Anda di halaman 1dari 6

Islam dan ketatanegaraan modern

Diskusi panjang dan perdebatan tajam tentang Islam dan negara dikalangan
para pakar pemikiran Islam telah bergulir lama di negeri ini jauh sebelum kemerdekaan.
Bahkan perbedaan persepsi tentang Konsepsi Islam dan kenegaraan dan kemungkinan
menuangkan materi muatan Syariat Islam dalam konstitusi Indonesia tidak hanya
berhenti pada tataran teoritis konsepsional, tetapi juga telah memasuki tataran politik
praktis.
Secara formal perjuangan memasukkan syariat Islam dalam konstitusi diawali
lewat persidangan BPUPKI antara bulan Mei, Juni dan Juli 1945 yang terulang kembali
dalam sidang-sidang konstituante 1956-1959. Perjuangan yang ditempuh secara formal
lewat persidangan BPUPKI dan Konstituante telah memunculkan persaingan antara
gagasan negara Islam di satu pihak dan negara nasional berdasarkan Pancasila di lain
pihak.
Terakhir Sidang Umum Tahunan (SUT) MPR bulan Agustus 2000 beberapa
waktu yang lalu kembali bergetar ketika fraksi PBB dan PPP kembali menggugat sejarah
tentang hilangnya 7 patah kata Piagam Jakarta dan mengamandemen Pasal 29 (1)
UUD 1945 agar formulasinya menjadi “Negara berdasarkan ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
A
pa yang diperjuangkan oleh Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dalam forum Sidang Tahunan MPR tersebut dari sudut pandang
Hukum Tata Negara adalah sah dan konstitusional.
Sikap politi
k fraksi PBB dan PPP dalam forum MPR tersebut adalah cermin dari sikap politik ummat
Islam yang diwakilinya diluar parlemen. Karena itu tidaklah berkelebihan apabila kita
katakan bahwa dewasa ini dalam kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia kita
menyaksikan kebangkitan ummat Islam yang berkeinginan besar untuk menetapkan
kembali identitas mereka secara konstitusional dalam bidang ketatanegaraan dan
pemerintahan sesuai dengan konsep dan contoh yang diberikan oleh Islam.

II

Sebelum dibahas mengenai artikulasi syariat Islam dalam konstitusi Indonesia, perlu
dipahami lebih dahulu bahwa dalam khasanah ilmu ketatanegaraan konsep negara adalah konsep
modern yang pada umumnya di yakini konsep tersebut berasal dari konsepsi pemikiran dunia
barat.
Ada beberapa ciri khas sistem ketatanegaraan modern dan ciri-ciri khas itu
dituangkan dalam suatu konstitusi. Dengan demikian dalam tata hukum suatu negara
modern tersimpul satu bagian yang secara khusus mengatur organisasi kenegaraan,
bagian ini disebut konstitusi.
Di dalam teori-teori ketatanegaraan dikemukakan bahwa dalam suatu konstitusi
tidak dapat tidak harus memuat sekurang-kurangnya tiga macam materi muatan pokok
yang mendasar yaitu1) :
1. Jaminan Hak-hak Asasi Manusia
2. Susunan Ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
3. Pembagian dan pembatasan kekuasaan.
Dalam sistem demokrasi yang berdasarkan atas hukum (Constitutional Democracy)
ketiga materi muatan konstitusi itu menjadi desain utama dalam pengaturan kehidupan
ketatanegaraan di dalam suatu negara, yang secara keseluruhannya membentuk suatu
kesatuan sistem hubungan antara rakyat di satu pihak dan penguasa di lain p
Dalam definisi di atas, pengertian konstitusi dapat dirumuskan sebagai suatu kerangka
negara yang terorganisir dengandan melalui hukum, dalam hal mana hukum
menetapkan :
1. Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang permanen
2. Fungsi dari alat-alat kelengkapan negara
3. Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.
Dari apa yang dikemukakan oleh CF. Strong, maka dapat disimpulkan bahwa posisi
atau kedudukan konstitusi adalah dimaksudkan untuk membatasi wewenang pemerintah
dan penguasa, mengatur jalannya pemerintahan dan menjamin hak-hak rakyat.
Karena itu dalam ajaran ilmu hukum sebuah konstitusi di pandang sebagai
perjanjian masyarakat yang berisikan bahwa masyarakat atau warga negara
menentukan arah penguasa. Apabila pandangan hukum tentang konstitusi sebagaimana
dikemukakan tersebut, maka dalam sebuah masyarakat modern tidak dapat tidak warga
masyarakat yang tergabung dalam partai politik menentukan kebijaksanaan yang
diambil oleh penguasa melalui Badan Perwakilan Rakyat.
Sehubungan dengan itu konstitusi jaman modern tidak hanya memuat aturan
hukum, melainkan juga memformulasikan prinsip-prinsip hukum, haluan negara dan
patokan kebijaksanaan yang semuanya bermuara pada hak-hak dan kepentingan
rakyat.
Karena itu tidak ada alasan menafikan perjuangan sekelompok masyarakat
untuk memformulasikan hak-haknya dalam konstitusi. Selagi perjuangan tersebut
ditempuh pula lewat saluran yang konstitusional, misalnya perjuangan umat Islam lewat
partai politik Islam di Indonesia memasukkan Syariat Islam dalam Undang-Undang
Dasar melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dewasa ini, maupun melalui
konstituante sekitar tahun 1955 s/d tahun 1959, dan juga lewat BPUPKI pada saat-saat
menjelang kemerdekaan.

