Anda di halaman 1dari 12

Nama: Mangasa Barakel

Nim: 8111420561

Hakim Dan Penyalahgunaan Kuasa Hukum


Definisi Hakim
Hakim Merupakan salah unit terpenting dalam masalah pengadila persidangan sebagai pemimpin
dalam proses peradilan. Hakim memiliki tuags untuk memeriksa, menyelesaikan, dan
memutuskan sebuah perkara peradilan dalam perkara pidana maupun perdata. Dalam proses
peradilan hakim dapat memberikan perintah sesuai dengan golongan hakim itu sendiri yakni
pada pihak Polisi, Militer, maupun Pejabat pengadilan untuk memperlancar penyelidikan dalam
penyelesaian perkara pengadilan terkait. Wewenang yang diberikan pada pemerintah oleh hakim
dapat dilihat pada Pasal 1 angka 8 UU No.8 Tahun 1981 yang intinya memberikan kuasa pada
pejabat pegawai negeri sipil tertentu (Hakim) diberikan wewenang dari undang-undang untuk
melakukan penyelidikan.
Keberadaan Hakim pada Struktur Pemerintahan Negara Indonesia telah disesuaikan dengan
UUD 1945 dengan pembagian kekuasaan negara menjadi tiga bagian yaitu kekuasaan legislatif
yakni MPR, DPR, dan DPD, Kekuataan Eksekutif yang ada pada Presiden, Wakil Presiden dan
pada deretan mentri, dan kekuaan Yudikatif yang terdiri dari MA, MK, dan KY. Hakim Pada
saat ini bukan lagi hanya menjadi pegawai sipil namun telah memiliki posisi sebagai Pejabat
Negara, Hakim itu terbagi menjadi Hakim dalam raungan Mahkama Agung dan peradilan
dibawahnya dan Hakim dalam Mahkama Konstitusi. Mahkama agung ini mememisahkan hakim
menjadi beberapa bagian juga yakni Hakim Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim Peradilan
Umum, Hakim Peradilan Agama, Dan Hakim Peradilan Militer. Dalam mejalankan tugasnya
hakim selaku Pejabat negara yang memiliki wewenang memiliki tugas untuk menerima,
memeriksa dan memutuskan perkara pidana maupun perdata dengan jujur, bebas dan tidak
memihak sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang.
Dalam Proses peradilan hakim memiliki tugas sebagaimana ditulis dalam Undang-Undang tugas
hakin yakni memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara. Majelis hakim dalam suatu
proses pengadilan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga hakim yakni satu Hakim Ketua dan Dua
Hakim Anggota. Tidak sembarang orang dapat menjadi seorang Hakim ini diatur dalam Pasal 14
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Berikut syarat-syarat menjadi seorang
hakim:
1. Warga negara Indonesia (WNI)
2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
3. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945)
4. Sarjana hokum
5. Lulus pendidikan hakim
6. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban
7. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
8. Berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun
9. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
10. putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kebebasan Hakim
Yang dimaksut kebebasan ynag dimiliki oleh hakim yakni berupa kuasa hakim sendiri dalam
memeriksa dan memutuskan suatu perkara dalam persidangan hakim memiliki kebebasan untuk
meneliti nilai-nilai hukum yang bahkan ada pada masyarakat sendiri. Hakim yang bebas ini tidak
bisa dipengaruhi oleh pihak-pihak luar dalam meneliti dan mengambil keputusan untuk
menyelesaikan perkara. Perlu ditekankan kembali bahwa dalam pengambilan keputusanya hakim
sendiri harus memiliki sifat yang objektif dan netral dan menyelesaikan perkara dengan dasar
hukum yang ada yang dijadikan sebagai landasan dalam pengambilan keputusan/vonis terdakwa.
Landasan Yuridis Kuasa yang dikaruniakan pada kehakiman sendiri dapat dilihat dalam Pasal
24 UUD 1945 yang menyatakan posisi kehakiman sebgai lembaga pemerintahan yang mandiri
dan bijak dan tidak dipengaruhi oleh tangan individu atau kelompok luar. Dalam UUD 1945
Konteks mengenai kebebasan hakim ini dengan keberadaan landasan yuridis yang dapat
dikaitkan bahwa kebebasan yang dimiliki oleh hakim merupakan suatu kebebasan dengan
tanggung jawab yakni menjalankan tugas inti pengadilan dengan Undang-Undang yang berlaku.
Pejabat Hakim sendiri harus memiliki kemampuan untuk menghayati pasal-pasal berkaitan yang
berlaku dalam penyelasain suatu perkara pengadilan keputusan yang akan diambil harus
memiliki nilai keadilan yang terpancar dengan keberadaan konstitusi yang menjadi fondasi hukm
hakim dan nilai dalam UUD 1945 yang menjadi faktor kuasa kehakiman sendiri.
Filosofi dalam hakim juga menjadi nilai tersendiri bagi sebagai hakim yakni prisip yang
dipegang. Memang apabilah dilihat dari kacamata awam keputusan yang diambil oleh hakim
tampak individualis dengan keberadaan otonomi hakim dalam meneliti dan memutuskan suatu
perkara namun harus diketahui bahwa keputusan ini kembali lagi berasal dengan Undang-undng
yang ditetapkan sebagai fondasi keputusan hakim ini lalu diproses oleh lembaga kehakiman dan
menjadi keputusan seluruh lembaga sebagi hakim yang tampaknya menjadi wali dari lembaga itu
sendiri. Kata Bebas yang sering terdenagat oleh para hakim dapat dilihat dari kebebasan hakim
untuk menjalankan tugasnya tanpa mendapat tekanan dari pihak manapun dengan otonomi yang
diberikan hal ini juga dinilai dengan sifat individualitas yakni bebasnya seorang hakim
menyelesaikan perkara tanpa mendapat kesulitan dari pihak luar dengan maksut mempengaruhi
proses peradilan1.

