PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berada di era modernisasi yang sudah mulai maju ini pendidikan sangat
penting dalam berbangsa dan bernegara demi tercapainya suatu negara yang
maju sesuai dengan salah satu poin guna dinyatakan suatu negara tersebut
berekmbang pesat. Kualitas pendidikan yang baik menjadi harapan untuk
mempertahankan keutuhan suatu bangsa. Akan tetapi bukan itu saja setiap
negara dituntut untuk melakukan perbaikan di segala bidang agar dapat
bersaing dan menjalin hubungan dengan negara lain tanpa terkecuali Indonesia.
Pendidikan merupakan salah satu senjata penting dalam upaya mencipakan
perbaikan diberbagai bagian-bagian krusial tersebut dan universitas sebagai
salah satu unsur di dalam pendidikan, dimana proses pelaksanaan pendidikan
didalam universitas ditunjukkan untuk membawa perbaikan bagi negara serta
mempunyai peran cukup besar dalam upaya persaingan dan menjalin hubungan
dengan negara lain.
Adapun hal-hal yang dapat dilakukan universitas guna meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia dalam bidang intelektual yakni dengan
menciptakan lulusan-lulusan yang berkualitas bukan dari segi pemikiran saja
akan tetapi juga dalam segi etika dan norma. Dikarenakan di era yang sudah
maju ini banyak pelajar yang kurang dalam hal pendidikan di bidang etika dan
norma sehingga terciptanya sarjana-sarjana yang tidak berkualitas dan dapat
merusak bangsa dan negara.
Adapun Praktek Kerja Lapangan (PKL) merupakan kegiatan yang
diprogramkan oleh pihak universitas terhadap mahasiswa sebagai salah satu
bentuk implementasi pembelajaran secara langsung ke dalam dunia kerja yang
sebenarnya dengan memberikan mahasiswa kesempatan untuk ditempatkan
disuatu perusahaan maupun instansi negara sesuai dengan bidang yang
dimiliki. Serta PKL ini juga merupakan sebagai suatu tempat untuk para
mahasiswa memperoleh pengalaman serta mahasiswa dituntun untuk cepat
menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang berbeda dari lingkungan
kampus.
1
Bahwa terkadang apa yang dipelajar di bangku perkuliahan belum tentu
sama peris dengan apa yang kenyataan yang terjadi dilapangan (praktiknya).
Berdasarkan hal tersebut mahasiswa yang mengikuti program magang dapat
memahami dunia kerja sesuai bidang yang yang sedang ditempuh yakni hukum
pidana serta dapat memahami prosedur dalam kegiatan pemeriksaan maupun
penuntutan oleh jaksa.
2
C. Target Kegiatan
Adapun target praktek kerja lapangan (PKL) ini adalah sebagai berikut :
1. Mampu memahami bagaimana pelaksanaan tugas di Kejaksaan Negeri
Deli Serdang.
2. Mampu menjalani hubungan baik dengan instansi atau lembaga mengenai
Kejaksaan Negeri Deli Serdang.
3. Mendapatkan wawasan, pengetahuan dan keterampilan dalam dunia kerja.
4. Mendapatkan pengalaman di dunia kerja.
5. Mendapat gambaran tentang kondisi dunia lapangan kerja.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Kejaksaan
1. Sebelum Reformasi
4
pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara
lain:
a. Mempertahankan segala peraturan Negara
b. Melakukan penuntutan segala tindak pidana
c. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat
dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Peranan Kejaksaan sebagai satu-
satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh
Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942,
yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan
No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan,
yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan
tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi
digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:
Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak
kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945.
Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan
5
dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan
Departemen Kehakiman.
6
2. Masa Reformasi
7
UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan
wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :
2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah
3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
Pengamanan peredaran barang cetakan;
Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara;
Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
8
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping
tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat
diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya
Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34
menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang
hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.
9
Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang
bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur
pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang
lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga
dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak
adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan
jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa
diselesaikan oleh UU ini.
10
Bahwa adapun yang dimaksud defenisi penyelidikan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang terdapat didalam Bab
1 tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5 yaitu penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini1.
Dan adapun yang menjadi maksud dan tujuan penyelidikan serta hal-hal
lain yang berkaitan yaitu sebagai berikut :
1. Maksud dan Tujuan Penyelidikan
Sesuai dengan isi pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana tersebut dimaksudkan, untuk lebih memastikan suatu peristiwa itu
yang mana diduga keras sebagai tindak pidana. Kemudian penyelidikan
dimaksudkan untuk menemukan bukti permulaan dari pelaku (dader).