II

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, maka pertanyaan yang perlu dikemukakan
adalah apakah Islam mempunyai konsep atau prinsip-prinsip tentang konstitusi modern
yang mengandung dan menjamin hak-hak asasi manusia.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut sebagai contoh perlu dikemukakan
tentang Islam dan ketatanegaraan modern dengan memperlihatkan formulasi konstitusi
Medinah sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia layaknya konstitusi modern.
Konstitusi Medinah telah terlebih dahulu dikenal sebagai usaha civilize bangsa
manapun; American Declaration of Independence (1776), French Revolution (1778), dan
Declaration of Human Rights of the UNO (1948).
Untuk pertama kalinya dalam konstitusi Medinah disebutkan dasar-dasar
masyarakat partisipatif dan egaliter. Ciri utamanya, pengakuan terhadap hak-hak
asasi manusia tanpa diskriminasi baik Muslim, Yahudi maupun Nasrani.
Jika kita mengkaji muatan materi konstitusi Medinah secara mendalam, kita akan
mendapat gambaran tentang karakteristik masyarakat (Ummah) dan negara Islam
pada masa-masa awal kelahiran dan perkembangannya :
1. Masyarakat pendukung piagam ini adalah masyarakat majemuk, terdiri atas berbagai
suku dan agama. Konstitusi Medinah secara tegas mengakui eksistensi suku bangsa
dan agama dan memelihara unsur solidaritasnya. Konstitusi Medinah menggariskan
kesetiaan kepada masyarakat yang lebih luas lebih penting daripada kesetiaan yang
sempit kepada suku, dengan mengalihkan perhatian suku-suku itu pada
pembangunan negara, yang warganegaranya bebas dan merdeka dari pengaruh dan
kekuasaan manusia lainnya (Pasal 1). Adapun tali persatuannya adalah politik dalam
rangka mencapai cita-cita bersama. (Pasal 17, 23 dan 42). Bandingkan dengan Pasal
1(1) UUD 1945 dan alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 "cita-cita nasional adalah
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur".
2. Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama, wajib saling menghormati
dan wajib kerjasama antara sesama mereka, serta tidak seorang pun yang diperlakukan
secara buruk (pasal 12,
16). Bahkan orang yang lemah di antara mereka harus dilindungi dan dibantu (pasal 11).
bandingkan dengan UUD 1945 pasal 27 (1) "semua warga negara mempunyai
kedudukan yang sama". Dan Pasal 34 UUD 1945 yang menegaskan "Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".
3. Negara mengakui, melindungi dan mejamin kebebasan menjalankan ibadah dan
agama baik bagi orang-orang muslim maupun non muslim (Pasal 25-33). Bandingkan
dengan pasal 29(2) UUD 1945 "negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaan itu ?"
4. Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum (pasal 34,
40). Bandingkan dengan pasal 27 UUD 1945 "Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum ....."
5. Hukum adat (kelaziman mereka pada masa lalu),dengan berpedoman pada kebenaran
dan keadilan, tetap diberlakukan (pasal 2, 10 dan 21). Bandingkan dengan UUD 1945
pasal 18 tentang pemerintahan daerah" ...... dengan memandang dan mengikuti hak-
hak asal-usul dalam daerah-daerah ....". Dan pasal 32 UUD 1945 "pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia". Penjelasan pasal 32 UUD 1945" ....
Kebudayaan lama dan asli yang terdapat di daerah-daerah diseluruh Indonesia
terhitung sebagai kebudayaan bangsa".
6. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara.
Mereka berkewajiban membela dan mempertahankan negara dengan harta, jiwa
mereka dan mengusir setiap agresor yang mengganggu stabilitas negara (Pasal
