Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PERUMUSAN UNSUR-UNSUR DALAM TINDAK PIDANA


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah HUKUM PIDANA

Dosen Pengampu:

Dr. H. Imron Rosyadi, Drs., SH., MH.

Disusun Oleh:

1. Muhammad Nizamuddin Aulia (05040120128)


2. Raihan Ruri Febriansyah (05040120134)
3. Rizky Amalia Zahrotul Wardah (05040120137)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAB HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan
puji dan syukur kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta
inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sumber Hukum Pidana”.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana yang
diampu oleh Bapak Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H. Makalah ini berisikan tentang informasi
tentang Bebrapa Sumber Hukum Pidana. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi
dan khazanah bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami
bagi siapa pun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Sidoarjo, 27 Oktober 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3

BAB I..................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN................................................................................................................. 4

A. LATAR BELAKANG.............................................................................................. 4
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................... 5
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................................... 6
D. LANDASAN TEORI................................................................................................ 6

BAB II................................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN................................................................................................................... 7

A. SUBYEK HUKUM PIDANA.................................................................................. 7


B. PENGERTIAN PERBUATAN............................................................................... 8
C. CARA MERUMUSKAN TINDAK PIDANA........................................................ 10
D. JENIS TINDAK PIDANA....................................................................................... 11
E. PENERAPAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA............................................ 15
F. LOCUS DELICTI DAN TEMPUS DELICTI....................................................... 16

BAB III.................................................................................................................................. 19

PENUTUP............................................................................................................................. 19

KESIMPULAN..................................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan
perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan
hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Hukum pidana
disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan di dalam masyarakat agar dapat
dipertahankan dari segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya
kedamaian dan ketertiban.

Tindak pidana atau biasa disebut dengan kejahatan merupakan fenomena masyarakat
karena itu tidak dapat dilepaskan dari ruang dan waktu. Dalam pemerintahan suatu
negara pasti diatur mengenai hukum dan pemberian sanksi atas pelanggaran hukum
tersebut. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-
kaedah dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi.1 Hal ini berarti setiap individu harus mentaati peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah di dalam berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.

Dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, fungsi hukum menjadi sangat
penting, karena berarti harus ada perubahan secara berencana. Untuk menciptakan
perubahan dalam masyarakat, pemerintah berusaha untuk memperbesar pengaruhnya
terhadap masyarakat dengan berbagai alat yang ada padanya. Salah satu alat itu adalah
“hukum pidana”. Dengan hukum pidana, pemerintah menetapkan perbuatan-perbuatan
tertentu sebagai tindak pidana baru.2

Moeljatno mengemukakan bahwa hukum pidana adalah sebagai berikut:


1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah
diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.3

1
Sudikno Mertokusmo. 2003. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal. 40.
2
Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan kuliah Hukum Pidana. Surakarta. Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 2.
3
Moeljatno. 1993. Azas-Azas Hukum Pidana. Yogjakarta: Bina Aksara. Hal. 45.

4
Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku manusia
didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks. Perilaku yang
demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya ada perilaku yang sesuai dengan
norma dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dari norma. Perilaku
yang menyimpang dari norma biasanya akan menjadikan suatu permasalahan baru
dibidang hukum dan merugikan masyarakat.4

Pasal 28A Undang–undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mengatakan
“setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
penghidupannya”, jadi dapat dikatakan tindak pidana pembunuhan merupakan perbuatan
yang melanggar Pasal 28A UUD 1945, dan dalam melindungi warga negaranya tersebut,
Negara melalui Undang–Undang serta peraturan–peraturan lain memberikan sanksi
kepada setiap orang yang melakukan perbuatan pidana. Dalam tindak pidana
pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP sebagai unsur pokok yang berisikan
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan,
dengan kurungan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.5

Hal ini juga diatur dalam Pasal 340 KUHP sebagai bentuk pemberatan dengan
mengambil seluruh unsur yang ada dalam Pasal 338 KUHP dan Apabila rumusan tersebut
dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari:

1. Unsur Objektif:
a. Perbuatan: menghilangkan nyawa;
b. Objeknya: nyawa orang lain;
2. Unsur subjeknya: dengan sengaja.6

Ditambah dengan unsur adanya rencana terlebih dahulu yang berisikan “Barangsiapa
sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”.7

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka pemakalah merumuskan beberapa
masalah, yaitu:
1. Bagaimana rumusan dalam tindak pidana?
2. Apasaja jenis-jenis tindak pidana?
3. Sebutkan unsur-unsur dalam tindak pidana!
4
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemindahan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 3.
5
Moeljatno. 2008. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jakarta : Bumi Aksara. Hal. 122-123.
6
Adami Chazawi. 2002. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: Raja Grafindo Persada Hal. 57.
7
Moeljatno. 2008. KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 122-123.

