Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berada di era modernisasi yang sudah mulai maju ini pendidikan sangat
penting dalam berbangsa dan bernegara demi tercapainya suatu negara yang
maju sesuai dengan salah satu poin guna dinyatakan suatu negara tersebut
berekmbang pesat. Kualitas pendidikan yang baik menjadi harapan untuk
mempertahankan keutuhan suatu bangsa. Akan tetapi bukan itu saja setiap
negara dituntut untuk melakukan perbaikan di segala bidang agar dapat
bersaing dan menjalin hubungan dengan negara lain tanpa terkecuali Indonesia.
Pendidikan merupakan salah satu senjata penting dalam upaya mencipakan
perbaikan diberbagai bagian-bagian krusial tersebut dan universitas sebagai
salah satu unsur di dalam pendidikan, dimana proses pelaksanaan pendidikan
didalam universitas ditunjukkan untuk membawa perbaikan bagi negara serta
mempunyai peran cukup besar dalam upaya persaingan dan menjalin hubungan
dengan negara lain.
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan universitas guna meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia dalam bidang intelektual yakni dengan
menciptakan lulusan-lulusan yang berkualitas bukan dari segi pemikiran saja
akan tetapi juga dalam segi etika dan norma. Dikarenakan di era yang sudah
maju ini banyak pelajar yang kurang dalam hal pendidikan di bidang etika dan
norma sehingga terciptanya sarjana-sarjana yang tidak berkualitas dan dapat
merusak bangsa dan negara.
Adapun Praktek Kerja Lapangan (PKL) merupakan kegiatan yang
diprogramkan oleh pihak universitas terhadap mahasiswa sebagai salah satu
bentuk implementasi pembelajaran secara langsung ke dalam dunia kerja yang
sebenarnya dengan memberikan mahasiswa kesempatan untuk ditempatkan
disuatu perusahaan maupun instansi negara sesuai dengan bidang yang
dimiliki. Serta PKL ini juga merupakan sebagai suatu tempat untuk para
mahasiswa memperoleh pengalaman serta mahasiswa dituntun untuk cepat
menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang berbeda dari lingkungan
kampus.

1
Bahwa terkadang apa yang dipelajar di bangku perkuliahan belum tentu
sama peris dengan apa yang kenyataan yang terjadi dilapangan (praktiknya).
Berdasarkan hal tersebut mahasiswa yang mengikuti program magang dapat
memahami dunia kerja sesuai bidang yang yang sedang ditempuh yakni hukum
pidana serta dapat memahami prosedur dalam kegiatan pemeriksaan maupun
penuntutan oleh jaksa.

B. Tujuan dan Manfaat


Adapun tujuan dari pada Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang dilakukan
oleh mahasiswa yaitu sebagai berikut :
1. Menambah wawasan mahasiswa yakni didalam kegiatan pembelajaran
didalam ruangan tentu tidak akan maksimal apabila mahasiswa tidak
mengembangkannya dengan praktik lapangan sehingga perlu mengikuti
kegiatan ekstra untuk menambah
2. Membina hubungan baik antara kampus dengan Instansi terkait penyedia
kesempatan magang.
3. Meningkatkan kualitas mahasiswa yaitu dengan menghadapi permasalahan
nyata yang ditemui mahasiswa ketika berada di lokasi magang menjadi
salah satu cara untuk meningkatkan kualitas mahasiswa.

Adapun manfaat yang diterima mahasiswa magang Fakultas Hukum


Universitas HKBP Nommensen Medan yang melaksanakan PKL di Kejaksaan
Negeri Deli Serdang yaitu sebagai berikut :
1. Memaksimalkan potensi mahasiswa yaitu kegiatan mahasiswa tidak hanya
terbatas di dalam kelas saja. Teori yang tidak didukung praktik memadai
tentu tidak akan membuat mahasiswa siap ketika harus terjun di dunia
kerja.
2. Membangun hubungan yang baik dengan instansi penyelenggara.
3. Mahasiswa bisa langsung mendapatkan pekerjaan maksudnya dengan
kegiatan magang dapat menjadi salah satu batu loncatan bagi pemagang
yang tertarik menekuni suatu pekerjaan, namun masih bingung dengan
mekanisme dan seluk beluk.
4. Mahasiswa dapat memperoleh penghasilan tambahan.

2
C. Target Kegiatan
Adapun target praktek kerja lapangan (PKL) ini adalah sebagai berikut :
1. Mampu memahami bagaimana pelaksanaan tugas di Kejaksaan Negeri
Deli Serdang.
2. Mampu menjalani hubungan baik dengan instansi atau lembaga mengenai
Kejaksaan Negeri Deli Serdang.
3. Mendapatkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan dalam dunia kerja.
4. Mendapatkan pengalaman di dunia kerja.
5. Mendapat gambaran tentang kondisi dunia lapangan kerja.

D. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Bahwa sehubungan dengan surat pengantar Izin Mengikuti Magang dari
Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nomennsen dengan nomor surat
26/FH/Mg/IX/2020 yang dikeluarkan tanggal 18 September 2020 adalah benar
yang telah mengikuti kegiatan magang di Kantor Kejaksaan Negeri Deli Serdang
yang beralamat Jl. Sudirman Kelurahan No. 5, Petapahan, Kec. Lubuk Pakam,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Adapaun kegiatan magang yang
dilakukan di lokasi magang tersebut dimulai tanggal 01 Oktober 2020 sampai
dengan 03 Desember 2020. Adapun kegiatan magang yang dilakukan peserta
magang ditempatkan di ruangan Intel Kejaksaan Negeri Deli Serdang.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Kejaksaan
1. Sebelum Reformasi

Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada


zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan
Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu
pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari
bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.

Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa


adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu
Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang
diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan.
Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang
memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.

Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang


mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim
tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti
Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah
Mada, juga adalah seorang adhyaksa.

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan


jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini
yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan
Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri),
Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah
Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.

Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai


perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan

4
pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara
lain:

a. Mempertahankan segala peraturan Negara
b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana
c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang

Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat
dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Peranan Kejaksaan sebagai satu-
satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh
Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942,
yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan
No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan,
yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan
tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi
digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:

a. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran


b. Menuntut Perkara
c. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
d. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam


Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I.
membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku.

Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945.
Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan

5
dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan
Departemen Kehakiman.

Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika


secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem
pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik
Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring
dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan,
organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai
perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta
bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar


pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan
Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat
negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1),
penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa
Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden.
Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai
alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi
departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang
Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut


Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang
Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan
mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang
didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20
November 1991.

6
2. Masa Reformasi

Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap


pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya
dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa
reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan,
yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-
undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai
peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.

Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2


ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan
lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses
perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan
hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah
suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti
yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang
Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana
putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang
Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan
dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Mengacu pada UU tersebut, maka  pelaksanaan kekuasaan negara yang


diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini
tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi,
tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi
jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

7
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan
wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :

1. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:


 Melakukan penuntutan;
 Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
 Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
 Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;

Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan


pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah
3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
 Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
 Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
 Pengamanan peredaran barang cetakan;
 Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara;
 Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
 Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.

Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan


dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah
sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena
bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang
dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32

8
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping
tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat
diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya
Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34
menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang
hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.

Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya


berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran
lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya
dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi.
Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana
korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan,
namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut
antara lain:

 Modus operandi yang tergolong canggih


 Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya
 Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan
berbagai peraturan
 Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan
 Manajemen sumber daya manusia
 Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum
yang ada)
 Sarana dan prasarana yang belum memadai
 Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan
serta pembakaran rumah penegak hukum

Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan


pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat
sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak

9
Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang
bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur
pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang
lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga
dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak
adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan
jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa
diselesaikan oleh UU ini.

Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas


menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui
pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas,
independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan
pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan
sebagai extraordinary crime .

Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan


pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa
dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya,
diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang
terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat
bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan
internal dan Pengaduan masyarakat.

Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan


penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan
Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil
adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan
fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan. 

B. Pengertian Penyelidikan menurut KUHAP

10
Bahwa adapun yang dimaksud defenisi penyelidikan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdapat didalam Bab
1 tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5 yaitu penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini1.
Dan adapun yang menjadi maksud dan tujuan penyelidikan serta hal-hal
lain yang berkaitan yaitu sebagai berikut :
1. Maksud dan Tujuan Penyelidikan
Sesuai dengan isi pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana tersebut dimaksudkan, untuk lebih memastikan suatu peristiwa itu
yang mana diduga keras sebagai tindak pidana. Kemudian penyelidikan
dimaksudkan untuk menemukan bukti permulaan dari pelaku (dader).
2. Pengertian Penyelidik
Sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yang terdapat dalam Pasal 1 angka 4 yaitu yang dimaksud dengan
penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
3. Fungsi dan Wewenang Penyelidik
Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang disebut pada
pasal 5 KUHAP, yang dapat dipisahkan ditinjau dari beberapa segi.
1. Fungsi dan Wewenang Berdasarkan Hukum
Ini diatur pada Pasal 5 KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini fungsi dan
wewenang aparat penyelidik :
a) Menerima laporan atau pengaduan
Bertitik tolak dari fungsi ini, apabila menerima suatu
“pemberitahuan” atau “laporan” yang disampaikan oleh seseorang,
penyelidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti.
Bisa tentang telah atau sedang ataupun diduga akan terjadi suatu
peristiwa pidana, penyelidik wajib dan berwenang menerima
pemberitahuan laporan (Pasal 1 butir 24). Atau apabila penyelidik
1
M. Kardi dan R. Suesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Bogor: Politeia, 1988), hal.
3.

11
menerima “pemberitahuan” yang disertai dengan permintaan oleh
pihak yang berkepentingan untuk menindak pelaku “tindak pidana
aduan” yang merugikannya. Mengenai laporan atau pengaduan
yang dapat diterima :2
 Jika laporan pengaduan diajukan secara “tertulis”, harus
“ditandatangani” oleh pelapor atau pengadu;
 Jika laporan atau pengaduan diajukan secara “lisan” harus
“dicatat” oleh penyelidik dan “ditandatangani” oleh
pelapor/pengadu dan penyelidik;
 Jika pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus
dicatat dalam laporan pengaduan (Pasal 103).

Prinsip setiap laporan atau pengaduan yang disampaikan kepada


“wajib” diterima, dan berwenang untuk menanganinya baik hal itu
yang bersifat delik aduan (klacht delik) seperti yang dijelaskan
Pasal 367 ayat (2) KUHP, misalnya. Menurut ketentuan Pasal 103
ayat (1), apabila penyelidik menerima laporan atau pengaduan
harus “segera” melakukan penyelidikan yang diperlukan. Baik hal
itu atas dasar “pengetahuannya” sendiri maupun berdasarkan
laporan atau pengaduan, pejabat penyelidik harus segera
melakukan tindakan yang diperlukan.

Bagaimana kalau pejabat penyelidik tidak mau menerima laporan


atau pengaduan yang disampaikan kepadanya? Hal seperti ini
sering didengar, dimana pejabat penyelidik didatangi pelapor atau
pengadu, tidak dipedulikan. Sehingga besar kemungkinan,
berbagai laporan atau pengaduan yang disampaikan anggota
masyarakat, halang lenyap ditelan oleh sikap tidak peduli pejabat
penyelidik. Sedang alternatif lain tempat menyampaikan laporan
pengaduan terhadap instansi lain tidak ada. Kalau pada masa HIR,
jika pihak Polri tidak mengacuhkan laporan atau pengaduan, yang

2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan
Penuntutan (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 103.

12
berkepentingan dapat langsung menghubungi dan menyampaikan
kepada kejaksaan. 3

b) Mencari keterangan dan Barang Bukti


Seperti yang telah dijelaskan, tujuan pelembagaan fungsi
penyelidik dimaksudkan sebagai langkah pertama atau sebagai
bagian yang tak terpisah dari fungsi penyelidikan, guna
mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan, dan bahan
bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyelidikan.
Seandainya penyelidikan dilakukan tanpa persiapan yang
memadai, bisa terjadi tindakan penyelidikan yang bertentangan
dengan hukum atau terjadi kekeliruan terhadap orang yang disidik.
Akibat yang seperti ini, yang dirugikan bisa menuntut ganti
kerugian rehabilitasi kepada praperadilan. Agar dapat berhasil
mengumpulkan fakta, keterangan, dan bukti serta sekaligus tidak
terjerumus ke muka sidang praperadilan. Sudah waktuya
penyelidikan dilakukkan dengan jalan mempergunakan metode,
scientif criminal detection, yakni metode teknik dan taktik
penyelidikan secara ilmiah. Tidak lagi dengan sistem kuno main
hantam kromo.
c) Menyuruh Berhenti Orang yang Dicurigai
Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan Pasal 5 kepada
penyelidik, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Wewenang ini
wajar, sebab tidak mungkin dapat melaksanakan kewajiban
penyelidikan kalau tidak diberi wewenang menyapa dan
menanyakan identitas seseorang. Yang kurang jelas dalam
pelaksanaan wewenang ini, apakah penyelidik harus mendapat
“surat perintah” dari penyelidik atau dari atasannya?. Untuk
melakukan tindakan menyuruh berjenti orang yang dicurigai dan
sekalian menanyakan identitas orang yang ditanyai, “tidak perlu”

3
Ibid. hlm. 104

13
surat perintah khusus atau dengan surat apa pun, berdasarkan
alasan :
 Ketentuan Pasal 4; menegaskan, setiap pejabat polisi negara RI
adalah penyelidik;
 Kemudian makna bunyi Pasal 4 semakin jelas dapat dipahami
jika dihubungkan dengan penjelasan butir 4 Pasal 1 yang
menegaskan: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara RI yang
diberi wewenang undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan”. Dari bunyi ketentuan ini, dapat dibaca bahwa
KUHAP sendiri telah memberi wewenang bagi pejabat Polri
untuk menjadi penyelidik. Oleh karena itu, KUHAP memberi
wewenang yang lahir dari undang-undang ini kepada
penyelidik untuk melaksanakan kewajiban dan wewenang
penyelidikan yang ditentukan Pasal 5 ayat (1) tanpa surat
perintah. Akan tetapi seperti telah berulang kali kita tegaskan,
dalam melaksanakan fungsi dan wewenang itu penyelidik
harus sopan dan tidak merendahkan martabat orang yang
dicurigai.