1
Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,Jakarta: Pustaka Filsafat, 1987,h.33.
Dinyatakan oleh seorang ahli hukum Oemar Seno Adji: S Suatu pengadilan yang bebas dan tidak
dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas berarti tidak ada
campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam menjalankan
fungsi judiciary. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan tugasnya, ia “subordinated”, terikat pada hukum.” Pendapat yang diutarakan ini
memiliki ide bahwa perlunya ada keberadaan suatu pengadilan yang bersifat netral dan bebas
yang dapat mewujudkan suatu bentuk keadilan yang bersifat universal denagan sistem rule of
law yang dapat dilihat keberadaanya pada negara eropa barat. Keberadaan rule of law ini tentu
saja tidak lepas dari indonesia yang masih memiliki dasar huku belanda, prinsip dari rule of law
yakni:
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung pengertian
perlakuan yang sama di bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dan
pendidikan
2. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuk
3. Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh kekuasaan
lain
Dalam pemikiranya Oemar seno Adji mendukung keberadaan kebebasan hakim dengan istilah
Indeperensi peradilan dengan campur tangan Yudisial. Pemikiran negara rule of law ini
berpendirian bahwa suatu kebebasan dalam suatu peradilan yang bebas dan tidak berpihak yang
memiliki elemen demokrasi dalam proses peradilan. Nilai ini juga dapat dilihat lagi dengan
pandangan hakim terhadap pancasila dan UUD 1945 yakni tanggung jawab dan kuasa yang
dimiliki oleh seorang hakim dalam melaksanakan peradilan yang bebas dasar kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Perlu
diketahu bahwa nilai-nilai pokok yang terkandung dalam pancasila sendiri bersifat universal dan
dapat dimengerti oleh seluruh masyarakat negara ini nilai filsafat yang dikandung dapat dilihat
dari ekonomi, politik, dan budaya. Nilai pancasila inilah yang menjadi cerminan dari kebebasan
kuasa hakim yang hadir pada indonesia.

