Anda di halaman 1dari 10

A.

Asas Kebebasan

1. Tujuan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman

Pada dasarnya, asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU
No. 7 Tahun 1989 merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 24
UUD 1945 dan Pasal 1 UU no 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehakiman. Memang seperti yang diutarakan berulang kali pada bagian konsideran
maupun pada penjelasan umum.UU no 17 Tahun 1989 merupakan salah satu upaya
“melaksanakan” UU No. 14 Tahun 1970. Lebig lanjut dalam penjelasan umum angka I
alinea kelima ditegaskan: “dengan demikian undang-undang yang mengatur
susunan,kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan agama ini
merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan asas yang tercantum dalam Undang-
Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,” Dari bunyi
rumusan penjelasan yang dimaksud, UU no 7 Tahun 1989,merupakan pelaksanaan
ketentuan dan asas yang tercantum pada UU No. 14 Tahun 1970.

Asas Kemerdekaan kekuasaan kehakiman, merupakan asas yang paling sentral


dalam kehidupan peradilan. Dalam UU No. 14 Tahun 1970 dicantumkan dalam Bab I,
Ketentuan Umum sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 yang berbunyi : “Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hokum dan keadilan berdasarkan Pancasila,demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia”. Memperhatikan bunyi pasal tersebut dan dijabarkan
beberapa sendi filosofis dalam kegiatan upaya penegakkan hokum yang diperankan oleh
badan-badan peradilan:

a. Kekuasaan kehakiman (judicialpower) dalam melaksanakan fungsi peradilan


adalah "alat kekuasaan negara" yang lazim disebut kekuasaan ”yudikatif”.
Tujuan memberi kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam
menyelenggarakan fungsi peradilan: agar hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dapat ditegakkan, dan agar benar-benar diselenggarakan kehidupan
bernegara berdasar hukum, karena negara Republik Indonesia adalah negara
hukum (Recht Staar).
b. Asas kemerdekaan peradilan (kekuasaan kehakiman) yang dicantumkan
dalam Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970, memberi penegasan dan peringatan,
bahwa kekuasaan kehakiman adalah ”kekuasaan negara”. Dia adalah milik
negara dan bangsa Indonesia. Bukan milik swasta atau milik golongan
tertentu. Setiap lingkungan peradilan yang dilimpahi fungsi dan kewenangan
menyelenggarakan peradilan adalah lembaga ”kekuasaan negara ” dan
sekaligus milik negara dan seluruh rakyat Indonesia. Sekalipun lingkungan
Peradilan Agama didasarkan atas asas personalita keislaman, tidak berarti
milik swasta dan kelompok yang beragama Islam. Dia adalah milik negara
dan rakyat Indonesia serta sekaligus berkedudukan sebagai alat kekuasaan
negara. Hal ini perlu diperingatkan terutama bagi mereka yang bertugas di
lingkungan Peradilan Agama. Jangan sampai timbul anggapan dan
kecenderungan merasa Peradilan Agama sebagai milik pribadi, kekuasaan
pribadi atau milik orang lslam saja. Anggapan dan kecenderungan seperti itu
bisa menjerumuskan Peradilan Agama ke arah kesewenangan dan
memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Kemudian, maksud memberi kemerdekaan kepada kekuasaan kehakiman dalam


melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan. bukan tanpa tujuan. Tujuan utama
amanat kemerdekaan yang diberikan kepada badan peradilan, agar para pejabat
fungsional yakni para hakim yang memeriksa dan memutus perkara bcnar-bcnar
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan hukum dan kebenaran sesuai dengan hati
nurani Hanya peradilan yang beban dan merdeka yang dapat menegakkan hukum dan
keadilan yang hak. ( to enforce the ultimate truth and justice). Dan hanya kekuasaan
kehakiman yang bebas dan merdeka yang dapat menjamin tegaknya "negara hukum".
Hakim dan kekuasaan kehakiman yang tidak merdeka, tidak dapat berfungsi menegakkan
hukum dan keadilan hakiki. Mereka tetjcrat dan bertekuk lutut di bawah kendali alat
kekuasaan yang lain Apabila kekuasaan kehakiman dijerat dan berada di bawah kendali
apa pun.

