Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
2021
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan
puji dan syukur kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, serta
inayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Sumber Hukum Pidana”.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana yang
diampu oleh Bapak Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H. Makalah ini berisikan tentang informasi
tentang Bebrapa Sumber Hukum Pidana. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi
dan khazanah bagi kita semua. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami
bagi siapa pun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI......................................................................................................................... 3
BAB I..................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG.............................................................................................. 4
B. RUMUSAN MASALAH.......................................................................................... 5
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................................... 6
D. LANDASAN TEORI................................................................................................ 6
BAB II................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN................................................................................................................... 7
BAB III.................................................................................................................................. 19
PENUTUP............................................................................................................................. 19
KESIMPULAN..................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 20
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan
perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan
hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Hukum pidana
disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan di dalam masyarakat agar dapat
dipertahankan dari segala kepentingan hukum yang dilindungi dan terjaminnya
kedamaian dan ketertiban.
Tindak pidana atau biasa disebut dengan kejahatan merupakan fenomena masyarakat
karena itu tidak dapat dilepaskan dari ruang dan waktu. Dalam pemerintahan suatu
negara pasti diatur mengenai hukum dan pemberian sanksi atas pelanggaran hukum
tersebut. Hukum merupakan keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-
kaedah dalam suatu kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi.1 Hal ini berarti setiap individu harus mentaati peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah di dalam berlangsungnya kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, fungsi hukum menjadi sangat
penting, karena berarti harus ada perubahan secara berencana. Untuk menciptakan
perubahan dalam masyarakat, pemerintah berusaha untuk memperbesar pengaruhnya
terhadap masyarakat dengan berbagai alat yang ada padanya. Salah satu alat itu adalah
“hukum pidana”. Dengan hukum pidana, pemerintah menetapkan perbuatan-perbuatan
tertentu sebagai tindak pidana baru.2
1
Sudikno Mertokusmo. 2003. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal. 40.
2
Sudaryono dan Natangsa Surbakti. 2005. Buku Pegangan kuliah Hukum Pidana. Surakarta. Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 2.
3
Moeljatno. 1993. Azas-Azas Hukum Pidana. Yogjakarta: Bina Aksara. Hal. 45.
4
Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku manusia
didalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks. Perilaku yang
demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya ada perilaku yang sesuai dengan
norma dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dari norma. Perilaku
yang menyimpang dari norma biasanya akan menjadikan suatu permasalahan baru
dibidang hukum dan merugikan masyarakat.4
Pasal 28A Undang–undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) mengatakan
“setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
penghidupannya”, jadi dapat dikatakan tindak pidana pembunuhan merupakan perbuatan
yang melanggar Pasal 28A UUD 1945, dan dalam melindungi warga negaranya tersebut,
Negara melalui Undang–Undang serta peraturan–peraturan lain memberikan sanksi
kepada setiap orang yang melakukan perbuatan pidana. Dalam tindak pidana
pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP sebagai unsur pokok yang berisikan
“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan,
dengan kurungan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.5
Hal ini juga diatur dalam Pasal 340 KUHP sebagai bentuk pemberatan dengan
mengambil seluruh unsur yang ada dalam Pasal 338 KUHP dan Apabila rumusan tersebut
dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari:
1. Unsur Objektif:
a. Perbuatan: menghilangkan nyawa;
b. Objeknya: nyawa orang lain;
2. Unsur subjeknya: dengan sengaja.6
Ditambah dengan unsur adanya rencana terlebih dahulu yang berisikan “Barangsiapa
sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”.7
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka pemakalah merumuskan beberapa
masalah, yaitu:
1. Bagaimana rumusan dalam tindak pidana?
2. Apasaja jenis-jenis tindak pidana?
3. Sebutkan unsur-unsur dalam tindak pidana!
4
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemindahan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 3.
5
Moeljatno. 2008. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jakarta : Bumi Aksara. Hal. 122-123.
