Anda di halaman 1dari 37

sistem atau politik pemerintahannya, yaitu sistem divide et impera Oleh karena itu Imperium Romawi

tidak dapat mencapai kerajaan nasional yang mempunyai kesatuan adat kebiasaan, bahasa, agama serta
ketatanegaraan seperti kerajaan Yunani. Kerajaan Yunani dahulu sebagai negara yang kecil, telah
mempunyai kesatuan yang kuat, dapat menaklukkan kekuasaan yang besar dari Persia

Tadi telah dikatakan bahwa kelemahan daripada bangsa Romawi juga terletak pada
sistemnya : divide et impera. Karena di sini orang dapat menggunakan tipu muslihat
dan sebagainya asal itu untuk kepentingan negara, hal ini menyebabkan setelah
bangsa bangsa yang ditaklukkan itu menjadi sadar kembali mengadakan perlawanan
terhadap Romawi, Inilah hal-hal yang menyebabkan Kerajaan Dunia Romawi menjadi
terpecah belah dan jatuh

Setelah jatuhnya Imperium Romawi, maka sejarah pemikiran tentang negara dan
hukum memasuki jaman abad pertengahan. Pemikiran tentang negara dan hukum pada
jaman abad pertengahan ini tidak secara langsung dikuasai oleh masalah-masalah
keduniawian, terutama yang berhubungan dengan kepentingan-kepentingan materiel,
dan bukan lagi dari sudut filsafat, melainkan ditinjau dari segi ke-Tuhanan, dari segi
agama. Dan memang sesungguhnyalah bahwa perkembangan sejarah pemikiran
tentang negara dan hukum pada jaman abad pertengahan ini berbarengan dengan
timbul dan berkembangnya agama Kristen, yang nantinya akan menimbulkan
ajaranajaran tentang negara dan hukum yang bersifat teokratis.

C. Jaman Abad Pertengahan

Di atas telah dikatakan bahwa setelah jatuhnya Imperium Romawi, sejarah pemikiran
tentang negara dan hukum memasuki jaman baru, yaitu jaman abad pertengahan.
Biasanya orang berpendapat bahwa jaman abad pertengahan ini dimulai dengan tahun
476 yaitu tahun keruntuhan kerajaan Romawi-Barat. Akan tetapi Augustinus, akhli
pemikir besar tentang negara dan hukum, yang menciptakan ajaran-ajaran baru pada
jaman itu, hidup setengah abad lebih dahulu, yaitu pada tahun 354 – 430. Sedangkan
jatuhnya kerajaan Romawi Barat, yang ditandai dengan penutupan praktek tentang
negara dan hukum dari bangsa Romawi, baru terjadi setengah abad kemudian (dihitung
dari tahun 476 tadi), yaitu dengan diselenggarakannya kodifikasi undang-undang oleh
raja Justinianus dari Kerajaan RomawiTimur.

Dengan runtuhnya peradaban bangsa Romawi, maka tidak dapat dihindarkan lagi
keruntuhan ketatanegaraannya, sedang sebaliknya kekuasaan dari agama Kristen
semakin berkembang terus, dan kemudian

menggantikannya. Karena tidak sedikit kaisar-kaisar yang memberi hati kepada


penganut-penganut agama Kristen ini, maka kemudian timbul susunan organisasi
gereja yang ada hubungannya dengan urusan-urusan keduniawian, yaitu suatu
kekuasaan keduniawian yang semula ditolak oleh kaum Gereja, tetapi dalam
perkembangan selanjutnya hal ini merupakan suatu soal yang tidak dapat diabaikan.

Pada jaman abad pertengahan ini tidak banyak memberikan kesempatan terhadap
perkembangan pemikiran tentang negara dan hukum, serta ilmuilmu pengetahuan
lainnya, karena cara orang berpikir pada jaman abad pertengahan itu kurang kritis.
Segala hal di dunia ini selalu dikembalikan kepada asalnya yaitu Tuhan. Jadi terjadinya
segala sesuatu di dunia ini karena sudah dikehendaki oleh Tuhan. Dengan demikian
lenyaplah alasan yang kuat bagi orang untuk mengadakan pemikiran tentang negara
dan hukum. Pemerintah Kerajaan membiarkan segala sesuatunya di lapangan agama,
kesusilaan dan adat-istiadat, asal saja hal itu semua tidak membahayakan kerajaannya,
baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Apa yang sejak semula menarik perhatian istimewa dari pemerintah kerajaan Romawi
terhadap penganut-penganut agama Kristen tersebut, ialah adanya sikap yang istimewa
dari mereka terhadap pemerintahan kerajaan, sebab mereka tidak mau mengenal dan
menerima sikap yang lazim terhadap aliran-aliran lain, dan berpendapat bahwa hanya
mereka sajalah yang memiliki pengetahuan yang sempurna dan yang lebih tinggi
artinya daripada yang lain-lain, dan pendirian mereka sekali-kali tidak dapat dan tidak
mau mengakui yang lain-lain itu sederajad. Dengan demikian agama Kristen sejak
semula telah menimbulkan persoalan-persoalan baru, yaitu persoalan tentang gereja
dan negara. Inilah yang antara lain dianggap oleh raja-raja sebagai alasan untuk
mengejar, menangkap dan mengusut secara kejam terhadap penganut-penganut
agama tersebut. Tetapi hal ini semua tidaklah mematikan agama tersebut, melainkan
malahan makin menambah banyaknya penganutpenganut agama tersebut.

Menurut penganut-penganut agama Kristen tadi, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang
harus ditaati dengan secara patuh, karena pertama-tama yang harus ditaati adalah
perintah Tuhan. Perintah penguasa hanya boleh ditaati apabila perintah itu tidak
bertentangan dengan perintah Tuhan. Suatu aliran yang memperkuat ajaran agama ini
ialah aliran Schoolastik, karena aliran Schoolastik ini menjelaskan bahwa ilmu itu harus
mengabdi kepada agama.

Jadi sudah mulai sejak pada permulaan jaman abad pertengahan pandangan hidup itu
sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama, lebihlebih setelah agama Kristen ini
diakui sebagai agama resmi daripada negara. Dan sebagai akibat daripada pengakuan
ini, maka agama Kristen lalu
mendirikan suatu organisasi yang kuat, yaitu organisasi gereja dengan dikepalai oleh
seorang Paus, sebagai wakil daripada Tuhan untuk memerintah di dunia. Sebagai
akibat lebih lanjut ialah orang, juga pemelukpemeluk agama Kristen itu sendiri, tidak
mempunyai kebebasan berpikir, oleh karena segala-galanya harus tunduk kepada
perintah Tuhan. Dan kalau ada perintah-perintah Tuhan yang tidak terang, yang boleh
menafsirkan hanyalah pemimpin-pemimpin gereja, khususnya Paus. Semula memang
gereja itu hanya mempersoalkan soal-soal agama saja, soal-soal keagamaan saja,
tetapi lama kelamaan ikut juga mempersoalkan soal-soal keduniawian, juga soal-soal
kenegaraan.

Menurut pandangan yang teokratis dari agama Kristen ini, segala sesuatu yang ada di
dunia ini adanya atas kehendak Tuhan, juga negara, itu pada hakekatnya, adanya
adalah atas kehendak Tuhan. Kalau ada pertentangan mengenai hakekat dan sifat
daripada negara, pertentangan mengenai sifat-sifat kekuasaan, dan lain sebagainya,
maka pertentangan itu sebetulnya adalah pertentangan atau perdebatan antara negara
dengan gereja, antara raja dengan Paus. Sedangkan yang menjadi pokok pangkal
pertentangan itu tidak lain adalah : Siapakah di dunia ini yang dianggap sebagai wakil
daripada Tuhan, tegasnya siapakah di dunia ini yang mempunyai kekuasaan yang
tertinggi, yang dapat memutuskan dalam tingkat tertinggi dan terakhir, negara ataukah
gereja, Raja ataukah Paus.

Tetapi kiranya tidaklah boleh dilupakan bahwa sesungguhnya pada jaman abad
pertengahan itu semua orang telah sepakat bahwa yang mempunyai kekuasaan
tertinggi itu adalah Tuhan. Hanya saja pelaksanaannya di dunia ini siapakah yang
mewakilinya. Raja ataukah Paus. Inilah yang dipersoalkan.

Mengenai hal ini ada yang mengatakan, bahwa yang menjadi wakil Tuhan di dunia ini,
jadi yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dunia ini, adalah Raja. Tetapi ada pula
yang mengatakan Paus. Mereka yang menjadi penganut Raja itu disebut kaum Legist,
sedangkan mereka yang menganut Paus disebut kaum Canonist. Dari masing-masing
pihak ini tidak ada yang mau mengalah. Segala tulisan-tulisan dan perdebatan-
perdebatan berkisar pada soal-soal keagamaan dan kekuasaan. Tetapi sekali lagi kita
harus ingat, bahwa perbedaan berpikir mereka itu hanya terletak pada : Siapakah dunia
ini, khususnya di dalam negara itu, yang mempunyai kekuasaan tertinggi, yang
dianggap sebagai wakil daripada Tuhan Raja ataukah Paus. Karena baik dari kaum
Legist maupun dari kaum Canonist itu kedua-duanya berpendapat bahwa yang
mempunyai kekuasaan tertinggi, yang meliputi alam semeita ini adalah Tuhan, cuma
pelaksanaannya di dunia ini siapakah yang mewakili.

Kaum Legist mengatakan, bahwa tidak hanya gereja saja yang mempunyai tugas dan
tujuan ethis, memelihara keadilan dan ketertiban
hukum, tetapi negara mempunyai juga, bahkan negara itu adanya lebih dahulu daripada
Gereja. Maka kekuasaan tertinggi di dunia ini harus ada pada tangan raja. Sedangkan
kaum Canonist mengatakan, bahwa kekuasaan yang asli di dunia ini ada pada Paus,
dan Raja itu hanya mendapatkan kekuasaan tersebut dari Paus. Jadi Raja itu
sebetulnya tidak memiliki kekuasaan yang asli. Oleh kaum Canonist kekuasaan yang
ada pada Paus dan yang ada pada Raja, itu diumpamakan seperti halnya : matahari
dengan bulan. Bahwa sinar yang asli itu ada pada matahari, sedangkan bulan tersebut
hanya mendapatkan sinar dari matahari.
Dengan timbulnya pertentangan-pertentangan tersebut di atas, maka akibatnya
lalu ada dua macam hukum, yaitu :
1. Hukum yang mengatur soal-soal kenegaraan atau keduniawian.
2. Hukum yang mengatur soal-soal keagamaan atau kerokhanian. Dengan demikian
juga terdapat dua macam kodifikasi hukum, yaitu :

1. Kodifikasi hukum yang diselenggarakan oleh Raja Theodosius dan juga oleh
Raja Justinianus. Ini adalah kodifikasi daripada peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh negara. Kodifikasi ini disebut Corpus Juris.
2. Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Paus Innocentius. Ini adalan kodifikasi
daripada peraturan-peraturah yang dikeluarkan oleh gereja. Kodifikasi ini disebut
Corpus Juris Canonici.

Yang penting bagi kita adalah Corpus Juris. Karena ini mengenai peraturan-peraturan
dari negara. Corpus Juris ini terdiri dari empat bagian, yaitu :
1. Instituten. Ini adalah sebuah ajaran, tetapi mempunyai kekuatan mengikat seperti
undang-undang. Kalau dalam undang-undang itu mengenai sesuatu hal tidak terdapat
pengaturannya, maka pengaturan mengenai hal tersebut dapat dilihat di dalam
Instituten tadi.
2. Pandecten. Ini sebetulnya hanya merupakan penafsiran saja dari para sarjana
terhadap sesuatu peraturan.
3. Codex. Ini adalah peraturan-peraturan atau undang-undang yang ditetapkan oleh
Raja.
4. Novellen. Ini adalah tambahan-tambahan daripada sesuatu peraturan atau undang-
undang.

Kalau dulu, filsafat dari bangsa Yunani telah menghasilkan empat aliran besar, yaitu
Plato, Aristoteles, Stoa, dan Epicurus, maka sekarang setelah timbul pertentangan-
pertentangan yang banyak itu, lahirlah suatu aliran yang

menggabungkan ajaran-ajaran yang beraneka warna itu menjadi suatu ajaran baru,
atau yang disebut eklecticisme. Setelah itu kemudian lahirlah aliran Neo-Platonisme,
yang dipelopori oleh Plotinus, yang hidup pada tahun 205 270. Ajaran dari Plotinus ini
merupakan jembatan peralihan dari filsafat Yunanı ke alam pemikiran teokratis (Kristen)
pada jaman abad pertengahan. Bagi Plotinus Tuhan itu adalah hakekat satu-satunya
yang paling luhur, dari mana terbit segala-galanya dan yang tak dapat diterangkan
dengan kata-kata.

Di samping unsur Ke-Tuhanan ini ada Tata-susila dari Plato yang mengajarkan, bahwa
orang itu harus berusaha untuk meningkatkan ilmunya sampai pada ilmu pengetahuan
murni, dengan melepaskan semua ikatan pancaindera. Kita harus berikhtiar melihat
Tuhan, hal mana tak dapat dicapai dengan pikiran saja, melainkan harus dengan
extase (bersemedi). Dengan demikian Plotinus menjadi perintis jalan bagi agama
Krisen, dia adalah akhli pemikir klasik besar yang terakhir yang ajarannya sukar
dipahami oleh rakyat, sebagaimana pemikir-pemikir yang terdahulu. Tempat di mana
filsafat Yunani dengan agama Kristen itu bertemu adalah di Alexandria, kota tempat
lahirnya Neo-Platonisme." 10)

Adapun yang menciptakan dalam garis besarnya alam pikiran jaman pertengahan, dari
alam pikiran Kristen dan jaman kuno, adalah Augustinus, sehingga dengan demikian
Augustinus merupakan jembatan antara dua masa dalam sejarah, yaitu masa jaman
abad pertengahan dengan masa-masa sebelumnya.

Dengan demikian ajaran-ajaran kenegaraan, pemikir tentang negara dan hukum pada
jaman abad pertengahan ini bersifat ke-Tuhanan, bersifat Teokratis.

Untuk jelasnya sekali lagi bahwa teori teokrasi ini berkembang pada jaman abad
pertengahan. Dan yang dimaksud abad pertengahan ini adalah jaman sesudah
jatuhnya kerajaan Romawi Barat pada abad ke V (tahun 476) sampai abad ke XV
(tahun 1453 tahun jatuhnya Kerajaan Romawi Timur), atau sampai jaman Renaissance.

