Anda di halaman 1dari 17

KATA PENGANTAR

Puji syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunianya,
makalah “Hukuman Mati Dilihat Dari Segi Tinjauan Sosiologis” ini dapat diselesaikan
dengan baik meskipun banyak kekurangan.
kami mengharapkan makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai pidana mati yang dilihat dari tinjauan segi sosiologis.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan yang
jauh dari kata sempurna. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi perbaikan makalah ini, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.
Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan
bagi siapapun yang membacanya, sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna
bagi kami maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

Cirebon, Maret 2020

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Hukuman Mati.................................................................................................... 3
2.2. Hukuman Mati Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia............................... 5
2.3. Hukuman Mati Dari Segi Tinjauan Sosiologis (Pandangan Masyarakat
Terhadap Hukuman Mati)................................................................................... 7
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan......................................................................................................... 13
3.2. Saran.................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hukuman mati merupakan pidana yang paling keras dalam sistem pemidanaan.
Masalah pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat,
terutama bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi
kehidupan bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan. Jika dilihat
dari segi tinjauan sosiologis tentu ada pro dan kontra di dalam pemberian hukuman
mati karena hukuman mati itu dianggap bertentangan dengan Undang-Undang No.39
tahun 1999 tentang HAM yang juga mengatur bahwa tidak seorang pun boleh
ditangkap, ditahan atau dibatasi kebebasannya, dan tidak seorangpun dapat dihukum
dengan suatu peraturan yang berlaku surut serta masih banyak hak-hak dasar lain yang
harus dijamin, dilindungi dan ditegakkan oleh negara. Namun sepanjang diatur secara
sah dalam perundang-undangan maka sifat pelanggaran HAM di dalamnya menjadi
hilang.
Di indonesia delik yang diancam dengan pidana mati semakin banyak. Di
dalam KUHP sudah menjadi Sembilan buah, yaitu : Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat
(2), Pasal 124 ayat (1), Pasal 124, Pasal 140 ayat (3), Pasal 340, Pasal 36 ayat (4),
Pasal 444, Pasal 479 ayat (2), dan Pasal 479 ayat (2) KUHP.Pidana mati tercantum di
dalam Pasal 36 jo. Pasal 8 huruf a, b, c, d, atau e dan Pasal 37 jo. Pasal 9 a, b, c, d, e
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Berdasarkan Pasal 15, pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan
atau pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana
terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di atas (Pasal 6, 9, 10, dan
14).
Di dalam semua peraturan Perundang-undangan yang telah disebutkan di atas,
pidana mati itu selalu telah diancamkan secara alternatif dengan pidana-pidana pokok
lainnya, yakni pada umumnya dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun. Namun jika dilihat dari segi
tinjauan sosiologis banyak pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa hukuman mati

1
tidak pantas diberikan karena melanggar HAM dan ada pula yang beranggapan bahwa
hukuman mati pantas diberikan bagi pelaku yang melakukan kejahatan berat. Maka
dari itu makalah ini dibuat untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai hukuman mati
serta peraturan yang mengatur tentang itu dan bagaimana hukuman mati itu jika di lihat
dari segi tinjauan sosiologis.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan hukuman mati ?
2. Apa saja Perundang-undangan yang mengatur tentang hukuman mati di Indonesia?
3. Bagaimanakah hukuman mati dari segi tinjauan sosiologis (pandangan masyarakat
terhadap pidana mati) ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hukuman Mati


Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan
dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah
hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal
ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatankejahatan berat dengan
pidana mati. Berdasarkan pada ketentuan yang ada pada KUHP menyangkut tentang
macam sanksi pidana atau jenis pemidanaan hanya terdapat 2 macam hukuman pidana
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 bagian buku I, salah satunya yang kita bahas
adalah mengenai hukuman pokok (hoofd straffen) yaitu, pidana mati. Masalah
pemidanaan berhubungan erat dengan kehidupan seseorang dimasyarakat, terutama
bila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan
bermasyarakat yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan. Pada masa sekarang ini
telah umum diterima pendapat bahwa yang menjatuhkan pidana adalah negara atau
pemerintah dengan perantaraan alat-alat hukum pemerintah.
Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana selalu dihadapkan dengan suatu
paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
“Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjamin supaya
pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya,
pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan justru menjatuhkan hukuman itu, maka
pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara diserang, misalnya yang bersangkutan
dipenjarakan”
Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi
manusia terhadap serangan siapapun juga,sedangkan pada pihak lain, pemerintah
negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu, sejalan
dengan tugas sistem peradilan pidana yang diantaranya adalah :
1. Untuk mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana,