5
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan Rumusan Masalah diatas dapat disimpilkan bahwa tujuan dari penulisan
makalah ini agar:
1. Kita bisa mengetahui tentang cara-cara untuk merumuskan suatu perkara tindak
pidana,
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dan unsur-unsur hukum tindak pidana,
3. Dan agar dapat bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan penyusun makalah
pada khususnya dan teman-teman.

D. LANDASAN TEORI
Negara Indonesia adalah Negara hukum (recht staats), maka setiap tindak pidana yang
terjadi selayaknya diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai satu-
satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno,
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana
larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu. Dalam
hal ada hubungannya dengan asas legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat
dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang,
maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman
pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.8

Kejahatan penipuan adalah salah satu bentuk kejahatan yang dikelompokkan ke dalam
kejahatan terhadap harta benda, yang mana oleh pelaku telah dipergunakan perbuatan-
perbuatan yang bersifat menipu atau digunakan tipu muslihat. Kejahatan penipuan dalam
bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dnegan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hak, mempergunakan nama palsu atau sifat palsu ataupun mempergunakan
tipu muslihat atau susunan kata-kata bohong, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan suatu benda atau mengadakan suatu perjanjian hutang atau meniadakan
piutang, karena salah satu telah melakukan penipuan, dihukum dengan hukuman penjaga
selama-lamanya empat tahun”.

8
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana . Jakarta: Bina Aksara. Hal. 54.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. SUBYEK HUKUM PIDANA


Menurut sistem KUHP Indonesia, yang dapat menjadi subjek hukum pidana ialah
natuurlijke person atau manusia. Hal itu dapat dilihat dalam tiap-tiap pasal dalam KUHP
Buku II dan Buku III. Sebagian besar kaidah-kaidah hukum pidana diawali dengan kata
barangsiapa sebagai kata terjemahan dari kata Belanda hij. Seiring berjalannya waktu
dan penggalian terhadap ilmu hukum pidana, manusia bukanlah satu-satunya subjek
hukum. Diperlukan suatu hal lain yang menjadi subjek hukum pidana. Disamping orang
dikenal subjek hukum selain manusia yang disebut Badan Hukum. Badan Hukum adalah
organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat
menyandang hak dan kewajiban.9 Negara dan perseroan terbatas misalnya adalah
organisasi atau kelompok manusia yang merupakan badan hukum.

Badan hukum dibedakan menjadi dua bentuk yaitu:


1. Badan hukum dalam lingkungan hukum publik, yaitu badan-badan yang pendiriannya
dan tatanannya ditetukan oleh hukum publik. Badan hukum ini merupakan hasil
pembentukan dari penguasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan
eksekutif, pemerintah atau badan pengurus yang diberi tugas untuk itu. Misalnya
negara, propinsi, kabupaten, desa, dan Bank Indonesia.
2. Badan hukum dalam lingkungan hukum privat, yaitu badan-badan yang pendirian dan
tatanannya ditentukan oleh hukum privat. Badan hukum ini merupakan badan hukum
swasta yang didirikan oleh pribadi orang untuk tujuan tertentu, yaitu mencari
keuntungan, sosial pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesehatan,
olah raga, dan lain sebagainya. Yang termasuk dalam hukum privat misalnya adalah
koperasi.

Dalam hukum pidana pengertian korporasi berarti sangat luas tidak hanya yang
berbentuk badan hukum saja, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi sebagai
korporasi melainkan juga firma, perseroan komanditer, persekutuan, sekumpulan orang.
Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana di latarbelakangi oleh sejarah dan
pengalaman yang berbeda di tiap Negara, termasuk Indonesia. Namun pada akhirnya ada
kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan industrialisasi dan
kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang telah mendorong
pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah
saja (natural person), tetapi juga meliputi korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu
dapat pula dilakukan oleh korporasi.