Jalannya penegakan hukum dan keadilan, hanya sekadar sandiwara memperturut


keinginan dan kehendak pihak yang mengendali. Oleh karena itu, sudah selayaknya para
hakim yang bertugas di lingkungan Peradilan Agama memahami dengan sadar penegasan
Penjelasan Umum UU No. 14 Tahun 1970 angka alinea kedua: "Maka yang dituju
dengan "kekuasaan kehakiman " dalam Pasal 24 Undang; Undang Dasar 1945 ialah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia" Berarti kemerdekaan yang diberikan kepada hakim bukan untuk
menegakkan kemauan pribadi guna mengejar kepentingan pribadi atau golongan. Atau
bukan untuk kepentingan hakim (not the interest of the judge), tetapi untuk kepentingan
keadilan (for the interest of the justice).

2. Pengertian Kebebasan Kekuasaan Kehakiman

Seperti yang sudah dijelaskan, tujuan memberi amanah kemerdekaan kepada


kekuasaan kehakiman, tiada lain agar para hakim yang berfungsi melaksanakan
peradilan. dapat benar-benar menegakkan hukum dan keadilan demi terjamin kelanj utan
hidup "negara hukum" Republik lndonesia. Timbul pertanyaan, Apa makna dan batasan
pengenian kemerdekaan atau kebebasan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan
peradilan? Apakah arti kemerdekaan atau kebebasan kekuasaan peradilan tanpa batas,
sehingga para hakim boleh leluasa melakukan tindakan sewenang-wenang? Tampaknya,
memang terlihat ada kecenderungan sementara hakim yang mengartikan kemerdekaan
dan kebebasan kekuasaan peradilan sebagai kekuasaan yang tidak terbatas. Tidak peduli
nilai hukum dan keadilan! Yang tampil dan ditonjolkan dalam mengantisipasi hukum dan
keadilan ialah "keakuan" dan "kecongkakan kekuasaan” atau arrogance of power.
Terkadang nilai hukum dan keadilan disingkirkan dan yang muncul ialah pendekatan
kemauan dan kehendak pn'badl hakim dengan bertameng kemerdekaan dan kebebasan.
Bahkan emosi. kepicikan. keculasan, dan kebobrokan moral, sering ikut mewarnai
penegakan hukum dan keadilan dcngan memperalat kemerdekaan dan kebebasan
kekuasaan kehakiman.

Pelayanan yang buruk dan tidak manusiawi dimanipulasi dengan gertakan


kemerdekaan dan kebebasan. sehingga makna dan penerapan kemerdekaan dan
kebebasan hakim dan peradilan umum menghalalkan kebobrokan dan kesewenangan.
Jika para hakim yang bcmau igd lingkungan Peradilan Agama keliru memahami makna
kemerdekaan dan kebebasan dalam melaksanakan fungsi kewenangan peradilan, akan
banyak nanti para hakim menganggap Pengadilan Agama sebagai pribadi dan warisan
nenek moyang. Oleh karena itu, penting sekali meluruskan pengertian dan pemahaman
yang sebernarnya makna kemerdekaan kekuasaan kehakiman Pedoman yang dapat
dirujuk untuk meluruskan pengertian dan pemahaman kemerdekaan kekuatan kehakiman
yang tepat adalah rumus yang tercantum dalam penjelasan Pasal 1 UU No 14 Tahun
1970 Agar lebih akan ditanamkan sepenuhnya mengenai penjelasan tersebut. ”Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya kekuasaan kehakiman
yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya. dan kebebasan dari
paksaan, atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial. kecuali dalam hal-hal
yang diizinkan undang-undang.

Kebebaan dalam melaksanakan wewenang judicial tidaklah mutlak sifatnya.


karena tugaa daripada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang
jadi landasannya. melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya. sehingga
keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Demikian
makna dan jangkauan kebebasan hakim dalam melaksanakan fungi kemerdekaan
kekuasaan kehakiman. Bukan kebebasan yang merajalela dan membabibuta dan absolut,
tetap terbatas dan relatif dengan acuan berikut.
I. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya.