Teori Teokrasi ini dalam perkembangannya pada abad pertengahan mempunyai


hubungan yang erat dengan perkembangan agama yang baru timbul pada saat itu,
ialah agama Kristen, agama ini timbul pada permulaan tahun Masehi. Sebelum
timbulnya agama Kristen, di Romawi ada pengertian, atau ajaran tentang ke-Tuhanan
yang berdasarkan atas mithologie, yaitu

bahwa menurut anggapan mereka ada dewa-dewa, yang tidak berbeda halnya dengan
manusia. Hanya saja Dewa-dewa itu lebih berkuasa dan mempunya kekuatan gaib
yang melebihi kekuatan yang ada pada manusia. Jadi kepercayaan yang dianut oleh
bangsa Romawi pada waktu itu adalah Pantheisme (percaya pada banyak Dewa). Oleh
karena itu tidaklah mengherankan kalau kemudian timbul agama yang mengajarkan
adanya satu Tuhan, yaitu agama Kristen.

serta Mula-mula Agama ini merupakan agama yang terlarang, penganutpenganutnya


selalu dikejar-kejar, kemudian dibuang atau dibunuh. Oleh karena itu semula agama
tersebut dianut dan dilakukan dengan secara diamdiam. Apa sebab agama ini semula
dilarang? Sebabnya ialah bahwa seperti telah dikatakan di atas, agama Kristen itu
mengajarkan adanya kepercayaan pada satu Tuhan, ini adalah bertentangan dengan
kepercayaan yang dianut oleh bangsa Romawi pada waktu itu, yaitu Panteisme. Juga
agama ini semula mengajarkan pandangan hidup yang mengancam kekuasaan
kewibawaan Raja, misalnya orang tidak perlu mentaati peraturan-peraturan negara
yang bertentangan dengan keyakinannya, lebih-lebih kalau peraturan negara itu
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama.

Akan tetapi karena berkat ketabahan dan keuletan dari para penganutnya lama
kelamaan agama ini tidak mati atau musnah, melainkan malahan mendapatkan
lingkungan hidup yang makin meluas, dan akhirnya malahan dianut oleh pejabat-
pejabat negara dan kemudian diakui oleh negara sebagai agama resmi daripada
negara. Kaisar-kaisar kemudian memberikan perhatiannya kepada kaum Kristen ini.
Kaisar Commodus, yang hidup pada tahun 180 192, adalah yang pertama-tama
menerima agama Kristen, dan memperbolehkan para penganutnya berada di
sekitarnya.

Setelah agama Kristen ini diterima sebagai agama resmi daripada negara, kemudian
tumbuhlah suatu susunan gereja, sebagai bentuk organisasi daripada agama tersebut,
yang ada hubungannya dengan soal-soal keduniawian dan kenegaraan, suatu
kekuasaan yang semula ditolak sama sekali oleh gereja, karena semula gereja hanya
berkecimpung dalam soal-soal keagamaan saja, akan tetapi yang lambat laun soal-soal
keduniawian dan kenegaraan itu dalam perkembangan agama selanjutnya merupakan
suatu hal yang tidak dapat diabaikan. Susunan organisasi gereja tersebut, yang
dipimpin oleh seorang Paus, organ-organnya menyerupai dengan organorgan-organ
organisasi negara yang dipimpin oleh raja.

Mulai saat itulah sesungguhnya timbul pokok persoalan, pokok pembicaraan dari para
sarjana pada jaman abad pertengahan, para sarjana teokratis. Apakah pokok persoalan
atau pokok pembicaraan tersebut ? Tidak lain ini adalah seperti yang telah disebutkan
di atas, yaitu siapakah di dunia ini yang dianggap sebagai wakil daripada Tuhan, jadi
yang memegang kekuasaan tertinggi ? Raja ataukah Paus ! atau dengan kata-kata lain,
bagaimanakah perimbangan kedudukan serta kekuasaan negara dengan gereja itu ?
Siapakah di antara kedua organisasi ini yang memegang kekuasaan tertinggi ? Oleh
karena di antara kedua organisasi ini sclalu timbul persoalan-persoalan dan
pertentangan-pertentangan saja!

Tetapi, mengapa soal-soal ini dibicarakan ? Telah terjawab di atas, yaitu dengan
terbentuknya susunan organisasi gereja yang organ-organnya sama dengan organ-
organ susunan organisasi negara, maka di dunia ini lalu terdapat dua organisasi
kekuasaan, yaitu :

1. Organisasi yang dikepalai oleh seorang Raja.


2. Organisasi gereja yang dikepalai oleh seorang Paus.

Pada hal kedua organisasi kekuasaan tersebut mempunyai subyek yang sama, yaitu
manusia. Maka kalau tadi dikatakan bahwa di antara kedua organisasi kekuasaan itu
selalu timbul pertentangan-pertentangan, pertentangan itu adalah pertentangan
mengenai kekuasaan antara negara dengan gereja, terhadap subyeknya. Tegasnya :
Siapakah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dunia ini terhadap subyeknya, yaitu
manusia tadi ?

Pertentangan ini terjadi, misalnya kalau pada suatu saat kedua organisasi itu
mengeluarkan peraturan yang saling bertentangan, padahal kedua peraturan yang
dikeluarkan oleh dua organisasi tadi mengatur hal yang sama; misalnya tentang
perkawinan, pewarisan dan sebagainya. Maka peraturan yang manakah yang harus
ditaati oleh para subyeknya tadi ? Inilah yang selalu menimbulkan kebingungan !
Padahal pada waktu itu organisasi gereja betul-betul mempunyai alat-alat perlengkapan
seperti yang dimiliki oleh organisasi negara. Misalnya : badan perundang-undangan,
pengadilan, keuangan dan sebagainya. Dan masing-masing peraturan tadi, baik dari
negara maupun dari gereja itu mempunyai sifat mengikat yang boleh dikatakan sama,
dan bila tidak ditaati dapat menimbulkan sanksi-sanksi tertentu. Soal inilah nanti yang
akan dibicarakan oleh para sarjana pada jaman abad pertengahan untuk mendapatkan
pemecahannya.

Tetapi sebelumnya membicarakan ajaran-ajaran dari para sarjana tersebut, baiklah


diketahui terlebih dahulu bahwa jaman abad pertengahan yang berkembang selama
lebih kurang sepuluh abad itu, yaitu dari abad ke V sampai dengan abad ke XV,
sesungguhnya terbagi dalam dua masa, dua jaman. Pembagian tersebut ditandai
dengan adanya, atau terjadinya peristiwa besar, yaitu perang salib. Kedua jaman
tersebut ialah :

1. Jaman abad pertengahan sebelum perang salib, abad ke V sampai abad ke XII.
2. Jaman abad pertengahan sesudah perang salib, abad ke XII sampai abad ke IV
Dalam kedua jaman ini terdapat ajaran-ajaran tentang negara dan hukum yang saling
berbeda. Pada jaman abad pertengahan sebelum perang salib, ajaran-ajaran tentang
negara dan hukum yang ada sifatnya adalah sangat teokratis. Segala sesuatu
didasarkan atas kehendak Tuhan. Hal ini terjadi karena dengan diakuinya agama
Kristen tadi sebagai agama resmi daripada negara, orang atau warganegara sangat
patuh terhadap ajaran-ajaran agama, tanpa ada persoalan apa-apa, pendek kata
segala sesuatu yang ada di dunia ini adanya atas kehendak Tuhan. Maka akibatnya
adalah tidak adanya pandangan-pandangan yang bersifat kritis terhadap segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini. Segala perbuatan pada waktu itu ditujukan untuk
membela kepentingan-kepentingan agama dan gereja.

Sedangkan pada jaman abad pertengahan sesudah perang salib, ajaranajaran


kenegaraan, ajaran-ajaran tentang negara dan hukum, yang ada telah banyak
dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari sarjana-sarjana Yunani kuno, misalnya ajaran dari
Plato dan Aristoteles. Hal ini disebabkan oleh karena pada waktu terjadinya perang
salib itu, banyak dari penganut-penganut agama Kristen yang pergi ke Timur Tengah
antara lain ke Palestina, dengan maksud untuk membela dan menyelamatkan makam-
makam Kristen yang terancam. Dan di sinilah mereka mulai mengenal kebudayaan dari
jaman Yunani Kuno, antara lain ajaran-ajaran kenegaraan dari Plato dan Aristoteles
tadi. Setelah perang salib selesai mereka kembali ke negaranya masingmasing dengan
membawa kebudayaan Yunani kuno tadi, yang sebelumnya tidak pernah dikenal di
dunia barat.

Dengan demikian maka mereka lalu mulai berpikir secara kritis terhadap keadaan-
keadaan di sekitarnya, termasuk pula ajaran-ajaran mereka tentang negara dan hukum,
dan agama. Jadi mulai saat itu unsur ratio masuk ke dalam ajaran-ajaran kenegaraan
lagi. Ini menyebabkan berubahnya cara berpikir mereka, yaitu dari cara berpikir yang
bersifat teokratis-mutlak (pada abad pertengahan sebelum perang salib) ke cara
berpikir yang bersifat teokratis-kritis (pada abad pertengahan sesudah perang salib).

Dari jaman abad pertengahan ini ajaran-ajaran tentang negara dan hukum yang akan
dibicarakan tidak banyak, kita ambil yang pokok-pokok saja yang dapaj dianggap
mewakili ajaran-ajaran pada waktu itu. Dari jaman abad pertengahan bagian I, jaman
abad pertengahan sebelum perang salib, dari abad ke V sampai abad ke XII, adalah
ajaran dari Augustinus dan Thomas Aquinas. Sedang dari jaman abad pertengahan
bagian ke II, jaman abad pertengahan sesudah perang salib, dari abad ke XII sampai
dengan abad ke XV, adalah ajaran-ajaran dari Marsilius.

1. Augustinus
Augustinus hidup pada tahun 354 430. Ia adalah seorang Kristen. Di dalam bukunya
Pengakuan ia telah menulis riwayat hidupnya sendiri. Di dalam buku itu dikatakan
bahwa ia hidup dalam keadaan dualisme, maksudnya ia mengalami masa peralihan
dari peradaban yang satu ke peradaban yang lain. Pada waktu hidupnya ia mengalami
masa kebobrokan masyarakat yang disebabkan banyaknya pertentangan-pertentangan
yang timbul, terutama pertentangan antara orang-orang yang menganut agama Kristen
dengan orang-orang yang tak beragama, antara kepercayaan adanya satu Tuhan yang
Maha Agung dengan penyembahan kepada berhala. Lagi pula adanya peristiwa yang
maha penting yang terjadi pada tahun 409, yaitu raja dari kaum Gota-Barat yang
bernama Alarik mengepung kota Roma. Kemudian menyerbu dan mengadakan
perampasan-peranpasan. Terhadap peristiwa ini pendapat orang dapat berlainan.
Sementara orang berpendapat bahwa karena Alarik sendiri seorang Aria yang
menganut agama Kristen, peristiwa tersebut berarti suatu kemenangan agama Kristen
penyembahan berhala, jadi berarti suatu hukuman terhadap orang-orang yang
mengadakan penyembahan kepada berhala. Tetapi sementara itu di pihak yang lain
orang berpendapat, dulu dalam keadaan tidak beragama keadaannya tenang-tenang
saja, alangkah bedanya keadaan sekarang di bawah agama Kristen. atas

Peristiwa tersebut di atas menjadi alasan kuat bagi Augustinus untuk menulis bukunya
yang diberi nama De Civita te Dei, tentang Negara Tuhan. Isi pokok daripada bukunya
tersebut ditujukan untuk mengadakan pembelaan terhadap agama Kristen, serta berisi
suatu polemik antara penganut-penganut agama Kristen dengan orang-orang tak
beragama. Buku itu juga merupakan filsafat sejarah dan agama, ajaran tentang
kepercayaan dan kesusilaan. Semula buku itu tidaklah dimaksudkan sebagai buku
pelajaran untuk politik negara dan gereja, meskipun akhirnya menjadi buku yang
demikian. Ini terbukti dari ajarannya mengenai perimbangan kedudukan atau
kekuasaan antara negara dengan gereja, antara raja dengan Paus.

Menurut Augustinus, yang ajarannya sangat bersifat Teokratis, dikatakan bahwa


kedudukan gereja yang dipimpin oleh Paus itu lebih tinggi daripada kedudukan negara
yang diperintah oleh Raja. Mengapa demikian? Dalam hubungan ini dikatakan oleh
Augustinus bahwa adanya negara di dunia itu merupakan suatu kejelekan, tetapi
adanya itu merupakan suatu keharusan. Yang penting itu adalah terciptanya suatu
negara seperti yang diangan-angankan atau dicita-citakan oleh agama, yaitu Kerajaan
Tuhan. Maka dari itu sebenarnya negara yang ada di dunia ini hanya merupakan suatu
organisasi yang mempunyai tugas untuk memusnahkan perintang-perintang agama dan
musuh-musuh gereja. Jadi di sini nampak dengan jelas bahwa negara mempunyai
kedudukan atau kekuasaan yang lebih rendah dan ada di bawah gereja. Negara
sifatnya hanyalah sebagai alat daripada gereja untuk membasmi musuh-musuh gereja.
Pendapat Augustinus tersebut di atas, diterangkan dengan jelas dalam bukunya De
Civitate Dei, dan yang isi seluruh karangannya itu terjalin suatu pertentangan dan
perbedaan yang tajam dan yang mencerminkan aliran pikiran pada jaman abad
pertengahan di mana ia hidup. Dalam bukunya tersebut Augustinus menyebutkan
adanya dua macam negara, yaitu :

1. Civitas Dei, atau Negara Tuhan. Negara ini sangat dipuji oleh Augustinus, karena ini
adalah negara yang diangan-angankan, dicitacitakan oleh Agama.

2. Civitas Terrena, atau Djaboli, atau Negara Iblis, atau Negara Duniawi. Negara ini
sangat dikecam dan ditolak oleh Augustinus.

Negara yang paling baik itu adalah Negara Tuhan, akan tetapi negara ini tidak akan
pernah tercapai di dunia ini, tetapi semangatnya dimiliki oleh sebagian dari orang-orang
di dunia ini, dan mereka ini harus selalu berusaha untuk mencapainya. Dan orang
hanya dapat mencapai Negara Tuhan ini, dengan perantaraan gereja, sebagai wakil
daripada Negara Tuhan di dunia ini. Tetapi sebenarnya orang-orang yang berada di
luar gereja pun dapat juga mengusahakan tercapainya negara Tuhan tersebut, asal
mereka itu mentaati perintah Tuhan.