3
3. Mengusahakan agar mere[3]ka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi.
Memang tidak mudah bila membicarakan antara hak dan dikorelasikan dengan
pluralitas tersebut. Di dalam masyarakat pasti akan ada permasalahan sosial yang dapat
mendorong terciptanya suatu aturan yang dapat mengatur antara hak individu yang satu
dengan hak individu yang lain, misalnya terjadinya konflik horizontal dalam
masyarakat sehingga dapat menciptakan pemahaman hak yang proporsional. Hak-hak
yang ada dalam diri tiap individu di masyarakat sebisa mungkin dijaga agar tidak
terjadi benturan antara satu sama lain. Sehingga diperlukanadanya aturan yang
mengikat keduanya dan memiliki suatu peranan dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hukum tidak akan pernah dapat lepas dari
kehidupan manusia. 4
Oleh karena itu, hukuman mati masih diperlukan untuk menakut-nakuti para
penjahat. Kebutuhan akan adanya hukuman mati secara normatif, terasa lebih
diperlukan lagi dalam situasi ketika dewasa ini pelaksanaan pidana penjara tidak dapat
secara efektif mampu menekan angka kejahatan. Penjara kadangkala tak lebih
dianggap sebagai "sekolah tinggi kejahatan". Tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan
perspektif HAM untuk dijadikan sebagai alasan sosiologis pidana mati. Betul jika
menghilangkan nyawa orang lain adalah pelanggaran atas prinsip dasar HAM yang
secara sosiologis harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Tetapi sekedar mengingatkan
prinsip dasar HAM juga mengatur bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan
atau dibatasai kebebasannya, dan tidak seorangpun dapat dihukum dengan suatu
peraturan yang berlaku surut serta masih banyak hak-hak dasar lain yang harus
dijamin, dilindungi dan ditegakkan oleh negara.
Jika perspektif semacam itu yang kita gunakan, pertanyaan yang timbul adalah :
apakah dengan demikian memenjarakan seorang terhukum juga merupakan
pelanggaran HAM ? Apakah menangkap seseorang penjahat juga merupakan
pelanggaran HAM ? menangkap seorang tersangka, memenjarakan seorang terpidana
bahkan termasuk menghukum seseorang dengan peraturan yang berlaku surut sebagai
mana yang dianut UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan UU No. 15
tahun 2003 tentang Terorisme pada prinsipnya juga merupakan pelanggaran HAM
yang serius. Tetapi dengan diaturnya segala ketentuan tersebut dalam perundang-

4
undangan yang sah yang segala ketentuan tersebut dalam perundang-undangan yang
sah yang memenuhi syarat materiel dan formal, maka sifat pelanggaran HAMnya
menjadi hilang. Demikian juga dengan hukuman mati, sepanjang diatur secara sah
dalam perundang-undangan maka sifat pelanggaran HAM di dalamnya menjadi
hilang.
Terlepas dari dibolehkannya (dilegalkannya) penangkapan, pemenjaraan atau
hukuman mati, ada satu prinsip dasar yaitu Hak untuk hidup (right to life); merupakan
kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi dalam keadaan apapun,
termasuk dalam batasan regulasi formal. 5 Karena tindakan semacam itu jika dilihat
dari segi tinjauan sosiologis pada prinsipnya juga melanggar HAM maka putusan
untuk melakukan penahanan, pemenjaraan apalagi hukuman mati harus dilakukan
seselektif mungkin.

2.2. Hukuman Mati Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia


Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP
Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan
yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu
adalah :
1. Pasal 104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2. Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
permusuhan itu dilakukan ata[4]u jadi perang)
3. Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4. Pasal 140 ayat 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
direncanakan dan berakibat maut)
5. Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6. Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati)
7. Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau
mati)
8. Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi
pelanggarnya.

