Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia, sedangkan tatanan adalah suatu sistem atau
aturan.1 Bangsa Indonesia adalah negara hukum atau negara berdasarkan hukum. Hal ini
merujuk pada pernyataan tertulis dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945. Di dalam
Undang-undang Dasar 1945 disebutkan: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat)”.2
Pengertian negara hukum telah dikenal dengan baik dalam perkembangan peradaban yang sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia.3 Adapun seorang filosof Yunani kuno Cicero, mengatakan
Ubi societas ubi ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum) dapat memberikan gambaran
bahwa pada setiap masyarakat manusia, lepas dari persoalan seberapa sederhana keadaannya
atau seberapa tinggi kemajuannya, pasti terdapat hukum.4 Adapun tujuan utama hukum adalah
keadilan, akan tetapi tujuan hukum tidak hanya keadilan melainkan kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum. Hukum yang ideal harus mengadopsi ketiganya,putusan hakim misalnya
sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya

Pengadilan adalah lembaga yang menjadi andalan masyarakat dan bahkan menjadi tumpuan dan
harapan terakhir bagi mereka yang mencari keadilan melalui hukum.6 Suatu negara yang
berdasarkan hukum adalah harus memiliki pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak),
kompeten dan berwibawalah yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,
kepastian hukum dan keadilan. Hanya pengadilan yang memiliki semua kriteria tersebut yang
dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi,
dan peran hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya.7
Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana (Criminal
Justice System) merupakan suatu tumpuan dan harapan dari para pencari keadilan yang selalu
menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Keadilan yang hakiki merupakan
suatu syarat yang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu masyarakat, dalam
hal ini hakim mempunyai suatu peranan penting dalam penegakan hukum pidana untuk
tercapainya suatu keadilan yang diharapkan dan dicita-citakan.8 Dengan demikian dapatlah
dipahami bahwa kedudukan hakim di negara kita merupakan kedudukan yang sangat tinggi.9
Kebebasan hakim didasarkan kepada kemandirian dan kekuasaan kehakiman di Indonesia itu,
telah dijamin dalam konstitusi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya
diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dan diganti yang terakhir dengan Undang- undang
Nomor 48 Tahun 2009 yaitu perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004.10
Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandiriaan atau kemerdekaan, dalam arti adanya
kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman. Hal ini mencakup
tiga hal, yaitu: (1) bebas dari campur tangan kekuasaan manapun; (2) bersih dan berintegritas;
dan (3) professional. Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari pada
setiap peradilan.11
Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
selanjutnya telah dirubah dengan Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 dihubungkan dengan asas
peradilan bebas dimana undang-undang menunjukkan kepada para hakim dalam mengambil
putusannya berpegang pada “asas kepatuhan” (billijkheid), “rasa keadilan” gerechtigheid),
pemberian isi pada asas itikad baik (te geeter trouw), dan itikad buruk (te kwarder trouw). Dalam
melaksanakan asas kebebasan guna dapat menjatuhkan putusan yang tetap hakim melakukan
interpretasi, penghalusan hukum (rechtverfining) dan kontruksi hukum dengan sebaik- baiknya,
seorang hakim khususnya harus terjun ketengah-tengah mayarakat untuk mengenal, merasakan
dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.12
Akan tetapi menurut pendapat Sudikno Mertokusumo, eksistensi hakim sebagai alat penegak
hukum di Indonesia dewasa ini mempunyai suatu persepsi yang negatif dari masyarakat, hal
tersebut dikarenakan banyak sekali putusan hakim yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Di samping itu juga karena semakin kompleksnya bentuk dari kejahatan yang terjadi yang belum
ada pengaturannya di dalam undang-undang hukum pidana sehingga apa yang menjadi tujuan
hukum pidana tidak tercapai dengan ruang lingkup sistem peradilan pidana.13
Masalah yang selalu muncul dan selalu dialami hakim dalam penegakkan hukum pidana adalah
mengenai putusan-putusan hakim yang dirasa kurang adil dan kurang bertanggung jawab di
dalam memutuskan suatu perkara, sehingga membuat kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga peradilan menjadi berkurang dan masyarakatpun akhirnya berpendapat bahwa
dilembaga peradilan mempunyai suatu prinsip “yang kuat yang melihara” dan “KUHP (kasih uang
habis perkara)”.14