2. Pengertian Penyelidik
Sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yang terdapat dalam Pasal 1 angka 4 yaitu yang dimaksud dengan
penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
3. Fungsi dan Wewenang Penyelidik
Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang disebut pada
pasal 5 KUHAP, yang dapat dipisahkan ditinjau dari beberapa segi.
1. Fungsi dan Wewenang Berdasarkan Hukum
Ini diatur pada Pasal 5 KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini fungsi dan
wewenang aparat penyelidik :
a) Menerima laporan atau pengaduan
Bertitik tolak dari fungsi ini, apabila menerima suatu
“pemberitahuan” atau “laporan” yang disampaikan oleh seseorang,
penyelidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti.
Bisa tentang telah atau sedang ataupun diduga akan terjadi suatu
peristiwa pidana, penyelidik wajib dan berwenang menerima
pemberitahuan laporan (Pasal 1 butir 24). Atau apabila penyelidik
1
M. Kardi dan R. Suesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Bogor: Politeia, 1988), hal.
3.
11
menerima “pemberitahuan” yang disertai dengan permintaan oleh
pihak yang berkepentingan untuk menindak pelaku “tindak pidana
aduan” yang merugikannya. Mengenai laporan atau pengaduan
yang dapat diterima :2
Jika laporan pengaduan diajukan secara “tertulis”, harus
“ditandatangani” oleh pelapor atau pengadu;
Jika laporan atau pengaduan diajukan secara “lisan” harus
“dicatat” oleh penyelidik dan “ditandatangani” oleh
pelapor/pengadu dan penyelidik;
Jika pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus
dicatat dalam laporan pengaduan (Pasal 103).
2
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan
Penuntutan (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 103.
12
berkepentingan dapat langsung menghubungi dan menyampaikan
kepada kejaksaan. 3
3
Ibid. hlm. 104
13
surat perintah khusus atau dengan surat apa pun, berdasarkan
alasan :
Ketentuan Pasal 4; menegaskan, setiap pejabat polisi negara RI
adalah penyelidik;
Kemudian makna bunyi Pasal 4 semakin jelas dapat dipahami
jika dihubungkan dengan penjelasan butir 4 Pasal 1 yang
menegaskan: “Penyelidik adalah pejabat polisi negara RI yang
diberi wewenang undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan”. Dari bunyi ketentuan ini, dapat dibaca bahwa
KUHAP sendiri telah memberi wewenang bagi pejabat Polri
untuk menjadi penyelidik. Oleh karena itu, KUHAP memberi
wewenang yang lahir dari undang-undang ini kepada
penyelidik untuk melaksanakan kewajiban dan wewenang
penyelidikan yang ditentukan Pasal 5 ayat (1) tanpa surat
perintah. Akan tetapi seperti telah berulang kali kita tegaskan,
dalam melaksanakan fungsi dan wewenang itu penyelidik
harus sopan dan tidak merendahkan martabat orang yang
dicurigai.
Jika penyelidik mengalami hal seperti itu, tidak ada tindakan yang
dapat diperbuat untuk memaksa orang yang dicurigai itu. Hal ini
memang akan merupakan hambatan bagi penyelidik melakukan
fungsi penyelidikan. Sebab sebagaimanapun seandainya orang
yang dicurigai tidak menaati perintah penyelidik, tidak dapat
memaksa dengan upaya paksa. Satu-satunya jalan yang dapat
14
4
dibenarkan hukum, pejabat penyelidik segera mendatangi
pejabat penyidik, untuk meminta “surat perintah” penangkapan
atau surat perintah “membawa dan menghadapkan” orang yang
dicurigai ke muka penyidik. Atau barangkali yang paling efesien,
sewaktu penyelidik hendak pergi pergi mencegat orang yang
dicurigai, penyelidik mempersiapkan kian surat perintah
penangkapan atau surat perintah membawa dan menghadapkan
kepada penyidik. Persiapan surat-surat perintah itu dimaksud
sebagai upaya mengatasi kemungkinan keingkaran orang yang
dicurigai mematuhi perintah penyelidik. Dengan disiapkan kian
surat perintah, penyelidik tidak perlu lagi membuang waktu
meminta surat perintah. Segera setelah adanya keingkaran orang
yang dicurigai, penyelidik bisa langsung membawanya untuk
dihadapkan ke muka penyidik.
15
d) Tindakan Lain Menurut Hukum
Kewajiban dan wewenang selanjutnya ialah mengadakan
“tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sungguh
sangat kabur rumusan ini, tidak jelas apa yang dimaksud dengan
“tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”. Sulit
sekali menentukan warna dan bentuk tindakan yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a butir 4 tersebut.
Sekalipun diminta bantuan kepada penjelasan, namun belum
mampu mempertegas wujud bentuk tindakan yang dapat diraba
secara nyata. Mari kita telaah penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a
angka 4, berbunyi: yang dimaksud dengan tindakan lain adalah
tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan
syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
c. Tindakan ini harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
d. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e. Menghormati hak asasi manusia”.