5
9. Pidana Mati dalam Rancangan KUHP
Konsep rancangan KUHP pidana mati dari stelsel pidana pokok dan mencantumkannya
sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai pidana eksepsional.
Penempatan pidana mati terlepas dari paket pidana pokok dipandang penting, karena
merupakan kompromi dari pandangan retensionis dan abolisionis.Dalam konsep
Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati, antara lain:
1. Pasal 164 tentang menentang ideologi negara Pancasila : Barang siapa secara
melawan hukum dimuka umum melakukan perbuatan menentang ideologi
Pancasila atau Undang-Undang Dasar 1945 dengan maksud mengubah bentuk
negara atau susunan pemerintahan sehingga berakibat terjadinya keonaran dalam
masyarakat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling lama dua puluh tahun dan paling lima tahun.
2. Pasal167 tentang makar untuk membunuh presiden dan wakil presiden
3. Pasal186 tentang pemberian bantuan kepada musuh.
4. Pasal 269 tentang terorisme :
A. Ayat 1 : Dipidana karena melakukan terorisme, dengan pidana penjara paling
lama libelas tahun dan paling rendah tiga tahun, barangsiapa menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap target-target sipil dengan maksud
menimbulkan suatu suasana teror atau ketakutan yang besar dan intimidasi
Pada masyarakat, dengan tujuan akhir melakukanperubahan dalam sistem
politik yang berlaku.
B. Ayat 2 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling lama dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan
terorismetersebut menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain.
C. Ayat 3 : Dipidana pidana mati atau pidana penjara paling lama duapuluh tahun
dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan
bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang. Sedangkan
tindak pidana pembunuhan berencana ditiadakan. Menurut penjelasan konsep
Rancangan KUHP 1991/1992 hal ini memberi kebebasan kepadan hakim dalam
rangka mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana yang acapkali sulit
dibuktikan.Dengan demikian hakim akan lebih mengutamakan untuk

6
mempertimbangkan motif, cara, sarana atau upaya membunuh dan akibat serta
dampaknya suatu pembunuhan bagi masyarakat.
Peraturan-peraturan itu antara lain:
1. Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun 1959 tentang wewenang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat ancaman hukuman terhadap
tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
2. Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No. 12 tahun 1951 tentang senjata api,
amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4. Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang pemberantasan
kegiatan subversi. Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun 1964 tentang ketentuan
pokok tenaga atom.
5. Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no. 9 tahun 1976 tentang Narkotika
6. Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana/prasarana penerbangan.

2.3. Hukuman Mati Dari Segi Tinjauan Sosiologis (Pandangan Masyarakat Terhadap
Hukuman Mati)
Kontoversi terhadap pidana mati akan selalu ada, terkait dengan pro dan
kontranya serta keterkaitannya dengan hak asasi manusia. Meskipun dapat dikatakan
bahwasanya permasalahan ini adalah permasalahan konvensional dan bersifat
temporari yang artinya sudah lama menjadi permasalahan atau polemik di tengah-
tengah masyarakat dalam memandang hal tersebut dan selalu muncul ke pemukaan di
saat akan ada pengeksekusian pidana mati, akan tetapi hingga saat ini belum ada titik
temu dan jalan keluar mengenai permasalahan tersebut. Dari sekian data penerapan
pidana mati di Indonesia telah dilaksanakan sejak awal pemerintahan.
Banyak kalangan yang menilai bahwa pidana mati sudah tidak relevan lagi
untuk diterapkan di Indonesia. Namun b[5]eberapa kalangan menilai, ini masih sangat
penting dan masih menjadi kebutuhan dalam penegakan hukum di Indonesia. Namun
beberapa kalangan menilai bahwa penerapan pidana mati tersebut sudah tidak efektif
dan tidak relevan lagi diterapkan di Indonesia. Ada beberapa pandangan dalam