Peradilan dan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman tidak leh
dicampuri oleh badan kekuasaan pemerintahan yang lain. Pihak eksekutif,
legislatif atau badan kekuasaan lain yang mana pun, tidak boleh mencampuri
jalannya peradilan. Dengan demikian kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan
ningsi peradilan benar benar mampu berdiri sendiri. Tidak berada di bawah
subordinasi atau di bawah pengaruh dan kendali badan eksekutif, legislatif, atau
badan kekuasaan lainnya. Dalam hal ini, kebebasan dan kemerdekaan itu benar-
benar mandiri dan absolut.

II. Bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dan pihak
extrajudicial.

Maksudnya, hakim dalam melaksanakan fungsi peradilan tidak boleh dipaksa


harus mengambil putusan yang dikehendaki pihak yang memaksa. Paksaan yang
datang dan siapa pun dan dalam bentuk yang bagaimanapun, tidak dibenarkan.
Begitu pula pengarahan dan rekomendasi yang datang dari luar lingkungan
kekuasaan peradilan tidak dibenarkan. Hakim harus memiliki keberanian nurani
yang tangguh melaksanakan timgsi dan kewenangan peradilan berdasarkan the
rule of law Dalam hal ini pun otonomi kebebasan dan kemandirian adalah mutlak.

III. Kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan).

Sifat kebebasannya "tidak mutlak". tapi kebebasan hakim terbatas dan relatif
dengan acuan :
a. menerapkan hukum yang bersumber dari peranan pemudang-undangan yang
tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya
sesuai dengan asas dan statuta law must prevail (ketentuan undang-undang
yang diunggulkan);
b. menafsirkan hukum yang tepat melalui cara pendekatan pentium yang
dibetulkan (penciutan sistematik, sosiologis, bahasa, analogis dan continuo).
atau mengutamakan kadilan daripada peraturan perundang-undangan apabila
ketentuan undang undang tidak potensial melindungi kepentingan umum.
Penerapan yang demikian mulai dengan equity must prevail (keadilan yang
diunggulkan),

IV. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum dasar-dasar dan masa hukum
melalui dokrtin ilmu hukum. norma hukum tidak tertulis (hukum adat)
yurisprudensi maupun melalui pendekatan "realisme" yakni mencari dan
menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama
kepatutan,dan kelaziman.

Dalam batas-batas tersebutlah jangkauan kebebasan hakim melaksanakan tugas,


kekuasaan kehakiman menyelesaikan sengketa perkara yang diperiksa. Bebas
menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan pcrundang-undangan yang "berlaku",
asal peraturan dan perundang-undangan yang bersangkutan tepat dan benar untuk
diperlakukan terhadap kasus perkara yang diperiksa. Dia tidak bebas mempergunakan
peraturan pcmndang. Undangan yang sudah tidak berlaku. Juga "tidak bebas" untuk
menerapkan peraturan dan perundang-undangan yang tidak cocok dan tidak tepat
terhadap kasuspcrkara yang sedang diperiksa. Menerapkan ketentuan peraturan dan
perundang-undangan yang tidak tepat terhadap kasus perkara, merupakan kesewenang-
wenangan dan perkosaan terhadap penegakan hukum dan keadilan. Hakim juga "tidak
bebas” mencipta peraturan sendiri untuk dijadikan dasar hukum memeriksa dan
mengadili perkara yang sedang diperiksa Tindakan kebebasan yang seperti itu, persis
mempergunakan hukum rimba terhadap perkara yang diadili.

Begitu juga halnya dalam kebebasan ”menafsirkan” hukum. Kebebasan


menafsirkan hukum, bukan asal menafsirkan. Kebebasan hakim menafsirkan hukum
harus berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa. Hukum yang hendak ditafsirkan
mesti bersumber dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang ada
kaitannya dengan kasus perkara yang sedang diperiksa. Tidak dibenarkan menafsirkan
hukum di luar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendekatan cara
penafsiran tidak bebas menurut kemauan hakim sendiri. Kebebasan penafsiran yang
dibenarkan harus melalui ”pendekatan disiplin” yang diakui keabsahannya oleh teori dan
praktek melalui pendekatan sistematik.