9
Adami Chanzawi. 2002, Pelajaran Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, hal. 71.

7
Perundang-undangan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baik perundang-
undangan pidana maupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana telah
mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, kendati ada beberapa undang-undang
yang belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana.

Penyebutan korporasi sebagai subjek hukum juga tercantum dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 angka 13
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Pasal 1 angka 21 Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomord 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang
menyatakan bahwa "Korporasi adalah kumpulan terorgaisasi dari orang /atau kekayaan,
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum".

B. PENGERTIAN PERBUATAN
Tiga masalah sentral atau pokok dalam hukum pidana berpusat kepada apa yang
disebut dengan tindak pidana (criminal act, strafbaarfeit, delik, perbuatan pidana),
pertanggung jawaban pidana10 (criminal responsibility) dan masalah pidana dan
pemidanaan. Istilah tindak pidana merupakan masalah yang berhubungan erat dengan
masalah kriminalisasi (criminal policy) yang diartikan sebagai proses penetapan
perbuatan orang yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana,
proses penetapan ini merupakan masalah perumusan perbuatan-perbuatan yang berada di
luar diri seseorang.

Istilah tindak pidana dipakai sebagai terjemah dari istilah strafbaar feit atau delict.
Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit, secara literlijk, kata “straf”
artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Dalam
kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga
dengan kata hukum. Dan sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata recht,
seolah-olah arti straf sama dengan recht. Untuk kata “baar”, ada dua istilah yang
digunakan yakni boleh dan dapat.Sedangkan kata “feit” digunakan empat istilah yakni,
tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah “Tindak Pidana”, “Perbuatan
Pidana”, atau “Peristiwa Pidana” dengan istilah: 1) Strafbaar Feit adalah peristiwa
pidana; 2) Strafbare Handlung diterjamahkan dengan “Perbuatan Pidana”, yang

10
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 1981, hlm. 12.

8
digunakan oleh para Sarjana Hukum Pidana Jerman; dan 3) Criminal Act diterjemahkan
dengan istilah “Perbuatan Kriminal”. Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang
dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan menurut beberapa ahli
hukum tindak pidana (strafbaar feit) adalah:
a. Menurut Pompe, “strafbaar feit” secara teoritis dapat merumuskan sebagai suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja
ataupun dengan tidak disengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana
penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum
dan terjaminnya kepentingan hukum.
b. Menurut Van Hamel bahwa strafbaar feit itu adalah kekuatan orang yang
dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.
c. Menurut Indiyanto Seno Adji tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang
diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan
yang bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
d. Menurut E. Utrecht “strafbaar feit”11 dengan istilah peristiwa pidana yang sering
juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif
atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang
ditimbulkan karena perbuatan atau melakukan itu).
e. Menurut Moeljatno tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar hukum.
f. Menurut Vos adalah salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak pidana
secara singkat, yaitu suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-
undangan pidana diberi pidana.
g. Di antara definisi itu yang paling lengkap ialah definisi dari Simons yang
merumuskan tindak pidana sebagai berikut: “Tindak pidana adalah suatu perbuatan
manusia yang bertentangan dengan hukum, diancam dengan pidana oleh Undang-
undang perbuatan mana dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan
dan dapat dipersalahkan pada si pembuat”.

Memperhatikan definisi di atas, maka ada beberapa syarat untuk menentukan


perbuatan itu sebagai tindak pidana, syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Harus ada perbuatan manusia;


b. Perbuatan manusia itu betentangan dengan hukum;
c. Perbuatan itu dilarang oleh Undang-undang dan diancam dengan pidana;
d. Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan; dan
e. Perbuatan itu harus dapat dipertanggung jawabkan kepada si pembuat.

11
Simons, D, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (judul asli : Leerboek van Het Nederlandse Strafrecht) diterjemahkan
oleh P.A.F. Lamintang, Bandung : Pioner jaya, 1992, hlm. 72.