7
memandang pidana mati. Seperti adanya permasalahan disekitar pembahasan pidana
mati, yakni adanya double bahkan multi sentenced 6, yaitu terdapat penghukuman lain
selain hukuman yang telah ditetapkan itu tadi (pidana mati). Artinya adalah terdapat
permasalahan tersendiri dalam pra eksekusi pidana mati. Masa penantian pelaksanaan
pidana mati ini merupakan masa penyiksaan secara psikologis. Dapat dipahami
bahwasanya terdapat semacam hukuman secara psikologis terhadap pelaku dalam
menanti masa eksekusinya. Terdapat semacampertarungan emosional yang gebat
didalam pikirannya, bahkan dikatakan oleh J.E Sahetapy ini merupakan penganiayaan
rohani dan penyiksaan psikologis serta penggebukan mental7. Pandangan inipun
sedikit banyak memicu timbulnya pro dan
kontra dalam memandang pidana mati.
Seperti yang sempat kita singgung diawal, bahwa kita dapat melihat terdapat
dua pendapat yang sangat kontradiktif, artinya ada kalangan yang menolak apapun
konsep yang diterapkan dalam melaksanakan pidana mati tersebut dan beberapa
kalangan menerima dengan argumentasinya yang juga berladasan. Adanya
pertentangan pendapat dalam permasalahan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain pemahaman beberapa kalangan mengenai konsepsi hak asasi manusia yang
menjadi salah satu kendala dalam menerapkan eksekusi pidana mati. Artinya beberapa
kalangan yang menolak maupun yang menerima pidana mati yang dikorelasikan
dengan Hak Asasi Manusia pastinya memiliki pandangan tersendiri dan analisa yang
mendalam terhadap hal tersebut. Sebagai gambaran kasar adalah bagi kalangan yang
menolak pidana mati menilai bahwa hak untuk hidup yang merupakan hak yang paling
mendasar dalam diri seorang manusia adalah hak kodrati yang tidak dapat digagugugat,
sehingga tidak ada seorang manusiapun yang dapat mencabut serta menentukan waktu
matinya seseorang. Sehingga tak dapat dipungkiri bahwa bagi golongan ini lebih
memandang hak asasi dalam diri terdakwa/pelaku kejahatan. Begitu juga dengan
kalangan yang menerima penerapan ini. Dalam pandangannya mereka cenderung
melihat hak daripara korban (victim) yang terdzolimi oleh perilaku pelaku kejahatan
dalam bentukbentukkasus tertentu, sebagai contoh adalah kasus genosida, korupsi dan
narkoba.
Artinya perlindungan hak asasinya dipandang dalam diri korban yang harus
mendapat perlindungan. Faktor lain adalah pemahaman kedua kalangan tersebut

8
terhadap fungsi serta tujuan hukum atau pemidanaan. Dapat digambarkan adalah dalam
aliran teori retributif yang notabene menerapkan hukuman yang diterima harus
setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan, artinya bahwa teori ini cenderung
menjurus kepada pembalasan yang setimpal. Berbeda halnya dengan yang mengangkat
teori utiliter yang memandang bahwa hukum dalam penerapannya memiliki manfaat
dan
kegunaan baik untuk individu secara khusus dan bagi masyarakat secara umum.
Dalam pemabahasan ini penerapan pidana mati dapat dikategorikan tidak memiliki
kemanfaatan dan kegunaan bagi individu yang bersangkutan, karena dengan
diterapkannya pidana mati terhadap terdakwa, maka dapat dipastikan terdakwa tidak
dapat memperbaiki hidupnya 8. Disamping beberapa faktor tersebut masih banyak
faktor yang mempengaruhi pola pikir masyarakat kita dalam memandang pidana mati
tersebut, seperti ajaran-ajaran agama atau dogma dogma yang yang telah diterima oleh
beberapa kalangan masyarakat kita. Disamping itu, latar belakang pendidikan memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam menentukan arah serta pola pikir dari individu-
individu masyarakat, sehing dari kemajemukan tersebut wajar jika muncul berbagai
macam persepsi mengenai pidana mati.
Pada dasarnya, hukum di Indonesia bertujuan guna melindungi hak-hak
individu masyarakatnya dan sebisa mungkin dijaga agar tidak berbenturan antara hak
yang satu dengan hak yang lain. Sehingga dapat kita tarik suatu sedikit kesimpulan
bahwasanya ketika menerapkan hukum secara otomatis juga telah menerapkan
perlindungan terhadap hak-hak individu dalam masyarakat yang disebut dengan hak–
hak asasi manusia. Oleh karenanya maka muncul adanya konsepsi penghukuman.
Penghukuman disini memiliki tujuan atau fungsi untuk memberikan penjeraan serta
[6]memberikan pembalasan terhadap apa yang telah dilakukan oleh pelaku. Dalam
menerapkan pemidanaan ini pun harus memperhatikan unsur-unsur hukumnya, yang
dalam hal ini yang digunakan adalah konsepsi hukum pidana. Akan tetapi hal yang
paling urgen dari pemidanaan adalah untuk memberikan perlindungan terhadap
masyarakat.
Dalam stelsel hukum pidana di indonesia, ada beberapa aturan-aturan yang
mengatur mengenai perlindungan terhadap masyarakat ini. Aturan-aturan tersubut
tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukukm Pidana. Didalam Kitab Undang-