Boleh melalui penafsiran sosiologis sehingga ditemukan suatu nilai hukum yang
situasional secara kontekstual antara rumusan teks peraturan atau undang-undang dengan
kondisi perkembangan kesadaran masyarakat. Dibenarkan pula penafsiran melalui
pendekatan pengertian bahasa, sehingga dapat diwujudkan am dan nilai hukum yang
bersifat aktual menyejajari dinamika perkembangan nilai dan rasa keadilan. Hakim boleh
juga melakukan pendekatan penafsiran analogis dan a contrano Yang dalam doktrin
hukum Islam pendekatan penafsiran yang seperti ini barangkali dapat disamakan dengan
upaya kegiatan ijtihad dalam bentuk qiyas yang dapat diperluas kegiatannya dalam
bentuk istiksan, atau dari dalil yang kully kepada hukum takhshish.

Bisa juga penafsiran melalui pendekatan maslahah mursalah atas alasan dalil
yang sudah disepakati para ulama bahwa kemaslahatan manusia sifatnya selalu aktual
yang tidak pernah berakhir. Yang pokok asal penafsiran melalui pendekatan maslahah
mursalah, sekurang-kurangnya "diperkirakan" hakim mengandung kemaslahatan yang
bersifat "umum" dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash.
Kemudian mengenai kebebasan hakim untuk mencari dan menemukan hukum,
erat sekali hubungannya dengan asas yang melarang hakim atau pengadilan menolak
menyelesaikan perkara yang diajukan dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas.
Asas ini tercantum dalam Pasal 56 ayat ( 1) UU No 7 Tahun I989. Apabila kasus perkara
yang diajukan tidak ada aturan perundang-undangannya atau tidak jelas dasar hukum
peraturannya, Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutusnya.
Menghadapi kasus yang seperti itu, hakim bebas dalam arti berupaya melakukan kegiatan
memben dan menemukan dasardasar dan asas-asas hukum melalui pendekatan
yurisprudensi, doktrin ilmu hukum, nilai nilai kekuatan ekonomi, sosial, agama,
moraLadat kebiasaan, kepatutan, kelaziman, dan kananusiaan. Dalam hukum Islam
misalnya dibenarkan melalui pendekatan "ijma" dan "urf".

3. Penegasan Asas Kebebasan dalam UU No. 7 Tahun 1989

Setelah melihat tujuan kemerdekaan kekuasaan kehakiman serta pengertian


makna kebebasan hakim dalam melaksanakan fungsi kewenangan kekuasaan kehakiman,
mari kita bicarakan penegasan asas kebebasan yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989.
Dalam undang-undang ini, terdapat tiga pasal yang menegaskan asas kebebasan hakim
dalam melaksanakan fungsi kewenangan kekuasaan kehakiman. Tampaknya-asas
kebebasan tersebut dalam undang-undang ini tidak secara khusus diatur dalam satu Pasal
tertentu. Tetapi perumusannya sekaligus dikaitkan dengan fungsi "pengawasan" dan
"Pembinaan”. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi makna terpancangnya asas
kebebasan dalam UU No. 7 Tahun 1989, sebagai pengejawantahan asas kemerdekaan
kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Pasa124 UUD 1945 dan Pasal 1 UU No. 14
Tahun 1970. Oleh karena itu, penegasan asas kebebasan yang terdapat dalam ketiga pasal
UU No. 7 Tahun 1989, hanya ulangan yang bersifat penekanan dan peringatan bagi
aparat yang melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan. Undang-undang ini
menekankan dan memperingatkan agar aparat yang berfungsi melaksanakan pengawasan
dan pembinaan, tidak melanggar asas kebebasan hakim. Silahkan laksanakan pengawasan
dan pembinaan.