16
penyelidik dapat memaksa orang tadi untuk berhenti? Dengan cara
apa dia mengentikannya? Dengan kekerasan atas alasan sebagai
tindakan yang selaras dengan kewajiban hukum yang
“mengharuskannya” melakukan tindakan upaya paksa? Sampai
sejauh mana upaya paksa yang diharuskan itu? Atau kalau
identitas yang dinyatakan kepada yang dicurigai tidak diberikan
dan tidak dijawab, apakah penyelidik dapat merampas dari
kantongnya? Sepanjang hal ini memang dapat, dengan alasan
perampasan surat kartu penduduk sebagai tindakan penggeledahan
pakaian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 ayat (1). Namun
hal itu baru dapat dilakukan jika terjadi penangkapan terhadap
tersangka. Kalau tidak ada penangkapan, penggeledahan pakaian
tidak dibenarkan. Tetapi kalau menyuruh berhenti dengan paksa,
tidak dapat dikategorikan kepada syarat-syarat yang dijumpai
dalam penjelasan dimaksud. Jadi, secara teoritis sangat sulit
mengkontruksi suatu acuan tindakan yang konkret atas bunyi dan
penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP. Mungkin
praktek hukum yang memberi jalan pemecahan. Atau ketentuan
ini dalam praktek lebih berat arahnya menjurus kepada tindakan
keleluasaan bagi pejabat penyelidik. Jika demikian arahnya, dari
sekarang kita berpendapat isi ketentuan itu kurang dapat
dipertanggungjawabkan di dalam pelaksanaan tindakan
penyelidikan. Lebih baik ketentuan itu tidak dicantumkan dalam
KUHAP agar tidak timbul manipulasi tindakan penyelidikan yang
berkedok kepada kekaburan rumusan Pasal 5 ayat (1) huruf a
angka 4 dan penjelasannya. Namun, sebagai jalan tengah yang
dapat ditolerir ialah dengan mempedomani “asas proporsional”,
yakni kalau tindakan itu masih proporsional dengan tujuan
penegakan hukum, tindakan itu masih dianggap dalam ruang
lingkup penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4.
17
2. Kewenangan Berdasar Perintah Penyidik
Kewajiban dan wewenang penyelidik yang dibicarakan diatas adalah
yang lahir dan inherent dari sumber undang-undang sendiri. Sedang
kewajiban dan wewenang yang akan dibicarakan pada uraian ini
adalah yang bersumber dari “perintah” penyidik yang dilimpahkan
kepada penyelidik. Tindakan dan kewenangan undang-undang melalui
penyelidik dalam hal ini, lebih tepat merupakan tindakan
“melaksanakan perintah” penyidik; berupa:
Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan
penyitaan.
Pemeriksaan dan penyitaan surat;
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
18
untuk adanya pertanggungjawaban dan pembinaan pengawasan
terhadap penyelidik, sehingga apa saja pun yang dilakukan penyelidik
tertera dalam laporan tersebut.7
C. Pengertian Penyidikan Menurut KUHAP
Sesuai dengan ketentuan yang tertera didalam Kitap Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai defenisi penyidikan yaitu
terdapat didalam Pasal 1 angka 2 “penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan meurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya8. Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada
tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap
atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekananya
diletakkan pada tingkatan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya
tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat
menemukan dan menentukan pelakunya9.
7
Ibid. hlm. 108
8
M. Kardi dan R. Suesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Bogor: Politeia, 1988), hal. 3.
9
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan
Penuntutan (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 109.
10
Ibid. hlm. 110.
19
kepolisian. Cuma agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan
sebagai penyidik, harus memenuhi “syarat kepangkatan” sebagaimana
hal itu ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (2). Menurut penjelasan Pasal 6
ayat (2). Kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan
kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan
umum. Dari bunyi penjelasan ini, KUHAP sendiri belum mengatur
syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6. Syarat kepangkatan
tersebut akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Untuk
hal itu, penjelasan Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam
menetapkan kepangkatan pejabat penyidik, disesuaikan dengan
kepangkatan penuntut umum dan hakim Pengadilan Negeri.
Peraturan pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan pejabat
penyidik sebagaimana yang dikehendaki ketentuan Pasal 6 sudah ada,
dan telah ditetapkan pada tanggal 1 Agustus 1983, berupa PP No. 27
Tahun 1983. Syarat kepangkatan pejabat penyidik diatur dalam Bab
II. Memperhatikan ketentuan kepangkatan yang diatur dalam Bab II
PP dimaksud, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidik
kepolisian, dapat dilihat uraian berikut.
Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik penuh”, harus
memenuhi syarat kepangkatan dan pengangkatan.
- Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi.
- Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua
apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat
penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;
- Ditinjau dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI.
Penyidik Pembantu
Pejabat Polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu”
diatur dalam Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini,
syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik
pembantu:
20
- Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
- Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara
dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda
(golongan II/a).
- Diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul komandan atau
pimpinan kesatuan masing-masing11.
21
1955; antara lain menunjuk pegawai negeri sipil sebagai penyidik
dalam peristiwa tindak pidana ekonomi. Penyidik pegawai negeri sipil
dalam tindak pidana ekonomi, pelimpahannya diberikan kepada
pejabat duane. Akan tetapi harus diingat, wewenang penyidikan yang
memiliki oleh pejabat penyidik pegawai negeri sipil hanya terbatas
sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang pidana khusus itu. Ini sesuai dengan pembatasan
wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi:
Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal
6 ayat (1) hurf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang
yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik Polri. Lebih lanjut mari kita lihat kedudukan dan wewenang
penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas penyidikan:
a. Penyidik pegawai negeri sipil kedudukan berada di bawah:
- “koordinasi” penyidik Polri, dan
- Di bawah “pengawasan” penyidik Polri
b. Untuk kepentingan penyidik, Polri “memberikan petunjuk” kepada
penyidik pegawai negeri sipil tertentu, dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1)).
c. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus “melaporkan” kepada
penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang
disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil
ada ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak
pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2)).
d. Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan
penyidikan , hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada
penuntut umum. Cara penyerahannya kepada penuntut dilakukan
penyidik pegawai negeri sipil “melalui penyidik Polri” (Pasal 107
ayat (3)). Yang ingin ditanyakan, apakah penyidik Polri dapat
mengembalikan hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk menyuruh lakukan penyempurnaan penyidikan? Atau apakah
22
penyidik Polri dapat melakukan sendiri penyempurnaan hasil
penyidikan penyidik pegawai negeri sipil? Tentu dapat melakukan.
Sebelum penyidik Polri meneruskan hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil , berwenang untuk memeriksa segala
keku[rangan yang dilakukan penyidik pegawai negeri sipil. Kita
berpendapat penyidik Polri mempunyai wewenang untuk meneliti
hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil. Hal ini didasarkan
pada kedudukan yang diberikan ketetntuan Pasal 7 ayat (2) kepada
penyidik Polri, sebagai “coordinator” dan “pengawas” terhadap
13
penyidik pegawai negeri sipil. Tambahan lagi, apa gunanya
pelimpahan hasil penyidikan pegawai negeri sipil melalui Polri jika
tidak berwenang memeriksa kekurangan yang terdapat
didalamnya? Cukup beralasan kalau begitu, penyidik Polri dapat
memeriksa, dan menyuruhlakukan tambahan penyidikan. Alasan
selanjutnya, berdasarkan Pasal 107 ayat (1), yang memberi
wewenang kepada penyidik Polri untuk memeriksa petunjuk
kepada penyidik pegawai negeri sipil. Wewenang yang seperti ini
perlu sama sekali dimiliki penyidik Polri, untuk menghindari
pengembalian berkas oleh penuntut umum berdasarkan Pasal 110
ayat (2), yakni penuntut umum dapat segera mengembalikan hasil
penyidikan kepada penyidik , apabila penyidikan dianggap “kurang
lengkap”.
e. Apabila penyidik pegawai negeri sipil mengehentikan penyidikan
yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentan
penyidikan itu harus “diberitahukan” kepada penyidik Polri dan
penuntut umum (Pasal 109 ayat (3)). Tentang masalah
pemberitahuan penghentian penyidikan oleh penyidik pegawai
negeri sipil, terdapat hal yang kurang sejalan dalam pemberitahuan
tindakan penyidikan yang dilakukannya. Pada pelaporan tindak
pidana yang sedang disidiknya, penyidik pegawai negeri sipil
cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada
13
Ibid. hlm. 113.
23
penyidik Polri, tidak perlu diberitahukan kepada penuntut umu.
Lain halnya pada penghentian penyidikan, di samping harus
diberitahukan oleh penyidik pegawai negeri sipil kepada penyidik
Polri, juga “langsung” memberitahukan penghentian kepada
penuntut umum14.
2. Pengertian Penyidik
Bahwa adapun yang menjadi defenisi dari penyidik sesuai ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mena
terletak di Pasal 1 angka 1 yaitu penyidik adalah pejabat polisi negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan15.