9
Tindak pidana pada dasarnya cenderung melihat pada perilaku atau perbuatan (yang
mengakibatkan) yang dilarang oleh undangundang.Tindak pidana khusus lebih pada
persoalan-persoalan legalitas atau yang diatur dalam undang-undang. Tindak pidana
khusus mengandung acuan kepada norma hukum semata atau legal norm, hal-hal yang
diatur perundang-undangan tidak termasuk dalam pembahasan.Tindak pidana khusus ini
diatur dalam undang-undang di luar hukum pidana umum.

C. CARA MERUMUSKAN TIDAK PIDANA


Di dalam KUHP, juga di dalam perundang-undangan pidana yang lain, tindak pidana
dirumuskan di dalam pasal-pasal. Perlu diperhatikan bahwa di bidang hukum pidana
kepastian hukum atau lex certa merupakan hal yang esensial, dan ini telah ditandai oleh
asas legalitas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP. Perumusan tindak pidana juga diharapkan
sejauh mungkin memenuhi ketentuan kepastian hukum itu, walaupun sebenarnya hak itu
tidak mung kin sepenuhnya. Untuk benar-benar tahu apa yang dimaksudkan di dalam
pasal-pasal itu masih diperlukan penafsiran-penafsiran seperti yang telah dibicarakan
sebelumnya. Demikianlah bagan perumusan tindak pidana penggelapan yang terdiri dari:
norma terbentuk dalam unsur-unsur kemudian diikuti oleh kualifikasi (nama), yaitu
penggelapan dan kemudian sanksinya. Perumusan demikian ini boleh disebut sebagai
perumusan baku.

Pasal berikut ini normanya hanya berbentuk unsur-unsur, tanpa kualifikasi. Pasal 359
KUHP: Barangsiapa karena kealpaannya me nyebabkan matinya orang, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal ini sering diterapkan dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, tindak pidana ini tidak
mempunyai nama atau kualifikasi. Pasal 360 KUHP mengancam orang yang karena
kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat. Pasal berikut normanya hanya
berbentuk nama atau kua lifikasi saja. Pasal 351 (1) KUHP: Penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Di sini hanya disebut nama atau kualifikasinya, yaitu penganiayaan. Tentang apa yang
dimaksud dengan pengania yaan diserahkan kepada ilmu hukum pidana dan kepada
yurisprudensi. Di samping itu, ada pula perumusan yang telah menyediakan sanksi, tetapi
normanya belum ada, ini yang disebut sebagai pasal blanko.

Pasal 122 KUHP: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
“Barangsiapa di masa perang dengan sengaja melanggar aturan yang dikeluarkan dan
diumumkan oleh pemerintah guna keselamatan negara”. Pasal ini meletakkan di depan
sanksinya dulu baru kemudian normanya. butir 2 pasal tersebut normanya belum ada,

10
karena baru akan ada jika benar-benar terjadi perang dan peme rintah mengeluarkan dan
mengumumkan aturan untuk menjaga keselamatan negara.

D. JENIS TINDAK PIDANA


1. Kejahatan dan Pelanggaran
KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran dalam
Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan
pelanggaran. Semua nya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan
dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum
dan pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik undang-undang Delik hukum
adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya
perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri, dan seba gainya.
Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh undang-
undang, misalnya saja keharusan untuk mempunyai SIM bagi yang mengendarai
kendaraan bermotor di jalan umum, atau mengenakan helm ketika mengendarai
sepeda motor. Di sini tidak tersangkut sama sekali masalah keadilan.

2. Delik Formal (Formil) dan Delik Meterial (Materiil)


Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan
itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak
diperma salahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan
aksidentalia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian),
Pasal 160 (penghasutan) dan Pasal 209-210 (penyuapan) Jika seseorang telah
melakukan perbuatan mengambil dan seterusnya, dalam delik pencurian sudah cukup
Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang dihasut benar-benar
mengikuti hasutan itu.
Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik
itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan
perbuatan itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan),
yang terpenting adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan mencekik,
menusuk, menembak, dan sebagainya.
Van Hamel kurang setuju dengan pembagian delik formal dan material ini, karena
menurutnya walaupun perilaku yang terlarang itu tidak dirumuskan sebagai penyebab
dari suatu akibat, tetapi karena adanya perilaku semacam itulah seseorang dapat
dipidana la lebih setuju menyebutnya sebagai "delik yang dirumuskan secara formal"
dan "delik yang dirumuskan secara material".