24,36,37,38). Bandingkan dengan UUD 1945 pasal 30 ayat 1 "tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara"
7. Sistem pemerintahan adalah desentralisasi, dengan Medinah sebagai pusatnya (pasal
39). Bandingkan dengan UUD 1945 pasal 18 "Pembagian daerah Indonesia atas
daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
undang-undang ....".
Dari apa yang dikemukakan di atas sebagai kajian terhadap beberapa pasal dari 47
pasal konstitusi Madinah terlihatlah beberapa gambaran tentang prinsip-prinsip
negara modern pada masa awal kelahirannya dengan Nabi sebagai Kepala Negara,
yang warganya terdiri dari berbagai macam aliran, golongan, keturunan, budaya,
maupun agama yang dianutnya.
Menurut A. Shiddiqi3), lewat konstitusi Madinah Nabi telah membina watak
masyarakat dengan ciri sbb:
1. Berpegang pada prinsip kemerdekaan berpendapat
2. Menyerahkan urusan kemasyarakatan (duniawi) kepada ummat sendiri pada hal-hal
yang berkaitan dengan perincian pelaksanaan kehidupan masyarakat yang tidak
termasuk masalah yang bersifat 'ubudiyah'.
Dengan demikian konstitusi Madinah telah mendahului konstitusi-konstitusi
lainnya di dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia
khususnya hak-hak asasi di bidang politik yang merupakan prinsip utama dalam
sistem ketatanegaraan modern.
Tentang bagaimana konsepsi Islam mengenai hak-hak politik rakyat, Abdul
Karim Zaidan4), menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hak politik adalah hak-hak
yang dinikmati oleh setiap rakyat sebagai anggota dalam suatu lembaga politik, seperti
hak memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki jabatan-jabatan politik
dan hak memegang jabatan-jabatan umum dalam negara atau hak-hak yang
menjadikan seseorang ikut serta dalam mengatur kepentingan negara dan
pemerintahan. Maka menurutnya hak-hak politik yang diakui di dalam syari'at Islam
adalah antara lain seperti:
1. Hak memilih; setiap warga negara memiliki hak memilih kepala negara. Siapa saja
yang mereka pilih untuk jabatan ini, maka menurut Syara' dia adalah kepala negara
yang sah. Ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah; Imamah-yaitu kepemimpinan negara
dikukuhkan melalui bai'at (prasetia) semua orang (baginya), bukan dengan penunjukan
pendahulunya". Jadi kepala negara adalah seseorang yang dipilih dan disetujui oleh
rakyat dan kekuasaanya berasal dari kerelaan dan pemilihan ini. Hak memilih kepala
negara ini berdasarkan prinsip musyawarah yang telah ditetapkan syari'at dan
prinsip tanggungjawab masyarakat (jamaah) dalam melaksanakan hukum syara' dan
mengelola urusan mereka sesuai dengan hukum ini. Prinsip musyawarah merupakan
prinsip yang telah disebutkan Al-quran, Allah berfirman: Artinya "Urusan mereka
dimusyawarahkan diantara mereka" (Syura, ayat 38)
2. Hak kontrol rakyat (pengawasan); umat atau rakyat memiliki hak mengawasi kepala
negara dan seluruh pejabat dalam semua pekerjaan dan tingkah laku mereka yang
menyangkut urusan negara. Umat atau rakyat mendapat hak ini karena hubungannya
dengan kepala negara sangaterat, yaitu hubungan wakil dengan orang yang diwakilkan.
Hak pengawasan ini dimaksudkan untuk meluruskan kepala negara jika ia
menyimpang dari jalan yang lurus jalan Islam dalam memerintah. Dalam kaitan dengan
hak kontrol (pengawasan), Nabi bersabda, "agama itu nasehat, kami berkata : untuk
siapa ? Nabi berkata: untuk Allah, KitabNya, Rasulnya, bagi para pemimpin umat islam
dan orang awam."
Hak umat atau rakyat untuk mengontrol kepala negara dan semua penguasa sangat
dipelihara pada masa awal Islam. Kebanyakan, para kepala negara meminta umat
untuk mengawasi dan mengevaluasi mereka.

