Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MUQARANAT AL-MAZHAHIB FI AL-JINAYAT

“Studi Komparatif Jarimah Perampokan”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah

Muqaranat al-Mazhahib fi al-Jinayat yang Diampu

Oleh: Husnul Khitam, Lc., M.H.

Disusun Oleh:

Moh. Rofqil Bazikh(201030600680

Ahmad Qusyairi(20103060071)

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2022

1|Jarimah Hirabah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR _______________________________________________ 4

PENDAHULUAN __________________________________________________ 5
a. Latar Belakang _______________________________________________ 5

b. Rumusan Masalah ____________________________________________ 6

c. Tujuan _____________________________________________________ 6

PEMBAHASAN ___________________________________________________ 7
a. Definisi Perampokan(Hirābah) __________________________________ 7

b. Unsur dan Model Hirābah ______________________________________ 9

c. Landasan Teologis Jarimah Hirābah _____________________________ 10

d. Sanksi Jarimah Hirābah Perspektif Lintas Mazhab __________________ 11

PENUTUP _______________________________________________________ 14
a. Kesimpulan ________________________________________________ 14

2|Jarimah Hirabah
3|Jarimah Hirabah
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan semesta yang telah memberi kami

kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tanpa kekuatan dan

pertolongan-Nya, niscaya kami tidak bisa apa-apa. Sebagai hamba yang daif

dan selalu memohon tolong, tentu menyelesaikan makalah ini adalah nikmat

yang luar biasa.

Kedua, selawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi

Muhammad Saw. Beliau yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah

menuju zaman yang ilmiah. Di zaman sekarang pula, kita bebas berekspresi

bagaimanapun, salah satunya dengan menulis makalah ini. Semoga syafaat

serta wasilahnya di hari akhir dapat menolong kami di padang kesulitan.

Terakhir, tentu tidak pernah lupa, terimakasih banyak kepada dosen

pengampu mata kuliah Muqaranat al-Mazhahib Fi al-Jinayat, bapak Husnul

Khitam, Lc., M.H. Kami mengucapkan banyak terimakasih atas segala

bimbingannya di kelas. Rasa-rasanya tidak ada kata yang pantas yang bisa

menggambarkan bimbingannya selama proses belajar.

Akhirnya, kami mengucapkan selamat membaca makalah yang

terdapat banyak celah di tiap sisinya. Kami paham dan memang meyakini

bahwa makalah ini perlu terus-menerus direvisi. Penulisan makalah adalah

sebuah proses tambal-sulam menuju (hampir) sempurna. Selama membaca

dan terimakasih!

Yogyakarta, 7 Juni 2022

4|Jarimah Hirabah
PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Islam sebagai agama mau tidak mau memang mengatur segala

kehidupan. Apalagi hukum Islam yang selama ini kita kenal sebagai fikih

memang selaly berkaitan dengan perbuatan manusia(amal al-mukallaf).

Dengan itu pula dapat diambil kesimpulan bahwa sejatinya Islam dengan

perangkat hukumnya mengatur sebagai tindak tanduk manusia. Mulai dari

ibadah, muamalah hingga pidana.

Pada ranah yang terakhir tersebut(pidana) terdapat banyak subbab

pembahasan. Sedikitnya ada sepuluh jarimah yang dibahas. mulai jarimah

pembunuhan, penganiayaan, minum khamar, murtad, zina, menuduh zina,

pencurian, perampokan, pemberontakan, hingga jarimah takzir. Dalam

pembahasan makalah ini hanya akan membahas tentang jarimah

perampokan.

Di sini akan dilihat bagaimana perampokan itu dan perspektif hukum

pidana Islam terhadapnya. Kemudian dibahas kembali hukuman yang sesuai

dengan apa yang dikandung oleh nas-nas—mulai Al-Qur’an hingga sunah.

Tidak hanya itu, juga akan dibahas terkait dengan

perbandingan(muqaranah) pendapat lintas mazhab. Ada sekian ragam

pendapat(perdebatan bahkan) terkait dengan jarimah perampokan beserta

implikasi hukumnya.

Kesemuanya menarik untuk dibahas satu persatu sejak dari definisi,

konsep, hingga unsur-unsur penting di dalam perampokan itu. Musabab

5|Jarimah Hirabah
perampokan tidak seperti pencurian biasa, ada beberapa unsur di dalamnya

yang tidak terdapat di dalam pencurian, semisal, intimidasi korban dan lain

semacamnya. Akhirnya, makalah ini difokuskan untuk mengkaji beberapa

dan tidak keseluruhan dari jarimah perampokan secara komprehenshif.