3. Delik Dolus dan Delik Culpa

11
Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (schuld) yang akan dibicarakan
tersendiri di belakang.
a. Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan. rumusan kesengajaan
itu mungkin dengan kata-kata yang tegas dengan sengaja, tetapi mungkin juga
dengan kata-kata lain yang senada, seperti diketahuinya, dan sebagainya
Contohnya adalah Pasal-pasal 162, 197, 310, 338, dan lebih banyak lagi.
b. Delik culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan kata... karena
kealpaannya, misalnya pada Pasal 359, 360, 195. Di dalam beberapa terjemahan
kadang-kadang dipakai istilah karena kesalahannya.

4. Delik Commissionis dan Delik Omissionis


Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dilarang atau tidak
berbuat sesuatu yang diharuskan (to commit= melakukan; to omit = meniadakan).
a. Delik commissionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya berbuat
mengambil, menganiaya, menembak, mengancam, dan sebagainya.
b. Delik omissionis dapat kita jumpai pada Pasal 522 (tidak datang menghadap ke
pengadilan sebagai saksi), Pasal 164 (tidak melaporkan adanya pemufakatan
jahat).

Di samping itu, ada yang disebut delik commissionis per omissionem commisa.
Misalnya seorang ibu yang sengaja tidak memberikan air susu kepada anaknya yang
masih bayi dengan maksud agar anak itu meninggal (Pasal 338), tetapi dengan cara
tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Keharusan menyusui bayi tidak
terdapat di dalam hukum pidana. Juga seorang penjaga pintu lintasan kereta api yang
tidak menutup pintu itu sehingga terjadi kecelakaan (Pasal 164).

5. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)


Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya
dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena
Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan Jumlah delik aduan ini tidak banyak
terdapat di dalam KUHP Siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis
deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perzinahan misalnya, yang berkepentingan
adalah suami atau istri yang bersangkutan.
Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang penuntutannya
hanya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relatif di sini karena adanya hubungan
istimewa antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal
367 ayat (2) dan (3)).

Beberapa waktu yang lalu ada usul agar delik perzinahan tidak lagi dimasukkan
sebagai delik aduan, tetapi sebagai delik biasa. Ternyata banyak yang menentang,
sebab hal itu dapat berakibat lebih parah. Di dalam proses penangkapan, orang awam

12
dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan jika dalam keadaan
tertangkap tangan, yaitu tertangkap ketika sedang berbuat. Sebaliknya dalam masalah
pembajakan buku, kaset, dan sebagainya, yang semula merupakan delik aduan di
dalam UU Hak Cipta yang baru dinyatakan bukan sebagai delik aduan.

6. Jenis Delik yang Lain


Selanjutnya terdapat jenis-jenis delik yang lain menurut dari mana kita meninjau
delik tersebut, antara lain:
a. Delik berturut-turut (voortgezet delict): yaitu tindak pidana yang dilakukan
berturut-turut, misalnya mencuri uang satu juta rupiah, tetapi dilakukan setiap
kali seratus ribu rupiah.
b. Delik yang berlangsung terus: misalnya tindak pidana merampas kemerdekaan
orang lain, cirinya adalah perbuatan terlarang itu berlangsung memakan waktu.
c. Delik berkualifikasi (gequalificeerd), yaitu tindak pidana dengan pemberatan,
misalnya pencurian pada malam hari, penganiayaan berat (Pasal 351 ayat 3 dan
4). Hendaknya tidak dikacaukan dengan kualifikasi dari delik yang artinya
adalah nama delik itu.
d. Delik dengan privilege (gepriviligeerd delict), yaitu delik dengan peringanan,
misalnya pembunuhan bayi oleh ibu yang melahirkan karena takut diketahui
(Pasal 341), ancaman pidananya lebih ringan daripada pembunuhan biasa.
e. Delik politik, yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan negara sebagai
keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepala negara dan sebagainya (Bab I
- IV Buku II KUHP), dan juga tindak pidana subversi.
f. Delik propria, yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang mempunyai
kualitas tertentu, seperti hakim, ibu, pegawai negeri, ayah, majikan, dan
sebagainya yang disebutkan di dalam pasal KUHP.

