang Ketua Pengadilan memberi teguran atau peringatan terhadap seorang
hakim yang sering bolos atau yang tidak menyelesaikan perkara dalam waktu satu tahun.
Tindakan itu tidak pantas dianggap pengawasan yang menjurus kepada pengurangan
kebebasan hakmt memeriksa dan memutus perkara.
Tindakan itu masih dalam rangka fungsi pengawasan Atau Ketua Pengadilan yang
memberi petunjuk tata cara pemeriksaan sidang yang sesuai dengan tata tertib yang
dibenarkan hukum acara. Tindakan itu pun masih dalam Jalur pelaksanan fungsi yang
bertujuan agar pelaksanaan tugas peradilan dilakukan serata saksama dan wajar atau due
process (due process of law). Sepanjang petunjuk yang diberikan bertujuan untuk
menertibkan fungsi peradilan secara saksama dan wajar serta tidak ada tekanan dan
perintah untuk menjuruskan pemeriksaan dan putusan ke arah yang diinginkan ketua.
pelaksanaan pengawasan yang dilakukan tidak dapat dianggap mengurangi kebebasan
hakim atau melanggar judicial immunity right. atau seorang hakim diperingati dan
ditegur karena moral dan kelakuannya bejat dan tidak senonoh baik hal itu di dalam dan
di luar dinas. Tindakan itu masih dalam jalur fungsi pengawasan guna menegakkan citra
pengadilan.
Oleh karena itu, para hakim seenaknya menamengi kebebasan dan hak imunitas
menghadapi fungsi pengawasan Ketua Pengadilan. Sebaliknya, Ketua Pengadilan jangan
sesuka hati memperalat fungsi pengawasan untuk tujuan menghancurkan kebebasan
hakim. Ketua Pengadilan yang terlampau bnyak mencampuri urusan pemeriksaan dan
putusan perkara atas nama pengawasan, secara tidak langsung mengurangi kebebasan
hakim. Tetapi ketua pengadilan yang mendiamkan kesalahan dan kekeliruan yang
dilakukan hakim, tidak pantas mmduduki jabatan Ketua.