24
4) Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.17
BAB III
PEMBAHASAN
25
Dalam penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum sudah diatur
didalam ketentuan Hukum Acara Pidana. Kemudian tujuan pemeriksaan
penyidikan tindak pidana menyiapkan hasil pemeriksaan penyidikan sebagai
“berkas perkara” yang akan diserahkan penyidik kepada penuntut umum
sebagai instansi yang bertindak dan berwenang melakukan penuntutan
terhadap tindak pidana. Berkas hasil penyidikan itu yang dilimpahkan
penuntut umum kepada hakim di muka persidangan pengadilan. Oleh karena
itu, apabila penyidik berpendapat, pemeriksaan penyidikan telah selesai dan
sempurna, secepatnya mengirimkan berkas perkara hasil penyidikan kepada
penuntut umum. Akan tetapi, di dalam pengiriman berkas perkara, penyidik
diharuskan menyesuaikan pemberkasan perkara dengan ketentuan pasal
undang-undang yang menggariskan perbuatan berita acara pemeriksaan
penyidikan seperti yang ditentukan dalam Pasal 121 KUHAP.
Setelah penyidik berpendapat segala sesuatu pemeriksaan yang diperlukan
dianggap cukup, penyidik “atas kekuatan sumpah jabatan” segera membuat
berita acara dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal
121:
- Memberi tanggal pada berita acara,
- Membuat tindak pidana yang disangkakan dengan menyebut waktu,
tempat, dan keadaan sewaktu tindak pidana dilakukan.
- Nama dan tempat tinggal tersangka dan saksi-saksi,
- Keterangan mengenai tersangka dan saksi (umur, kebangsaan, agama, dan
lain-lain).
- Catatan mengenai akta dan atau benda,
- Serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian
perkara.
Demikian syarat pembuatan berita acara yang ditentukan dalam Pasal 121.
Akan tetapi, untuk lengkapnya berita acara dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 75. Hal ini berarti, setiap pemeriksaan yang berita acaranya telah dibuat
tersendiri dalam pemeriksaan penyidikan, dilampirkan dalam berita acara
penyidikan yang dibuat oleh penyidik. Dalam berita acara penyidikan harus
terlampir penyidik selama dalam pemeriksaan, sepanjang hal itu telah
26
diterangkannya dalam berita acara pemeriksaan. Jadi, dalam berita acara
penyidikan yang berupa berkas perkara hasil penyidikan, penyidik
melampirkan berita acara:
- Pemeriksaan tersangka
- Penangkapan (jika ada),
- Penahanan (jika ada),
- Penggeledahan (jika ada),
- Pemasukan rumah (jika ada),
- Penyitaan benda (jika ada),
- Pemeriksaan surat (jika ada), dan
- Pemeriksaan saksi (jika ada),
27
disbanding berkas perkara yang dibuat penyidik militer, kita merasa
kagum akan kerapian dan kesempurnaan penyususnan dan penjilidannya.
Sedemikian rapi, sehingga taka da kekhawatiran akan tercecer
lembarannya.
- Hendaknya berkas perkara memiliki daftar isi
Hal ini perlu sebagai dasar pengecekan isi dan halaman berkas, dan
sekaligus memudahkan mempelajari berkas serta memberi kecepatan
membalik dan mencari keterangan yang diperlukan dalam persidangan.
Dengan adanya daftar isi, akan diketahui apakah ada lembaran yang hilang
atau tercecer.
- Kemudian, alangkah baiknya jika dibuat suatu standar sistematika
penyusunan penjilidan berkas perkara.
Disusun sedemikian rupa, dimana letak susunan berita acara pemeriksaan
tersangka, saksi, keterangan ahli, surat bukti, berita acara penangkapan,
penahanan, penyitaan, dan seterusnya.
28
kepastian penyelesaian pemeriksaan penyidikan, sebab kemungkinan besar
hasil penyidikan yang diserahkan, dikembalikan oleh penuntut umum kepada
penyidik, dengan petunjuk agar penyidik melakukan “tambahan pemeriksaan
penyidikan”.
Dari itu, selama masih terbuka kemungkinan untuk mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik, hasil pemeriksaan penyidikan masih dianggap
“belum lengkap”, dan menganggap pemeriksaan penyidikan belum mencapai
titik penyelesaian. Itu sebabnya penyerahan berkas tahap pertama disebut
“prapenuntutan”. Jadi, penyerahan berkas perkara tahap pertama belum lagi
dapat diartikan sebagai realisasi taraf “penuntutan”.
Kapan pemerksaan penyidikan dianggap selesai menurut hukum ? Untuk
mengetahui secara jelas penyelesaian fungsi pemeriksaan penyidikan, mari
kita perhatikan ketentuan Pasal 110 dan pasal 138:
1. Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, “wajib” segera
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
Penyerahan nyata dan fisik berkas seperti ini baru tahap penyerahan
berkas saja, belum menghilangkan kemungkinan berkas dikembalikan
lagi oleh penuntut umum untuk melakukan tambahan pemeriksaan
penyidikan. Masih tebuka kemungkinan bagi penuntut umum
mempergunakan haknya seperti yang disebut pada Pasal 110 ayat (2):
“apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tertentu
ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi”.