Makna perbuatan pidana secara mutlak harus termaktub unsur formil, yaitu


mencocoki rumusan undang-undang (tatbestandmaszigkeit) dan unsur materiil, yaitu
sifat bertentangan dengan cita–cita mengenai pergaulan masyarakat atau sifat
melawan hukum (rechtswirdigkeit).

Sementara itu, S. R. Sianturi dalam buku yang sama juga mengutip Wirjono


Prodjodikoro yang merumuskan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan
merupakan subjek tindak pidana. Berdasarkan rumusan pengertian tindak pidana di
atas, untuk menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana, perbuatan tersebut
haruslah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kepada subjek tindak
pidana yang melakukannya atau dalam rumusan hukum pidana disebut dengan
barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dengan kata lain, perbuatan yang

13
tergolong tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam hukum yang dapat
diancam dengan sanksi pidana.

Unsur-unsur Tindak Pidana. Menurut S. R. Sianturi, secara ringkas unsur-unsur


tindak pidana, yaitu:

a. Adanya subjek;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Perbuatan bersifat melawan hukum;
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan
dan terhadap yang melanggarnya diancam pidana;
e. Dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.

Merujuk pada unsur-unsur tindak pidana di atas, S. R. Sianturi merumuskan


pengertian dari tindak pidana sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan
tertentu, yang dilarang (atau melanggar keharusan) dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang serta bersifat melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan
yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Lima unsur di atas,
dapat disederhanakan menjadi unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur
subjektif meliputi subjek dan adanya unsur kesalahan. Sedangkan yang
termasuk unsur objektif adalah perbuatannya bersifat melawan hukum, tindakan yang
dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap
pelanggarnya diancam pidana, dan dilakukan dalam waktu, tempat dan keadaan
tertentu.

P.A.F. Lamintang dalam buku Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia juga


berpendapat bahwa setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya
dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi
dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang
dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya,
yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Sedangkan yang dimaksud unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada


hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur subjektif dari sesuatu
tindak pidana itu adalah:

1) Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);


2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

14
3) Macam-macam maksud atau oogmerk, seperti yang terdapat di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-
lain;
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat
di dalam kejahatan pembunuhan berencana dalam Pasal 340 KUHP;
5) Perasaan takut atau vrees, seperti terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana adalah:

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkbeid;


2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di
dalam kejahatan jabatan atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari
suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Unsur wederrechttelijk selalu harus dianggap sebagai disyaratkan di dalam setiap


rumusan delik, walaupun unsur tersebut oleh pembentuk undang-undang tidak
dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.
Apabila unsur wederrecttelijk  tidak dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari
delik, maka tidak terbuktinya unsur tersebut di dalam peradilan akan menyebabkan
hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging atau suatu
“pembebasan dari segala tuntutan hukum”. Maka, untuk mengetahui apakah suatu
perbuatan adalah tindak pidana atau bukan, perbuatan tersebut harus memenuhi
unsur-unsur delik atau tindak pidana yang dimaksud itu.

E. PENERAPAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA


Untuk mengetahui apakah perbuatan dalam sebuah peristiwa hukum adalah tindak
pidana dapat dilakukan analisis mengenai apakah perbuatan tersebut telah memenuhi
unsur-unsur yang diatur dalam sebuah ketentuan pasal hukum pidana tertentu. Untuk itu,
harus diadakan penyesuaian atau pencocokan (bagian-bagian/kejadian-kejadian) dari
peristiwa tersebut kepada unsur-unsur dari delik yang didakwakan. Jika ternyata sudah
cocok, maka dapat ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang
telah terjadi yang (dapat) dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada subjek
pelakunya. Namun, jika salah satu unsur tersebut tidak ada atau tidak terbukti, maka
harus disimpulkan bahwa tindak pidana belum atau tidak terjadi.

Hal ini karena, mungkin tindakan sudah terjadi, tetapi bukan suatu tindakan yang
terlarang oleh undang-undang terhadap mana diancamkan suatu tindak pidana. Mungkin

15
pula suatu tindakan telah terjadi sesuai dengan perumusan tindakan dalam pasal yang
bersangkutan, tetapi tidak terdapat kesalahan pada pelaku dan/atau tindakan itu tidak
bersifat melawan hukum.