Kehadiran Kebebasan Hakim


Maksut dari adanya kebebasan bagi hakim sendiri adalah guna memberikan kemandirian dan
mencegah penyalahgunaan oleh badan pemerintah lainya. Hal ini bukan hanya untuk
menciptakan suatu kemandirian bagi sektor kehakiman namun juga mencegah adanya
penyelewanagan kekuasaan oleh badan pemerintahan yang lain a karena kekuasaan kehakiman
yang secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap
kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsi tersebut.
Halnya mengenai kebebasan ini dapat dilihat dari hakim sendiri dalam menyelesaikan suatu
perkara pidana hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari pihak
manapun, yang dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, atau dapat diartikan
sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun.Kekuasaan
kehakiman yang merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh
lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang bersifat obyektif dan imparsial. Maksud
dari sifat putusan yang obyektif adalah dalam proses pemberian putusan hakim harus
berpendirian jujur dan teguh pada prinsip filosofi pancasila.

Hakikat kebebasan hakim atau kemandirian kekuasaan kehakiman (independensi peradilan) itu
bermaksud untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan oleh badan negara.
Sehubungan dengan ini Frans Magnis Suseno, mengemukakan bahwa dengan adanya kebebasan
dan kemandirian kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan negara lainnya, maka diharapkan
bahwa badan yuridikatif dapat melakukan kontrol segi hukum terhadap kekuasaan negara
disamping untuk mencegah dan mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang atau
kekuasaan.
Tidak hanya kemandirian kekuasaan kehakiman, terutama dari pengaruh kekuasaan pemerintah
akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia
oleh penguasa karena kekuasaan kehakiman yang secara konstitusional memiliki wewenang
untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah sulit menjalankan fungsi
tersebut. Untuk memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau
intervensi dari pihak manapun, yang dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, atau
dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang
dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang Franz L. Neumann, The
Rule of Law,Learnington Spa, Heidelberg,1986,h.56 13 Frans Magnis Suseno, Etika Politik :
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern ,Jakarta : Gramedia, 1991,h.298-301. bersifat
obyektif dan imparsial. Maksud dari sifat putusan yang obyektif adalah dalam proses pemberian
putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang benar atau berpandangan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya dengan mengacu pada ukuran atau kriteria obyektif yang
berlaku umum, sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial adalah putusan yang
dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu pihak menimbulkan rasa
ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa.
Disamping itu keputusan yang diberikan tersebut secara langsung memberikan kepastian hukum
dalam masyarakat. Jadi dapat disimpulkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, harus menjamin
terlaksananya peradilan yang jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum dalam masyarakat
berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan
kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan.

Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai
dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan. Tujuan putusan pengadilan sejatinya :

A. Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang
dihadapi oleh para pihak (penggugat vs tergugat; terdakwa vs penuntut umum), dan tidak ada
lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan
pengadilan
B. Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang
tertunda itu merupakan ketidakadilan
C. Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan tersebut;
D. Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat
E. Harus ada fairness, yakni memberikan kesempatan untuk kedua belah pihak perkara.

Dinyatakan bahwa prinsip yang dimiliki oleh hakim mengenai kebebasan terdapat dalam Pasal
24 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Mengenai prinsip kebebasan hakim sebagaimana dimaksudkan Pasal 32 ayat (5) Undang-undang
No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-undang No.3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung), tidak dijelaskan lebih lanjut secara rinci oleh undang-undang tersebut, oleh
karena itu semangat makna Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 harus dikembangkan dalam memahami
maksud kebebasan hakim dalam Pasal 32 ayat (5) Undang-undang No. 14 tahun 1945 tentang
Mahkamah Agung (yang tidak dirubah oleh Undang-undang No.3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1945 tentang Mahkamah Agung).
Ini menyatakan bahwa kebebasan hakim harus dalam kerangka prinsip kebebasan lembaga
peradilan. Karena hakim adalah sub sistem dari lembaga peradilan, sebagai pejabat yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman, sehingga kebebasan hakim haruslah selalu berada di dalam
koridor kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa “Dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemadirian
peradilan”. Kekuasaan Kehakiman sendiri diartikan sebagai kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa
kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena
tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia, bukan keadilan
subyektif menurut pengertian atau kehendak hakim semata.