Pendapat dari masyarakat tentang lembaga peradilan sekarang ini terjadi karena tidak adanya
control terhadap prinsip kebebasan dan kemandirian hakim, sehingga mengakibatkan masyarakat
terutama golongan menengah ke bawah enggan untuk menempuh jalur hukum yang bagi mereka
lembaga peradilan adalah harapan untuk mendapatkan keadilan, karena apabila berhadapan
dengan mereka yang mempunyai status sebagai konglomerat maka tidak akan mungkin keadilan
dapat ditegakkan sepenuhnya apalagi untuk tercapainya suatu kepastian hukum karena prinsip di
atas membuat lembaga peradilan berubah menjadi lembaga adu kekuasaan.15
Berdasarkan latar belakang persoalan di atas, demi terciptanya putusan hakim yang adil dan
dapat dipertanggung jawabkan serta membuat para hakim lebih profesional dalam memeriksa
dan memutus perkara,maka DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Tindak Pidana Anak. Dimana di dalam undang-undang ini mengatur tentang
pemidanaan terhadap hakim yang apabila memutus suatu perkara tidak berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang berlaku dalam undang- undang ini.
Penyusunan undang-undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor
3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang dilakukan dengan tujuan
agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin pelindungan kepentingan terbaik
terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.16
Adanya ketentuan Pemidanaan terhadap hakim dalam undang-undang sistem peradilan pidana
anak bagi sebagian masyarakat dianggap meruntuhkan independensi badan peradilan dan
wibawa hakim. Alasan ini didasarkan pada teori dan doktrin “kekuasaan kehakiman” yang berlaku
secara universal dan konsepsi “pemisahan kekuasaan” antara kekuasaan eksekutif (pemerintah),
legislatif (DPR) dan Yudikatif (Mahkamah agung) yang melarang kekuasaan yudikatif (profesi
hakim) diintervensi kekuasaan manapun.17
Independensi hakim, selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam proses pemeriksaan dan
pengambilan keputusan atas setiap perkara yang ditangani, mutlak dijaga dan dilindungi
kelestariannya dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim. Pengaruh itu berupa
intervensi, tekanan, ancaman, dan campur tangan dari pihak mana pun (dari pihak eksekutif dan
legislatif).18
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul; “KRIMINALISASI TERHADAP HAKIM (Tinjauan Yuridis UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem
Peradilan Pidana Anak)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang perlu
dikemukakan. Adapun perumusan masalah yang hendak dikemukakan penulis adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kriminalisasi terhadap hakim dalam UU No. 11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak?
2. Bagaimana Pendapat pakar hukum tentang kriminalisasi terhadap
hakim dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka adapun tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kriminalisasi terhadap hakim dalam UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
2. Untuk mengetahui pendapat pakar hukum tentang kriminalisasi terhadap hakim dalam UU
No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka manfaat yang ingin dicapai
dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut:
1. SecaraTeoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk
melahirkan beberapa konsep ilmiah serta diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran
dibidang ilmu hukum yang berkaitan dengan hukum pidana.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dan kajian bagi semua kalangan
akademisi dan penegak hukum untuk menambah wawasan dibidang ilmu hukum khususnya yang
berkaitan dengan pemidanaan terhadap hakim dalam UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
D. Kerangka Pemikiran
Istilah pemidanaan merupakan istilah umum dan konvensional yang mempunyai arti yang luas
dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Sudarto
menjelaskan pemidanaan sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.19
Hakim merupakan sosok seorang penegak hukum yang sangat menentukan arah, jenis, maupun
lamanya proses pembinaan terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan putusan yang
dikeluarkannya. Adapun definisi hakim menurut Pasal 1 butir (8) KUHAP yaitu:
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili”.20
Hakim harus selalu menaati kode etik hakim dan diharapkan hakim dapat bersikap adil dan
bijaksana, sehingga putusannya benar-benar selaras dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat
sebagaimana diungkapkan oleh Soerjono Soekanto:21
“Hakim tidak boleh mengadili semata-mata menurut perasaan keadilan pribadi, tetapi ia terikat
pada nilai-nilai yang secara nyata berlaku dan hidup dalam masyarakat. Dengan kepentingannya
diharapkan bahwa seorang hakim memperkuat kehidupan norma hukum yang bersangkutan”.