P. A. F. Lamintang lebih jauh menjelaskan bahwa apabila hakim berpendapat bahwa


tertuduh tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, maka hakim harus
membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum atau dengan kata lain, hakim harus
memutuskan suatu ontslag van alle rechtsvervolging, termasuk bilamana terdapat keragu-
raguan mengenai salah sebuah elemen, maka hakim harus membebaskan tertuduh dari
segala tuntutan hukum.
Unsur-unsur delik tercantum dalam rumusan delik yang oleh penuntut umum harus
dicantumkan di dalam surat tuduhan (dakwaan) dan harus dibuktikan dalam peradilan.
Bilamana satu atau lebih bagian ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus
membebaskan tertuduh atau dengan perkataan lain harus memutuskan suatu vrijspraak.

F. LOCUS DELICTI DAN TEMPUS DELICTI

Hukum pidana secara materil pada prinsipnya membahas mengenai 3 bagian


fundamental, yakni: tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan. 3 hal
inilah yang menjadi pokok dalam ajaran mengenai hukum pidana, baik dalam kerangka
teoritik-akademis maupun dalam praktik penegakan hukum pidana.12

Dalam praksisnya, 3 hal fundamental hukum pidana tersebut selalu berkaitan dengan
lokasi dan waktu terjadinya tindak pidana. Lokasi terjadinya tindak pidana disebut
sebagai locus delicti, sedangkan waktu terjadinya tindak pidana disebut sebagai tempus
delicti. Locus delicti dan tempus delicti memiliki pengaruh strategis terkait
operasionalisasi dari tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan.

Locus Delicti berasal dari dua kata yakni Locus yang artinya Lokasi (tempat) Delicti
yang artinya detik atau tindak pidana. Jadi Locus Delicti berarti tempat terjadinya tindak
pidana. Ada tiga teori yang membahas tentang locus delicti yakni teori perbuatan
materiil, teori instrument, dan teori akibat. Teori ini muncul akibat tidak mudahnya

12
Locus Delicti dan Tempus Delicti dalam Hukum Pidana- FKB’‘Locus Delicti Dan Tempus DelictiDalamHukumPidana
– FKB’ <https://forumkeadilanbabel.com/2021/10/04/locus-delicti-dan-tempus-delicti-dalam-hukum-pidana/>
[accessed 22 October 2021].

16
menentukan Locus Delicti. Sedangkan pengertian Tempus Delicti berarti waktu terjadinya
tindak pidana. Teori ini tentang tempus delicti diperlukan untuk menentukan kapan
terjadinya suatu tindak pidana.
Ini penting guna menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat diberlakukan
untuk mengadili suatu tindak pidana.13
A. Locus Delicti (berlakunya hukum menurut Tempatnya)
Locus Delicti berasal dari kata Locus yang berarti tempat atau lokasi
dan Delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Penentuan tempat terjadinya
suatu tindak pidana memiliki arti yang penting untuk menentukan tempat
pengadilan yang berwenang dalam mengadili suatu tindak pidana tersebut.

Terdapat 3 teori yang membahas mengenai locus delicti yaitu14:


a) Teori Perbuatan Materiel (Ieer van de lichamelijke)
Menurut teori ini locus delicti merupakan tempat dimana seseorang
melakukan suatu tindak pidana. Apabila telah ditentukan mengenai dimana
tempat tindak pidana dilakukan maka dapat ditentukan juga mengenai
pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili orang yang melakukan
tindak pidana tersebut.
Contoh: karena dendam, si A menusuk perut si B dengan sebilah pisau di
daerah Bekasi pada hari Minggu, si B kemudian terluka dan mengalami
pendarahan hingga harus dibawa ke rumah sakit di daerah Jakarta.
Setelahmenerimaperawatanintensif, nyawa si B akhirnya tidak tertolong
setelah 5 hari dirawat. Berdasarkan teori perbuatan materil, maka locus delicti
berada di Bekasi, sedangkan tempus delictinya adalah hari minggu.
b) Teori Alat (Ieer van het instrumen)
Menurut teori ini locus delicti dititik beratkan pada tempat dimana alat
yang digunakan untuk melakukan sutau tindak pidana berada atau berdasarkan
tempat bekerjanya alat yang digunakan oleh si pelaku.
Contoh: si A meletakkan bom di rumah si B yang berada di Tuban,
kemudian bom meledak pada pukul 12 siang, si B terluka dan dilarikan di
rumah sakit di daerah Surabaya dan akhirnya meninggal dunia di Surabaya
pukul 7 pagi keesokan harinya. Berdasarkan teori bekerjanya alat, maka locus
delictinya adalah rumah si B di Tuban, dan tempus delictinya adalah pukul 12
siang.
c) Teori Akibat (Ieer van het gevlog)

13
‘Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat Dan Waktu - MOBA Games’
<https://www.hukum96.com/2020/03/berlakunya-hukum-pidana-menurut-tempat.html> [accessed 22 October
2021].