Urgensi dari penulisannya karena dinilai pentingnya melihat kembali

bagaimana konsep hukum pidana Islam terkait dengan perampokan. Kendati

begitu, di sini tidak akan melihat dari aspek hukum positif Indonesia

terhadap perampokan tersebut. Fokus pembahasannya hanya mengarah pada

beberapa poin yang dinilai penting dalam jarimah perampokan.

b. Rumusan Masalah

1. Apa definisi jarimah perampokan(hirābah)?

2. Apa saja unsur-unsur yang harus terdapat jarimah hirābah beserta

modelnya?

3. Apa landasan teologis dari jarimah hirābah?

4. Bagaimana sanksi dari jarimah hirābah perspektif lintas mazhab?

c. Tujuan

1. Untuk mengetahui perbandingan pendapat terkait dengan jarimah

perampokan.

2. Untuk memahami secara umum hukum pidana Islam

3. Untuk mengetahui secara sepintas pandangan lintas mazhab terkait

sanksi dari jarimah hirābah.

6|Jarimah Hirabah
PEMBAHASAN

a. Definisi Perampokan(Hirābah)

Secara etimologis hirabah(perampokan) merupakan derivasi dari

kata hāraba yang berarti memerangi. Rasyid Rida di dalam al-Manār

menyatakan bahwa hirabah berasal dari kata haraba dengan arti menyerang

atau menyambar harta. Sepintas jika dilihat dari etimologis memang tidak

terdapat perbedaan antara perampokan(hirābah) dengan pencurian(sariqah).

Tetapi secara terminology(peristilahan) kedua hal tersebut berbeda secara

substansial dan konsep.

Selain definisi tersebut hirabah juga bisa diartika sebagai qat’u

thariq atau memotong jalan. Mengapa memotong jalan? Sebab orang yang

merampok mencegah atau menjegal orang yang lewat di jalan umum yang

dilalui, baik itu hanya mencegah dan mengintimidasi, hingga mengambil

harta dari orang yang lewat. Namun bagaimana pandangan ulama mazhab

terkait dengan perampokan atau definisi dari perampokan tersebut?

Ulama Syafi’iyah memberikan pendapat bahwa hirābah adalah

keluar untuk mengambil harta atau menakut-nakuti hingga membunuh

dengan menggunakan kekuatan pedang. Kekuatan pedang di sini bukan

berarti dalam jarimah perampokan harus terdapat pedang agar hal tersebu

bisa dijustifikasi hirābah.1 Pedang dalam pandangan Syafi’iyah tersebut

adalah kekuatan(power) untuk menakut-nakuti dan mengintimidasi.

1
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, (Beirut: Muassah ar-Risalah, 2000),
hlm. 638.

7|Jarimah Hirabah
Sehingga kendati bukan pedang yang digunakan untuk mengintimidasi,

seperti pukulan atau bogem mentah, tetap dijustifikasi jarimah hirābah.

Seterusnya, mengutip pendapat kalangan Hanafiyah, Abu Zahrah

mengemukakan bahwa ulama kalangan Hanafiyah memberi definisi terkait

dengan hirābah ini sebagai keluar untuk menyerang dan merampas harta

benda yang dibawa oleh para pengguna jalan dengan cara paksa. Sehingga

mereka merasa terganggu dan terhalang-halangi. Tidak jauh berbeda dengan

kalangan Syafi’iyah maka hirābah juga dipandangan sebagai qat’u thariq.

Imam Malik memberikan definisi bahwa perampok adalah orang

yang merampas harta, bahkan membunuh, namun bukan karena dendam

pribadi, permusuhan, dan lain semacamnya. Hal tersebut hanyalah sebuah

dorongan atau hasrat dari sang perampok untuk melakukan demikian. Atau

bahkan latar belakangnya bisa karena keinginan untuk mengambil harta

saja.

Abdul Qadir Audah akan dijadikan pamungkas dari definisi terkait

hirābah ini. Menurutnya, hirābah adalah pencurian besar. Namun ia

memberikan titik diferensial antara perampokan dengan pencurian, kendati

perampokan dimasukkan ke dalam pencurian besar. Bagi Abdul Qadir

Audah, pencurian mengambil harta secara sembunyi-sembunyi dan relatif

tidak diketahui pemiliknya. Sedangkan perampokan, mengambil harta

secara terang-terangan dan mengandung unsur pemaksaan serta intimidasi.

Jelaslah pengertian dari jarimah hirābah atau perampokan di atas.

8|Jarimah Hirabah
Selanjutnya masuk kepada unsur dalam jarimah

perampokan(hirābah).

b. Unsur dan Model Hirābah

Sebagaimana definisi yang telah dikemukakan di atas, baik secara

etimologis maupun secara terminologis, terdapat beberapa unsur yang harus

dan niscaya adalah di dalam tindak pidana perampokan. Pertama, ada unsur

dari perampok untuk mengganggu dan menghalangi orang yang sedang

berjalan. Dengan bahasa yang berbeda, harus terdapat intimidasi dari orang

yang hendak merampok. Jika tidak terdapat poin pemaksaan atau

pengambilan secara terang-terangan, maka hal tersebut dimasukkan ke

dalam pencurian.