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh
hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
(kontentius).
Menurut Pasal 191 KUHAP, bahwa seorang hakim dapat menjatuhkan putusan berupa:
- Menjatuhkan pidana/tindakan
- Membebaskan; atau
- Melepaskan dari segala tuntutan.
Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan
tindak pidana anak, terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang mengatur menganai
pemidanaan terhadap hakim.Misalnya ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA itu mengatakan
apabila hakim tidak melakukan diversifikasi atau penyelesaian perkara di luar pengadilan, ini
nanti diancam pidana dua tahun.
Adapun substansi yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain, mengenai penempatan Anak
yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).
Substansi yang paling mendasar dalam undang-undang ini adalah pengaturan secara tegas
mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan
anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial
secara wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut.
E. Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu metode ilmiah yang dilakukan melalui penyelidikan dengan seksama dan
lengkap terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh mengenai suatu permasalahan
tertentu sehingga dapat diperoleh melalui suatu permasalahan itu. Sedangkan metode penelitian
merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan
jalan menganalisisnya.22
Adapun mengenai metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:
1. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan, sebagai norma-norma tertulis
yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat Negara yang berwenang. Oleh
karena itu pengkajian yang dilakukan, hanyalah “terbatas” pada peraturan perundang-undangan
(tertulis) yang terkait dengan objek yang diteliti.
2. Jenis penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang
dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang keadaan subyek dan/atau obyek penelitian
sebagaimana adanya.23 Tipe kajian dalam penelitian ini bermaksud menggambarkan tentang
kriminalisasi terhadap hakim apabila tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
suatu undang-undang.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan. Penelitian kepustakaan digunakan untuk mendapatkan bahan hukum primer dan
bahan hukum skunder.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.
Bahan Hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat
mengikat.24 Adapun bahan hukum primer dari penelitian ini terdiri dari:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2) UU No. 48 Tahun 2009 perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
5) UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder, meliputi literatur-literatur yang
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan sistem peradilan pidana anak.
Bahan Hukum Tersier
Adalah bahan hukum yang mendukung hukum primer dan
bahan hukum sekunder, diantaranya berupa bahan dari media internet dan kamus
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data penulisan penelitian ini penulis
melakukan dengan menggunakan studi kepustakaan dengan penelusuran buku literature, jurnal
dan dekumen perundangan yang relevan dengan permasalahan.
5. Teknik Analisis Data
Metode analisis yang digunakan yakni dengan menerapkan logika, yakni logika berfikir deduktif.
Logika pemikiran deduktif merupakan cara menarik kesimpulan dengan menjadikan norma
ditempatkan sebagai premis mayor, selanjutnya data sekunder yaitu buku literature ditempatkan
sebagai premis minor, langkah yang dilakukan selanjutnya adalah menarik konklusi, konklusi ini
diperoleh dengan cara membandingakan data sekunder (premis minor) dengan norma ( premis
mayor) sehingga pada tahap akhirnya penulis dapat menarik suatu kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk lebih mempermudah dalam melakukan pembahasan, analisis, serta penjabaran isi dari
penelitian ini, maka penulis menyusun sistematika dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
BAB I adalah Pendahuluan, berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Kerangka pemikiran, Metode Penelitian, Sistematika penulisan skripsi.
13

BAB II adalah Tinjauan Pustaka, dalam bab ini penulis menguraikan tinjauan umum tentang
kriminalisasi, tinjauan umum tentang Hakim, tinjauan umum tentang sistem peradilan pidana di
Indonesia, tinjauan umum tentang anak.
BAB III adalah Tentang Hasil Penelitian dan Pembahasan menguraikan mengenai hasil penelitian
yaitu kriminalisasi terhadap hakim menurut UU No. 11 Tahun 2012, serta pendapat pakar hukum
tentang kriminalisasi terhadap hakim.
BAB IV adalah Penutup, berisikan kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran
sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut

Anda mungkin juga menyukai