Persoalan kedua yang biasa timbul sehubungan dengan


wewenang menyuruh berhenti dan menanyakan identitas orang
yang dicurigai. Bagaimana halnya jika orang yang dicurigai tidak
mengindahkan atau tidak menaati apa yang disuruh dan ditanyai
penyelidik?. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan
penyelidik jika orang yang dicurigai membantah?. Hal seperti ini
mungkin dialami penyelidik dalam menjalankan kewajibannya.

Jika penyelidik mengalami hal seperti itu, tidak ada tindakan yang
dapat diperbuat untuk memaksa orang yang dicurigai itu. Hal ini
memang akan merupakan hambatan bagi penyelidik melakukan
fungsi penyelidikan. Sebab sebagaimanapun seandainya orang
yang dicurigai tidak menaati perintah penyelidik, tidak dapat
memaksa dengan upaya paksa. Satu-satunya jalan yang dapat

14
4
dibenarkan hukum, pejabat penyelidik segera mendatangi
pejabat penyidik, untuk meminta “surat perintah” penangkapan
atau surat perintah “membawa dan menghadapkan” orang yang
dicurigai ke muka penyidik. Atau barangkali yang paling efesien,
sewaktu penyelidik hendak pergi pergi mencegat orang yang
dicurigai, penyelidik mempersiapkan kian surat perintah
penangkapan atau surat perintah membawa dan menghadapkan
kepada penyidik. Persiapan surat-surat perintah itu dimaksud
sebagai upaya mengatasi kemungkinan keingkaran orang yang
dicurigai mematuhi perintah penyelidik. Dengan disiapkan kian
surat perintah, penyelidik tidak perlu lagi membuang waktu
meminta surat perintah. Segera setelah adanya keingkaran orang
yang dicurigai, penyelidik bisa langsung membawanya untuk
dihadapkan ke muka penyidik.

Akan tetapi, persiapan surat perintah yang demikian tidak


selamanya dapat disediakan. Persiapan seperti ini baru dapat
disediakan, jika sejak semula penyelidik sudah merencanakan
akan menyelidiki orang tertentu yang sudah dicurigai kian
orangnya, sehingga dapat dibuat surat perintah yang menjelaskan
identitas orangnya. Kalau hal ini terjadi tiba-tiba di suatu tempat,
tidak mungkin mempersiapkan surat perintah dimaksud kecuali
jika kejadian itu bersesuaian dengan ketentuan Pasal 102 ayat (2):
“dalam hal tertangkap tangan”. Tanpa menunggu perintah
penyidik, penyelidik “wajib” segera melakukan tindakan yang
diperlukan dalam rangka penyelidikan yang disebut Pasal 5 ayat
(1) huruf b. Jadi, dalam kejadian tertangkap tangan, penyelidik
dapat melakukan tindakan penangkapan, larangan meninggalkan
tempat, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan dan penyitaan
surat, mengambil sidik jari, memotret seseorang, dan membawa
atau menghadapkan seseorang pada penyidik tanpa lebih dahulu
mendapatkan perintah dari pejabat penyidik.
4
Ibid. hlm. 105

15
d) Tindakan Lain Menurut Hukum
Kewajiban dan wewenang selanjutnya ialah mengadakan
“tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sungguh
sangat kabur rumusan ini, tidak jelas apa yang dimaksud dengan
“tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sulit
sekali menentukan warna dan bentuk tindakan yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 tersebut.
Sekalipun diminta bantuan kepada penjelasan, namun belum
mampu mempertegas wujud bentuk tindakan yang dapat diraba
secara nyata. Mari kita telaah penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a
angka 4, berbunyi: yang dimaksud dengan tindakan lain adalah
tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan
syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
c. Tindakan ini harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e. Menghormati hak asasi manusia”.

Bagaimanapun mencoba mengkonkretkan penjelasan di atas,


pengertiannya tetap kabur. Seolah-olah penjelasan ini malah
memberi keleluasaan pada penyelidik untu bertindak semaunya,
dengan anggapan apa yang dilakukan merupakan tindakan
keharusan, ambil contoh, seseorang yang dicurigai tidak mau
berhenti dan tidak mau menyerahkan identitas yang diminta atau
5
ditanyakan oleh penyelidik. Menghadapi hal seperti ini,
penyelidik tidak dapat memaksa dengan upaya paksa, dan sebagai
jalan keluar, penyelidik harus pergi meminta surat perintah kepada
penyidik untuk menangkap atau membawa untuk dihadapkan
orang yang membangkang kepada penyidik. Sekarang, apakah
5
Ibid, hlm. 106

16
penyelidik dapat memaksa orang tadi untuk berhenti? Dengan cara
apa dia mengentikannya? Dengan kekerasan atas alasan sebagai
tindakan yang selaras dengan kewajiban hukum yang
“mengharuskannya” melakukan tindakan upaya paksa? Sampai
sejauh mana upaya paksa yang diharuskan itu? Atau kalau
identitas yang dinyatakan kepada yang dicurigai tidak diberikan
dan tidak dijawab, apakah penyelidik dapat merampas dari
kantongnya? Sepanjang hal ini memang dapat, dengan alasan
perampasan surat kartu penduduk sebagai tindakan penggeledahan
pakaian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 ayat (1). Namun
hal itu baru dapat dilakukan jika terjadi penangkapan terhadap
tersangka. Kalau tidak ada penangkapan, penggeledahan pakaian
tidak dibenarkan. Tetapi kalau menyuruh berhenti dengan paksa,
tidak dapat dikategorikan kepada syarat-syarat yang dijumpai
dalam penjelasan dimaksud. Jadi, secara teoritis sangat sulit
mengkontruksi suatu acuan tindakan yang konkret atas bunyi dan
penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP. Mungkin
praktek hukum yang memberi jalan pemecahan. Atau ketentuan
ini dalam praktek lebih berat arahnya menjurus kepada tindakan
keleluasaan bagi pejabat penyelidik. Jika demikian arahnya, dari
sekarang kita berpendapat isi ketentuan itu kurang dapat
dipertanggungjawabkan di dalam pelaksanaan tindakan
penyelidikan. Lebih baik ketentuan itu tidak dicantumkan dalam
KUHAP agar tidak timbul manipulasi tindakan penyelidikan yang
berkedok kepada kekaburan rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a
angka 4 dan penjelasannya. Namun, sebagai jalan tengah yang
dapat ditolerir ialah dengan mempedomani “asas proporsional”,
yakni kalau tindakan itu masih proporsional dengan tujuan
penegakan hukum, tindakan itu masih dianggap dalam ruang
lingkup penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4.