6
Adami Chazawi. 2002. Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: Raja Grafindo Persada Hal. 57.
7
Moeljatno. 2008. KUHP (Kitap Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 122-123.
5
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan Rumusan Masalah diatas dapat disimpilkan bahwa tujuan dari penulisan
makalah ini agar:
1. Kita bisa mengetahui tentang cara-cara untuk merumuskan suatu perkara tindak
pidana,
2. Untuk mengetahui jenis-jenis dan unsur-unsur hukum tindak pidana,
3. Dan agar dapat bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan penyusun makalah
pada khususnya dan teman-teman.
D. LANDASAN TEORI
Negara Indonesia adalah Negara hukum (recht staats), maka setiap tindak pidana yang
terjadi selayaknya diproses melalui jalur hukum, jadi hukum dipandang sebagai satu-
satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno,
tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang mana
larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu. Dalam
hal ada hubungannya dengan asas legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat
dipidana melainkan telah diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang,
maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman
pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.8
Kejahatan penipuan adalah salah satu bentuk kejahatan yang dikelompokkan ke dalam
kejahatan terhadap harta benda, yang mana oleh pelaku telah dipergunakan perbuatan-
perbuatan yang bersifat menipu atau digunakan tipu muslihat. Kejahatan penipuan dalam
bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
“Barang siapa dnegan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hak, mempergunakan nama palsu atau sifat palsu ataupun mempergunakan
tipu muslihat atau susunan kata-kata bohong, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan suatu benda atau mengadakan suatu perjanjian hutang atau meniadakan
piutang, karena salah satu telah melakukan penipuan, dihukum dengan hukuman penjaga
selama-lamanya empat tahun”.
8
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana . Jakarta: Bina Aksara. Hal. 54.
6
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam hukum pidana pengertian korporasi berarti sangat luas tidak hanya yang
berbentuk badan hukum saja, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi sebagai
korporasi melainkan juga firma, perseroan komanditer, persekutuan, sekumpulan orang.
Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana di latarbelakangi oleh sejarah dan
pengalaman yang berbeda di tiap Negara, termasuk Indonesia. Namun pada akhirnya ada
kesamaan pandangan, yaitu sehubungan dengan perkembangan industrialisasi dan
kemajuan yang terjadi dalam bidang ekonomi dan perdagangan yang telah mendorong
pemikiran bahwa subjek hukum pidana tidak lagi hanya dibatasi pada manusia alamiah
saja (natural person), tetapi juga meliputi korporasi, karena untuk tindak pidana tertentu
dapat pula dilakukan oleh korporasi.
9
Adami Chanzawi. 2002, Pelajaran Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta, hal. 71.
7
Perundang-undangan diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baik perundang-
undangan pidana maupun perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana telah
mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, kendati ada beberapa undang-undang
yang belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Penyebutan korporasi sebagai subjek hukum juga tercantum dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 angka 13
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Pasal 1 angka 21 Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomord 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang
menyatakan bahwa "Korporasi adalah kumpulan terorgaisasi dari orang /atau kekayaan,
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum".
B. PENGERTIAN PERBUATAN
Tiga masalah sentral atau pokok dalam hukum pidana berpusat kepada apa yang
disebut dengan tindak pidana (criminal act, strafbaarfeit, delik, perbuatan pidana),
pertanggung jawaban pidana10 (criminal responsibility) dan masalah pidana dan
pemidanaan. Istilah tindak pidana merupakan masalah yang berhubungan erat dengan
masalah kriminalisasi (criminal policy) yang diartikan sebagai proses penetapan
perbuatan orang yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana,
proses penetapan ini merupakan masalah perumusan perbuatan-perbuatan yang berada di
luar diri seseorang.
Istilah tindak pidana dipakai sebagai terjemah dari istilah strafbaar feit atau delict.