Jadi sesungguhnya Negara Duniawi dan Gereja itu tidaklah seluruhnya sama dengan
pengertian Negara Tuhan dengan Negara Iblis. Akan tetapi kerajaan-kerajaan duniawi
kebanyakan adalah Civitas Terrena atau Diaboli sungguh-sungguh. Sebagai bukti
misalnya Romawi, demikian Augustinus, yang selanjutnya dengan itu pula mengeritik
pendapat Cicero, dalam bukunya Republik, sebab di situ dirumuskan negara sebagai
suatu bangsa, sedangkan pengertian bangsa tak pernah dikenal oleh kerajaan Romawi,
yang dikenal ialah pengertian orang banyak yang dipersatukan karena perintah dari
seorang penguasa, dan karena diadakannya perjanjian. Kerajaan Romawi tak pernah
merupakan negara karena tak pernah pemerintahannya didasarkan atas keadilan.
Karena itulah Romawi jatuh dalam kebobrokan, yang sekaligus memperlihatkan bahwa
mereka sangat bernafsu akan kemegahan dan keduniawian. Pun, demikian Augustinus
selanjutnya mengatakan bahwa Cicero teiah mengalami suatu kekhilafan, karena ia
berpendapat bahwa negara itu adalah merupakan penjelmaan daripada keadilan,
sedangkan sesungguhnya keadilan itu hanya mungkin dapat dicapai dalam negara
yang diperintah oleh agama, yaitu dalam Civitas Dei.

Seluruh pikiran Augustinus ditujukan kepada hari kemudian dengan mengesampingkan


sejarah dari masa-masa yang lampau, dan pikirannya itu tidak lebih hanya merupakan
pernyataan yang sifatnya samar-samar, artinya belum merupakan pengertian yang
tegas. Sepertinya pendapat Augustinus yang menyamakan antara pengertian negara
dengan pengertian masyarakat, pula pendapatnya bahwa gereja dianggap sebagai
bayangan daripada Civitas Dei di dunia ini yang luasnya meliputi seluruh dunia, dan
kekuasaan (keduniawian) negara diperoleh dari pemberian gereja.

Hal ini mengingatkan kita kepada teori dua pedang. Pada waktu itu orang sedang ramai
membicarakan mengapa kekuasaan Paus, terutama sesudah perang salib, sangat
terpengaruh oleh soal-soal keduniawian? Sedangkan pada saat itu baru saja dilahirkan
suatu politik dari Paus yang bersifat membebaskan gereja dari segala urusan
keduniawian, dan bertujuan memperdalam kehidupan keagamaan. Ini terjadi pada abad
ke XII, dilakukan oleh kaum Cisterciensa di bawah pimpinan Bernard Clairvaux. Yang
sesungguhnya ini hanya bersifat melanjutkan saja daripada gerakan Cluni di
Bourgondia, yang terjadi pada abad ke X.

Terhadap kenyataan di atas, bernard Clairvaux dalam bukunya yang diberi nama De
Consideratione (perihal tinjauan kebatinan) berpendapat bahwa Paus yang mengejar
tujuan keduniawian adalah bersifat budak, dan tidak sesuai dengan martabatnya. Orang
pada waktu itu juga sedang ramai membicarakan tentang hukum, tetapi yang dimaksud
itu bukanlah hukum dari tuhan, melainkan hukum dari Justinianus. Kemudian ia
membuktikan (benarkah bahwa Paus telah terpengaruh oleh soal-soal keduniawian)
dengan teori dua pedang tersebut. Dengan dua pedang itu dimaksudkan adalah
kekuasaan kerokhanian atau keagamaan, jadi kekuasaan gereja atau paus dan
kekuasaan keduniawian, yaitu kekuasaan negara atau raja.

Dengan ajaran dari dua pedang itu, bahwa Paus menghadiahkan pedang duniawi, pada
hakekatnya berarti Paus telah melepaskan dari tangannya kekuasaan keduniawian.
Sehingga yang tinggal padanya adalah kekuasaan keagamaan, atau kerokhanian saja.
Karena kekuasaan keduniawian tidak sesuai dengan martabat gereja, yang selalu
menganjurkan kehidupan yang alim dalam suasana ketentraman.

Akan tetapi sesungguhnya teori dari dua pedang itu dapat juga diterangkan dengan
cara lain, oleh karena teks kitab injil tidak mengatakan sesuatu apapun tentang
perhubungan dua pedang tersebut, padahal justru inilah soalnya. Maka dari itu
kemudian dicarilah bukti yang lebih kuai lagi, demikianlah sepertinya Paus Innocentius
ke III. Innocentius ke III memperkuat pendiriannya tentang hubungan antara kekuasaan
kerokhanian, keagamaan dengan kekuasaan keduniawian, kekuasaan negara
kekuasaan raja, tidak lagi dengan teori dua pedang dari Lucas, melainkan dengan
dengan suatu gambaran dari Genesis (kejadian). Yaitu demikian : Kaisar Raja dapat
dianggap sebagai bulan, sedangkan Paus dianggap sebagai matahari. Bulan itu
mendapatkan cahayanya dari matahari. Dengan demikian berarti bahwa Kaisar atau
Raja mendapatkan kekuasaannya itu dari Paus. Malahan juga dalam urusan
keduniawian, Paus mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dari Kaisar, atau Raja,
Bagaimanakah kebenaran daripada kedua teori tersebut di atas? (teori dari dua
pedang, dan teori dari bulan dan matahari). Kiranya orang dapat juga berpikir secara
lain, sehingga mendapatkan kesimpulan yang persis sebaliknya. Sebab dalam kedua
teori tersebut orang telah dipengaruhi bahkan ditentukan, oleh khayalan pikirannya.

Inilah yang dijadikan alasan kuat bagi kaum legist untuk menolak ajaran kaum Canonici
itu seluruhnya. Kecuali itu dibuktikan pula oleh kaum legist dengan berpegangan kitab
suci, bahwa sesungguhnya kekuasaan raja tidaklah tergantung daripada kekuasaan
Paus. Ditunjukkanlah oleh kaum legist bahwa ayat dalam kitabrsuci, yaitu Romein XIII,
surat 1 mengatakan bahwa, tidak ada kekuasaan, selain daripada kekuasaan Tuhan.

Demikianlah gambaran cara berpikir pada jaman abad pertengahan, yang ternyata
sangat sederhana dan mengalami kemunduran, serta kurang rasionil. Segala sesuatu
dipikirkan secara teokratis. Tetapi untunglah bahwa sejak tahun seribu telah secara
berangsur-angsur terjadi perubahan cara berpikir yang menuju kearah berpikir secara
rasionil. Dengan demikian lahirlah filsafat dari jaman abad pertengahan, di samping
ilmu Ke-Tuhanan (theologie), yang telah ada. Dari perbandingan antara kebenaran-
kebenaran theologies dan kebenaran-kebenaran filosofis, menimbulkan banyak
perselisihan-perselisihan yang mengakibatkan suatu perkembangan dan perubahan-
perubahan dalam alam pikiran orang.

Ajaran filsafat dari jaman abad pertengahan disebut Scholastik. Ajarannya bersifat
memahamkan dan menjelaskan secara rasionil daripada ajaran-ajaran yang telah
dikeluarkan oleh gereja. Pencipta ajaran filsafat Scholastik adalah Anselmus
Canterbury, yang hidup pada tahun 1033 1109. Dasar pokok daripada ajaran filsafatnya
adalah : Bahwasanya orang itu harus percaya untuk dapat mengerti. Tetapi ini
kemudian diubah' oleh Abaelard, yang hidup pada tahun 1079 1142 menjadi
sebaliknya, yaitu bahwa pengertian itu harus didahulukan daripada kepercayaan. Hal ini
menyebabkan timbulnya pertentangan-pertentangan lagi yang sifatnya menuju kepada
Renaissance.

Sementara itu kita menjumpai seorang ahli pemikir tentang negara dan hukumn, yang
ajarannya dapat dikatakan menentang ajaran Augustinus. Orang tadi adalah : John
Salisbury. la hidup pada pertengahan abad ke XII. (+ 1150)

Menurut John Salisbury, negara itu seharusnya tidak hanya menciptakan perdamaian
untuk kepentingan gereja, seperti yang diajarkan oleh Augustinus, yang pada waktu
hidupnya memang selalu mengalami kebobrokan dan kebiadaban, yang menyebabkan
dia menolak negara duniawi, dan mengagung-agungkan ajaran-ajaran gereja;
melainkan seharusnya menjamin pula keselamatan dan ketentraman kehidupan
masyarakat. Maka mulai saat itu, yaitu abad ke XII, orang mulai memberikan harapan
kepada masyarakat.

Akibat daripada ajaran John Salisbury ini adalah lenyapnya ajaran dua pedang, dan
ajaran matahari dan bulan, yang menggambarkan secara tajam pertentangan antara
kekuasaan negara dan kekuasaan gereja. Sebab mulai saat itu timbul kerjasama yang
erat antara kekuasaan negara dengan kekuasaan gereja, karena keduanya merupakan
bagian dari suatu kesatuan organis. Kesatuan itu terjadi oleh karena gereja dianggap
sebagai bagian dari organisme kenegaraan. Hal ini digambarkan dengan membuat
suatu perbandingan, sebagai berikut : gereja diumpamakan sebagai jiwa daripada
organisme, sedangkan raja sebagai kepalanya. Maka jiwa itu memimpin badan dan
kepalanya, hal mana dimaksudkan bahwa semangat gereja haruslah memimpin
negara. Tetapi demi martabatnya, gereja tidak boleh mencampuri urusan keduniawian,
oleh karena itu urusan keduniawian harus dijalankan oleh negara.

Dari segi sosial-etis John Salisbury berpendapat bahwa jika masingmasing orang itu
bekerja untuk kepentingannya sendiri, maka kepentingan masyarakat akan terpelihara
dengan baik.

Bagaimanakah jika pendapat John Salisbury tersebut di atas dibandingkan dengan


pendapatnya Epicures? Saya kira tidak dapat diper-samakan. Tegasnya kedua
pendapat tersebut sesungguhnya berbeda satu sama lain. Sebab kalau Epicurus
dengan ajarannya yang bersifat individualistis itu dimaksudkan untuk mengatasi
kebobrokan masyarakat pada saat itu, dengan memberikan pengutamaan kepada
kepentingan individu daripada kepentingan masyarakat. Sebab kalau kepentingan
individu itu terjamin, demikian juga keadaannya kepentingan masyarakat. Dengan
demikian orang dapat mencapai tujuannya, yaitu kebahagiaan. Tetapi kebahagiaan
tersebut yang dimaksudkan bukannya kebahagiaan material, melainkan adalah
kebahagiaan yang bersifat kejiwaan atau kerokhanian.

Sedangkan kalau John Salisbury dengan ajarannya yang mengatakan bahwa jika
masing-masing orang itu bekerja untuk kepentingan sendiri, maka kepentingan
masyarakat akan terpelihara baik; itu kiranya yang dimaksud tidaklah ia akan
mencipiakan ajaran yang bersifat individualistis seperti yang diajarkan oleh lipicures,
melainkan untuk menjaga jangan sampai seseorang itu mencampuri urusan orang lain
yang telah menjadi bagiannya, tegasnya negara dan gereja itu jangan sampai
berebutan kekuasaan, melainkan mereka harus selalu mengadakan ikatan kerjasama
yang erat. Sebab keduanya merupakan bagian daripada suatu organisme.

John Salisbury juga membicarakan sikap raja. Dalam hal ini yang penting adalah
pendapatnya yang mengatakan bahwa terhadap raja yang bersifat lalim, orang berhak
membunuhnya. Karena ia telah menginjak-injak undang-undang, telah memperbudak
rakyatnya sebagi seorang Tyran. Dengan demikian timbul pertanyaan : Siapakah yang
wenang menentukan sikap raja yang demikian itu ? Ini merupakan pertanyaan yang tak
terjawab. Baru nanti pada abad ke XVI, pertanyaan itu memperoleh pengertian yang
besar, karena orang mulai mencari jawabannya.

Selain bukunya yang diberi nama Policraticus, John Salisbury juga menulis buku yang
dinamakan Metalogicus. Buku yang pertama sebagian besar mengenai pembicaraan
tentang negara dan hukum, sedangkan bukunya yang disebutkan belakangan, itu
berisikan tentang filsafat umum, jadi bukan mengenai negara dan hukum, atau filsafat
hukum. Pokok pembicaraannya adalah mengenai ajaran-ajaran universalia, ialah
mengenai suatu persoalan yang sangat menarik orang pada jaman abad pertengahan
bagian yang ke II. Orang berpikir sedemikian rupa sehingga menimbulkan dua aliran.

Kedua aliran itu ialah : realisme ,dan nominalisme, yang terakhir ini adalah aliran yang
bersifat modern. Realisme, penganutnya disebut kaum realis, dan perlu diperhatikan
bahwa pengertian daripada istilah.ini lain sama sekali dengan pengertian yang
diberikan oleh orang pada masa sekarang, berpikir secara Neo-Platonis. Artinya
mereka itu berpendapat bahwa, semakin umum sifat daripada sesuatu, maka semakin
dekatlah hal atau sesuatu itu pada Ke-Tuhanan, dan makin nyata, serta hal itu
sungguhsungguh terjadi. Sebab Tuhan adalah sesuatu yang paling umum, yang dapat
dipikirkan, dan karena itu kebenaran yang paling besar,

Sebagai contoh daripada pemikiran yang bersifat realistis adalah : pemikiran dari
'Anselmus Canterbury, dengan filsafat ontologinya membuktikan tentang adanya
Tuhan. Terhadap sesuatu hal yang bersifat umum, itu sesuatu hal yang bersifat khusus,
tidak mempunyai arti tersendiri, melainkan hanya mempunyai arti yang ditarik dari
pengertian umum tadi, sehingga sesuatu hal yang bersifat umum itu tidak dapat
diganggu dalam bentuknya yang umum itu. Jadi aliran realisme berpendapat bahwa
gambaran umum dari jaman abad pertengahan itu merupakan kebenaran yang
tertinggi, yang tidak dapat diganggu-gugat oleh kebenaran khusus yang baru.