Inilah unsur yang harus ada di dalam jarimah perampokann yang

sekaligus juga menjadi titik pembeda antara perampokan dengan pencurian.

Dari intimidasi ini juga nanti akan melahirkan model dari jarimah

perampokan. Sedikitnya ada empat model dari jarimah perampokan

tersebut, sebagaimana berikut:

1. Seseorang yang hanya melakukan intimidasi untuk mengambil

harta, tetapi pada saat yang sama hartanya juga tidak diambil.

Hampir serupa dengan orang yang hanya mencoba melakukan

perampoka, namun ia tetap dijustifikasi melakukan tindak

kejahatan hirābah.

9|Jarimah Hirabah
2. Seseorang yang mengambil harta dengan intimidasi dan

kekerasan, namun hanya mengambil hartanya dan tidak

membunuh.

3. Seseorang yang hendak mengambil harta dengan cara intimidasi

namun pada saat yang sama ia membunuh, hanya saja ketika

sudah terbunuh hartanya justru tidak diambil.

4. Seseorang yang mengambil harta dengan cara kekerasan dan

intimidasi kemudian mengambil hartanya hingga membunuh

korbannya. Inilah model jarimah perampokan paling kejam.

Sebelum terlampau jauh masuk terhadap sanksi dari tindak pidana

perampokan tersbut. Alangkah menarik dan mesti untuk membahas apa

landasan teologis dari hal itu. Di dalam hukum Islam, tidak ada sebuah

hukum kecuali terdapat landasan, baik itu nas Al-Qur’an maupun sunah.

c. Landasan Teologis Jarimah Hirābah

Landasan teologis atau nas syariat yang dianggap sebagai legitimasi

dari jarimah perampokan tersebut adalah Al-Maidah[5]:33-34. Kami hanya

akan memberikan terjemahan untuk memudahkan pembaca dalam

memahami dan mengaitkan nantinya pada sanksi-sanksi yang juga

berlandas pada ayat tersebut.

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasulnya

dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh atau disalib

atau dipotong tangan dan kakinya secara silang atau diasingkan

dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan besar bagi

10 | J a r i m a h H i r a b a h
mereka di dunia dan di akhirat mereka akan mendapat azab yang

besar(33)

Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai

mereka; maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha

Penyayang(34).”

Dari landasan Al-Maidah[5]:33-34 inilah nantinya juga terdapat

perbedaan atau ikhtilaf di kalangan fuqaha terkait dengan sanksi bagi orang

yang melakukan perampokan. Kita akan melihat bagaimana sanksi dari

jarimah hirābah perspektif lintas mazhab. Perbedaan terkait dengan sanksi

dari jarimah perampokan tersebut dipicu atas penfasiran(interpretasi) dan

ijtihad terhadap Al-Maidah[5]:33-34 tersebut.

d. Sanksi Jarimah Hirābah Perspektif Lintas Mazhab

Sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Maidah[5]:33-34, maka

terdapat empat macam sanksi yang berlaku bagi orang yang melakukan

jarimah perampokan. Dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara

silang, hingga diasingkan dari tempat tinggalnya. Semua ulama sepakat

bahwa keempat hal ini merupakan sanksi dari jarimah perampokan. Namun,

terdapat perbedaan di dalam ranah praksis dari keempat sanksi tersebut.

Apakah ia diterapkan semuanya secara proporsional sesuai dengan tingkatan

atau model perampokannya atau boleh dipilih salah satu.

Seminimnya ada dua pendapat terkait dengan hal ini, apakah

sanksinya dapat dipilih atau disesuaikan dengan kadar dan model

hirābahnya. Imam Malik memberikan pendapat bahwa Imam atau penguasa

11 | J a r i m a h H i r a b a h
yang menentukan hukuman dari keempat hal tersebut. Kecuali jika yang

merampok itu membunuh, maka wajib bagi penguasa untuk menjatuhkan

hukuman bunuh.2 Kendati berpendapat demikian, sejatinya Imam Malik

juga memberikan rincian terkait dengan model hirābah yang sanksinya

dapat dipilih. Jika pelaku mengambil harta dan tidak membunuh, maka opsi

hukumannya hanya tiga: bunuh, salib, potong tangan dan kaki secara silang.

Namun, jika pelaku hanya menakut-nakuti dan mengintimidasi, maka

keempat sanksi tersebut adalah opsi.

Kritik terhadap pendapat ini sejatinya anggapan bahwa jika terjadi

pemilihan(tahyir) dari sanksi tersebut, maka membuka peluang adanya

kemungkinan tidak proporsional dan sesuai dengan tindak kejahatannya.