Strafbaar feit terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit, secara literlijk, kata “straf”
artinya pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Dalam
kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, ternyata straf diterjemahkan juga
dengan kata hukum. Dan sudah lazim hukum itu adalah terjemahan dari kata recht,
seolah-olah arti straf sama dengan recht. Untuk kata “baar”, ada dua istilah yang
digunakan yakni boleh dan dapat.Sedangkan kata “feit” digunakan empat istilah yakni,
tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.
Para pakar asing hukum pidana menggunakan istilah “Tindak Pidana”, “Perbuatan
Pidana”, atau “Peristiwa Pidana” dengan istilah: 1) Strafbaar Feit adalah peristiwa
pidana; 2) Strafbare Handlung diterjamahkan dengan “Perbuatan Pidana”, yang
10
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco, 1981, hlm. 12.
8
digunakan oleh para Sarjana Hukum Pidana Jerman; dan 3) Criminal Act diterjemahkan
dengan istilah “Perbuatan Kriminal”. Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang
dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan menurut beberapa ahli
hukum tindak pidana (strafbaar feit) adalah:
a. Menurut Pompe, “strafbaar feit” secara teoritis dapat merumuskan sebagai suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja
ataupun dengan tidak disengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana
penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum
dan terjaminnya kepentingan hukum.
b. Menurut Van Hamel bahwa strafbaar feit itu adalah kekuatan orang yang
dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan
dilakukan dengan kesalahan.
c. Menurut Indiyanto Seno Adji tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang
diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan
yang bagi pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
d. Menurut E. Utrecht “strafbaar feit”11 dengan istilah peristiwa pidana yang sering
juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif
atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang
ditimbulkan karena perbuatan atau melakukan itu).
e. Menurut Moeljatno tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar hukum.
f. Menurut Vos adalah salah satu diantara para ahli yang merumuskan tindak pidana
secara singkat, yaitu suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundang-
undangan pidana diberi pidana.
g. Di antara definisi itu yang paling lengkap ialah definisi dari Simons yang
merumuskan tindak pidana sebagai berikut: “Tindak pidana adalah suatu perbuatan
manusia yang bertentangan dengan hukum, diancam dengan pidana oleh Undang-
undang perbuatan mana dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan
dan dapat dipersalahkan pada si pembuat”.
11
Simons, D, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (judul asli : Leerboek van Het Nederlandse Strafrecht) diterjemahkan
oleh P.A.F. Lamintang, Bandung : Pioner jaya, 1992, hlm. 72.
9
Tindak pidana pada dasarnya cenderung melihat pada perilaku atau perbuatan (yang
mengakibatkan) yang dilarang oleh undangundang.Tindak pidana khusus lebih pada
persoalan-persoalan legalitas atau yang diatur dalam undang-undang. Tindak pidana
khusus mengandung acuan kepada norma hukum semata atau legal norm, hal-hal yang
diatur perundang-undangan tidak termasuk dalam pembahasan.Tindak pidana khusus ini
diatur dalam undang-undang di luar hukum pidana umum.
Pasal berikut ini normanya hanya berbentuk unsur-unsur, tanpa kualifikasi. Pasal 359
KUHP: Barangsiapa karena kealpaannya me nyebabkan matinya orang, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal ini sering diterapkan dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, tindak pidana ini tidak
mempunyai nama atau kualifikasi. Pasal 360 KUHP mengancam orang yang karena
kealpaannya menyebabkan orang lain luka berat. Pasal berikut normanya hanya
berbentuk nama atau kua lifikasi saja. Pasal 351 (1) KUHP: Penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Di sini hanya disebut nama atau kualifikasinya, yaitu penganiayaan. Tentang apa yang
dimaksud dengan pengania yaan diserahkan kepada ilmu hukum pidana dan kepada
yurisprudensi. Di samping itu, ada pula perumusan yang telah menyediakan sanksi, tetapi
normanya belum ada, ini yang disebut sebagai pasal blanko.
