Anda di halaman 1dari 9

D.

Manfaat Atau Kegunaan Penemuan Hukum

Persoalan pokok yang ada dalam sistem hukum antara lain adalah :

1. Unsur sistem hukum, meliputi :


a. Hukum undang-undang, yakni hukum yang dicantumkan dalam keputusan
resmi secara tertulis, yang sifatnya mengikat umum.
b. Hukum kebiasaan yaitu : keteraturan-keteraturan dan keputusan-keputusan
yang tujuannya kedamaian.
c. Hukum Yurisprudensi, yakni : hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim
pengadilan
d. Hukum Traktat : hukum yang terbentuk dalam perjanjian internasional.
e. Hukum Ilmiah (ajaran) : hukum yang dikonsepsikan oleh ilmuwan hukum.

2. Pembidangan sistem hukum


a. Ius Constitutum (hukum yang kini berlaku)
b. Ius Constituendum (hukum yang kelak berlaku)

Dasar pembedaannya adalah ruang dan waktu

3. Pengertian dasar dalam suatu sistem hukum


a. Masyarakat hukum : suatu wadah bagi pergaulan hidup yang teratur yang
tujuannya kedamaian.
b. Subyek hukum
c. Hukum dan kewajiban
d. Peristiwa hukum
e. Hubungan hukum
f. Obyek hukum

Dari persoalan hukum dalam sistem hukum yang terdapat di dalam


masyarakat dapat kita ambil manfaat diadakannya penemuan hukum adalah
untuk menemukan jalan keluar yang tepat dan memberikan keputusan yang
dapat menjadi kepastian hukum dalam masyarakat, karena didalam kenyataan
keadaan hukum menunjukkan bahwa, (Prof. Dr. Drs. Abintoro Prakoso, SH,
MS: Penemuan Hukum, hal 59) :
a. Adakalanya pembuat peraturan perundang-undangan baik sengaja atau
maupun tidak sengaja menggunakan istilah-istilah atau pengertian pengertian
yanga bersifat umum sifatnya, sehingga dapat diberi lebih dari satu pemaknaan;

b. Adakalanya istilah yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan


tidak jelas arti atau maknanya, atau tidak dapat diwujudkan dalam kenyataan
sebagai akibat adanya perkembangan atau perubahan didalam masyarakat.

c. Adakalanya dapat ditemukan permasalahan di dalam masyarakat, namun


tidak ada atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan itulah seorang hakim atau


pengemban profesi hukum lainnya harus dapat menemukan dan juga
menentukan apa yang dapat dijadikan hukum dalam rangka pembuatan
keputusan hukum atau menyelesaikan masalah hukum yang sedang dihadapi.

E. Dasar Atau Alasan Penemuan Hukum

Hukum yang berwujud dalam suatu peraturan perundang-undangan


bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat banyak, oleh karena itu
suatu undang-undang yang ada wajib dilaksanakan oleh penyelenggara negara,
dalam rangka penegakan hukum. Di dalam suatu undang-undang yang ada
selalu tersedia bagian penjelasan dari pasal-pasal yang mendahuluinya, namun
seperti sudah dijelaskan sebelumnya penjelasan tersebut belum tentu jelas
malah bisa membuat tidak jelas sama sekali.

Untuk menegakkan hukum sebagaimana disebut di atas, karena undang-


undang tidak pernah lengkap dan belum tentu mencakup seluruh kegiatan
masyarakat yang sedemikian banyak dan kompleknya, maka tentu saja harus
dicari jalan keluar.

Hakim harus menerima, memeriksa dan memutus suatu perkara yang


diberikan kepadanya, hakim secara praktis atau secara kebiasaan harus
menggunakan hukum yang tertulis lebih dahulu, yaitu yang terdapat pada
undang-undang yang tersedia. Jikalau di dalam undang-undang tersebut tidak
ditemukan, atau tidak lengkap dengan suatu perkara yang dihadapi atau
persoalan yang ada, maka hakim harus mencari hukumnya dari sumber-sumber
hukum lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktaat, kebiasaan atau hukum yang
tidak tertulis.

Dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 24 berbunyi sbb:

(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan


badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman


diatur dalam undang-undang.

Di dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Pada Pasal 1:

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.

Yang dalam penjelasannya yang dimaksud adalah:

Kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa


kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan ekstra yudisial, kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial tidak mutlak karena tugas


hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
sehingga putusannya menerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Sedangkan pada Undang-undang Nomor 48 tahun tentang Kekuasaan


Kehakiman Bab I Ketentuan Umum Pasal 1. Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Iindonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

2. dst.

Yang di dalam penjelasan disebut cukup jelas, dengan kata lain tidak ada
penjelasan.

Pasal 2

(1) Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha


Esa”.

(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan


berdasarkan Pancasila.

(3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah


peradilan yang diatur dengan undang-undang.

(4) dst.

Pasal 3

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi
wajib menjaga kemandirian peradilan.

(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasara Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) dst.