2. Apabila penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan berkas perkara
untuk dilengkapi :
a. Penyidik “wajib” segera melakukan “penyidikan tambahan”.
Dalam tempo 14 hari sesudah penerimaan pengembalian berkas
perkara dari penuntut umum, penyidik harus menyelesaikan
pemeriksaan penyidikan tambahan dan mengembalikan berkas kepada
penuntut umum. Bagaimana jika batas waktu itu dilampaui penyidik?
Tidak ada sanksinya. Penuntut umum hanya bisa menegur atau
29
mengingatkan sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 138 ayat (2)
KUHAP.
b. Penyidikan tambahan harus dilakukan “sesuai” dengan petunjuk yang
digariskan penuntut umum.
Penuntut umum berhak mengembalikan berkas perkara hasil
penyidikan yang disampaikan atau diserahkan penyidik kepadanya.
Apabila penuntut umum berpendapat terdapat kekuranglengkapan
pada berkas perkara, berarti pengambilan tadi diajukan untuk
melakukan lagi “penyidikan tambahan”, dan penyidikan tambahan
yang harus dilakukan oleh penyidik disesuaikan dengan petunjuk yang
ditentukan penuntut umum. Bagaimana jika pengembalian berkas
perkara dilakukan penuntut umum tanpa memberi petunjuk tentang
hal-hal apa yang harus lagi ditambah penyidikannya? Keadaan seperti
ini jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan Pasal
138 ayat (2). Oleh karena itu, pengembalian dianggap “tidak sah
karena bertentangan dengan undang-undang, dan dengan demikian
dengan sendirinya penyidikan dianggap telah lengkap dan selesai.
c. Apabila dalam waktu tujuh hari setelah penerimaan berkas perkara,
penuntut umum telah menyampaikan pemberitahuan kepada penyidik,
bahwa hasil penyidikan yang terdapat dalam berkas sudah lengkap
(Pasal 138 ayat (1)). Atau sebaliknya, apabila dalam tempo tujuh hari
sesudah penerimaan berkas, penuntut umum menyampaikan
pemberitahuan kepada penyidik bahwa hasil penyidikan belum
lengkap, berarti penyidikan belum selesai, dan harus dilakukan
penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan penuntut
umum. Dan dalam tempo 14 hari terhitung sejak penerimaan
pengembalian berkas dari penuntut umum, penyidik harus
mengirimkan kembali berkas perkara beserta hasil penyidikan
tambahan kepada penuntut umum.
d. Atau penyidikan telah dianggap selesai: apabila dalam jangka waktu
sebelum lewat tempo 14 hari (misalnya pada hari ke-9 atau hari ke-
13), penuntut umum telah memberitahukan kepada penyidik bahwa
30
hasil penyidikan telah lengkap. Sebaliknya, apabila belum lewat
jangka waktu 14 hari dari tanggal penerimaan berkas perkara,
penuntut umum masih berhak lagi mengembalikan berkas perkara
kepada penyidik. Kaidah ini dapat dilihat secara a contrario dari
bunyi pasal 110 ayat (4) yaitu apabila sebelum batas waktu 14 hari
tersebut berakhir, telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari
penuntut umum kepada penyidik.
e. Penyidikan dengan sedirinya menurut hukum telah dianggap lengkap
dan selesai apabila tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan
berkas perkara, penuntut umum:
- Tidak ada menyampaikan pemberitahuan tentang
kekuranglengkapan hasil penyidikan,
- Atau selama jangka waktu empat belas hari tersebut penuntut
umum tidak ada mengembalikan berkas perkara kepada penyidik.
31
menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik, terhitung sejak tenggang waktu tersebut dengan
sendirinya menurut hukum:
Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara dari tangan penyidik
kepada tangan penuntut umum, meliputi: berkas perkaranya sendiri, tanggung
jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang
bukti atau benda sitaan. Akan tetapi perlu diperhatikan, penyerahan dan
peralihan itu titik beratnya adalah penyerahan dan peralihan tanggung jawab
secara fisik terhadap tersangka dan barang bukti. Oleh karena itu, apabila
disuatu daerah belum ada Rumah Tahanan Negara (Rutan) serta belum juga
mempunyai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, dan penuntut umum
sendiri tidak mempunyai ruang tahanan yang memadai serta gudang
penyimpanan barang bukti yang cukup, secara fisik biarlah tersangka dan
barang bukti tetap berada di tempat semula yang telah ditentukan penyidik.