Pasal 122 KUHP: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
“Barangsiapa di masa perang dengan sengaja melanggar aturan yang dikeluarkan dan
diumumkan oleh pemerintah guna keselamatan negara”. Pasal ini meletakkan di depan
sanksinya dulu baru kemudian normanya. butir 2 pasal tersebut normanya belum ada,
10
karena baru akan ada jika benar-benar terjadi perang dan peme rintah mengeluarkan dan
mengumumkan aturan untuk menjaga keselamatan negara.
11
Dolus dan culpa merupakan bentuk kesalahan (schuld) yang akan dibicarakan
tersendiri di belakang.
a. Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan. rumusan kesengajaan
itu mungkin dengan kata-kata yang tegas dengan sengaja, tetapi mungkin juga
dengan kata-kata lain yang senada, seperti diketahuinya, dan sebagainya
Contohnya adalah Pasal-pasal 162, 197, 310, 338, dan lebih banyak lagi.
b. Delik culpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan kata... karena
kealpaannya, misalnya pada Pasal 359, 360, 195. Di dalam beberapa terjemahan
kadang-kadang dipakai istilah karena kesalahannya.
Di samping itu, ada yang disebut delik commissionis per omissionem commisa.
Misalnya seorang ibu yang sengaja tidak memberikan air susu kepada anaknya yang
masih bayi dengan maksud agar anak itu meninggal (Pasal 338), tetapi dengan cara
tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan. Keharusan menyusui bayi tidak
terdapat di dalam hukum pidana. Juga seorang penjaga pintu lintasan kereta api yang
tidak menutup pintu itu sehingga terjadi kecelakaan (Pasal 164).
Beberapa waktu yang lalu ada usul agar delik perzinahan tidak lagi dimasukkan
sebagai delik aduan, tetapi sebagai delik biasa. Ternyata banyak yang menentang,
sebab hal itu dapat berakibat lebih parah. Di dalam proses penangkapan, orang awam
12
dapat melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan jika dalam keadaan
tertangkap tangan, yaitu tertangkap ketika sedang berbuat. Sebaliknya dalam masalah
pembajakan buku, kaset, dan sebagainya, yang semula merupakan delik aduan di
dalam UU Hak Cipta yang baru dinyatakan bukan sebagai delik aduan.
13
tergolong tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dalam hukum yang dapat
diancam dengan sanksi pidana.
a. Adanya subjek;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Perbuatan bersifat melawan hukum;
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan
dan terhadap yang melanggarnya diancam pidana;
e. Dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.
14
3) Macam-macam maksud atau oogmerk, seperti yang terdapat di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-
lain;
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat
di dalam kejahatan pembunuhan berencana dalam Pasal 340 KUHP;
5) Perasaan takut atau vrees, seperti terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.
Hal ini karena, mungkin tindakan sudah terjadi, tetapi bukan suatu tindakan yang
terlarang oleh undang-undang terhadap mana diancamkan suatu tindak pidana. Mungkin
15
pula suatu tindakan telah terjadi sesuai dengan perumusan tindakan dalam pasal yang
bersangkutan, tetapi tidak terdapat kesalahan pada pelaku dan/atau tindakan itu tidak
bersifat melawan hukum.
Dalam praksisnya, 3 hal fundamental hukum pidana tersebut selalu berkaitan dengan
lokasi dan waktu terjadinya tindak pidana. Lokasi terjadinya tindak pidana disebut
sebagai locus delicti, sedangkan waktu terjadinya tindak pidana disebut sebagai tempus
delicti. Locus delicti dan tempus delicti memiliki pengaruh strategis terkait
operasionalisasi dari tindak pidana, pertanggungjawaban pidana, dan pemidanaan.