Sesungguhnya pendapat yang demikian telah berabad-abad adanya, tetapi orang baru
menyadari keadaan itu setelah timbulnya aliran lain, yaitu aliran nominalisme, sebagai
aliran modern dari abad ke XII, yang berpendapat bahwa : Barang-barang yang umum
itu tidak mempunyai kebenaran tertinggi. Barang-barang itu hanyalah merupakan
abstraksi saja daripada pikiran. Hanya barang-barang yang khusus sajalah, yang telah
ditarik dari barang-barang yang umum dengan jalan pikiran yang logis, yang merupakan
kebenaran yang tertinggi. Jadi barang-barang khusus yang baru itu sungguh-sungguh
dapat mengganggu, dapat mempengaruhi, bahkan dapat merubah barang-barang yang
umum. 225
Jalan pikiran inilah yang merupakan jalan keluar dari jaman abad pertengahan yang
bobrok, yang gelap-gulita itu. Pemikiran-pemikiran yang telah dimulai sejak terjadinya
perang salib, perkenalan-perkenalannya dengan orang-orang asing, serta pemikiran-
pemikiran dari jaman kuno telah melahirkan jalan keluar tersebut. Terlebih setelah
orang mengenal kembali ajaran Aristoteles, timbullah perubahan-perubahan besar itu,
dan mulai saat itu pula timbul filsafat baru yang bersifat rasionil. Maka timbul pula
hasrat untuk memasukkan hal-hal yang baru itu ke dalam hal-hal yang lama, sehingga
terjadilah suatu sistem yang dapat mempertahankan keseimbangan antara ratio dengan
wahyu, dan mempertahankan atau melangsungkan terus keselarasannya. Tujuan ini
adalah merupakan kunci daripada ajaran filsafat sarjana yang kemudian menyusul,
ialah : Thomas Aquinas.

2. Thomas Aquinas

Thomas Aquinas hidup pada tahun 1225 — 1274. Alam pikirannya tentang negara dan
hukum dapat diketemukan dalam bukunya De Regimine Principum atau tentang
pemerintahan raja-raja, dan dalam bukunya yang lain yang diberi nama Summa
Theologica, atau pelajaran tentang Ke-Tuhanan. Dalam ajaran-ajarannya itu Thomas
Aquinas banyak terpengaruh oleh ajaran Aristoteles, pada hal jarak hidup kedua
sarjana itu adalah kurang-lebih 17 abad. Aristoteles hidup pada abad ke IV s.M.,
sedangkan Thomas Aquinas hidup pada abad ke XIII. Pengaruh ini terjadi pada waktu
terjadinya perang salib. Pada waktu itu orang-orang dari Eropa Barat banyak yang pergi
ke Timur Tengah, untuk menyelamatkan makam-makam Kristen. Disitulah mereka
berkenalan dengan ajaran Aristoteles.

Filsafat Thomas Aquinas bersifat finalistis, ini berarti bahwa apa yang menjadi
tujuannya itu dikemukanan terlebih dahulu, baru kemudian harus diusahakan supaya
tujuan itu dapat tercapai.

m Manusia itu, demikian pendapat Thomas Aquinas yang dalam hal ini pengaruh
Aristoteles terasa sekali, menurut kodratnya adalah makhluk sosial, makhluk
kemasyarakatan, oleh karena itu ia harus hidup bersama-sama dengan orang lain
dalam suatu masyarakat, untuk mencapai tujuan yang sesungguhnya. Untuk itu
diperlukan menggunakan akalnya, pikirannya, yang telah diberikan kepadanya oleh
kodrat alam. Sebab akalnya itu memungkinkan baginya mengetahui apa yang berguna
dan apa yang merugikan. Dari prinsip umum ini ia dapat memperoleh pengetahuan
tentang hal-hal yang khusus. Tidak setiap orang dapat memiliki pengetahuan itu,
pengetahuan itu hanya dapat diperolehnya dalam hidup bermasyarakat, maka dari itu
hidup bermasyarakat merupakan suatu keharusan.
Oleh karena kehidupan bermasyarakat itu biasanya mempunyai kecenderungan ke
arah jurusan berpikir yang beraneka warna, terpencarpencar, maka penting sekali
adanya seorang penguasa. Sebab penguasa ini, seperti dikatakan oleh Salomo,
mempunyai tugas yang sama dengan jiwa dalam badan. manusia. Penguasa yang baik
adalah penguasa yang memikirkan tercapainya kepentingan umum, jika tidak demikian
ia adalah penguasa yang lalim.13)

Apakah tujuan itu? Tujuan manusia adalah identik dengan tujuan negara. Dan menurut
Thomas Aquinas, kalau orang ingin mengetahui tujuan negara ia harus terlebih dahulu
mengetahui apa yang menjadi tujuan manusia itu.

Tujuan manusia adalah mencapai kemulyaan abadi. Yaitu kemulyaan abadi dalam
waktu sesudah manusia itu mati . Jadi bukan kemulyaan abadi yang bersifat
keduniawian. Kemulyaan abadi ini hanya dapat dicapai dengan tuntutan gereja. Lalu
apa tugas negara disini? Tugas negara dalam hal ini adalah membuka atau memberi
kesempatan bagi manusia agar tuntutan dari Gereja dapat dilaksanakan, yang demikian
ini berarti bahwa negara itu harus menyelenggarakan keamanan dan perdamaian agar
masing-masing orang itu dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan bakatnya dalam
suasana ketentraman. Jadi tujuan negara itu memberi kemungkinan kepada manusia
agar dapat mencapai kemulyaan abadi. Disinilah letak kerjasama antara negara dengan
gereja.

Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Aquinas tentang perimbangan kedudukan atau
kekuasaan antara negara dengan gereja, yang dikatakan olehnya bahwa organisasi
negara yang dipimpin oleh raja mempunyai kedudukan sama dengan organisasi gereja
yang dipimpin oleh Paus. Hanya saja masing-masing organisasi itu mempunyai tugas
yang berlainan. Tugas atau kekuasaan negara adalah dalam lapangan keduniawian,
sedang tugas atau kekuasaan gereja adalah dalam lapangan kerokhanian, keagamaan.

Tetapi meskipun demikian agaknya Thomas Aquinas belum dapat melepaskan


pengaruh theocratisnya, karena selanjutnya ia mengatakan bahwa gereja merupakan
persekutuan hidup yang sesungguhnya yang meliputi segala-galanya, dan yang
merupakan wakil daripada Kerajaan Tuhan di dunia. Dan oleh karena hukum
keduniawian didukung dan dilindungi oleh gereja, maka menurut kodratnya kekuasaan
keduniawian seharusnya tunduk kepada kekuasaan kerokhanian, demi tujuan manusia,
yaitu mencapai kemulyaan abadi.

Pendapat daripada Augustinus yang telah dikemukakan di atas, sangat berbeda


dengan pendapat Thomas Aquinas ini, yang sifatnya sudah agak progressief. Bedanya
ialah : Kalau menurut Augustinus negara dengan gereja itu terpisah sama sekali,
sedangkan kalau menurut Thomas Aquinas antara negara dengan gereja itu ada
kerjasama yang erat. Negara didukung dan dilindungi oleh gereja untuk mencapai
tujuannya.

Selanjutnya Thomas Aquinas memberikan tempat yang khusus pada manusia di dalam
kedudukannya, tanpa kehendak, tetapi manusia itu adalah sebagai suatu makhluk
sosial yang berhasrat untuk hidup bermasyarakat. Ini disebabkan karena manusia itu
mempunyai ratio, dan tak dapat memenuhi kebutuhannya tanpa dengan bantuan orang
lain.

Pandangan Thomas Aquinas ini, seperti telah dikemukakan di atas, banyak dipengaruhi
oleh ajaran-ajaran Yunani dari jaman sebelum Masehi, ialah khususnya ajaran
Aristoteles. Ajaran-ajaran Aristoteles tentang sifatsifat daripada masyarakat, tentang
kedudukan manusia di dalam masyarakat, dan bahkan ajarannya tentang kenegaraan
serta tentang filsafat sangat dikagumi oleh Thomas Aquinas. Hal ini dengan terang
dapat dilihat dalam buku-bukunya. Hanya saja bedanya; Kalau Aristoteles dahulu hidup
dalam suasana kekuasaan mutlak di bawah pemerintahan Alexander Yang Agung
(Iskandar Dzulkarnain), yang sesungguhnya ia, Alexander, adalah murid daripada
Aristoteles, sehingga ia, Aristoteles, tidak berani memasukkan unsur etis yang
merupakan dasar daripada pikiran yang universalistis tentang negara dan hukum, juga
dengan demikian merupakan dasar atau ukuran bagi segala perbuatan, serta
pemerintah negara, jadi merupakan suatu kritikan, ke dalam ajarannya tentang negara
dan hukum. Sedangkan kalau Thomas Aquinas itu hidup dalam suasana kekuasaan
keagamaan, sehingga ia tidak berani sama sekali melepaskan diri dari unsur-unsur
keagamaan.

Sekalipun Thomas Aquinas telah memberi kedudukan yang pasti kepada manusia,
yaitu sebagai makhluk sosial, yang berhasrat untuk hidup bermasyarakat, tetapi
manusia itu belum begitu merupakan unsur yang muilak dalam pembentukan
masyarakat itu. Jadi betul telah merupakan suatu unsul, tetapi kurang-penting bila
dibandingkan dengan masyarakat itu sendiri. Di dalam masyarakat, itu harus ada
penguasanya, harus ada yang memerintah.

Tentang bentuk daripada pemerintah ajaran Thomas Aquinas pun banyak terpengaruh
oleh ajaran Aristoteles. Menurut pendapatnya ada tiga kemungkinan bentuk daripada
pemerintahan suatu negara, yang masingmasing itu kemudian dibedakan lebih lanjut
menurut sifat pemerintahannya ialah :

1. Pemerintahan oleh satu orang. Ini yang baik disebut Monarki, yang jelek disebut
Tyranni.
2. Pemerintahan oleh beberapa orang. Ini yang baik disebut Aristokrasi, yang jelek
disebut Oligarki.

3. Pemerintahan oleh seluruh rakyat. Ini yang baik disebut Politeia, ini kalau menurut
Aristoteles disebut Republik konstitusionil, yang jelek disebut Demokrasi.

Dari jenis-jenis bentuk pemerintahan tersebut di atas, menurut Thomas Aquinas yang
paling baik adalah Monarki. Oleh karena tujuan negara itu adalah selain memberi
kemungkinan. supaya manusia itu dapat mencapai kemulyaan abadi, juga supaya
manusia itu hidup susila. Hal ini dapat terlaksana apabila terdapat perdamaian di dalam
masyarakat dan untuk ini yang terpenting adalah adanya persatuan dan kesatuan. Oleh
karena Monarki dipimpin oleh satu orang tunggal, maka Monarki adalah yang paling
utama, paling ideal, untuk dapat melaksanakan ini semua. Dan barang sesuatu yang
bersifat tunggal akan lebih mudah memelihara persatuan dan perdamaian sebaik-
baiknya karena kesatuan pikiran daripada pemerintahannya, daripada yang bersifat
jamak.

Jadi inilah pendapat Thomas Aquinas, bahwa pemerintahan yang terbaik itu adalah
Monarki. Tetapi ini dapat berubah menjadi pemerintahan yang terburuk, bila sifat
pemerintahannya itu tidak lagi adil , dan tidak lagi ditujukan untuk kepentingan umum,
ini adalah Tyranni. Dan keburukannya itu melebihi daripada keburukan pemerintah
Oligarki maupun Demokrasi.

pemerintahan itu tidal Sebab dalam pemerintahan Oligarki, adil dan tidak ditujukan
untuk kepentingan umum, tetapi hanya ditujukan untuk kepentingan yang memegang
pemerintahan itu sendiri, namun disini masih juga untuk kepentingan beberapa orang.

Sedang dalam Demokrasi, kepentingan sendiri itu juga berarti kepentingan orang-orang
yang memegang pemerintahan, sedangkan yang memegang pemerintahan itu pada
azasnya adalah seluruh rakyat, tetapi meskipun demikian juga masih jauh dari
kepentingan umum, sebab semua orang, seluruh rakyat, itu tidak dapat memegang
pemerintahan semuanya.

Tetapi dalam Tyranni, kepentingan sendiri, yang berarti kepentingan orang yang
memegang pemerintahan, itu hanya melulu untuk kepentingan satu orang saja. Hal ini
sangat jauh dafi keadilan dan dari kepentingan umum bila dibandingkan dengan
Oligarki dan Demokrasi. Maka Tyranni adalah merupakan pemerintahan yang terjelek,
yang terburuk, karena sangat jauh dari cita-cita keadilan. Selain daripada itu, dari suatu
pemerintahan yang dipegang oleh beberapa orang, jadi lebih dari satu orang, akan
lebih lekas pula lahir pemerintahan sewenang-wenang, daripada suatu pemerintahan
yang dipegang oleh satu orang. Oleh karena itu pemerintahan yang terbaik adalah
Monarki.

itu Untuk mencegah timbulnya Tyranni, timbulnya pemerintahan yang sewenang-


wenang, Thomas Aquinas berpendapat supaya di dalam negara diadakan Undang-
undang Dasar atau Konstitusi, yang mengatur dan membatasi tindakan-tindakan
pemerintah sedemikian rupa, sehingga dengan demikian terpelihara baik-baiklah suatu
sistem atau susunan ketatanegaraan, dan dengan demikian pemerintah itu tidak
mendapatkan kesempatan untuk menjadikan pemerintahannya menjadi Tyranni.

Tetapi meskipun telah diusahakan untuk mencegah timbulnya Tyranni, bagaimanakah


kalau Tyranni itu timbul dan bertindak sewenang-wenang? Untuk menjawab pertanyaan
ini, Thomas Aquinas lalu memberikan pendapatnya tentang hak berevolusi dan hak
untuk membunuh raja atau Tyran yang lalim itu. Menurut pendapatnya lebih baik
Tyranni itu dibiarkan saja dulu untuk sementara waktu, selama masih dapat didukung.
Jadi kita harus bersabar untuk sementara waktu, daripada terjerumus ke dalam bahaya
yang lebih besar lagi, karena dengan-mengadakan pemberontakan atau revolusi untuk
menjatuhkan Tyranni itu akibatnya akan lebih besar, lebih buruk. Sebab si pemimpin
pemberontak itu nanti akan menggantikan si Tyran dan tentu saja akan lebih Tyrannis
sifatnya, dan akan lebih memperkuat dirinya.!4)

Juga meskipun bagaimana kejamnya si Tyran itu, orang tidak boleh membunuhnya,
sebab hal demikian ini sangat bertentangan dengan ajaran agama, sebab menurut
ajaran agama orang tidak diperbolehkan membunuh sesama orang, lebih-lebih itu
adalah raja. Itu menurut ajaran agama adalah merupakan suatu perbuatan yang sangat
terkutuk,

Akan tetapi kalau revolusi ataupun membunuh raja yang telah menjadi Tyran dan
bertindak sewenang-wenang itu telah menjadi kehendak umum daripada rakyatnya, hal
itu dapat dilaksanakan, dan hal itu tidak akan bertentangan dengan kesetiaan rakyat
terhadap rajanya. Sebab raja sendiri telah bertindak sebagai Tyran dan tidak lagi
menepati perjanjiannya dengan rakyat. Apa lagi raja telah melanggar ketentuan-
ketentuan di dalam Undangundang Dasar.