17
2. Kewenangan Berdasar Perintah Penyidik
Kewajiban dan wewenang penyelidik yang dibicarakan diatas adalah
yang lahir dan inherent dari sumber undang-undang sendiri. Sedang
kewajiban dan wewenang yang akan dibicarakan pada uraian ini
adalah yang bersumber dari “perintah” penyidik yang dilimpahkan
kepada penyelidik. Tindakan dan kewenangan undang-undang melalui
penyelidik dalam hal ini, lebih tepat merupakan tindakan
“melaksanakan perintah” penyidik; berupa:
 Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan
penyitaan.
 Pemeriksaan dan penyitaan surat;
 Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
 Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Tentang tindakan yang didasarkan pada pelaksanaan surat perintah


penyidik, cukup dideskripsi tanpa pembahasan, sebab semua hal itu
(penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat)
akan dibicarakan nanti sendiri-sendiri.

Sebagaimana yang sudah disinggung diatas, sesuai dengan ketentuan


Pasal 102 ayat (2), dalam hal tertangkap tangan, penyelidik dapat
bertindak melakukan segera apa yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf b tanpa mendapat perintah dari pejabat penyidik. Hal ini logis
dan realistis, demi untuk segera dapat menangani dengan baik dan
sempurna tugas penyelidikan. Pemberian wewenang yang demikian
pada keadaan6 tertangkap tangan, efektif, dan efesien.

3. Kewajiban Penyelidik Membuat dan Menyampaikan Laporan


Penyelidik wajib menyampaikan hasil pelaksanaan tindakan sepanjang
yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf a
dan b. Pengertian laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan,
harus merupakan “laporan tertulis”. Jadi disamping adanya laporan
lisan, harus diikuti laporan lisan, harus diikuti laporan tertulis demi
6
Ibid. hlm. 107

18
untuk adanya pertanggungjawaban dan pembinaan pengawasan
terhadap penyelidik, sehingga apa saja pun yang dilakukan penyelidik
tertera dalam laporan tersebut.7
C. Pengertian Penyidikan Menurut KUHAP
Sesuai dengan ketentuan yang tertera didalam Kitap Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai defenisi penyidikan yaitu
terdapat didalam Pasal 1 angka 2 “penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan meurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya8. Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada
tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap
atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekananya
diletakkan pada tingkatan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya
tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat
menemukan dan menentukan pelakunya9.

1. Pihak-pihak yang dapat Melakukan Penyidikan


Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak
sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan,
ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut diditentukan
instansi dan kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari
ketentuan Pasal 6 dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat
penyidik:
a) Pejabat Penyidik Polri
menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang
diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah “pejabat Polisi
Negara”. Memang dari segi diferensiasi fungsional, KUHAP telah
meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan 10 kepada instansi

7
Ibid. hlm. 108
8
M. Kardi dan R. Suesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Bogor: Politeia, 1988), hal. 3.
9
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan
Penuntutan (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 109.
10
Ibid. hlm. 110.

19
kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan
sebagai penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana
hal itu ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (2). Menurut penjelasan Pasal 6
ayat (2). Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan
kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan
umum. Dari bunyi penjelasan ini, KUHAP sendiri belum mengatur
syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. Syarat kepangkatan
tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk
hal itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam
menetapkan kepangkatan pejabat penyidik, disesuaikan dengan
kepangkatan penuntut umum dan hakim Pengadilan Negeri.
Peraturan pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat
penyidik sebagaimana yang dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada,
dan telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No. 27
Tahun 1983. Syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam Bab
II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II
PP dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik
kepolisian, dapat dilihat uraian berikut.
 Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik penuh”, harus
memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan.
- Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.
- Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua
apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat
penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;
- Ditinjau dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.
 Penyidik Pembantu
Pejabat Polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu”
diatur dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini,
syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik
pembantu:

20
- Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
- Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara
dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda
(golongan II/a).
- Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau
pimpinan kesatuan masing-masing11.

Khusus pengangkatan pegawai negeri sipil di lingkungan


kepolisian menjadi pejabat penyidik pembantu, yang bersangkutan
harus mempunyai keahlian atau kekhususan dalam bidang tertentu.
Tanpa syarat tersebut, tidak ada alasan atau urgensi untuk
mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu. Syarat
kepangkatan penyidik pembantu, lebih renda dari pangkat jabatan
penyidik. Berdasar hierarki dan organisatoris, penyidik pembantu
diperbantukan kepada pejabat penyidik, oleh karena itu,
kepangkatan mereka harus lebih rendah dari penyidik.

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil


Mereka diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidik
pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu
pegawai negeri yang mempunyai12 fungsi dan wewenang sebagai
penyidik. Pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber
pada ketentuan undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan
sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.
Jadi, di samping pejabat penyidik Polri, undang-undang pidana khusus
tersebut memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil yang
bersangkutan untuk melakukan penyidikan. Misalnya, Undang-undang
Merek No. 19 Tahun 1992 (diubah menjadi Undang-undang no. 14
tahun 1997), Pasal 80 undang-undang ini menegaskan: kewenangan
melakukan penyidikan tidak pidana merek yang disebut dalam Pasal
81, 82, dan 83 dilimpahkan kepada PPNS. Demikian juga yang kita
jumpai pada ketentuan Pasal 17 Undang-undang Darurat No. 7 Tahun
11
Ibid. hlm. 111.
12
Ibid. hlm. 112.