Namun, dalam pelaksanaannya kebebasan dan kemandirian yang diberikan kepada kekuasaan
kehakiman (hakim) tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal tersebut
disebabkan dalam menjalankan kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan,
politik, dan ekonomi, serta peraturan perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim itu bebas dalam atau untuk mengadili sesuai dengan hati
nuraninya/keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Hakim bebas memeriksa,
membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya. Disamping itu juga bebas
dari campur tangan pihak ekstra yudisial.
Di dalam Pancasilaq sendiri kata adil terdapat pada sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, disamping itu juga termuat dalam sila kelima, Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Nilai kemanusiaan yang adil dan keadilan sosial mengandung suatu makna bahwa
hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berkodrat harus berkodrat adil, yaitu adil
dalam hubungannya dengan diri sendiri, adil terhadap manusia yang lain, adil terhadap
masyarakat bangsa dan negara, adil terhadap lingkungannya serta adil terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Konsekuensi adalah bahwa manusia harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Konsekuensi nilai-nilai keadilan yang harus
diwujudkan meliputi:
1. Keadilan distributif, yaitu suatu keadilan antara negara terhadap warganya, dalam arti
pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam
bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang
didasarkan atas hak dan kewajiban
2. Keadilan legal (keadilan bertaat), yaitu suatu hubungan keadilan wargalah yang wajib
memenuhi keadilan dalam bentuk menaati peraturan perundangundangan yang berlaku
dalam negara; dan
3. Keadilan komutatif, yaitu suatu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya
secara timbal balik
Apabila hakim sudah merasa cukup dalam memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, maka
tibalah saatnya ia akan memberikan putusan atas perkara yang diajukan. Dalam memutus perkara
tersebut disyaratkan dalam undang-undang bahwa disamping berdasarkan alat-alat bukti yang
sudah ditentukan oleh undangundang, juga harus berdasarkan pada keyakinan hakim. Untuk
menentukan adanya keyakinan ini tidaklah mudah bagi hakim dalam menjalankan tugas
profesinya. Keadaan demikian dikhawatirkan jika hakim salah dalam menentukan keyakinannya,
maka akan terjadi kesesatan yang mengakibatkan putusan hakim menjadi tidak adil. Menurut
Mulyatno, keyakinan hakim adalah suatu keyakinan yang ada pada diri hakim, kalau ia sudah
tidak menyangsikan sama sekali akan adanya kemungkinan lain daripada yang digambarkan
kepadanya melalui suatu pembuktian. Jadi hal yang diyakini kebenarannya itu sudah di luar
keragu-raguan yang masuk akal (beyond reasonable doubt)

Berdasarkan uraian di atas, dikaitkan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 5 Tahun
1966 tentang Pedoman Fungsi Hirarkhis Badan-Badan Pengadilan/Hakim, maka ketentuan-
ketentuan yang diatur Surat Edaran Mahkamah Agung Ri Nomor 5 Tahun 1966 tidak
bertentangan dengan kemurnian pelaksanaan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dan kebebasan hakim,
yang dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Hakim bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya Hakim atau Majelis
hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk mengadili suatu perkara harus tetap
bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya itu, baik dalam
penyelenggaraan peradilan, penilaian kebenaran atau keadilannya, dan tidak boleh
diperintah atau diberi tekanan secara apapun dan oleh siapapun
B. Menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya Atas permintaan hakim/hakim-
hakim yang bersangkutan atau atas inisiatif dari ketua atau dari pimpinan pengadilan
atasannya secara umum atau dalam perkara tertentu terutama dalam perkara-perkara yang
menarik perhatian publik, berat atau sulit dapat dimintakan atau diberi bimbingan yang
bersifat nasihat-nasihat atau petunjuk-petunjuk umum dalam menjalankan tugas tersebut
kepada/oleh ketua atau pimpinan pengadilan atasannya yang bersangkutan yang
semuanya harus secara serius harus dinilai sebagai bahanbahan pertimbangan untuk
menyelenggarakan peradilan dengan seksama sewajarnya.
C. Arahan atau bimbingan selama pemeriksaan berjalan Selama pemeriksaan berjalan
sampai dengan pemutusannya maka arahan atau bimbingan dan petunjuk-petunjuk
tersebut hanya dapat diberikan oleh ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan
atasannya atas permintaan hakim atau majelis hakim yang bersangkutan.
D. Arahan atau bimbingan lisan atau tertulis Arahan atau bimbingan ketua pengadilan atau
pimpinan pengadilan atasannya di atas, dapat dimintakan atau diberikan secara tertulis
(terutama jika tempatnya jauh) atau lisan.
E. Arahan atau bimbingan tentang penilaian kebenaran, pembuktian, dan keadilan Masalah-
masalah penyelenggaraan peradilan, penilaian kebenaran, pembuktiaan, penerapan
hukumnya atau penilaian keadilannya untuk mencapai keserasian dalam lingkungan suatu
peradilan dapat didiskusikan antara para hakim sendiri di bawah pimpinan ketua
pengadilan yang bersangkutan secara berkala atau insidentil tanpa mengurangi prinsip
kebebasan hakim.
F. Peringatan atau teguran kepada hakim atau majelis hakim Peringatan atau teguran oleh
ketua pengadilan atau pimpinan pengadilan atasannya, baik terhadap penyelenggaraan
atau jalannya peradilan maupun perbuatan hakim dapat diberikan secara umum atau
khusus dengan tulisan atau lisan mengenai suatu perkara, pada asasnya hanya dibenarkan
setelah perkara selesai diputus