IV

Dari apa yang dikemukakan di atas tulisan ini mencoba mengetengahkan


artikulasi Syari’atau Islam dalam konstitusi Indonesia. Untuk membahas masalah
tersebut penulis akan mempergunakan pendekatan historis, yakni pendekatan yang
sedikit tidaknya harus menyentuh peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan
proses pembicaraan tentang Dasar Negara dan
Undang-Undang Dasar Negara yang berlangsung sekitar bulan Mei, Juni, Juli dan
Agustus Tahun 1945 oleh para negarawan-negarawan pemimpin bangsa yang
tergabung dalam BPUPKI dan PPKI. Dan selanjutnya ditambah debat dalam
konstituante antara dua kubu, yakni kubu Islam dan kubu nasionalis tentang bentuk
negara dan dasar-dasarnya yang akan dituangkan dalam konstitusi.
Tulisan ini tidak akan menguraikan secara panjang lebar tentang debat
mengenai dasar negara dan undang-undang dasar negara (konstitusi) baik yang muncul
dalam persidangan BPUPKI maupun persidangan konstituante antara kubu Islam dan
kubu nasionalis.
Sebagaimana kita ketahui negarawan-negarawan yang menjadi anggota
BPUPKI dan PPKI baik dari Golongan Islam maupun Nasionalis pada akhirnya
bersepakat untk menerima Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai
konstitusi negara.
Di dalam persidangan konstituante pihak Islam (Masyumi, NU, PSII, dll)
mendasar sikap, bahwa mengajukan dasar lain selain Pancasila mengenai dasar negara
boleh-boleh saja dan itu dibenarkan oleh UUD sementara 1950 sebagai aturan bermain
berbangsa dan bernegara diwaktu itu.
Sedangkan blok lain yakni pihak nasionalis (PNI, PSI, Murba dll) tetap
menginginkan dasar negara Pancasila tercantum dalam konstitusi. Di tengah-tengah
perdebatan seru yang masing-masing pihak tidak mencapai quorum 2/3 suara untuk
menentukan dasar-dasar negara, muncullah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang
menyatakan “Kembali ke UUD 1945” ……. dan kedua belah pihak setuju.
Seharusnya, sesudah kedua persitiwa bersejarah ini dapat mencapai konsensus
nasional, sebaiknya kita tidak mempersoalkan upaya mencari alternatif lain tentang
format ketatanegaraan Indonesia yakni, Pancasila yang tercantum dalam konstitusi
Indonesia (Pembukaan UUD 1945). Dan ternyata kesepakatan politik yang muncul
dewasa ini di MPR dalam rangka amandemen UUD 1945, adalah tidak akan merubah
Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat Dasar Negara Pancasila. Disamping
itu kesepakatan politik lainnya di MPR dalam rangka perubahan UUD 1945 adalah tidak
akan merubah sistem negara kesatuan dan sistem Presidensial.
Namun begitu sebagai wacana, pembicaraan tentang masalah
kenegaraan dari pandangan Islam merupakan suatu keharusan, toh tidak perlu identik
dengan usaha-usaha ngotot mendirikan Negara Islam, sehingga dapat mengancam
eksistensi atau keutuhanNegara Republik Indonesia yang adanya pun sejak awal sudah
didukung oleh para Pemimpin Islam.
Masalah kenegaraan atau konstitusi termasuk masalah duniawi, yang
penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Nabi Muhammad SAW
pernah mengatakan : “Kalian lebih tahu mengenai urusan dunia”. Negara Republik
Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan Pancasila
sebagai Dasar Negara, sebenarnya sudah klop dan tidak bertentangan dengan ide
negara Islam itu sendiri.
Dalam hal ini kita tidak terpaku kepada istilah atau nama yang mengatakan,
hanya satu saja bentuk negara yang dinamakan negara Islam, selain itu telah keluar dari
model yang dinamakan dengan negara Islam.
Dari apa yang dikemukakan, maka dalam rangka membicarakan artikulasi
syariat Islam dalam konstitusi Indonesia, sangat relevan melakukan penilaian terhadap
Pancasila dan UUD 1945 yang sekarang menjadi Dasar Negara dan konstitusi negara.
Secara substantif negara kita RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidak
berlawanan dengan konsepsi negara menurut ajaran Islam, Negara Pancasila adalah
“Negara Islami”.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pancasila dan UUD 1945
mengandung substansi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam seperti nilai tauhid,
kemanusiaan persamaan, persaudaraan, musyawarah, demokrasi, negara hukum dan
keadilan. Lebih dari itu dalam Negara Republik Indonesia yang berdasatkan Pancasila
dan UUD 1945, agama mendapat tempat yang khusus dan terhormat. Hal ini didasarkan
kepada jaminan konstitusional, bahwa negara menjamin kemerdekaan warganegara
untuk beragama dan memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama-agama untuk
menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Karena
itu tidaklah berlebihan apabila dikatakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan
UUD 1945 rujukkannya adalah model konstitusi Madinah sebagaimana telah
dikemukakan di atas.

Anda mungkin juga menyukai