21
1955; antara lain menunjuk pegawai negeri sipil sebagai penyidik
dalam peristiwa tindak pidana ekonomi. Penyidik pegawai negeri sipil
dalam tindak pidana ekonomi, pelimpahannya diberikan kepada
pejabat duane. Akan tetapi harus diingat, wewenang penyidikan yang
memiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas
sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang pidana khusus itu. Ini sesuai dengan pembatasan
wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi:
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal
6 ayat (1) hurf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang
yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik Polri. Lebih lanjut mari kita lihat kedudukan dan wewenang
penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan:
a. Penyidik pegawai negeri sipil kedudukan berada di bawah:
- “koordinasi” penyidik Polri, dan
- Di bawah “pengawasan” penyidik Polri
b. Untuk kepentingan penyidik, Polri “memberikan petunjuk” kepada
penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)).
c. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus “melaporkan” kepada
penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang
disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil
ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak
pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2)).
d. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan
penyidikan , hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada
penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan
penyidik pegawai negeri sipil “melalui penyidik Polri” (Pasal 107
ayat (3)). Yang ingin ditanyakan, apakah penyidik Polri dapat
mengembalikan hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk menyuruh lakukan penyempurnaan penyidikan? Atau apakah

22
penyidik Polri dapat melakukan sendiri penyempurnaan hasil
penyidikan penyidik pegawai negeri sipil? Tentu dapat melakukan.
Sebelum penyidik Polri meneruskan hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil , berwenang untuk memeriksa segala
keku[rangan yang dilakukan penyidik pegawai negeri sipil. Kita
berpendapat penyidik Polri mempunyai wewenang untuk meneliti
hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil. Hal ini didasarkan
pada kedudukan yang diberikan ketetntuan Pasal 7 ayat (2) kepada
penyidik Polri, sebagai “coordinator” dan “pengawas” terhadap
13
penyidik pegawai negeri sipil. Tambahan lagi, apa gunanya
pelimpahan hasil penyidikan pegawai negeri sipil melalui Polri jika
tidak berwenang memeriksa kekurangan yang terdapat
didalamnya? Cukup beralasan kalau begitu, penyidik Polri dapat
memeriksa, dan menyuruhlakukan tambahan penyidikan. Alasan
selanjutnya, berdasarkan Pasal 107 ayat (1), yang memberi
wewenang kepada penyidik Polri untuk memeriksa petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil. Wewenang yang seperti ini
perlu sama sekali dimiliki penyidik Polri, untuk menghindari
pengembalian berkas oleh penuntut umum berdasarkan Pasal 110
ayat (2), yakni penuntut umum dapat segera mengembalikan hasil
penyidikan kepada penyidik , apabila penyidikan dianggap “kurang
lengkap”.
e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil mengehentikan penyidikan
yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentan
penyidikan itu harus “diberitahukan” kepada penyidik Polri dan
penuntut umum (Pasal 109 ayat (3)). Tentang masalah
pemberitahuan penghentian penyidikan oleh penyidik pegawai
negeri sipil, terdapat hal yang kurang sejalan dalam pemberitahuan
tindakan penyidikan yang dilakukannya. Pada pelaporan tindak
pidana yang sedang disidiknya, penyidik pegawai negeri sipil
cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada

13
Ibid. hlm. 113.

23
penyidik Polri, tidak perlu diberitahukan kepada penuntut umu.
Lain halnya pada penghentian penyidikan, di samping harus
diberitahukan oleh penyidik pegawai negeri sipil kepada penyidik
Polri, juga “langsung” memberitahukan penghentian kepada
penuntut umum14.

2. Pengertian Penyidik
Bahwa adapun yang menjadi defenisi dari penyidik sesuai ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mena
terletak di Pasal 1 angka 1 yaitu penyidik adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan15.

3. Fungsi dan Wewenang Penyidik


Adapun yang menjadi fungsi maupun wewenang dari pada penyidik
dalam menjalankan tugasnya yaitu diatur dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu:
A. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;16
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
B. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa;
1) Penangkapan, laragan meninggalkan tempat, penggeledahan dan
penyitaan;
2) Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
14
Ibid. hlm. 114.
15
M. Kardi dan R. Suesilo, Loc. Cit.
16
M. Kardi dan R. Suesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Bogor: Politeia, 1988), hal.
13.

24
4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.17

BAB III

PEMBAHASAN

A. Prosedur Masuknya Berkas Perkara oleh Penyelidik ke Penyidik Untuk


di tindak lanjuti di Kejaksaan Negeri Deli Serdang
17
Ibid. hlm. 13.

25
Dalam penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum sudah diatur
didalam ketentuan Hukum Acara Pidana. Kemudian tujuan pemeriksaan
penyidikan tindak pidana menyiapkan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai
“berkas perkara” yang akan diserahkan penyidik kepada penuntut umum
sebagai instansi yang bertindak dan berwenang melakukan penuntutan
terhadap tindak pidana. Berkas hasil penyidikan itu yang dilimpahkan
penuntut umum kepada hakim di muka persidangan pengadilan. Oleh karena
itu, apabila penyidik berpendapat, pemeriksaan penyidikan telah selesai dan
sempurna, secepatnya mengirimkan berkas perkara hasil penyidikan kepada
penuntut umum. Akan tetapi, di dalam pengiriman berkas perkara, penyidik
diharuskan menyesuaikan pemberkasan perkara dengan ketentuan pasal
undang-undang yang menggariskan perbuatan berita acara pemeriksaan
penyidikan seperti yang ditentukan dalam Pasal 121 KUHAP.
Setelah penyidik berpendapat segala sesuatu pemeriksaan yang diperlukan
dianggap cukup, penyidik “atas kekuatan sumpah jabatan” segera membuat
berita acara dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal
121:
- Memberi tanggal pada berita acara,
- Membuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu,
tempat, dan keadaan sewaktu tindak pidana dilakukan.
- Nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi,
- Keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, kebangsaan, agama, dan
lain-lain).
- Catatan mengenai akta dan atau benda,
- Serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian
perkara.

Demikian syarat pembuatan berita acara yang ditentukan dalam Pasal 121.
Akan tetapi, untuk lengkapnya berita acara dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 75. Hal ini berarti, setiap pemeriksaan yang berita acaranya telah dibuat
tersendiri dalam pemeriksaan penyidikan, dilampirkan dalam berita acara
penyidikan yang dibuat oleh penyidik. Dalam berita acara penyidikan harus
terlampir penyidik selama dalam pemeriksaan, sepanjang hal itu telah

26
diterangkannya dalam berita acara pemeriksaan. Jadi, dalam berita acara
penyidikan yang berupa berkas perkara hasil penyidikan, penyidik
melampirkan berita acara:

- Pemeriksaan tersangka
- Penangkapan (jika ada),
- Penahanan (jika ada),
- Penggeledahan (jika ada),
- Pemasukan rumah (jika ada),
- Penyitaan benda (jika ada),
- Pemeriksaan surat (jika ada), dan
- Pemeriksaan saksi (jika ada),

Berita acara penyidikan dan lampiran-lampiran yang bersangkutan, dijilid


menjadi suatu berkas oleh penyidik. Jilidan berkas berita acara disebut
“berkas perkara”.

Pada pada penjilidan berkas perkara, perlu menyampaikan imbauan.