Pasal 4

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan


orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala


hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan.
Pasal 5

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum.

(3) Hakim dan hakim konsitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.

Pasal 10

(1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus


suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Kalau kita perhatikan kita perhatikan Undang-undang Nomor 14 tahun


1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman:

Pasal 14

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili, suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Demikian juga di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang


Kekuasaan Kehakiman:

Pasal 16

(1) Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa, mengadili dan memutus


suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Dari undang-undang tentang kekuasaan kehakiman yang pernah ada


seperti diuraikan di atas, dapatlah kita lihat bahwa semua undang-undang
tersebut sinkron tentang diharapkannya hakim untuk menemukan hukum
(rechtvinding) atau pun judge made law.

Menurut Bagir Manan ada beberapa asas yang dapat diambil dari Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Majalah Varia Peradilan: H.A. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas
penemuan hukum dan penciptaan hukum oleh hakim dalam proses peradilan,
edisi Nopember 2006), yaitu :

1. Untuk menjamin kepastian hukum, bahwa setiap perkara yang diajukan


ke pengadilan akan diputus.

2. Untuk mendorong hakim melakuka n penemuan hukum.

3. Sebagai perlambang kebebasan hakim dalam memutus perkara.

4. Sebagai perlambang hakim tidak selalu harus terikat secara harfiah pada
peraturan perundang-undangan yang ada. Hakim dapat menggunakan berbagai
cara untuk mewujudkan peradilan yang benar dan adil.

Dengan demikian undang-undang tentang kekuasaan kehakiman yang ada


adalah suatu kebebasan untuk menyelenggarakan peradilan. Kebebasan
peradilan atau kebebasan hakim tersebut merupakan asas universal yang
terdapat dimana-mana seluruh dunia, dan inilah yang menunjukkan salah satu
ciri-ciri negara demokrasi.

Namun harus diingat kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan absolut


yang banyak kita lihat di dalam praktek peradilan, yang banyak pencari keadilan
kecewa melihat putusan pengadilan, tetapi suatu kebebasan yang mempunyai
rambu-rambu sangat jelas sebagaimana diuraikan dalam pasal-pasal bergaris
tebal di atas.
Pengertian butir diatas tidak terlepas dari makna sebenarnya hukum yang
merupakan bagian integral dari kehidupan bersama, kalau manusia hidup
terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak baik
yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik, dalam keadaan semacam
itu hukum tidak diperlukan

Apabila dari sumber-sumber hukum yang sudah diseleksi itu ditemukan


sejumlah aturan (norma) yang tingkat koherensinya tidak sempurna, maka harus
dilakukan penyeleksian aturan secara hati-hati. Dalam konteks ini, dapat
digunakan asas-asas hukum, misalnya dalam hal terjadi kontradiksi normatif
antara:

Undang-undang yang umum dan undang-undang yang khusus, dapat dicari


pemecahannya dengan asas lex specialis derogat legi generali;

Undang-undang lama dan undang- undang baru, dapat dicari pemecahannya


dengan asas lex posterior derogat legi priori;

Undang-undang lebih tinggi dan undang- undang lebih rendah (seperti undang-
undang [dalam arti formal] dengan peraturan pemerintah), dapat dicari
pemecahannya dengan derogat legi inferiori;

Undang-undang dan putusan hakim asas lex superior, dapat dicari


pemecahannya dengan asas res judicata pro veritate habetur;

Undang-undang mengatur dan kebiasaan, dapat dicari pemecahannya dengan


asas Die normatieve Kraft des Faktischen;

Undang-undang memaksa dan kebiasaan, dapat dicari pemecahannya dengan


asas lex dura sed tamen scripta (Apeldorn: 1985).

Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembanan hukum secara


ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap
situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum
berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen),
konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum
diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang
hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-
sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan
pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum
harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan
penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah
hukum.

Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada
semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum kata lain
para praktisi dapat mencari solusi atau menemukan jalan keluar manakala
hukum dalam keadaan stagnan.

Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya membuat


keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta
yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah
hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam
proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam
hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang
tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli
hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum.Dalam situasi
seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk
menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak
atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang
ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa
yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan
perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.

Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan
dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses
pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut
untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu :

a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit


(perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat,
dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku,
cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri.
Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-
undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua
kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat
untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.

b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan,


penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada,
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu
dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal
oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada
peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan
peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting
adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa
konkrit[1]).

Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk melindungi kepentingan
manusia atau sebagai perlindungan kepentingan manusia. Upaya yang
semestinya dilakukan guna melindungi kepentingan manusia ialah hukum harus
dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum sendiri dapat berlangsung secara
damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal
ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan
dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan. Dalam
hal penegakan hukum tersebut, setiap orang selalu mengharapkan dapat
ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit, dengan kata lain
bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai
dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum
dapat diwujudkan. Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang
harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi
terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan
hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat
menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah
demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan. Dan kadang undang-undang itu
sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen
scripta).

Anda mungkin juga menyukai