Menurut pendapat Thomas Aquinas undang-undang atau hukum itu merupakan


kesimpulan daripada ratio manusia dan yang berbentuk kemauan. Maka, sesuai
dengan pendapat Cicero, undang-undang itu merupakan pokok pangkal dari pikirannya,
dan yang merupakan perintah dari ratio untuk kepentingan umum. Dan dari cara
Thomas Aquinas memberikan ajarannya tentang keadilan dan hukum, memperlihatkan
bahwa ia telah mempersatukan ajaran-ajaran : Aristoteles, Stoa, Romawi, dengan
ajaran Augustinus tentang dasar kekuasaan yang bersifat teokratis. Hanya saja
sekarang dikatakan olehnya bahwa sumber tertinggi daripada hukum itu adalah terletak
pada kepribadian Tuhan.

Kalau Aristoteles membedakan hukum alam dan hukum positip, maka Thomas Aquinas
mengadakan perbedaan hukum dalam empat golongan; yaitu :

1. Hukumn abadi atau lex aeterna, ini adalah hukum dari keseluruhannya yang berakar
dalam jiwa Tuhan.

2. Hukum Alam. Manusia adalah sebagai makhluk yang berpikir, maka ia merupakan
bagian daripada Nya. Ini adalah merupakan hukum alam.

3. Hukum positip. Ini adalah pelaksanaan daripada hukum alam oleh manusia, yang
disesuaikan dengan syarat-syarat khusus yang diperlukan untuk mengatur soal-soal
keduniawian di dalam negara.

4. Hukum Tuhan. Ini adalah hukum yang mengisi kekurangan-kekurangan daripada


pikiran manusia dan memimpin manusia dengan wahyuwahyunya ke arah kesucian
untuk hidup di alam baka, dan ini dengan cara yang tidak mungkin salah. Wahyu-wahyu
inilah yang akhirnya terhimpun dalam kitab-kitab suci.'s)

Tentang keadilan, Thomas Aquinas mengatakan bahwa keadilan adalah kemauan,


yaitu kemauan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Di
samping itu orang harus juga mengusahakan kepatutan, seperti yang telah diajarkan
oleh Aristoteles. Undang-undang yang tertulis dapat dianggap sebagai hukum dan
keadilan, dan yang mendapatkan kekuasaannya dari hukum alam.

Ajaran Thomas Aquinas merupakan puncak dari pernikiran pada abad. pertengahan
dan berada pada titik balik dari pertumbuhan kebudayaan berikutnya. Sementara itu
orang mulai kelihatan melepaskan pikiran yang teokratis, ini terjadi sebagai akibat
perubahan sosial dan perkembangan aliran filsafat yang nominalistis. Sementara itu
pula kita menjumpai seorang pujangga besar yang memikirkan terbentuknya sesuatu,
yang sesungguhnya sesuatu itu sampai saat ini hanya menjadi impian belaka, pujangga
tadi adalah Dante dengan impiannya Monarki-dunia.

Dante, yang hidup pada tahun 1265 — 1321 memperoleh tempat dalam sejarah
pemikiran tentang negara dan hukum karena bukunya De Monarkia. Ajarannya yang
ditulis dalam bukunya tersebut adalah bersifat anti Paus. la menulis tentang kekuasaan
keduniawian, dan di dalamnya menolak setiap kekuasaan Paus dalam urusan
keduniawian. Sebagai akibat daripada tulisannya itu, maka pada permulaan abad ke
XIV telah terjadi perselisihan penting antara Paus dengan Raja, yang berakhir dengan
kemenangan raja. Dari berbagai fihak muncul ajaran-ajaran yang bersifat anti Paus.
Kaum legist mulai mendapatkan kemenangan. Di antara kaum legist yang sangat
terkemuka adalah Pierre Dubois dari Perancis. la menulis bukunya De Recuperatione
Terre Sancte, tentang penaklukan kembali Tanah Suci, pada tahun 1305 — 1307.

Pikiran bahwa pemerintahan yang baik berarti pemusatan kekuasaan pada tangan satu
orang, suatu pikiran yang dibela dengan keras baik oleh Thomas Aquinas maupun oleh
Dante, akan ditentukan orang di kemudian, asal saja pikiran itu tidak diartikan sebagai
suatu kerajaan dunia, melainkan sebagai negara nasional. Dan memangnya dalam
abad ke XIV akan lenyaplah pikiran tentang kerajaan dunia itu.

Setelah membicarakan pemikiran tentang negara dan hukum pada jaman abad
pertengahan sebelum perang salib yang sifat ajarannya adalah sangat teokratis, maka
baiklah sekarang ditinjau ajaran dari seorang sarjana pada abad pertengahan sesudah
perang salib yang ajarannya sudah bersifat teokratis - kritis. Sarjana tersebut adalah :
Marsilius.

3. Marsilius

Marsilius dari Padua hidup pada tahun 1270 — 1340. la adalah seorang tokoh terbesar
dari aliran filsafat nominalist, bersama-sama dengan rekannya William Occam yang
hidup pada tahun 1280 1317. Dengan demikian sikap mereka adalah bahwa hal-hal
yang bersifat khusus itu adalah yang bernilai tinggi, sedangkan hal-hal yang bersifat
umum itu hanya merupakan abstraksi daripada pikiran saja.

Bagi mereka negara itu dianggap sebagai kekuasaan sedunia, diganti oleh negara
sebagai pusat kekuasaan yang tetap, yang berdiri sendiri, yang terlepas dari hubungan
dengan suatu kekuasaan yang lebih tinggi, seperti gereja. Sikap mereka yang demikian
ini timbul sebagai akibat daripada adanya perselisihan antara kaisar Louis Bavaria
dengan Paus Johannes ke XXII.

Marsilius adalah ahli pemikir tentang negara dan hukum Franciscan, ia sekitar tahun
1324 menerbitkan bukunya yang sangat terkenal, yang diberi nama Defensor Pacis (=
Pembela Perdamaian). Buku ini merupakan buku yang paling menakjubkan dari seluruh
buku-buku yang ada pada jaman abad pertengahan. Buku ini meskipun ciptaan dari
seorang sarjana pada jaman abad pertengahan, tetapi hingga kini masih tetap
menimbulkan kekaguman bagi tiap-tiap orang yang baru mulai mempelajari soal-soal
tentang negara dan hukum. Hal ini disebabkan karena keberaniannya serta pikiran-
pikiran modernnya yang terdapat di dalam buku tersebut. Buku ini terdiri dari tiga
bagian yang disebut dictiones. Buku yang pertama menguraikan tentang dasar-dasar
negara. Buku yang kedua membentangkan dasar-dasar gereja dan sifat-sifat hubungan
antara negara dengan gereja. Sedang buku ketiga hanya memuat kesimpulan-
kesimpulan saja.

Mengenai ajarannya tentang kenegaraan, Marsilius sangat dipengaruhi oleh ajaran


Aristoteles. Negara adalah suatu badan atau organisme yang mempunyai dasar-dasar
hidup dan mempunyai tujuan tertinggi, yaitu menyelenggarakan dan mempertahankan
perdamaian. Dengan demikian Marsilius bersama-sama dengan Dante adalah yang
pertama-tama memberikan tujuan tersendiri pada negara.

Ajaran dari Marsilius ini untuk selandjutnya adalah sangat berbeda dengan ajaran-
ajaran dari Augustinus dan Thomas Aquinas. Karena dalam ajaran Marsilius nampak
benar peranan orang atau individu dalam pembentukan negara atau masyarakat.
Menurut Marsilius terbentuknya negara itu tidaklah semata-mata karena kehendak
Tuhan, atau karena kodrat Tuhan, melainkan negara Itu terjadi karena perjanjian
daripada orang-orang, yang hidup bersama untuk menyelenggarakan perdamaian.
Sedangkan kalau menurut Augustinus Tuhan adalah merupakan pokok pangkal
daripada segala sesuatu, jadi juga tentang adanya negara, dan kalau menurut ajaran
Thomas Aquinas, meskipun masih juga berpokok pangkal pada Tuhan, namun sudah
mulai muncul faktor baru, yaitu manusia, yang sifatnya masih samar-samar.

Jadi dari ajaran Marsilius tentang terjadinya negara itu telah terlihat dasar-dasar
daripada perjanjian masyarakat, yang merupakan lanjutan dari ajaran Epicurus yang
telah meletakkan benih-benihnya. Dalam perjanjian itu, menurut Marsilius, rakyat
menunjuk seseorang yang diserahi untuk memelihara perdamaian. Dan terhadap orang
yang mereka tunjuk ini mereka saling menundukkan diri. Jadi mereka itu selain
mengadakan perjanjian untuk membentuk negara juga berjanjian untuk menundukkan
diri. Inilah yang disebut perjanjian penundukan atau Factum subjectiones.

Bagaimanakah sifat penundukan itu ? Apakah tunduk sepenuhnya secara mutlak


terhadap segala sesuatu yang diperintahkan oleh penguasa, atau pemerintah, atau
orang yang mereka tunjuk itu; ataukah hanya tunduk terhadap penyelenggaraan
kekuasaan yang mereka berikan kepadanya ?

Menurut Marsilius factum subjectiones ini ada dua macam, yaitu :

atau 1. Bila penundukan itu sifatnya terbatas pada apa yang dikehendaki oleh rakyat,
maka kekuasaan penguasa, raja, hanya untuk menyelenggarakan atau menjalankan
kekuasaan dari rakyat, jadi sifatnya hanya eksekutif. Raja tidak boleh dan tidak wenang
menentukan peraturan atau undang-undang. Yang menciptakan atau yang membuat
peraturan dan undang-undang itu adalah rakyat sendiri. Penyerahan kekuasaan atau
sifat penundukan yang demikian ini disebut concessio.
2. Sedang kalau rakyat itu secara mutlak tunduk kepada penguasa atau raja yang
mereka pilih itu, dan hak untuk membuat peraturan atau undangundang itu ada pada
tangan raja, maka kekuasaan yang mereka serahkan kepada raja itu tidak hanya
bersifat eksekutif melainkan juga bersifat konstitutif. Penyerahan kekuasaan yang
demikian ini disebut translatio.

Yang terakhir inilah yang dianut oleh kaum Glossatoren, yaitu orangorang yang
menyisipkan dan yang menambah hukum yang lama dengan hukum yang baru. Karena
dengan demikian hukum dapat berkembang dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan masa. Jadi demi kepentingan hukum, menurut kaum Glossatoren, factum
subjectiones harus bersifat translatio.

Sedangkan menurut Marsilius, kekuasaan negara yang tertinggi itu ada pada rakyat,
jadi kedaulatan itu ada pada rakyat, sebab rakyatlah yang berhak membuat peraturan-
peraturan hukum atau undang-undang. Hal ini disebabkan karena negara itu
merupakan kesatuan dari orang-orang yang bebas, yang merdeka, jadi tidaklah
mungkin seseorang itu menguasai orang lain secara mutlak. Jadi perimbangan antara
kekuasaan rakyat dengan kekuasaan raja adalah, rakyat yang berdaulat, raja yang
melaksanakan kedaulatan rakyat. Jadi dengan demikian yang dianut Marsilius adalah
factum subjectiones yang bersifat Concessio.

Seolah-olah dalam ajaran Marsilius ini unsur ke Tuhanan telah dilepaskan. Tetapi
dalam uraian-uraian selanjutnya ajarannya masih ada sifat teokratisnya yaitu meskipun
ia mengatakan bahwa terjadinya negara itu karena perjanjian, dengan factum
subjectiones orang-orang itu membentuk suatu pemerintahan, tetapi orang-orang dapat
mengadakan perbuatan yang demikian itu karena atas dorongan atau atas ilham dari
Tuhan, jadi seakanakan Tuhan itu dari jauh mempunyai pengaruh, dan pengaruh inilah
yang menyebabkan orang-orang tadi mengadakan perjanjian. Maka menurut Marsilius
Tuhan itu merupakan sebab yang jauh atau causa remota daripada terbentuknya
negara.

Sekarang bagaimanakah hubungan antara negara dengan gereja menurut ajaran


Marsilius. Kalau Augustinus mengatakan bahwa yang dikehendaki itu adalah Kerajaan
Tuhan, dan negara itu hanya merupakan alat saja daripada gereja untuk membasmi
musuh-musuh gereja demi terlaksananya cita-cita itu, dan kalau menurut pandangan
Thomas Aquinas, negara dan gereja berkedudukan sama, dan di sini ada kerjasama
antara negara dan gereja, hanya saja lapangannya berbeda, negara dalam lapangan
keduniawian, gereja dalam lapangan kerokhanian; maka Marsilius telah mengadakan
pemisahan yang tegas antara negara dan gereja. Dan dengan tegas dikatakan bahwa
negara berkedudukan lebih tinggi dari pada gereja. Oleh karena berdasarkan perjanjian
antara orang-orang itu telah dibentuk suatu negara untuk menyelenggarakan
perdamaian. Jadi negara itu adanya lebih dahulu daripada gereja. Lagi pula negara itu
dapat membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang yang bersumberkan
pada kekuasaan rakyat, yang bersifat mengikat, dan dapat menjatuhi sanksi kepada
siapa saja yang melanggarnya. Sedangkan gereja tidak dapat berbuat yang demikian
itu tadi. Jadi tegasnya negaralah yang lebih tinggi kedudukannya dan lebih berkuasa
daripada gereja.

Ajaran Marsilius tentang negara dan hukum ini, yang dikemukakan dalam abad ke XIV
dalam banyak hal adalah sangat menarik perhatian. Oleh karena tidak adanya
sedikitpun cita-cita besar dari jaman abad pertengahan, yaitu sedikitpun tidak mengenai
adanya kerajaan dunia. Maka sebagai ganti daripada pandangan idealisme
diciptakanlah pandangan realisme, yang nanti banyak persamaannya dengan
pandangan Rousseau dalam abad ke XVIII, dan Monarki konstitusionil dalam abad ke
XIX.