Apabila KUHAP sendiri telah menuntut pembinaan dan peningkatan sikap
dan mental aparat penegak hukum, termasuk penyempurnaan administrasi
yustisial. Penjilidan berkas perkara termasuk bidang pembinaan administrasi
penegakan hukum. Oleh karena itu, betapa pentingnya soal kecil ini menjadi
perhatian, dalam arti menyempurnakan dan meningkatkan “penjilidan berkas
perkara”. Penyempurnaan penjilidan yang kami maksudkan, bukan hanya
kerapian dan pemberian sampul bagian depan saja, tetapi termasuk:

- Penyampulan berkas yang rapid an cukup sederhana


Agar berita acara yang diperbuat “atas kekuatan sumpah jabatan”
diperlukan kerapian. Penyidik tentu suka menghargai diri dan jabatannya,
serta sumpah jabatannya. Oleh karena itu, perlu menyampulkan berkas
perkara dengan rapid an sederhana
- Penjahitan berkas yang rapi.
Pada umumnya berkas perkara yang diterima bercopotan satu per satu,
sehingga lembaran berkas itu sering tanggal dan tercecer. Memang kalau

27
disbanding berkas perkara yang dibuat penyidik militer, kita merasa
kagum akan kerapian dan kesempurnaan penyususnan dan penjilidannya.
Sedemikian rapi, sehingga taka da kekhawatiran akan tercecer
lembarannya.
- Hendaknya berkas perkara memiliki daftar isi
Hal ini perlu sebagai dasar pengecekan isi dan halaman berkas, dan
sekaligus memudahkan mempelajari berkas serta memberi kecepatan
membalik dan mencari keterangan yang diperlukan dalam persidangan.
Dengan adanya daftar isi, akan diketahui apakah ada lembaran yang hilang
atau tercecer.
- Kemudian, alangkah baiknya jika dibuat suatu standar sistematika
penyusunan penjilidan berkas perkara.
Disusun sedemikian rupa, dimana letak susunan berita acara pemeriksaan
tersangka, saksi, keterangan ahli, surat bukti, berita acara penangkapan,
penahanan, penyitaan, dan seterusnya.

Menurut sistem penyerahan berkas perkara yang diatur dalam KUHAP


sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3), Pasal 110 dan
Pasal 138, mengenai sistem penyerahan berkas perkara dalam “dua tahap”
yaitu:

- Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.


- Tahap kedua, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti kepada penuntut umum.

1. Penyerahan Tahap Pertama


pada penyerahan tahap pertama, penyidik secara nyata dan fisik
menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum, dan penuntut umum
secara nyata dan fisik menerima dari tangan penyidik. Namun demikian,
sekalipun telah terjadi penyerahan nyata dan fisik kepada penuntut umum,
undang-undang “belum menganggap penyidikan telah selesai”. Dengan kata
lain, penyerahan berkas perkara secara nyata dan fisik, belum merupakan

28
kepastian penyelesaian pemeriksaan penyidikan, sebab kemungkinan besar
hasil penyidikan yang diserahkan, dikembalikan oleh penuntut umum kepada
penyidik, dengan petunjuk agar penyidik melakukan “tambahan pemeriksaan
penyidikan”.
Dari itu, selama masih terbuka kemungkinan untuk mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik, hasil pemeriksaan penyidikan masih dianggap
“belum lengkap”, dan menganggap pemeriksaan penyidikan belum mencapai
titik penyelesaian. Itu sebabnya penyerahan berkas tahap pertama disebut
“prapenuntutan”. Jadi, penyerahan berkas perkara tahap pertama belum lagi
dapat diartikan sebagai realisasi taraf “penuntutan”.
Kapan pemerksaan penyidikan dianggap selesai menurut hukum ? Untuk
mengetahui secara jelas penyelesaian fungsi pemeriksaan penyidikan, mari
kita perhatikan ketentuan Pasal 110 dan pasal 138:
1. Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, “wajib” segera
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
Penyerahan nyata dan fisik berkas seperti ini baru tahap penyerahan
berkas saja, belum menghilangkan kemungkinan berkas dikembalikan
lagi oleh penuntut umum untuk melakukan tambahan pemeriksaan
penyidikan. Masih tebuka kemungkinan bagi penuntut umum
mempergunakan haknya seperti yang disebut pada Pasal 110 ayat (2):
“apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tertentu
ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi”.
2. Apabila penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan berkas perkara
untuk dilengkapi :
a. Penyidik “wajib” segera melakukan “penyidikan tambahan”.
Dalam tempo 14 hari sesudah penerimaan pengembalian berkas
perkara dari penuntut umum, penyidik harus menyelesaikan
pemeriksaan penyidikan tambahan dan mengembalikan berkas kepada
penuntut umum. Bagaimana jika batas waktu itu dilampaui penyidik?
Tidak ada sanksinya. Penuntut umum hanya bisa menegur atau

29
mengingatkan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 138 ayat (2)
KUHAP.
b. Penyidikan tambahan harus dilakukan “sesuai” dengan petunjuk yang
digariskan penuntut umum.
Penuntut umum berhak mengembalikan berkas perkara hasil
penyidikan yang disampaikan atau diserahkan penyidik kepadanya.
Apabila penuntut umum berpendapat terdapat kekuranglengkapan
pada berkas perkara, berarti pengambilan tadi diajukan untuk
melakukan lagi “penyidikan tambahan”, dan penyidikan tambahan
yang harus dilakukan oleh penyidik disesuaikan dengan petunjuk yang
ditentukan penuntut umum. Bagaimana jika pengembalian berkas
perkara dilakukan penuntut umum tanpa memberi petunjuk tentang
hal-hal apa yang harus lagi ditambah penyidikannya? Keadaan seperti
ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan Pasal
138 ayat (2). Oleh karena itu, pengembalian dianggap “tidak sah
karena bertentangan dengan undang-undang, dan dengan demikian
dengan sendirinya penyidikan dianggap telah lengkap dan selesai.
c. Apabila dalam waktu tujuh hari setelah penerimaan berkas perkara,
penuntut umum telah menyampaikan pemberitahuan kepada penyidik,
bahwa hasil penyidikan yang terdapat dalam berkas sudah lengkap
(Pasal 138 ayat (1)). Atau sebaliknya, apabila dalam tempo tujuh hari
sesudah penerimaan berkas, penuntut umum menyampaikan
pemberitahuan kepada penyidik bahwa hasil penyidikan belum
lengkap, berarti penyidikan belum selesai, dan harus dilakukan
penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan penuntut
umum. Dan dalam tempo 14 hari terhitung sejak penerimaan
pengembalian berkas dari penuntut umum, penyidik harus
mengirimkan kembali berkas perkara beserta hasil penyidikan
tambahan kepada penuntut umum.
d. Atau penyidikan telah dianggap selesai: apabila dalam jangka waktu
sebelum lewat tempo 14 hari (misalnya pada hari ke-9 atau hari ke-
13), penuntut umum telah memberitahukan kepada penyidik bahwa

30
hasil penyidikan telah lengkap. Sebaliknya, apabila belum lewat
jangka waktu 14 hari dari tanggal penerimaan berkas perkara,
penuntut umum masih berhak lagi mengembalikan berkas perkara
kepada penyidik. Kaidah ini dapat dilihat secara a contrario dari
bunyi pasal 110 ayat (4) yaitu apabila sebelum batas waktu 14 hari
tersebut berakhir, telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum kepada penyidik.
e. Penyidikan dengan sedirinya menurut hukum telah dianggap lengkap
dan selesai apabila tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan
berkas perkara, penuntut umum:
- Tidak ada menyampaikan pemberitahuan tentang
kekuranglengkapan hasil penyidikan,
- Atau selama jangka waktu empat belas hari tersebut penuntut
umum tidak ada mengembalikan berkas perkara kepada penyidik.