Fleksibilitas Hakim Dan Individualitas


Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, yaitu mulai dari
perlunya kehati-hatian serta dihindari sedikit mungkin ketidak cermatan, baik bersifat formal
maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik dalam membuatnya. Hakim yang
cermat dan hati-hati dalam merumuskan putusannya tersebut akan menghasilkan putusan yang
benar-benar berlandaskan pada keadilan dan memenuhi aspek kepastian hukum. Hakim dalam
memeriksa suatu perkara termasuk perkara waris, berkewajiban berijtihad untuk menemukan
dan menentukan hukum yang tepat bagi kasus yang dihadapi. Hakim diperbolehkan untuk
melakukan improvisasi dalam mengungkap kebenaran perkara tersebut sepanjang tidak
melenceng dari fakta persidangan. Misalakan dalam permasalahan Hukum Waris

“Hakim bisa saja memutus sebuah perkara berdasarkan faktanya, tetapi dalam pertimbangan
sebaiknya satu putusan itu mengandung tida pertimbangan yaitu yuridis, filosofis, dan sosiologis.
Menemukan ketiga-tiganya itu sulit, kadang dalam sebuab perkara, hanya ditemukan yuridisnya saja,
atau filosofisnya saja, begitu pula dengan sosiologis. Misalnya, pada prinsipnya anak laki-laki mendapat
bagian lebih banyak dari anak perempuan. Dilihat dari sosiologisnya secara nasab, keturunan itu
tujuannya ke laki-laki, bukan ke perempuan. Dalam hukum waris, prinsipnya adalalah syaratnya ada
pewaris, ahli waris, harta warisan, dan meninggalnya si pewaris dan hidupnya ahli waris. Itu hukum
asal, nah selebihnya adalah masalah furu’iyah di mana hakim boleh berijtihad, selama kita sepakat
bahwa hukum waris itu bukanlah masalah ibadah, tetapi lebih kepada masalah muamalah. Jika sudah
disepakati seperti itu, maka waris adalah hukum ijtihad dan ijtihad dilihat pada situasi dan kondisi
social”

Selain menemukan fakta hukum, hakim juga memilih dan menemukan solusi hukum yang tepat
sesuai kasus waris yang dihadapi dan kesadaran hukum masyarakat setempat melalui sistem
kualifisir, yakni menilai peristiwa konkret yang telah dianggap benar –benar terjadi termasuk
hubungan hukum atau menemukan hukum untuk peristiwa tersebut. Misalnya hukum waris
Islam yang tepat untuk kasus tersebut adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena ia
merupakan hukum waris yang secara komprehensif telah disusun berdasarkan corak dan kondisi
masyarakat muslim Indonesia. Inilah yang dimaksud dengan ijtihad yang dinamis, fleksibel
mengikuti kondisi sosial yang ada.