Akan tetapi dalam melaksanakan fungsi tersebut, ”tidak boleh mengurangi”


kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dengan demikian ”hak
imunitas" peradilan (judicial immunity right) tidak boleh dilanggar dan dikurangi. Mari
kita telusuri penegasan asas kebebasan dihubungkan dengan fungsi pengawasan dan
pembinaan seperti yang diatur dalam Pasal 5, 12, dan Pasal 53. Penegasan asas kebebasan
hakim dalam lingkungan Peradilan Agama yang diatur dalam Pasal 5, dikaitkan dengan
fungsi pengawasan dan pembinaan yang dilakukan Mahkamah Agung dan Menteri
Agama. Sebagaimana yang diatur dalam pasal ini: Pembinaan "teknis” Peradilan Agama
dilakukan oleh Mahkamah Agung (ayat (1). Pembinaan organisasi, administrasi, dan
keuangan dilakukan oleh Menteri Agama (ayat (2)) Fungsi pembinaan tidak boleh
"mengurangi" kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (ayat (3) .
Begitu juga pembinaan dan pengawasan umum yang diatur dalam Pasal 12
Menurut pasal im pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dalam kedudukan
mereka ”sebagai "pegawai negeri" dilakukan Memen Agama (ayat ( I )) Namun dalam
melaksanakan Pembinaan dan pengawasan umum tersebut ndak boleh "mengurangi"
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (ayat (2)). Demikian juga
pengawasan yang dilakukan Ketua Pengadilan Agama dan Ketua Pengadilan Tinggi
Agama terhadap hukum yang berada dl bawah pimpinannya. tidak boleh Mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Seperti yang diatur dalam
Pasal 53: Kema Pengadilan Agama berfungsi mengawasi pelaksanaan tugas dan tingkah
laku para hakim di daerah hukum kekuasaannya. Dan Ketua Pengadilan Tinggi Agama
melaksanakan fungsi pengawasan dan pelaksanaan tugas dan tingkah laku para hakim
yang ada di wilayah hukumnya serta menjaga agarperadilan diselenggarakan dengan
saksama dan sewajarnya. Dan ruang lingkup pengawasan tersebut meliputi :

 memberi petunjuk.
 memberi teguran, serta;
 memberi peringatan yang dipandang perlu.

Namun demikian, Pasal 53 ayat (4) membatasi, pemberian petunjuk. teguran, dan
peringatan. tidak boleh mengurangi kebebasan hakim memeriksa dan memutus perkara.
Ada saatnya hal yang ingin dibicarakan mengenai kaitan pengawasan dan kebebasan
hakim, terutama yang menyangkut pengawasan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan
Agama atau Ketua Pengadilan Tinggi Agama. Ruang lingkup pengawasan mereka
terhadap hakim yang ada di wilayah hukumnya menurut Pasal 53. meliputi:

 pelaksanaan tugas,
 tingkah laku (di dalam dan di luar dinas),
 memberi petunjuk,
 memberi teguran, dan
 memberi peringatan yang dipandang perlu.

Sehubungan dengan hal tersebut, sering terjadi benturan antara yang mengawasi
dengan yang diawasi. Para hakim, merasa dan menganggap pengawasan yang dilakukan
ketua pengadilan sudah terlampau jauh, sehingga sudah melenyapkan atau mengurangi
kebebasan dalam memeriksa dan memutus perkara. Pada pihak lain, ketua pcngadtlan
menganggap hakim yang diawasi membandel dan tidak disiplin. Kenapa sering terjadt
benturan yang demikian. Menurut pengamatan, disebabkan kedua belah pihak tidak
saling memahami dan menyadari patokan pengawasan pada satu segi dan batasan
kebebasan hakim pada segi lain. Patokan pengawasan ketua pengadilan terhadap para
haknu sudah dirinci dalam Pasal 53. Sedang batasan kebebasan sudah dirumuskan dalam
Pasal 1 UU No. 14 Tahun 1970 berikut penjelasan Pasal 1 itu sendiri. Jika kedua belah
pihak memberi patokan dan batasan tersebut, tidak terjadi bentrokan dan benturan.
Misalkan seorang Ketua Pengadilan memberi teguran atau peringatan terhadap seorang
hakim yang sering bolos atau yang tidak menyelesaikan perkara dalam waktu satu tahun.
Tindakan itu tidak pantas dianggap pengawasan yang menjurus kepada pengurangan
kebebasan hakmt memeriksa dan memutus perkara.