Lebih menarik perhatian iagi adalah sifat keberanian dan sikap bebas daripada
Marsilius, tidak saja terhadap gereja, melainkan juga terhadap kekuasaan atasannya,
yaitu kaisar Louis. Ia sama sekali tidak membicarakan soal kekuasaan kaisar. Karena
pendiriannya tentang negara adalah seperti pandangan Aristoteles, yaitu negara
Republik-Demokrasi.

Namun sebagai akibat daripada ajaran Marsilias ini, terutama pandangannya tentang
hubungan antara negara dengan gereja serta segala konsekwensinya, dapat
menimbulkan kekuasaan raja yang bersifat mutlak, dalam arti di dunia ini tidak ada
yang mengatasi, dan kekuasaan ini dapat meliputi apa saja. Jadi sifat mutlaknya itu
baik dalam tingkatannya, maupun mengenai luasnya. Maka lalu timbul sistem-sistem
pemerintahan yang sifatnya absolut, Keabsolutannya itu dapat sedemikian rupa,
sehingga kalau dahulu, pada jaman abad pertengahan, raja itu terikat oleh ketentuan-
ketentuan agama, atau soal-soal etis, maka sekarang malahan raja itulah yang
menentukan agama apa yang harus dianut oleh rakyatnya. Jadi kebebasan beragama
boleh dikatakan sudah tidak ada lagi.

Dengan timbulnya kekuasaan raja-raja yang absolut ini, yang mana raja tidak
bertanggung-jawab kepada siapapun, kecuaii kepada Tuhan, maka lalu timbul penyalah
gunaan kekuasaan, antara lain pengekangan dalam hal kepercayaan. Maka tidaklah
heran kalau kemudian timbul gerakan-gerakan baru yang menentangnya, tetapi aliran
atau gerakan ini tidak bermaksud menghapuskan raja-raja, jadi bukanlah anti raja.
Mereka itu hanya anti kekuasaan raja yang bersifat absolut, karena ini mesti selalu
menimbulkan ekses. Jadi ekses inilah yang mereka tentang. Aliran ini namanya
monarkomaken. Kalau menurut arti kata yang sebenarnya monarkomaken berarti anti
raja. Tetapi sebenarnya yang dimaksud oleh kaum monarkomaken ini bukanlah anti
raja, tetapi anti kekuasaan raja yang bersifat absolut, dan terutama eksesnya.

Aliran inilah yang nanti akan membatasi kekuasaan raja, dengan cara menguraikan
kembali asal-usul daripada kekuasaan raja. Kalau teori theokrasi pada jaman abad
pertengahan mengatakan bahwa kekuasaan raja itu berasal dari Tuhan, karena raja
dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia, sedangkan kekuasaan Tuhan itu sifatnya
absolut, jadi raja kekuasaannya pun juga harus absolut. Maka aliran monarkomaken ini
lalu mencari dasar-dasar baru bagi kekuasaan raja.

Tetapi sebelum membicarakan aliran monarkomaken ini lebih lanjut, baiklah


dibicarakan terlebih dahulu jaman berikutnya, yaitu jaman renaissance. Karena akibat
daripada ajaran-ajaran yang ada pada jaman ini kiranya akan sama dengan akibat
daripada ajaran Marsilius tadi, yaitu pembentukan sistem pemerintahan sentral dan
mutlak pada negara yang juga mengakibatkan timbulnya kekuasaan muilak pada raja.
Jadi tegasnya akibat dari ajaran Marsilius dan akibat dari ajaran sarjana-sarjana pada
jaman renaikance adalah sejajar, yaitu timbulnya absolutisme, dan ini nanti yang
menimbulkan kaum monarkomaken dan kaum reformatie.

D. Jaman Renaissance (abad ke XVI)

Benih-benih dari jaman renaissance ini sesungguhnya telah terdapat pada akhir jaman
pertengahan bagian yang kedua, akhir jaman pertengahan sesudah perang salib. Jadi
jaman renaissance ini dimulai pada kira kira pertengahan abad pertengahan bagian
yang kedua sampai pada akhir abad ke XVI.

Pandangan hidup dan ajaran-ajaran tentang negara dan hukum pada jaman
pertengahan sangat berbeda dengan pandangan hidup dan ajaranajaran tentang
negara dan hukum pada jaman renaissance. Sebab pandangan hidup pada jaman abad
pertengahan adalah bersifat universalistis, dalam arti orang menganggap dirinya
sebagai bagian daripada dunia Kristen yang umum. Segala kehidupan dipersiapkan
untuk menghadapi kehidupan yang langgeng, yaitu kehidupan di dunia akhirat. Ajaran-
ajaran tentang negara dan hukum tidak mempunyai kepribadian sendiri, karena
ditentukan oleh pandangan yang teologis.

Akan tetapi mulai abad ke XII terjadilah perubahan-perubahan, karena filsafat


nominalistis telah memutar balikan hubungan antara hal yang umum dan hal yang
khusus. Dan mulai saat itu pula perhatian terhadap penghidupan di dunia ini mulai
bertambah besar. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia mulai
berkembang. Akal manusia mulai menjiwai kehidupan, maka apabila dahulu sikap
menerima itu dianggap sebagai kebajikan yang tertinggi, sekarang, pada jaman
renaissance, hasil perseoranganlah, dimana orang lain tidak dapat melakukannya,
mendapatkan pujian dan penghargaan yang tertinggi. Maka kemudian orang
berlombalomba untuk mendapatkan kedudukan dan sebagainya meskipun dengan akal
yang licik, tetap ditempuhnya.

Demikianlah sebenarnya bahwa pandangan hidup dan ajaran-ajaran tentang negara


dan hukum pada jaman renaissance ini sangat dipengaruhi oleh berbagai-bagai paham,
pengaruh itu sedemikian kuatnya sehingga dapat merubah dan membelokkan
pandangan hidup dan ajaran-ajaran tentang negara dan hukum yang ada pada waktu
itu. Paham-paham yang mempengaruhi itu antara lain :

1. Berkembangnya kembali kebudayaan Yunani kuno, jadi pengaruh kebudayaan


Yunani kuno. Pengaruh ini timbul karena terjadinya perang salib. Kalau pada jaman
abad pertengahan segala sesuatu itu harus tunduk kepada kodrat Tuhan atau
kehendak Tuhan, orang tidak boleh berpikir sendiri-sendiri untuk menentukan
bagaimana ia harus hidup, karena yang menentukan segala-galanya itu adalah
pemimpin-pemimpin negara atau pemimpin-pemimpin gereja, sebab para pemimpin
itulah yang dianggap sebagai wakil dan Tuhan di dunia ini. Maka sesudah perang salib,
karena akibat dari kebudayaan Yunani tadi, terutama ajaran Aristoteles, masuklah
unsur rasio, dan orang mulai berpikir secara rasionil. Pengaruh ini aksesnya adalah
sangat buruk, oleh karena sebagaimana biasanya semua barang atau paham baru itu
adalah sangat menarik dan mudah ditiru. Maka demikian juga halnya dengan peniruan
kebudayaan Yunani kuno itu. Sehingga akhirnya orang sangat berlebih-lebihan dan
sangat mendewa-dewakan kebudayaan Yunani kuno tersebut. Sedangkan normanorma
agama dilepaskan sama sekali. Hal ini menyebabkan moral mulai merosot, dan timbul
pandangan yang individualistis.

2. Faham kedua yang mempengaruhi keadaan jaman renaissance adalah sistem


feodalisme yang berakar pada kebudayaan Jerman kuno. Sistem ini mempengaruhi
Romawi Barat sebagai akibat ditaklukkannya Romawi Barat oleh bengsa Jerman,
Sistem feodalisme ini menimbulkan kekacauan dan perpecahan daerah.

Untuk mengetahui sebab-sebabnya harus menyelidiki terlebih dahulu apa yang


dimaksud dengan sistem feodalisme itu, dan apa dasarnya. Yang dimaksud dengan
sistem feodalisme dalam lapangan ketatanegaraan ialah bahwa dalam susunan
ketatanegaraan itu dikenal adanya hak pribadi. Jadi dasarnya itu ialah bahwa hukum itu
mempunyai sifat kepribadian. Ini berarti bahwa mereka yang kehilangan haknya
menjadi tugas pemilik itu sendiri untuk mendapatkan kembali haknya. Begitu pula
daerah juga merupakan kepribadian. Dan dalam hal ini yang penting adalah bahwa
negara adalah merupakan hak milik pribadi daripada raja.
Para bangsawan, apalagi rakyat jelata, tidak mempunyai hak apa-apa, terutama dalam
susunan ketatanegaraan. Tetapi dalam waktu negara mengalami bahaya, peperangan
misalnya, kaum bangsawan itu dan juga rakyat biasa harus selalu memberikan
bantuannya kepada raja, berupa apapun. Maka nanti kepada mereka yang berjasa, raja
memberikan hadiah yang berupa pinjaman sebidang tanah. Pemberian hadiah itu
dengan suatu perjanjian bahwa sebagian daripada hasilnya harus diserahkan kepada
raja, sebagai suatu pajak, atau merupakan suatu tanda bahwa mereka itu adalah
bawahan raja. Orang-orang yang mendapatkan hadiah tanah itu disebut leenman,
sedang raja yang meminjamkan tanah itu disebut leenheer atau tuan tanah.

Hubungan antara leenheer dengan leenman ini semula adalah baik, leenheer semula
rajin berkeliling ketempat-tempat leenman, atau sebaliknya leenman yang berkunjung
ketempat leenheer. Tetapi lama-kelamaan hubungan ini menjadi renggang dan
akhirnya malahan terputus sama sekali. Maka setelah putusnya hubungan ini para
leenmanlah yang menjadi berkuasa di daerah-daerah tersebut. Kekuasaan ini makin
lama makin menjadi kuat. Kedudukan raja tergantung pada bantuan dan dukungan para
leenman. Akhirnya kekuasaan raja semakin berkurang dan malahan habia sama sekali.
Keadaan demikianlah dipergunakan sebaik-baiknya oleh para leenman untuk
memproklamirkan dirinya sebagai raja. Demikianlah timbul raja-raja kecil dan mereka ini
saling berebutan kekuasaan. Keadaan inilah yang menimbulkan kekacauan dan
perpecahan daerah negara.

Hal-hal tersebut di atas itulah yang kemudian menyebabkan para sarjana kenegaraan
pada jaman renaissance itu selalu berusaha untuk memikirkan atau mengadakan
konsepsi-konsepsi tentang sistem pemerintahan sentral dan mutlak pada negara atau
staats absolutisme. Sedang tujuannya adalah untuk menghentikan perang perebutan
kekuasaan yang selalu menimbulkan kekacauan itu. Banyaklah kiranya negara yang
terjerumus ke dalam keadaan ini. Italia misalnya, telah mengalami keadaan ini
semenjak pada pertengahan abad ke XIII. Proses mana berjalan terus semenjak raja-
raja Jerman lenyap dari Italia dan akhirnya memuncak pada abad ke XVI. Maka mulai
saat itu masalah kenegaraan menjadi hangat dan sangat menarik perhatian.
Masalahnya ialah, bagaimanakah kekacauan dan perebutan kekuasaan itu dapat
diakhiri dan diganti dengan suatu ketertiban. Masalah inilah yang sangat menarik
perhatian dan kemudian diselidiki serta dicari pemecahannya oleh seorang tokoh
kenegaraan yang sangat mentakjubkan pada masa itu. Tokoh tersebut yang dimaksud
tidak lain adalah Niccolo Machiavelli.

1. Niccolo Machiavelli

Niccolo Machiavelli dilahirkan di Florence. la hidup pada tahun 1469 1527. Ajarannya
tentang negara dan hukum ditulis dalam bukunya yang sangat terkenal yang diberi
nama II Principe artinya Sang Raja atau Buku Pelajaran untuk Raja. Buku ini
dimaksudkan untuk dijadikan tuntunan atau pedoman bagi para raja dalam
menjalankan pemerintahannya, agar raja dapat kembali negara Italia yang pada waktu
itu mengalami kekacauan dan daerah negara terpecah-belah. Dalam buku tersebut juga
menerangkan pendirian Machiavelli terhadap azas-azas moral dan kesusilaan dalam
susunan ketatanegaraan

Meskipun dahulu Aristoteles telah mengadakan pemisahan dan pembedaan antara


ajaran kesusilaan dengan ajaran tentang negara dan hukum, namun ia masih
cenderung untuk mendasarkan ajaran tentang negara dan hukum itu pada azas-azas
kesusilaan. Akan tetapi tidak demikianlah halnya dengan Niccolo Machiavelli. la
menunjukkan dengan terang dan tegas pemisahan antara azas-azas kesusilaan
dengan azas-azas kenegaraan yang berarti bahwa orang dalam lapangan ilmu
kenegaraan tidak perlu menghiraukan atau memperhatikan aras azus kasutan chung
bahkan negara kepentingannya akan terugikan apabila andak berbuat demikian

Ajaran atau pandangan Niccolo Machiavelli tersebut dan sangat terpengaruh bahkan
dapat dikatakan merupakan pencerminan daripada apa yang dikenalnya dalam praktek
sebagai seorang ahli niegan dan pil yang telah dijalankannya, karena dunggapnya peilu
sekali menyelenggarakan kepentingan kepentingan negara diangkatnya menjadi teori
umum mengenai praktek ketatanegaraan dengan cara yang mengah dan berani. Di
sinilah Niccolo Machiavelli kelihatan sangat terpengaruh oleh keadaan di tanah airnya,
Italia, karena keadaan di Italia pada waktu itu sedang mengalami kekacauan dan
perpecahan, maka ia menginginkan terbentuknya Zentral Gewalt (sistem pemerintahan
sonual). Maksudnya ialah agar dengan demikian keadaan dapat menjadi tenteram
kembali,

Dengan demikian akan kelihatan adanya perbedaan yang besar sckali antara semangat
ajaran pada jaman abad pertengahan dengan ajaran Niccolo Machiavelli yang
mencerminkan semangat renaissance. Sebab semua ajaran tentang negara dan hukum
yang telah dikemukakan pada jaman abad pertengahan, sepertinya : teori dua pedang,
teori cahaya matahari dan bulan, teori tentang kunci kekuasaan dari Paus, teori organis
mengenai negara, dan sebagainya semacam itu pada jaman renaissance telah lenyap
sama sekali tanpa meninggalkan bekas sedikitpun, dan dalam buku-bukunya, Niccolo
Machiavelli tidak membicarakan teori-teori tersebut sedikitpun.