Dalam memutuskan sebuah fakta, hakim akan melakukan analisa terhadap bukti-bukti dan
perkembangan fakta yang diperoleh selama persidangan. Untuk itu, hakim akan mendengar
dengan seksama gugatan-jawaban dari kedua belah pihak. Dari hasil replik- duplik tersebut,
hakim dapat memperoleh gambaran fakta kasus seperti apa yang dihadapinya. Selanjutnya hakim
pun memeriksa bukti-bukti dan saksi-saksi yang dihadirkan. Pada kasus penetapan ahli waris
yang hanya bersifat sepihak saja pun hakim tetap membutuhkan saksi-saksi yang membuktikan
sah atau tidaknya ahli waris. Hal ini agar dalam proses pengadilan hasil yang dihasilkan hakim
bersifat meyakinkan karena jangan sampai hakim memberikan keputusan tanpa dasar hukum
yang benar dan jelas.

Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai
dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan. Tujuan putusan pengadilan:
A. Harus melakukan solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang
dihadapi oleh para pihak (penggugat vs tergugat; terdakwa vs penuntut umum), dan tidak ada
lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat menegaskan suatu putusan
pengadilan
B. Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang
tertunda itu merupakan ketidakadilan;
C. Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan dasar putusan pengadilan tersebut
D. Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat
E. Harus ada fairness, yaitu memberi kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara.33 Dasar
hukum tentang prinsip kebebasan hakim adalah Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menentukan
bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Dalam interpretasi historis, dapat diketahui
bahwa pasal tersebut oleh pembuatnya dimaksudkan bahwa lembaga peradilan bebas dari
intervensi lembaga eksekutif atau lembaga dan perorangan. Prinsip yang terkandung
didalamnya adalah bahwa kemerdekaan, kebebasan, atau kemandirian adalah bersifat
kelembagaan, yaitu lembaga peradilan.

Dengan berpedoman pada sistem hukum yang tepat, maka hakim akan dapat menemukan hukum
yang tepat bagi kasus waris tersebut. Dalam berijtihad, hakim harus menemukan illat hukum,
dasar hukum, dan sumber hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hakim
berpedoman pada kaidah-kaidah hukum yang terkait. Hakim dapat pula membandingkan putusan
hakim terdahulu atau yurisprudensi yang telah ada sebagai sumber inspirasi dalam berijtihad,
namun tetap mengikut pada fakta yang ia temukan. Karena bisa saja perkara itu sama-sama
tentang masalah waris, namun fakta yang ditemukan berbeda. Oleh karena itu, hakim dalam
berijtihad hendaklah menempuh jalur kehati-hatian sebelum mengeluarkan sebuah putusan.

Halnya mengenai fleksibilitas dapart dilihihat penerapanya dalam hukum pidana. Membahas
hukum pidana dengan segala aspeknya selalu menarik, berhubung sifat dan fungsinya yang
istimewa. Hukum pidana sering dikatakan memotong dagingnya sendiri serta mempunyai fungsi
ganda yaitu sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional dan sebagai sarana kontrol
sosial sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh negara dengan alat
perlengkapannya. Jeremy Bentham menyatakan bahwa janganlah pidana dikenakan atau
digunakan apabila “groundless, needless, unprofitable or inefficacious”. Demikian pula Helbert
L. Packer mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin
utama” dan suatu ketika merupakan “pengancam utama” (prime threatener) dari kebebasan
manusia. Pidana merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara
manusiawi, namun sanksi pidana dapat merupakan pengancam apabila pidana digunakan secara
sembarangan /tidak pandang bulu/menyamaratakan secara paksa.

Karena hukum pidana mengandung sifat yang kontradiktif, dualistik dan paradoksal maka
apabila hukum pidana akan digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan,
pendekatan humanistik harus diperhatikan. Hal ini penting, tidak hanya karena kejahatan itu pada
hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu
mengandung unsur penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling
berharga bagi kehidupan manusia. Pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi pidana,
tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan pada si pelaku/pembuat harus sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si
pelaku/pembuat akan nilai-nilai kemanusian dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat.
Pendekatan yang berorientasi pada nilai humanistik inilah yang menghendaki diperhatikannya
prinsip individualisasi pidana dalam penggunaan sanksi pidana sebagai salah satu sarana
penanggulangan kejahatan.