Tindakan itu masih dalam rangka fungsi pengawasan Atau Ketua Pengadilan yang
memberi petunjuk tata cara pemeriksaan sidang yang sesuai dengan tata tertib yang
dibenarkan hukum acara. Tindakan itu pun masih dalam Jalur pelaksanan fungsi yang
bertujuan agar pelaksanaan tugas peradilan dilakukan serata saksama dan wajar atau due
process (due process of law). Sepanjang petunjuk yang diberikan bertujuan untuk
menertibkan fungsi peradilan secara saksama dan wajar serta tidak ada tekanan dan
perintah untuk menjuruskan pemeriksaan dan putusan ke arah yang diinginkan ketua.
pelaksanaan pengawasan yang dilakukan tidak dapat dianggap mengurangi kebebasan
hakim atau melanggar judicial immunity right. atau seorang hakim diperingati dan
ditegur karena moral dan kelakuannya bejat dan tidak senonoh baik hal itu di dalam dan
di luar dinas. Tindakan itu masih dalam jalur fungsi pengawasan guna menegakkan citra
pengadilan.

Oleh karena itu, para hakim seenaknya menamengi kebebasan dan hak imunitas
menghadapi fungsi pengawasan Ketua Pengadilan. Sebaliknya, Ketua Pengadilan jangan
sesuka hati memperalat fungsi pengawasan untuk tujuan menghancurkan kebebasan
hakim. Ketua Pengadilan yang terlampau bnyak mencampuri urusan pemeriksaan dan
putusan perkara atas nama pengawasan, secara tidak langsung mengurangi kebebasan
hakim. Tetapi ketua pengadilan yang mendiamkan kesalahan dan kekeliruan yang
dilakukan hakim, tidak pantas mmduduki jabatan Ketua.

4. Kekuasaan kehakiman dikenal beberapa asas

Di Indonesia kekuasaan kehakiman ini diatur dalam Undang-undang no.14


tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Seperti yang tertera pada pasal 1 UU
tersebut yang menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiaman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselanggaranya negara hukum Republik
Indonesia. Setelah kita mengetahui mengenai apa itu kekuasaan kehakiman, maka
dari itu penulis akan menuju kembali kepokok bahasan yaitu tentang asas asas dalam
kekuasaan kehakiman. Dibawah ini terdapat beberapa asas yang penulis ambil
dari UU no. 14 tahun 1970 :

a) Di Negara hanya ada peradilan negara tidak dibolehkan adanya peradilan-


peradilan yang bukan dilakukan oleh badan peradilan negara. (pasal 3 ayat
1)
b) Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
(pasal 4 ayat 1)
c) Peradilan dilakukan dengan cepat sederhana dan biaya yang ringan. (pasal
4 ayat 2)
d) Pengadilan mengadili menurut hukum tanpa membedakan orang. (pasal 5)
e) Kekuasaan kehakiman bersifat menunggu atau pasif.
f) Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukumanya tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memriksa dan mengadilinya. (pasal 14)
g) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum.
h) Semua pengadilan memeriksa dan memutuskan perkara dengan majelis
yang sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang. ( pasal 15)
i) Para pihak atau terdakwa mempunyai hak ingkar ( recusatie ) terhadap
hakim yang mengadili perkaranya. (pasal 28 ayat 1)
j) Seseorang hakim yang terikat hubungan keluarga sedarah sampai derajat
ketiga atau semenda dengan ketua salah seorang anggota hakim, jaksa,
penasehat hukum atau panitera dalam suatu perkara tertentu wajib
mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu. ( excusatie, pasal 28 ayat
2)
k) Semua keputusan hakim harus disertai alasan-alasan putusan. (pasal 23
ayat 1)
l) Hakim diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara. (pasal 31)

Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang


dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya
mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu
keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara
hukum yang juga individual konkret. Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat
diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana
norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya
dengan memperhatikan hukum dasar negara.

Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian


hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada
kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret
yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara,
tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara
dan pemerintah. Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa dalam
kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu:
1. Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of
power) atau pembagian  kekuasaan(distribution of power) di antara badan-
badan penyelenggara negara.
2.  Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan
rakyat.
3. Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari
pemerintah.
4. Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan
pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.

Anda mungkin juga menyukai