Ajaran Niccolo Machiavelli yang menggantikan ajaran-ajaran dari jaman abad


pertengahan yang bersifat teologis adalah suatu ajaran yang bersifat kosmis
Naturalistis, suatu realisme modern, yang berdasarkan atas ajaran-ajaran kuno,
khususnya dari praktek pemerintahan bangsa Romawi.
Tujuan negara menurut Niccolo Machiavelli adalah sangat berbeda dengan ajaran-
ajaran yang telah terdahulu, yaitu untuk mencapai kesempurnaan seperti yang
diajarkan oleh sarjana-sarjana jaman abad pertengahan. Sedang menurut Niccolo
Machiavelli tujuan negara adalah mengusahakan terselenggaranya ketertiban,
keamanan dan ketentraman. Dan ini hanya dapat dicapai oleh pemerintah seorang raja
yang mempunyai kekuasaan absolut. Jadi usahanya itu menuju ke arah mendapatkan
serta menghimpun kekuasaan yang sebesar-besarnya pada tangan raja. Tetapi itu
semuanya bukanlah merupakan tujuan negara yang terakhir, melainkan hanya
merupakan sarana saja untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kemakmuran
bersama. Yang dimaksud adalah kemakmuran bersama rakyat Italia. Jadi dengan
demikian kalau dahulu tujuan negara itu selalu bersifat kultural, sedangkan menurut
Niccolo Machiavelli tujuan negara semata-mata adalah kekuasaan.

Ajaran-ajaran Niccolo Machiavelli kebanyakan lebih berupa ilmu kenegaraan praktis


(hukum tatanegara) daripada teori tentang negara dan hukum (ilmu negara), meskipun
sesungguhnya yang terakhir ini merupakan dasar daripada yang pertama. Ia adalah
seorang realis sejati yang pertamatama di dalam ilmu negara.

Maka sesuai dengan ajarannya, yaitu pertama-tama menyusun sistem pemerintahan


sentral, ia dalam ajarannya telah memisahkan dengan tegas azas-azas moral dan tata
susila dari azas-azas kenegaraan. Karena moral dan tatasusila ini adalah merupakan
suatu hal yang diharapkan, merupakan dassien. Sedangkan ketatanegaraan itu adalah
merupakan suatu kenyataan, merupakan das-sein. Padahal sesuatu kenyataan itu
selalu berbeda dengan apa yang selalu diharapkan. Alangkah besar perbedaannya
antara cara orang seharusnya hidup dengan cara orang hidup yang sebenarnya. Apa
yang selalu dikatakan tidak selalu sama dengan apa yang diperbuatnya.

Hingga orang akan lebih membinasakan daripada menyelamatkan dirinya bila orang
lupa akan kenyataan yang sesungguhnya itu. Di lingkungan orang-orang yang jahat,
orang baik pastilah akan binasa. Jadinya seorang raja harus belajar supaya tidak
menjadi orang baik. Raja tidak perlu terikat oleh perjanjian-perjanjian yang telah
diadakannya, apabila perjanjian itu bila ditepati akan merugikan negaranya. Jadi raja
boleh ingkar janji bila itu untuk kepentingan negaranya.

Sesuai dengan sifat realitisnya Niccolo Machiavelli mengatakan bahwa negara itu
adanya untuk kepentingan negara itu sendiri, dan seharusnya negara mengejar tujuan
dan kepentingannya sendiri dengan cara yang dianggapnya paling tepat, meskipun
dengan cara yang sangat licik sekalipun. Dengan demikian kepentingan negara
dijadikan ukuran tertinggi bagi pelaksanaan pemerintahan dan segala perbuatan
manusia. Untuk itu ia tidak saja menganggap perlu melepaskan sama sekali pikiran-
pikiran yang teologis, tetapi juga kesusilaan dan moral. Oleh karena praktek daripada
kesusilaan dan moral sifatnya adalah jauh sekali dengan praktek kenegaraan yang
senyatanya. Ajaran Niccolo Machiavelli tersebut diatas orang menamakan ajaran
tentang kepentingan negara atau Staats-raison.

Untuk lebih jelasnya sekali lagi kita sebutkan bahwa Niccolo Machiavelli adalah seorang
ahli pemikir besar pada jaman renaissance. Ajarannya pada umumnya merupakan
pencerminan daripada apa yang dikenalnya dalam praktek. Dan dalam ajarannya itu,
demi kepentingan negara, yaitu untuk menyusun sistem pemerintahan sentral dan
mutlak pada negara untuk mempersatukan kembali negara Italia yang pada waktu itu
mengalami kekacauan dan perpecahan, ia tidak segan-segan memisahkan dengan
tegas antara azas moral dan kesusilaan dari azas-azas koncgaraan. Ini ternyata dalam
kata-katanya antara lain sebagai berikut :

"Alangkah besar perbedaannya antara cara orang seharusnya hidup dan cara orang
hidup yang sebenarnya. Sehingga orang akun lebih-lebih menghancurkan atau
membinasakan dirinya daripada akan menyelamatkan dirinya, apabila ia lupa akan
kenyataan yang sesungguhnya. Di lingkungan orang-orang yang jahat pastilah orang
yang baik akan binasa. Maka seorang raju harus belajar supaya tidak menjadi orang
baik. Karena itu seorang raja harus juga sanggup untuk tidak menepati janjinya. Hanya
raja raja yang dapat berlaku demikianlah yang telah mencapai hasil-hasil yang besar.
Sebab orang yang mempercayai kejujuran orang lain, telah dikalahkan karena itu.
Demikianlah yang diajarkan sejarah kepada kita. Sebab itu orang seharusnya berjuang
dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan seperti binatang-binatang, dan tidak
menggunakan hukum. Seorang raja harus dapat menjadi binatang yang merupakan
kancil dan singa sekaligus. Merupakan kancil, supaya ia tidak terjerat dalam jaring-
jaring orang lain, dan merupakan singa supaya ia tidak gentar mendengar raung
srigala. Barulah demikian ia dapat memahamkan tugasnya dengan baik. Jikalau negara
akan dirugikan maka raja tak perlu menepati janjinya. Jika kalau orang-orang itu baik
semuanya, maka peraturan itulah yang buruk sekali, akan tetapi oleh karena
orangorang itu jahat semua, maka peraturan itu adalah baik. Raja-raja telah
memperoleh hasil-hasil yang besar karena mereka tidak menepati perjanjian-perjanjian
perdamaian. Akan tetapi orang harus pandai memainkan peranan ini, ia harus pandai
berpura-pura dan menyembunyikan sesuatunya. Sebab barangsiapa menipu selalu
akan menemui orang yang suka ditipu.

Demikianlah antara lain kata-kata Niccolo Machiavelli, sekedar untuk menjelaskan


bagaimana ia telah melepaskan azas-azas moral dan kesusilaan dari azas-azas
kenegaraan.

Selanjutnya, sesuai dengan sifat naturalistisnya, Niccolo Machiavelli berpendapat


bahwa hukum dan kekuasaan itu adalah sama. Sebab siapa yang mempunyai
kekuasaan ia mempunyai hukum, dan siapa yang tidak mempunyai kekuasaan, tidak
akan pernah mempunyai hukum. Dan yang paling baik memainkan peranan raja dalam
semangat alam pikiran Niccolo Machiavelli adalah Kaisar Borgia. Sebab ia adalah raja
yang paling unggul dalam lapangan kekerasan, penipuan, pembujukan, kelicikan dan
sebagainya semacam itu, sehingga ia banyak mempunyai harapan akan berhasil dalam
mencapai kesatuan Italia, sebagai tujuan.

Selanjutnya dikatakan oleh Van Schmid: akan tetapi setiap orang yang masih
mempunyai cita-cita yang lebih tinggi, jadinya yang meningkat di atas kenyataan
daripada apa yang dapat dialami oleh panca inderanya, dan dengan demikian masih
merasakan idealismenya sedikit dalam hatinya, di samping naturalisme ini, tentu dalam
hatinya akan mengadakan sedikit perlawanan terhadap pemandangan Niccolo
Machiavelli ini. Dengan demikian tokoh ini (yang dimaksud Niccolo Machiavelli) akan
lebih banyak mendapat nama buruk daripada nama masyhur, bukan karena ia kurang
tepat menggambarkan kenyataan, atau karena ia telah menentukan cara bertindak
yang salah untuk menghadapinya, melainkan karena ia menolak segala sesuatu yang
oleh jaman pertengahan dianjurkan pada umat manusia sebagai suatu cita-cita yang
tinggi yang dapat memberi pedoman padanya. Dengan mengajarkan manfaatnya,
bahkan keperluan dari kejahatan, Niccolo Machiavelli telah melukai perasaan
kesusilaan yang tinggi dari banyak orang. Oleh karena itu banyak orang
menganggapnya seorang manusia yang jahat sekali dan menolak seluruh pribadi dan
ajarannya. Frederik yang Agung, misalnya, merasa terkena sekali dalam perasaan
kesusilaannya karena petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Niccolo Machiavelli
kepada sang Raja, sehingga ia menyuruh menerbitkan dalam tahun 1740 sebuah
karangannya Anti Machiavelli, dalam mana buku II Principe dari Niccolo Machiavelli
dikupasnya bab demi bab.

Seterusnya : “Akan tetapi keritik kemudian dalam abad ke XIX dari Von Mohl, Ranke,
dan Macaulay mengerti, bahwa alam pikiran Niccolo machiavelli belum lagi diselidiki
sedalam-dalamnya dan hanya ditafsirkan dari sudut pikiran apriori dari sipembaca saja.
Sebab Niccolo Machiavelli menghendaki hal yang baik, bukan yang jahat.
Sesungguhnya, kejahatan itu dalam ajarannya bukanlah tujuan, akan tetapi hanya
suatu alat yang perlu untuk mencapai kebaikan, apabila ini tidak mungkin tercapai
dalam hidup ini dengan cara lain. Dalam karangan-karangannya tak adalah bagian,
dimana tidak ternyata, bahwa ini adalah pendirian si pengarang (dimaksud Niccolo
Machiavelli). juga ia tidak pernah menganjurkan kejahatan itu kepada sescorang',
melainkan senantiasa dan melulu untuk kepentingan orang yang mengabdi pada
negara, tidak sekali-kali untuk memenuhi keserakahannya sendiri, melainkan untuk
menyelenggarakan kepentingankepentingan yang terletak di luar kepentingan orang
yang menjalankan itu. '9) dan
Jadi dengan demikian soalnya menjadi bertambah sulit. Dan segala sesuatunya
tergantung penerimaan serta penafsiran seseorang. Tetapi yang terang sikap yang
dianjurkan oleh Niccolo Machiavelli itu untuk para akhli negara bukannya pikiran yang
aseli dari padanya. Dahulu sudah ada pikiran itu. Charles Benoist, misalnya, telah
mengarang sebuah buku mengenai Machiavellisme dalam masa sebelum Niccolo
Machiavelli hidup. Terutama di kalangan bangsa Romawi pikiran Machiavellisme itu
sudah mempunyai arti yang besar dalam kehidupan negara. Akan tetapi belum pernah
mempunyai dasar yang teoritis. Sebab sebagai teori pikiran tersebut amat bertentangan
dengan alam pikiran idial dari jaman itu, terlebih dengan alam pikiran universal teologis
dari jaman abad pertengahan. Dalam pikiran tentang negara dan hukum hanya
memandang Marsilius sebagai seorang realis.20)

Bagaimana pikiran Niccolo Machiavelli mengenai bentuk-bentuk pemerintahan ?


Menurut pendapatnya bentuk yang paling baik adalah Monarki. Mengapa demikian ?
Dari alam pikirannya ia mengatakan, apabila orang-orang itu ekonomis sama kuatnya,
maka sebaiknya dilaksanakan sistem pemerintahan yang demokratis, ia memberikan
nilai yang tinggi kepada Demokrasi itu, akan tetapi untuk itu diperlukan keseluruhan
daripada warga negara yang mengerti dan mempunyai selera untuk usaha bersama itu.
Sedangkan bentuk Aristokrasi ditolaknya.

Dengan ajaran Niccolo Machiavelli tersebut di atas, kita sesungguhnya telah langsung
memasuki praktek ketatanegaraan dan pikiran-pikiran tentang negara dan hukum pada
jaman renaissance dengan segala kebaikan dan keburukannya dari paham
individualisme yang merajai pada jaman itu.

2. Thomas Morus

Thomas Morus dilahirkan di London. Ia hidup pada tahun 1478 1535. Ayahnya seorang
hakim. Di masa kecilnya Thomas Morus sangat mengagumkan, ia seorang anak yang
ajaib, sebab baru berumur 18 tahun ia telah termasyhur di seluruh dunia dalam
lapangan kesusasteraan berhubung dengan karangan-karangannya tentang jaman
klasik. Jabatannya kemudian adalah sebagai pengacara yang ulung, dan karena itu ia
menjadi dekat dengan raja Henry VIII. Tetapi karena sesuatu hal, yaitu karena ia tidak
mau menyetujui dan tidak mau memberikan bantuannya dalam hal perceraian raja
tersebut dengan permaisurinya, ia dipenjara di Tower, dan kemudian dihukum mati
pada tahun 1535.

Apabila pemikiran tentang negara dan hukum pada jaman renaisance telah diungkap
oleh seorang sarjana besar Italia yang bernama Niccolo Machiavelli , maka di Inggris
pada tahun 1516, jadi beberapa tahun setelah terbitnya buku Il Principe dari Niccolo
Machiavelli, Thomas Morus menerbitkan sebuah buku karangannya, yang
sesungguhnya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah pemikiran tentang negara
dan hukum, karena buku tersebut bersifat roinan kenegaraan, yaitu De optimo publicae
statu deque nova insula Utopia; tentang susunan paling baik dan tentang pulau yang
tidak dikenal, yang dinamakan entah berantah, atau dengan singkat disebut Utopia,
karena tulisannya itulah nama T'homas Morus terkenal di seluruh dunia dan bahkan
namanya dapat diabadikan dalam sejaralı pemikiran tentang negara dan hukum.