Prinsip individualisasi pidana bertolak pada pentingnya perlindungan individu (pelaku tindak
pidana) dalam sistem hukum pidana. Prinsip ini juga menjadi salah satu karakteristik aliran
modern hukum pidana sebagai reaksi dari aliran klasik yang menghendaki hukum pidana yang
berorientasi pada perbuatan (daadstrafrecht).

Perlu ditekankan kembali bahwa Kekuasaan Kehakiman sendiri diartikan sebagai kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, perlu dikemukakan bahwa
kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena
tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia,bukan keadilan
subyektif menurut pengertian atau kehendak hakim semata. Namun, dalam pelaksanaannya
kebebasan dan kemandirian yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman (hakim) tersebut tidak
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal tersebut disebabkan dalam menjalankan
kemandiriannya hakim dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi, serta peraturan
perundang-undangan yang mengatur kemerdekaan tersebut.

Pandangan modern mendasarkan pada pandangan bahwa karena kejahatan merupakan kenyataan
sosial dan sebagai perbuatan manusia, maka proses memperlakukan pelaku kejahatan tidaklah
selesai dengan merumuskan perbuatan tersebut dan sanksi pidana dalam undang-undang.
Melainkan masih diperlukan pemahaman terhadap terjadinya kejahatan dan upaya
penanggulangannya, dan pada akhirnya perlu menanyakan pada diri sendiri mengenai apakah
sikap kita terhadap si pelaku tersebut melampaui kualifikasi yang ditetapkan undang-undang.

Pendekatan nilai humanistik yang menghendaki adanya individualisasi pidana juga tercermin
dalam tujuan pemidanaan yang diatur dalam Pasal 54 Konsep/Rancangan KUHP tahun 2008
yaitu :
A. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat
B. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna
C. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan
dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
D. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Berdasar rumusan tujuan pemidanaan tersebut dapat diketahui bahwa telah terjadi perubahan
yang fundamental dalam tujuan pemidanaan dalam Konsep/Rancangan KUHP 2008, dimana
telah meninggalkan sama sekali dasardasar pemidanaan yang dianut WvS atau KUHP yang
berlaku sekarang. Hal ini sebagai pengaruh munculnya aliran modern yang menitikberatkan
perhatiannya kepada pelaku tindak pidana dan pemberian pidana atau tindakan dimaksudkan
untuk melindungi masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana.
Tujuan pemidanaan yang berdasarkan alasan-alasan yang bersifat sosiologis, ideologis dan
filosofis masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan mengutamakan keselarasan,
keserasian dan keseimbangan antara kehidupan masyarakat dan kehidupan individu disebut
sebagai pandangan integratif dalam tujuan pemidanaan.

Dalam penjelasan Pasal 55 ayat (1) Rancangan KUHP 2008 dijelaskan bahwa ketentuan dalam
ayat ini memuat pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan
takaran atau berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan mempertimbangkan hal-hal
yang dirinci dalam pedoman tersebut diharapkan pidana yang dijatuhkan bersifat proporsional
dan dapat dipahami baik oleh masyarakat maupun terpidana. Rincian dalam ketentuan ini tidak
bersifat limitatif, artinya hakim dapat menambahkan pertimbangan lain selain yang tercantum
dalam ayat (1) ini. Unsur “berencana” sebagaimana ditemukan dalam WvS atau KUHP yang
masih berlaku, tidak dimasukkan dalam rumusan tindak pidana yang dimuat dalam pasal-pasal
Buku Kedua. Tidak dimuatnya unsur ini tidak berarti bahwa unsur berencana tersebut ditiadakan,
tetapi lebih bijaksana jika dijelaskan dalam penjelasan ayat (1) ini.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) disebutkan bahwa ketentuan ayat ini dikenal
dengan asas rechterlijke pardon yang memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf
pada seseorang yang bersalah malakukan tindak pidana yang sifatnya ringan (tidak serius).
Pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa
terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dengan perumusan
pedoman pemidanaan dalam Rancangan KUHP tersebut, berarti pembuat undang-undang telah
memberikan kebebasan kepada hakim sebagai perwujudan dari penerapan prinsip individualisasi
pidana, baik dalam menentukan jenis pidana, ukuran (berat ringannya) dan cara pelaksanaan
pidana.