Namun pengawasan dan tanggung jawab hukum sudah berada di tangan
penuntut umum. Kecuali mengenai barang bukti yang sederhana kecil seperti
pistol, pisau, ganja satu dos, dan sebagainya, dapat diserahkan secara
langsung kepada penuntut umum.
32
jenis perkara yang dapat “langsung” dilimpahkan penyidik kepada pengadilan
seperti perkara acara ringan dan perkara lalu lintas. Dalam kedua jenis
perkara ini, berkas perkara dan terdakwa serta saksi dan bukti, dapat langsung
dilimpahkan penyidik kepada pengadilan tanpa melalui penuntut umum, tapi
atas “kuasa penuntut umum”.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat secara rimci hal yang menyangkut
wewenang penyerahan berkas perkara dimaksud.
a. Penyerahan Berkas Perkara Acara Biasa
Berkas perkara yang akan diperiksa dengan acara biasa, seperti yang
diatur pada Bab XVI, Bagian Ketiga KUHAP, yang berhak menyerahkan
berkas perkaranya kepada penuntut umum:
- Penyidik sendiri, tidak dapat dilakukan oleh pejabat lain seperti
penyidik pembantu atau penyidik,
- Berkas perkara langsung diserahkan dan disampaikan kepada penuntut
umum,
- Penyerahan dilakukan dalam dua tahap (Pasal 110 dan Pasal 138
KUHAP)
b. Penyerahan Berkas Perkara Acara Singkat
Pemeriksaan perkara dengan acara singkat diatur dalam Bab XVI, Bagian
Kelima, Mulai dari Pasal 203 dan Pasal 204 yaitu perkara kejahatan atau
pelanggaran dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta
penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Penyerahan berkas
perkara yang akan diperiksa dengan acara singkat, dapat disampaikan
kepada penuntut umum oleh pejabat:
- Penyidik seperti yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) KUHAP, atau
- Oleh penyidik pembantu seperti yang ditegaskan dalam Pasal 12
KUHAP.
Kita lihat, dalam perkara yang pemeriksaannya dilakukan dengan
acara biasa, yang berwenang menyampaikan atau menyerahkan berkas
kepada penuntut umum hanya “pejabat penyidik”. Akan tetapi jenis
perkara dengan acara singkat singkat, di samping pejabat penyidik,
dapat juga dilakukan oleh “penyidik pembantu”. Wewenang ini
33
diberikan kepada penyidik pembantu, barangkali didasarkan sifat
perkara dalam acara pemeriksaan singkat, dianggap mudah dan
sederhana. Oleh karena itu, penyidik pembantu dianggap mampu
menangani dan melengkapi pemeriksaan penyidikannya.
c. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Tidak Berwenang Menyerahkan
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2), penyidik
pegawai negeri sipil ialah penyidik yang di dalam pelaksanaan fungsi
penyidikan yang dilakukannya sesuai dengan undang-undang yang
menjadi landasan hukum bagi wewenang mereka:
- Berada di bawah koordinasi pejabat penyidik Polri, dan
- Berada di bawah pengawasan pejabat penyidik Polri,
Bertitik tolak dari keadaan ini, Pasal 107 ayat (1) telah lanjut
menegaskan, untuk kepentingan penyidikan:
Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 107 ayat (1) dan
(2) diatas, Pasal 107 ayat (3) telah menegaskan, apabila penyidik
pegawai negeri sipil telah selesai memeriksa atau menyidik suatu
perkara:
34
Penyidik pegawai negeri sipil tidak berhak menyerahkan langsung hasil
penyelidikan kepada penuntut umum, tetapi harus “melalui” penyidik
Polri.
HARI/TANGGAL
NO KEGIATAN KEGIATAN
MAGANG
1 Kamis, 01/10/2020 Mengantar Surat Ke PN Pakam Bersama
Jaksa.
2 Senin, 05/10/2020 Mengantar berkas perpanjangan tahanan ke
seketaris.
3 Kamis, 07/10/2020 Foto copy berkas
4 Jumat, 08/10/2020 Mengetik berkas untuk berita acara
pemeriksaan (BAP).
5 Senin, 12/10/2020 - Mengetik berkas data mengenai kasus
narkotika untuk BAP.
- Mengetik judul besar untuk data kasus
tentang Bank Sumut.
6 Selasa, 14/10/2020 Mengetik hasil pemeriksaan Berita Acara
Pemeriksaan mengenai kasus tindak pidana
pencurian yang di sertai dengan pembantuan
tindak pidana.
7 Rabu, 15/10/2020 - Memanggil saksi Bank Sumut untuk
35
dimintai keterangan.