Nantinya dikhawatirkan, tindak pidan ringan justru dijatuhi hukuman yang

berat. Silang pendapat dari itu, as-Syafi’i, Abu Hanifah, dan sebagian besar

Ulama memberikan pandangan bahwa sanksi tersebut harus proporsional

sesuai kadar kejahatan atau hirābah.

Kemudian pendapat ulama golongan kedua ini memberikan

perinciannya sebagai berikut:

a. Orang yang membunuh sanksinya dibunuh.

b. Orang yang hanya mengambil harta sanksinya dipotong tangan

dan kaki secara silang.

c. Orang yang tidak membunuh dan tidak merampas harta, hanya

menakut-nakuti saja, maka ia diasingkan dari kediamannya.

2
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Dar al-Fikr, tanpa tahun),
hlm. 341.

12 | J a r i m a h H i r a b a h
d. Jika lalu kemudian mengambil harta dan membunuh korban,

maka sanksinya adalah dibunuh dan disalib.

Dari kedua pendapat ini jelas, bagaimana pendapat lintas mazhab

terkait dengan sanksi dari jarimah hirābah itu. Yang menjadi persoalan

selanjutnya dari mana perbedaan pendapat itu berasal? Sebagaimana di

ungkapkan di atas, perbedaan pendapat itu berasal dari pembacaan dan

penafsiran yang berbeda terkait dengan nas Al-Maidah[5]:33-34.

Hal terebut sejatinya dipicu oleh persoalan terkait dengan lafaz

aw(atau) yang menjadi konjungi dari empat hukuman di atas. Pendapat

Ulama yang pertama yang mengatakan bahwa dari keempat sanksi itu

dipilih bersandar pada argument bahwa lafaz aw pada ayat tersebut

menunjukkan li at-takhyir bukan li al-bayan. Jadi Imam malik memilih

klaim bahwa lafaz aw di situ untuk menentukan pilihan(takhyir).

Berbeda dengan pendapat tersebut, pendapat Ulama yang

mengatakan bahwa keempat sanksi harus diterapkan secara proporsional

sesuai kadar dan model hirābahnya berpendapat bahwa lafaz aw di situ

merupakan penjelasan(li al-bayan) dan juga rincian(li at-tafshil). Dan

bahwa dari keempat hukuman tersebut sudah rinci dan sesuai dengan kadar

perampokannya.

Jadi jelas, bagaimana perbedaan pandangan di dari lintas mazhab

terkait dengan jarimah hirābah ini. Tidak hanya sampai di situ, melainkan

juga dengan alasan dan latar belakang dari perbedaan pendapat itu.

13 | J a r i m a h H i r a b a h
PENUTUP

a. Kesimpulan

Terdapat beberapa pandangan hukum Islam terkait dengan jarimah

hirābah, mulai dari definisi hingga model serta penerapan sanksi. Meski

terdapat perbedaan terkait dengan definisi yang dikemukakan oleh para

ulama, namun dapat ditarik pada satu kesimpulan yang sama. Sementara

landasan teologis atau nas yang menjadi pijak hukum tersebut tidak lain

adalah Al-Maidah[5]:33-34.

Pada intinya, perbedaan pendapat terkait dengan hukuman bagi

perampok bersandar pada ayat itu. secara spesifik bersandar pada penilaian

apakah konjungsi aw dimasukkan sebagai li al-bayan wa al-tafshil(penjelas

dan perinci) atau li al-takhyir(opsional). Dari dua penilai terhadap konjungsi

aw ini melahirkan perbedaan hukum.

Pendapat pertama mengatakan bahwa hukumannya opsional dan

dipilih oleh pemimpina. Sementara pendapat yang kedua menyanggah

dengan mengatakan bahwa hukumannya harus proporsional sesuai dengan

kadar kejahatannya. Sebab, jika tidak begitu atau jika dipilih dan

hukumannya opsinal, dimungkinkan adanya ketidakadilan. Dengan kata lain

terdapat model hirābah yang sebetulnya ringan, namun dihukum berat,

begitu juga sebaliknya.

14 | J a r i m a h H i r a b a h
DAFTAR PUSTAKA

Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami. Beirut: Muassah ar-


Risalah.

Irfan, Nurul & Masyarofah. 2013. Fiqh Jinayat. Jakarta: Imprint Bumi
Aksara.

Marsaid. 2020. Al-Fiqh Al-Jinayah. Palembang: Amanah.

Mubarok, Nafi’. 2015. Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Nasional


dan Fiqh Jinayah. Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum
Islam, 18(2), 296-323.

Rusyd, Ibn. Tanpa Tahun. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid.


Tanpa Kota: Dar al-Fikr.

15 | J a r i m a h H i r a b a h

Anda mungkin juga menyukai