Hukum sangat erat hubungannya dengan keadilan, bahkan ada pendapat bahwa hukum harus
digabungkan dengan keadilan, supaya benar-benar berarti sebagai hukum, karena memang tujuan
hukum itu adalah tercapainya rasa keadilan pada masyarakat. Setiap hukum yang dilaksanakan ada
tuntutan untuk keadilan, maka hukum tanpa keadilan akan sia-sia sehingga hukum tidak lagi berharga
dihadapan masyarakat20, hukum bersifat obyektif berlaku bagi semua orang, sedangkan keadilan itu
bukan merupakan suatu hal yang gampang. Sesulit apa pun hal ini harus dilakukan demi kewibawaan
negara dan peradilan, karena hak-hak dasar hukum itu adalah hak-hak yang diakui oleh peradilan21 .
Suatu tata hukum dan peradilan tidak bisa dibentuk begitu saja tanpa memperhatikan keadilan, dan adil
itu termasuk pengertian hakiki suatu tata hukum dan peradilan, oleh karena itu dalam pembentukan
tata hukum22 dan peradilan haruslah berpedoman pada prinsip-prinsip umum tertentu. Prinsip-prinsip
tersebut adalah yang menyangkut kepentingan suatu bangsa dan negara, yaitu merupakan keyakinan
yang hidup dalam masyarakat tentang suatu kehidupan yang adil, karena tujuan negara dan hukum
adalah mencapai kebahagiaan yang paling

Kesimpulan
Memang banyak ada pihak yang merasa bahwa kekuasan yang dimiliki hukum jurang tepast dan
malah bisa dipengaruhi oleh pihak diluar persidangan namun apabilah dilihat dalam proses
peradila indonesia memberikan otonomi kepada para hakim meningkatkan efisiensi dalam
penanganan kasus. Prinsip kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim, dapat
dimaknai bahwa hakim dalam menjalankan tugas kekuasaan kehakiman tidak boleh terikat
dengan pihak manapun atau tertekan oleh siapa pun, tetapi leluasa untuk berbuat apa pun.
Memaknai arti kebebasan semacam itu dinamakan kebebasan individual atau kebebasan
ekstensial. Implementasi prinsip kebebasan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang
ditanganinya Hakim bebas dari campur tangan kekuasaan ekstra yudisial, baik kekuasaan
eksekutif maupun legislatif dan kekuatan ekstra yudisial lainnya dalam masyarakat, seperti pers.
Hakim dalam memeriksa dan mengadili bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa
dan mengadili, kebebasan hakim bermakna kebebasan dalam konteks kebebasan lembaga
peradilan.

Daftar Pustaka

1. Hakim Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Hakim


2. Widhia Arum Wibawana. Tugas dan Wewenang Hakim: Pengertian dan Syarat-
syaratnya. 2022
3. Firman Floranta Adonara. Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai
Amanat Konstitusi. 2015
4. Mayyadah. PENERAPAN FLEKSIBILITAS HUKUM PADA PUTUSAN HAKIM. 2017
5. Andre Ata Ujan, 2009, “Filsafat Hukum:Membangun Hukum, Membela Keadilan”, Yogyakarta:
Kanisius.
6. Rais Martanti.Penyalahgunaan Wewenang Ditinjau dari Hukum Administrasi Negara.
2016
7. Briean Imanuel Kaeng. KEBEBASAN DAN PEDOMAN HAKIM DALAM
PENERAPAN PUTUSAN PENGADILAN. 2022
8. Failin, 2017, “Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia”, Jurnal Cendekia Hukum, Vol. 3, No 1, September 2017, Sekolah Tinggi Ilmu
Hukum Putri Maharaja Payakumbuh.
9. Roni Efendi, 2017, “Pidana Mati Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Hukum Pidana
Islam”, Jurnal Ilmiah Syari‘ah, Vol 16, No 1, Januari-Juni 2017, Fakultas Syariah IAIN
Batusangkar
10. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Anda mungkin juga menyukai