14
Pengertian Locus Delicti dan Tempus Delicti-Menurut Hukum

17
Menurut teori ini locus delicti ditentukan karena adanya akibat yang
muncul dari perbuatan yang telah terjadi atau ditentukan menurut dimana
akibat yang muncul terjadi setelah terjadinya tindak pidana tersebut.
Contoh: si A meletakkan bom di rumah si B yang berada di Tuban,
kemudian bom meledak pada pukul 12 siang, si B terluka dan dilarikan di
rumah sakit di daerah Surabaya dan akhirnya meninggal dunia di Surabaya
pukul 7 pagi keesokan harinya. Berdasarkanteoriakibatt, maka locus
delictinyaadalah di Surabaya, dan tempus delictinyaadalahpukul 7 pagi.

Maka dari itu, pentingnya penentuan suatu lokasi atau tempat terjadinya
suatu tindak pidana yang disebabkan adanya asas territorial yang berlaku, yang
mana tindak pidana yang terjadi berada dalam wilayah hukum Indonesia atau
tidak. Terdapat beberapa macam pandangan dala menentukan lokasi terjadinya
suatu tindak pidana antara lain, berdasarkan dimana akibat perbuatan tindak
pidana terjadi. Meskipun akibatnya langsung terjadi ditempat kejadian.
Penentuan lokasi (Locus Delicti) dalam suatu tindak pidana berguna untuk
menentukan tempat atau lokasi dimana perkara akan diadili oleh pengadilan
yang berwenang.

B. Tempus Delicti (berlakunya hukum menurut Waktunya)


Tempus delicti berasal dari kata Tempo yang berarti waktu dan Delicti yang
berarti delik atau tindak pidana. Jadi Tempus Delicti adalah waktu terjadinya suatu
delik atau tindak pidana. Tempus Delicti penting untuk menentukan waktu atau
kapan terjadinya suatu tindak pidana juga untuk menentukan kapan suatu undang-
undang pidana dapat diberlakukan untuk mengadili tindak pidana yang terjadi
tersebut.
Suatu undang-undang yang pemberlakuannya setelah terjadinya suatu delik atau
tindak pidana tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memeriksa dan
memutuskan suatu tindak pidana. Oleh karena itu hal ini berkaitan dengan undang-
undang tidak berlaku surut.15

15
Hukum Indonesia: Tempus Delicti dan Locus Delicti

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. DASAR HUKUM:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,2001, Press Relation, Bandung Remaja Rosdakarya.

Barda Nawawi, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, hal. 1-2.

Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses pada
26 Agustus 2020, pukul 10.58 WIB.

Maulana Arif, Mengenal Unsur Tindak Pidana dan Syarat Pemenuhannya 26 Agustus 2020.

Pawennei, Hj. Mulyati dan Rahmanuddin Tomalili, 2015, Hukum Pidana. Jakarta: Mitra Wacana
Media.

Poernomo, Bambang. 1983. Asas-AsasHukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

P. A. F. Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,


2013;.

R. Sianturi. 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet. 3. Jakarta: Storia
Grafika,.

Sianturi, S.R. 1986, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem-
Petehaem.

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta Rajawali Pers

H Zamuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta Sinar Grafika, 2016

J. Remmelink Pengantar Hukum Pidana Material 1. Yogyakarta Maharsa Publishing, 2014

Mochtar Kusumaatmadja dan Ancf Siedharta, Pengantar Ilmu Hukum Bandung PT Alumni,
2016

Moeljatno Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta Rineka Cipta, 2009

Moeljatno. Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (open bare orde), Jakarta Bina
Aksara 1984

20

Anda mungkin juga menyukai