Meskipun buku Utopia dari Thomas Morus itu bersifat roman kenegaraan, tetapi, seperti
halnya dengan buku-buku roman kenegaraan lainnya, di dalamnya itu memuat suatu
keanehan. Yaitu bahwa orang dengan berkedok suatu ceritera yang sifatnya dibuat-
buat dan hanya merupakan khayalan belaka, telah menggambarkan dengan jelas dan
gamblang serta dengan berani suatu susunan masyarakat negara yang sempurna, dan
di dalamnya itu sudah mengandung atau tersimpul, suatu keritikan yang tajam serta
pendapat yang buruk terhadap negara yang ada. Dan pokok hakekatnya itu terletak
pada keadaan bahwa sifat-sifat dan cara-cara hidup tertentu yang dikhayalkannya itu, di
dalam negara khayalan itu, tetap hanya merupakan angan-angan atau impian belaka.
Sebab kalau tidak demikian, maka bukubuku karangan Plato, juga Aristoteles itu juga
akan termasuk dalam kategoriroman kenegaraan. 21)

Buku Utopia dari Thomas Morus dibagi dalam dua bagian. Buku yang pertama belum
menggambarkan negara model yang dimaksud, melainkan baru menggambarkan
keadaan yang menyebabkan serta mengilhami Thomas Morus menciptakan negara
modelnya. Yaitu keadaan di mana rakyat mengalami tekanan-tekanan baik dari raja
maupun dari para bangsawan, yang menyebabkan kesengsaraan rakyat terutama
dalam lapangan ekonomi. Dengan demikian kejahatan merajalela, dan merosotnya
moral. Sedangkan berfoya-foya, padahal rakyat yang kerja keras siang malam hidupnya
tidak raja dan para bangsawan yang nganggur itu hidup dengan mewah dan lebih baik
daripada seekor lembu penarik pedati. Jadinya dengan demikian apa yang dinamakan
keadilan tidak ada sama sekali. Itulah keadaan di Inggris pada waktu itu. Sampai soal
kepercayaan atau agama tidak ada kebebasan sama sekali.

Buku kedua menggambarkan negara model yang dikhayalkan oleh Thomas Morus.
Bahwa keadaannya di Utopia lain. Seorang penakluk, Utopis, telah membuat penduduk
aslinya yang biadab menjadi suatu natie atau bangsa. Maka muncullah sudah 54 kota
yang indah. Pusatnya ialah kota Amaurotum. la adalah negara pertanian dan letaknya
Amaurotum banyak persamaannya dengan letak kota London. Penduduk dibagi-bagi
dalam keluarga keluarga pertanian yang masing masing terdiri dan 40 orang, di atas
keluarga sedemikian itu ada seorang pbilarch, sedangkan di atas 10 philarch, jadi
diatas 300 keluarga, anda seorang protophilarch. Para philarch itu memilih rajanya, dan
sebuah senat membuat undang-undang. Setiap orang wajib bekerja tetapi lamanya
hanya cnam jam sehari, sedangkan orang-orang boleh tidur selama delapan jam sehari.
Ianya mereka yang mempelajari ilmu pengetahuan dibebaskan dari kewajiban itu.
Waktu-waktu makan diadakan bersama-sama, meskipun ini tidak diwajibkan. Demikian
pula aturannya untuk pemeliharaan orang-orang sakit. Anchlah pendapatpendapat dari
kaum Utopia tentang hal emas, perak, dan mutumanikam. Yang terakhir ini adalah
barang-barang permainan anak-anak, sedang yang pertama dipakai untuk belenggu
budak-budak, Pengajaran diselenggarakan dengan baik, akan tetapi scholastik dan
dialektik tidak diajarkan, ilmu falak ada. Filsafat mereka adalah filsafat Epicurus sebab
mereka juga mengejar kebahagiaan, dan kenikmatan. Mereka memajukan kesehatan
dan keindahan, jumlah undang-undang sedikit sekali, pengacara-pengacara tidak
diperlukan. Perceraian diperbolehkan, tetapi hal ini jarang sekali terjadi. Mereka suka
berlapang dada di lapangan keagamaan. Setiap kota berbeda dalam hal upacara-
upacara keagamaannya. Ini menunjukkan adanya kebebasan memeluk agama. Soal
mati tidak dipikirkan, malahan ini adalah hal yang diharap-harapkan, karena mati itu
untuk mereka berarti beralih ke penghidupan yang lebih baik. Selanjutnya orang tidak
perlu takut akan kekurangan mata pencaharian dan kekurangan makan? 22)

Demikianlah gambaran negara model dalam Utopianya Thomas Moms. Yang tidak lain
merupakan kritikan yang tajam terhadap ketidak adilan di Inggris pada waktu itu,
terhadap kaum feodal, kaum bangsawan, dan terutama secara diam-diam merupakan
gugatan terhadap hasrat daripada keluarga raja Tudor yang pada waktu itu memerintah
di Inggris untuk mencapai kekuasaan absolut dalam lapangan ketatanegaraan.

Thomas Morus sendiri dalam bathinnya sesungguhnya berkeberatan terhadap


Utopianya itu, oleh karena suatu masyarakat, di mana keadaan hidup dan harta benda
diatur secara komunistis, dan tanpa ada uang, akan mematikan semua pengertian
tentang gensi, keindahan dan kegemilangan, hal-hal yang justru penting dalam
kehidupan negara. Tetapi oleh karena keadaan, terpaksa ia berbuat demikian dan
menutup mulutnya rapat-rapat.

3. Jean Bordin

Jean Bodin adalah seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari negara
Perancis, yang banyak juga dipengaruhi oleh keadaan pada jaman renaissance. la
hidup pada tahun 1530 — 1596. la adalah seorang realistis seperti halnya dengan
Niccolo Machiavelli. la hidup dalam suasana sistem pemerintahan absolutisme di
bawah kekuasaan Henri IV. Ini adalah bentuk pemerintahan baru yang sama sekali
tidak dikenal pada jaman abad pertengahan dan yang memberi sifat kenegaraan yang
khusus pada jaman sejarah Baru. Di sinipun individualism akan lekas diganti oleh
bentuk baru ialah kolektivisme, yang akan segera mengakhiri individualisme itu sama
sekali,
Kekuasaan absolutisme di bawah pemerintahan Henri IV ini telah berlangsung lama,
dari tahun 1589 1610, maka telah berakar kuat pada sistem ketatanegaraan Perancis.
Maka sudah barang tentu perubahanperubahan yang penting dalam hubungan
kekuasaan dirumuskan dan dibenarkan dalam bentuk yuridis secara ilmiah. Hal inilah
yang dilakukan oleh Jean Bodin dalam buku karangannya : Les Six Livres de la
Republique. Yang diterbitkan pada tahun 1576. Jadinya ajaran Jean Bodin itu
sebetulnya hanyalah memberi dasar-dasar yuridis terhadap kekuasaan absolut di
bawah pemerintahan Henri IV tadi.

Sama halnya dengan Niccolo Machiavelli, Jean Bodin juga menyatakan bahwa tujuan
negara itu adalah kekuasaan. Difinisinya tentang negara adalah sebagai berikut :
Negara adalah keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan segala miliknya, yang
dipimpin oleh akal dari seorang penguasa yang berdaulat. Jadi seperti Aristoteles, Jean
Bodin berpendapat bahwa keluarga itu adalah asal atau dasar daripada negara, baik
menurut logika maupun menurut sejarah. Kekuasaan negara mengharuskan membatasi
kebebasan bertindak menurut alam. Dalam keluarga itu ada pater familias sebagai
kepala keluarga, ia melakukan pembatasan-pembatasan dalam keluarga. Dasar
masyarakat adalah naluri, sedang dasar negara adalah kekuasaan. Pada mulanya
hanya ada satu keluarga, kemudian keluarga-keluarga lainnya bergabung dan
merupakan suatu kesatuan, oleh karena dengan demikian itu mereka secara bersama-
sama dapat mempertahankan diri, dengan baik. Dan dalam keadaan itu pula
kebebasan alam lenyap. pendapatnya sama dengan Aristoteles. 23) Sampai di sini

Akan tetapi untuk selanjutnya pendapatnya berbeda, yaitu mengenai pemimpin atau
penguasa yang pertama. Kalau menurut Aristoteles penguasa yang pertama itu dipilih
oleh rakyat. Sedangkan menurut Jean Bodin penguasa yang pertama itu adalah
pemimpin militer yang memperlihatkan kekuasaannya.

Sesuai dengan pendapatnya tentang tujuan negara, maka Jean Bodin mengatakan
bahwa negara merupakan perwujudan daripada kekuasaan. Untuk memperkuat
pendapatnya itu, maka ia lalu merumuskan pengertian kedaulatan. Kedaulatan adalah
kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyatnya, tanpa ada suatu
pembatasan apapun dari undangundang. Dalam perumusannya atau lebih tegas
definisinya ini, sekaligus terkandung pengertian negara, dan kekuasaan raja. Raja tidak
terikat oleh kekuasaan undang-undang. Raja adalah yang menetapkan undang-undang.
Yang dimaksud dengan undang-undang adalah hukum positif, jadi bukan hukum Tuhan
atau hukum alam.

Perlu diingat bahwa sesungguhnya tentang pengertian kedaulatan itu dalam sejarah
pemikiran tentang negara dan hukum belum pernah mendapatkan kesatuan pendapat.
Dalam arti bahwa masing-masing sarjana memberikan perumusan pengertian
kedaulatan menurut pendapatnya sendirisendiri. Juga apakah pengertian kedaulatan itu
sama dengan pengertian sovereigniteit. Kalau menurut Jean Bodin tadi kedaulatan itu
adalah : kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum di dalam suatu negara, yang
sifatnya :

1. Tunggal. Ini berarti bahwa hanya negaralah yang memiliki. Jadi di dalam negara itu
tidak ada kekuasaan lainnya lagi yang berhak menentukan atau membuat undang-
undang, atau hukum.

2. Asli. Ini berarti bahwa kekuasaan itu tidak berasal dari kekuasaan lain. Jadi tidak
diturunkan atau diberikan oleh kekuasaan lain. Jadi misalnya propinsi atau kotapraja itu
tidak mempunyai kedaulatan, karena kekuasaan yang ada padanya itu tidak asli, sebab
diperoleh dari pusat.

3. Abadi. Ini berarti bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi atau kedaulatan itu
adalah negara, yang menurut pendapat Jean Bodin negara itu adanya abadi.

4. Tidak dapat dibagi-bagi. Ini berarti bahwa kedaulatan itu tidak dapat diserahkan
kepada orang atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya.

Konsepsi Jean Bodin tentang pengertian kedaulatan tersebut diatas, sebetulnya


mempunyai suatu kelemahan, yang meskipun ini telah disadari oleh Jean Bodin sendiri,
ialah bahwa ia tidak memisahkan antara pengertian negara dengan pemerintah. Ini
merupakan kelemahan dari teorinya, sebab lalu berarti bahwa kedaulatan negara
dengan kedaulatan pemerintahnya. Karena pemerintah itu tidak abadi, maka ini berarti
bertentangan dengan unsur abadi dari kedaulatan di dalam teorinya. sama

Tadi dikatakan bahwa hal ini sebenarnya telah disadari oleh Jean Bodin, jadi di sini
tentu ada maksudnya. Memang ada, ialah : Jean Bodin ingin membentuk suatu
pemerintahan sentral yang absolut, dan ini hanya dapat dilaksanakan dalam
pemerintah, dalam hal ini adalah raja. Mengapa demikian? Sebabnya ialah negara itu
merupakan suatu pengertian yang abstrak, sedang pemerintah atau raja itu mempunyai
pengertian yang konkrit. Maka akhirnya raja inilah yang memiliki kedaulatan, dengan
pengertian bahwa raja harus dapat mengatasi kekacauan dalam negara.

Dengan demikian Jean Bodin memberikan kepada raja kekuasaan yang absolut, seperti
halnya dengan Machiavelli . Maka tidaklah mengherankan bahwa Jean Bodin tidak
menyetujui adanya badan perwakilan yang mempunyai kekuasaan di samping raja. la
hanya dapat menerima bila badan perwakilan itu terdiri dari suatu kelas atau kasta dan
yang hanya mempunyai kekuasaan untuk memberi nasehat saja kepada raja.
24) Di atas telah dikatakan bahwa Jean Bodin tidak membedakan antara negara dan
pemerintah. Karena pembedaan ini memungkinkan timbulnya bermacam-macam
bentuk pemerintahan, dan dengan demikian kedaulatan itu akan dilakukan dengan
berbagai-bagai cara. Sejak Aristoteles telah dibedakan secara tradisionil bentuk-
bentuk : Monarki, Aristokrasi dan Demokrasi. Jean Bodin sama sekali tak mau tahu
terhadap bentuk-bentuk campuran. Bentuk yang terbaik baginya adalah Monarki yang
sifatnya turuntemurun, dimana hanya orang laki-laki sajalah yang boleh memerintah. Ini
satu-satunya bentuk negara.

Pengaruh ajaran Jean Bodin adalah besar sekali, tidak hanya di Perancis, di mana raja-
raja mendapatkan sandaran atau dasar yuridis untuk usaha politiknya, dan memperluas
serta memperkuat kekuasaannya. Juga di Inggris ajaran Jean Bodin itu mendapatkan
sambutan baik sekali. Tetapi yang terang ajaran Jean Bodin ini memperkuat timbulnya
sistem pemerintahan yang bersifat absolut. Ini menjadikan ia seorang ahli pemikir yang
asli dan kuat . Dan yang meletakkan dasar-dasar pemikiran untuk abad-abad yang
akan datang.

Hanya saja dari ajarannya ada kelemahannya lagi, yaitu bahwa ia tidak berani
menyingkirkan hukum Tuhan dan hukum alam seluruhnya dari sistemnya yang sangat
positif itu, meskipun penyingkiran yang dimaksud itu perlu. Karena itu tidak teranglah
bagaimana hubungan antara raja yang berdaulat dengan kedua macam hukum tadi.
Tidak ternyata sama sekali tentang adanya hak dari rakyat terhadap rajanya untuk
mendasarkan kekuasaannya pada hukum Tuhan atau hukum alam. Kedua hukum
tersebut tidak mempunyai arti sama sekali dalam hukum positif. Maka kemudian
timbullah pen-dapat umum bahwa kekuasaan absolut daripada raja itu bersifat hukum
Tuhan, jadinya dengan demikian raja tidak bertanggung jawab sama sekali terhadap,
rakyatnya, kecuali bertanggung-jawab kepada Tuhan nanti di akhirat.

Anda mungkin juga menyukai