Dengan demikian setelah jangka waktu tersebut dilampaui, ternyata


penuntut umum tidak ada menyampaikan pemberitahuan tentang
kekuranglengkapan penyidik atau apabila dalam tenggang waktu 14 hari,
penuntut umum tidak ada mengembalikan berkas perkara, sah dan lengkap
serta selesailah fungsi penyidikan. Sejak saat yang diuraikan di atas, berakhir
“tanggung jawab” penyidik atas kelanjutan penyelesaian berkas perkara
kepada instansi penuntut umum. Dan sejak saat itu terjadi penyerahan berkas
perkara tahap kedua, serta sejak itu berakhir tenggang waktu
“prapenuntutan”, dan beralih tahap prapenuntutan menjadi tahap
“penuntutan”.

2. Penyerahan Berkas Tahap Kedua

Seperti telah dijelaskan penyerahan berkas tahap pertama, penydikan


dianggap lengkap dan selesai apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut
umum yang menyatakan berkas perkara telah lengkap. Atau apabila tenggang
waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak

31
menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik, terhitung sejak tenggang waktu tersebut dengan
sendirinya menurut hukum:

- Penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna beralih kepada


penuntut umum tanpa memerlukan cara dan prosedur apa-apa lagi, dan
- Dengan sendirinya terjadilah penyerahan “tanggung jawab hukum” atas
seluruh berkas yang bersangkutan dari tangan penyidik kepada penuntut
umum.

Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara dari tangan penyidik
kepada tangan penuntut umum, meliputi: berkas perkaranya sendiri, tanggung
jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang
bukti atau benda sitaan. Akan tetapi perlu diperhatikan, penyerahan dan
peralihan itu titik beratnya adalah penyerahan dan peralihan tanggung jawab
secara fisik terhadap tersangka dan barang bukti. Oleh karena itu, apabila
disuatu daerah belum ada Rumah Tahanan Negara (Rutan) serta belum juga
mempunyai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan penuntut umum
sendiri tidak mempunyai ruang tahanan yang memadai serta gudang
penyimpanan barang bukti yang cukup, secara fisik biarlah tersangka dan
barang bukti tetap berada di tempat semula yang telah ditentukan penyidik.
Namun pengawasan dan tanggung jawab hukum sudah berada di tangan
penuntut umum. Kecuali mengenai barang bukti yang sederhana kecil seperti
pistol, pisau, ganja satu dos, dan sebagainya, dapat diserahkan secara
langsung kepada penuntut umum.

3. Pejabat yang Berwenang Menyerahkan


Undang-undang telah menentukan pejabat penyidik mana yang berwenang
menyerahkan atau melimpahkan berkas kepada penuntut umum atau kepada
sidang pengadilan. Sebab seperti yang akan dijelaskan, bukan seluruhnya
penyerahan da pelimpahan berkas perkara mesti melalui penuntut umum. Ada

32
jenis perkara yang dapat “langsung” dilimpahkan penyidik kepada pengadilan
seperti perkara acara ringan dan perkara lalu lintas. Dalam kedua jenis
perkara ini, berkas perkara dan terdakwa serta saksi dan bukti, dapat langsung
dilimpahkan penyidik kepada pengadilan tanpa melalui penuntut umum, tapi
atas “kuasa penuntut umum”.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat secara rimci hal yang menyangkut
wewenang penyerahan berkas perkara dimaksud.
a. Penyerahan Berkas Perkara Acara Biasa
Berkas perkara yang akan diperiksa dengan acara biasa, seperti yang
diatur pada Bab XVI, Bagian Ketiga KUHAP, yang berhak menyerahkan
berkas perkaranya kepada penuntut umum:
- Penyidik sendiri, tidak dapat dilakukan oleh pejabat lain seperti
penyidik pembantu atau penyidik,
- Berkas perkara langsung diserahkan dan disampaikan kepada penuntut
umum,
- Penyerahan dilakukan dalam dua tahap (Pasal 110 dan Pasal 138
KUHAP)
b. Penyerahan Berkas Perkara Acara Singkat
Pemeriksaan perkara dengan acara singkat diatur dalam Bab XVI, Bagian
Kelima, Mulai dari Pasal 203 dan Pasal 204 yaitu perkara kejahatan atau
pelanggaran dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta
penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Penyerahan berkas
perkara yang akan diperiksa dengan acara singkat, dapat disampaikan
kepada penuntut umum oleh pejabat:
- Penyidik seperti yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) KUHAP, atau
- Oleh penyidik pembantu seperti yang ditegaskan dalam Pasal 12
KUHAP.
Kita lihat, dalam perkara yang pemeriksaannya dilakukan dengan
acara biasa, yang berwenang menyampaikan atau menyerahkan berkas
kepada penuntut umum hanya “pejabat penyidik”. Akan tetapi jenis
perkara dengan acara singkat singkat, di samping pejabat penyidik,
dapat juga dilakukan oleh “penyidik pembantu”. Wewenang ini

33
diberikan kepada penyidik pembantu, barangkali didasarkan sifat
perkara dalam acara pemeriksaan singkat, dianggap mudah dan
sederhana. Oleh karena itu, penyidik pembantu dianggap mampu
menangani dan melengkapi pemeriksaan penyidikannya.
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tidak Berwenang Menyerahkan
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2), penyidik
pegawai negeri sipil ialah penyidik yang di dalam pelaksanaan fungsi
penyidikan yang dilakukannya sesuai dengan undang-undang yang
menjadi landasan hukum bagi wewenang mereka:
- Berada di bawah koordinasi pejabat penyidik Polri, dan
- Berada di bawah pengawasan pejabat penyidik Polri,

Bertitik tolak dari keadaan ini, Pasal 107 ayat (1) telah lanjut
menegaskan, untuk kepentingan penyidikan:

- Penyidik polri harus memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai


negeri sipil dalam pelaksaan pemeriksaan penyidikan,
- Penyidik Polri memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan oleh
penyidikan pegawai negeri sipil, dan
- Penyidik pegawai negeri sipil melaporkan hasil penyidikan yang
ditemukannya kepada penyidik Polri tentang suatu tindak pidana yan
mempunyai bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntu umum
(Pasal 107 ayat (2)).

Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 107 ayat (1) dan
(2) diatas, Pasal 107 ayat (3) telah menegaskan, apabila penyidik
pegawai negeri sipil telah selesai memeriksa atau menyidik suatu
perkara:

 Segera menyerahkan hasil penyidikan kepada penyidik Polri, dan


 Penyidik Polri selanjutnya menyampaikan penyerahan berkas perkara
kepada penuntut umum.

34
Penyidik pegawai negeri sipil tidak berhak menyerahkan langsung hasil
penyelidikan kepada penuntut umum, tetapi harus “melalui” penyidik
Polri.

d. Penyerahan Berkas Perkara Acara Cepat


Di samping itu, ada pula jenis perkara, pemeriksaannya disidang
pengadilan dilakukan dengan acara singkat. Kemudian ada jenis perkara
yang dipersidangkan dengan acara cepat (Bab XVI, Bagian keenam) yang
terbagi kepada dua golongan:
1) Perkara yang diperiksa dengan acara ringan,
2) Acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas.

B. Daftar kegiatan Rutin


Adapun kegiatan yang dilakukan peserta magang yang berlokasi di
Kejaksaan Negeri Deli Serdang sebagai salah satu bentuk keaktifan
pemagang dalam menjalani program tersebut yaitu sebagai berikut.

HARI/TANGGAL
NO KEGIATAN KEGIATAN
MAGANG
1 Kamis, 01/10/2020 Mengantar Surat Ke PN Pakam Bersama
Jaksa.
2 Senin, 05/10/2020 Mengantar berkas perpanjangan tahanan ke
seketaris.
3 Kamis, 07/10/2020 Foto copy berkas
4 Jumat, 08/10/2020 Mengetik berkas untuk berita acara
pemeriksaan (BAP).
5 Senin, 12/10/2020 - Mengetik berkas data mengenai kasus
narkotika untuk BAP.
- Mengetik judul besar untuk data kasus
tentang Bank Sumut.
6 Selasa, 14/10/2020 Mengetik hasil pemeriksaan Berita Acara
Pemeriksaan mengenai kasus tindak pidana
pencurian yang di sertai dengan pembantuan
tindak pidana.
7 Rabu, 15/10/2020 - Memanggil saksi Bank Sumut untuk

35
dimintai keterangan.
- Melakukan pemeriksaan kepada debitur
Bank Sumut untuk dimasukkan kedalam
Berita Acara Pemeriksaan.
8 Kamis, 16/10/2020 Melakukan pemeriksaan terhadap sanksi
Bank Sumut.
9 Jumat, 17/10/2020 Melakukan pemeriksaan terhadap saksi
Bank Sumut untuk BAP.
10 Senin, 20/10/2020 - Mengetik daftar nama-nama debitur
Bank Sumut.
- Melakukan permohonan terhadap berkas
Bank Sumut.
11 Selasa, 21/10/2020 Mengetik daftar nama dan nomor debitur
untuk kasus Bank Sumut.
12 Rabu, 22/10/2020 Mengetik serta memeriksa sanksi Bank
Sumut untuk dimasukkan ke Berita Acara
Pemeriksaan.
13 Kamis, 23/10/2020 - Mengetik/menghitung jumlah jenis
pinjaman pada kasus Bank Sumut.
- Melakukan pemeriksaan terhadap saksi
Bank Sumut.
14 Jumat, 24/10/2020 - Menulis daftar kegiatan kejaksaan.
- Mengetik BAP kasus Narkotika.
- Mengetik BAP lanjutan kasus Bank
Sumut.
15 Senin, 27/10/2020 Menyusun berkas
16 Selasa, 28/10/2020 Menyusun berkas
17 Rabu, 29/10/2020 Melakukan pemeriksaan terhadap saksi
Bank Sumut.
18 Senin, 02/11/2020 - Mengambil fotocopy berkas.
- Mengantar berkas ke seketaris.
19 Selasa, 03/11/2020 - Foto copy berkas.
- Menyusun berkas Bank Sumut.
- Mengantar berkas ke sekretaris.
20 Rabu, 04/11/2020 - Mencatat nama serta nomor surat.
- Menghadiri persidangan.
21 Kamis, 05/11/2020 - Menghadiri persidangan.

36
- Mengambil barang bukti.
- Mencatat nama serta nomor surat.
- Menghadiri acara kejaksaan.
22 Jumat, 06/11/2020 Menghitung data keseluruhan Bank Sumut.
23 Senin, 09/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
24 Selasa, 10/11/2020 Mengikuti persidangan di Pn Lubuk Pakam.
25 Rabu, 11/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
26 Kamis, 12/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
27 Jumat, 13/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
28 Senin, 16/11/2020 - Menjilid berkas di foto copy.
- Mengambil barang bukti.
- Mengantar berkas ke SIMKARI.
29 Selasa, 17/11/2020 - Menyusun berkas-berkas.
- Melihat persidangan.
30 Rabu, 18/11/2020 Menyusun berkas-berkas.
31 Kamis, 19/11/2020 Menjaga piket.
32 Jumat, 20/11/2020 Tidak ada kegiatan.
33 Senin, 23/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
34 Selasa, 24/11/2020 Mengikuti persidangan.
35 Rabu, 25/11/2020 Mengikuti persidangan
36 Kamis, 26/11/2020 Mengikuti persidangan
37 Jumat, 27/11/2020 Izin
38 Senin, 30/11/2020 Mengetik berkas pemeriksaan sidik jari.

37
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa adapun kesimpulan yang dapat ditarik oleh pemagang dari materi
yang telah dianggakat sesuai penjelasan diatas yaitu sebagai berikut.
Tujuan pemeriksaan penyidikan tindak pidana menyiapkan hasil
pemeriksaan penyidikan sebagai berkas perkara yang akan diserahkan
penydik kepada penuntut umum sebagai instansi yang bertindak dan
berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana. Berkas hasil
penyidikan itu wajib hukumnya dilimpahkan ke penuntut umum agar
dikaji apakah berkas sudah benar atau tidak. Jikalau sudah benar berkas
perkara tersebut akan dinaikkan ke pengadilan oleh penuntut umum, akan
tetapi jika tidak lengkap atau masik ada kekurangan berkas tersebut akan
dikembalikan oleh penuntut umum dengan memberikan keterangan atau
alasan pengembalian berkas tersebut.

38
B. Saran
Adapun saran yang diberikan pemagang yaitu sebagai berikut:
1. Dalam hal pemberkasan oleh penyidik dari hasil penyelidikan harus
lah lengkap dan tidak ada kekurangan agar tidak memeriksa dua kali
dan proses penyelesaian perkara dapat cepat terselesaikan.
2. Bahwa penuntut umum pun dalam hal pemeriksaan berkas harus lah
teliti dan tidak salah dalam melakkukan pengkajian agar penyelidik
dari pihak Polri tidak berulang-ulang memeriksa berkas.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Pustaka

Harahap, M Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap


Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Susilo. R, M. Kardaji. 1998. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bogor:


Politeia.

39

Anda mungkin juga menyukai