Locus Delicti berasal dari dua kata yakni Locus yang artinya Lokasi (tempat) Delicti
yang artinya detik atau tindak pidana. Jadi Locus Delicti berarti tempat terjadinya tindak
pidana. Ada tiga teori yang membahas tentang locus delicti yakni teori perbuatan
materiil, teori instrument, dan teori akibat. Teori ini muncul akibat tidak mudahnya
12
Locus Delicti dan Tempus Delicti dalam Hukum Pidana- FKB’‘Locus Delicti Dan Tempus DelictiDalamHukumPidana
– FKB’ <https://forumkeadilanbabel.com/2021/10/04/locus-delicti-dan-tempus-delicti-dalam-hukum-pidana/>
[accessed 22 October 2021].
16
menentukan Locus Delicti. Sedangkan pengertian Tempus Delicti berarti waktu terjadinya
tindak pidana. Teori ini tentang tempus delicti diperlukan untuk menentukan kapan
terjadinya suatu tindak pidana.
Ini penting guna menentukan apakah suatu undang-undang pidana dapat diberlakukan
untuk mengadili suatu tindak pidana.13
A. Locus Delicti (berlakunya hukum menurut Tempatnya)
Locus Delicti berasal dari kata Locus yang berarti tempat atau lokasi
dan Delicti yang berarti delik atau tindak pidana. Penentuan tempat terjadinya
suatu tindak pidana memiliki arti yang penting untuk menentukan tempat
pengadilan yang berwenang dalam mengadili suatu tindak pidana tersebut.
13
‘Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat Dan Waktu - MOBA Games’
<https://www.hukum96.com/2020/03/berlakunya-hukum-pidana-menurut-tempat.html> [accessed 22 October
2021].
14
Pengertian Locus Delicti dan Tempus Delicti-Menurut Hukum
17
Menurut teori ini locus delicti ditentukan karena adanya akibat yang
muncul dari perbuatan yang telah terjadi atau ditentukan menurut dimana
akibat yang muncul terjadi setelah terjadinya tindak pidana tersebut.
Contoh: si A meletakkan bom di rumah si B yang berada di Tuban,
kemudian bom meledak pada pukul 12 siang, si B terluka dan dilarikan di
rumah sakit di daerah Surabaya dan akhirnya meninggal dunia di Surabaya
pukul 7 pagi keesokan harinya. Berdasarkanteoriakibatt, maka locus
delictinyaadalah di Surabaya, dan tempus delictinyaadalahpukul 7 pagi.
Maka dari itu, pentingnya penentuan suatu lokasi atau tempat terjadinya
suatu tindak pidana yang disebabkan adanya asas territorial yang berlaku, yang
mana tindak pidana yang terjadi berada dalam wilayah hukum Indonesia atau
tidak. Terdapat beberapa macam pandangan dala menentukan lokasi terjadinya
suatu tindak pidana antara lain, berdasarkan dimana akibat perbuatan tindak
pidana terjadi. Meskipun akibatnya langsung terjadi ditempat kejadian.
Penentuan lokasi (Locus Delicti) dalam suatu tindak pidana berguna untuk
menentukan tempat atau lokasi dimana perkara akan diadili oleh pengadilan
yang berwenang.
15
Hukum Indonesia: Tempus Delicti dan Locus Delicti
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. DASAR HUKUM:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
19
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, hal. 1-2.
Hamzah, Andi. 1987. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses pada
26 Agustus 2020, pukul 10.58 WIB.
Maulana Arif, Mengenal Unsur Tindak Pidana dan Syarat Pemenuhannya 26 Agustus 2020.
Pawennei, Hj. Mulyati dan Rahmanuddin Tomalili, 2015, Hukum Pidana. Jakarta: Mitra Wacana
Media.
R. Sianturi. 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapan, Cet. 3. Jakarta: Storia
Grafika,.
Sianturi, S.R. 1986, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem-
Petehaem.
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta Rajawali Pers
Mochtar Kusumaatmadja dan Ancf Siedharta, Pengantar Ilmu Hukum Bandung PT Alumni,
2016
Moeljatno. Kejahatan-Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum (open bare orde), Jakarta Bina
Aksara 1984
20