- Melakukan pemeriksaan kepada debitur
Bank Sumut untuk dimasukkan kedalam
Berita Acara Pemeriksaan.
8 Kamis, 16/10/2020 Melakukan pemeriksaan terhadap sanksi
Bank Sumut.
9 Jumat, 17/10/2020 Melakukan pemeriksaan terhadap saksi
Bank Sumut untuk BAP.
10 Senin, 20/10/2020 - Mengetik daftar nama-nama debitur
Bank Sumut.
- Melakukan permohonan terhadap berkas
Bank Sumut.
11 Selasa, 21/10/2020 Mengetik daftar nama dan nomor debitur
untuk kasus Bank Sumut.
12 Rabu, 22/10/2020 Mengetik serta memeriksa sanksi Bank
Sumut untuk dimasukkan ke Berita Acara
Pemeriksaan.
13 Kamis, 23/10/2020 - Mengetik/menghitung jumlah jenis
pinjaman pada kasus Bank Sumut.
- Melakukan pemeriksaan terhadap saksi
Bank Sumut.
14 Jumat, 24/10/2020 - Menulis daftar kegiatan kejaksaan.
- Mengetik BAP kasus Narkotika.
- Mengetik BAP lanjutan kasus Bank
Sumut.
15 Senin, 27/10/2020 Menyusun berkas
16 Selasa, 28/10/2020 Menyusun berkas
17 Rabu, 29/10/2020 Melakukan pemeriksaan terhadap saksi
Bank Sumut.
18 Senin, 02/11/2020 - Mengambil fotocopy berkas.
- Mengantar berkas ke seketaris.
19 Selasa, 03/11/2020 - Foto copy berkas.
- Menyusun berkas Bank Sumut.
- Mengantar berkas ke sekretaris.
20 Rabu, 04/11/2020 - Mencatat nama serta nomor surat.
- Menghadiri persidangan.
21 Kamis, 05/11/2020 - Menghadiri persidangan.
36
- Mengambil barang bukti.
- Mencatat nama serta nomor surat.
- Menghadiri acara kejaksaan.
22 Jumat, 06/11/2020 Menghitung data keseluruhan Bank Sumut.
23 Senin, 09/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
24 Selasa, 10/11/2020 Mengikuti persidangan di Pn Lubuk Pakam.
25 Rabu, 11/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
26 Kamis, 12/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
27 Jumat, 13/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
28 Senin, 16/11/2020 - Menjilid berkas di foto copy.
- Mengambil barang bukti.
- Mengantar berkas ke SIMKARI.
29 Selasa, 17/11/2020 - Menyusun berkas-berkas.
- Melihat persidangan.
30 Rabu, 18/11/2020 Menyusun berkas-berkas.
31 Kamis, 19/11/2020 Menjaga piket.
32 Jumat, 20/11/2020 Tidak ada kegiatan.
33 Senin, 23/11/2020 Mengantar berkas ke sekretaris.
34 Selasa, 24/11/2020 Mengikuti persidangan.
35 Rabu, 25/11/2020 Mengikuti persidangan
36 Kamis, 26/11/2020 Mengikuti persidangan
37 Jumat, 27/11/2020 Izin
38 Senin, 30/11/2020 Mengetik berkas pemeriksaan sidik jari.
37
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bahwa adapun kesimpulan yang dapat ditarik oleh pemagang dari materi
yang telah dianggakat sesuai penjelasan diatas yaitu sebagai berikut.
Tujuan pemeriksaan penyidikan tindak pidana menyiapkan hasil
pemeriksaan penyidikan sebagai berkas perkara yang akan diserahkan
penydik kepada penuntut umum sebagai instansi yang bertindak dan
berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana. Berkas hasil
penyidikan itu wajib hukumnya dilimpahkan ke penuntut umum agar
dikaji apakah berkas sudah benar atau tidak. Jikalau sudah benar berkas
perkara tersebut akan dinaikkan ke pengadilan oleh penuntut umum, akan
tetapi jika tidak lengkap atau masik ada kekurangan berkas tersebut akan
dikembalikan oleh penuntut umum dengan memberikan keterangan atau
alasan pengembalian berkas tersebut.
38
B. Saran
Adapun saran yang diberikan pemagang yaitu sebagai berikut:
1. Dalam hal pemberkasan oleh penyidik dari hasil penyelidikan harus
lah lengkap dan tidak ada kekurangan agar tidak memeriksa dua kali
dan proses penyelesaian perkara dapat cepat terselesaikan.
2. Bahwa penuntut umum pun dalam hal pemeriksaan berkas harus lah
teliti dan tidak salah dalam melakkukan pengkajian agar penyelidik
dari pihak Polri tidak berulang-ulang memeriksa berkas.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Pustaka
39