9
Undang Hukum Pidana mengatur secara luas mengenai hal ini yang tertuang dari buku
pertama mengenai aturan umum, hingga buku ketiga mengenai pelanggaran. Dalam
aturan-aturanya dengan adanya larangan tentu saja ada pula mengenai sanksi yang
diberikan jika kita melakukan pelanggaran dalam laranganya tersebut. Sanksisanksi
yang dijatuhkan ada beragam macamnya, baik itu sanksi berupa denda, penjara dan
sanksi terberat adalah sanksi pidana mati. Tujuan dari hukum serta pidana mati
disamping yang telah sedikit kita singgung diatas adalah untuk memberikan
pembalasan terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukannya. Artinya bahwa ada
konsekuensi logis yang harus diterima oleh pelaku kejahatan atas kejahatan yang ia
lakukan. Tujuan hukum ini lebih sering dikenal dengan tori pembalasan/retribution
theory.
Disamping itu, terdapat tujuan hukum yang menekankan kepada tindakan
pencegahan. Artinya bahwa ketika hukum diterapkan, maka diharapkan akan ada
upaya untuk mencegah setiap individu untuk melakukan kejahatan, ataupun
mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan dimasa yang akan datang (teori
pencegahan/prevention of crime teory/teori relatif). Telah sedikit disinggung pada
pembahasan diatas mengenai teori utilitirianisme atau teori kemanfaatan. Berdasar
pada teori ini, maka disamping untuk melakukan pembalasan terhadap individu yang
telah melakukan sebuah tindakan kejahatan, juga harus memiliki beberapa
kemanfaatan bagi korban kejahatan secara individual ataupun bagi pelaku kejahatan
serta bagi masyarakat luas.
Pada dasarnya negara indonesia adalah negara yang sangat memperhatikan
permasalahan Hak Asasi Manusia, terlihat dalam konstitusi kita baik dalam pembukaan
maupun batang tubuh telah pengakuan serta perlindngan terhadap Hak Asasi Manusia
disamping menyebut adanya prinsip demokrasi. Namun pemahaman mengenai Hak
Asasi ini tidak dapat dipahami secara mentah-mentah. Kita mengenal adanya
pemahaman hak asasi secara proporsional, yang artinya disamping memperhatikan hak
kita sebagai individu yang merdeka, juga harus memperhatikan hak orang lain yang
juga merupakan individu dan bagian dari masyarakat yang memiliki kemerdekaan yang
sama dengan kita. Sehingga hak-hak dari masing-masing individu tetap terlindungi
secara proporsional dan tetap dalam koridornya masing-masing. Oleh karenanya, hak
yang dimiliki tersebut tetap harus berjalan tetap pada koridornya dan dibatasi dengan

10
adanya aturan main yang jelas serta tegas yakni hukum positif yang secara jelas dapat
mengikat. Sehingga tidak ada hak yang bersifat absolut.
Terkait dengan hal tersebut, maka pidana mati pada dasarnya memiliki
kedudukan yang nyata jika kita mengacu pada tidak adanya hak yang bersifat absolut
itu tadi. Pidana mati sebagai salah satu hukuman terberat dalam stelsel hukum pidana
memilki kewenangan untuk menjaga harmonisasi keadaan sosial dengan
mengatasnamakan hak secara proporsional. Walaupun hak adalah mutlak pemberian
tuhan yang maha esa, dalam pelaksanaan dalam kehidupan di dalam tatanan
masyarakat tetap membutuhkan batasan-batasan dalam mengimplementasikannya.
Didalam stelsel hukum pidana, bentuk pemidanaan memiliki pidana pokok berupa
pidana penjara, denada serta pidana mati. Sehingga dengan diterapkkanya sistem
hukum tersebut, diharapkan akan menjadi sebuah koridor utama yang dapat menjaga
keabsahan dari hak tersebut tanpa merusak keharmonisan tanatan sosial.
Selain memiliki keanekaragaman suku bangsa dan budaya, ternyata Indonesia
memiliki keanekaragaman pemahaman serta pikir pola masyarakat terhadap penerapan
pidana mati di indonesia. Baik dalam beberapa kalangan yang menilai setuju akan
pidana mati yang diterapkan yang dalam pandangan mereka menganggap ada
kaitannya ataupun tidak dengan konsepsi Hak Asasi Manusia ataupun yang secara
keras menolak penerapan pidana mati tersebut terkait dengan pemahamannya terhadap
konsepsi Hak Asasi Manusia dapat dipastikan mereka memiliki landasan berfikir yang
kuat akan hal ini. Tentunya pemikiran-pemikiran yang muncul dipengaruhi oleh
faham-faham serta teori-teori yang diserap dari berbagai sumber.
Selain itu juga didalam masyarakat yang memiliki pluralitas yang tinggi
menjadi salah satu faktor dalam menentukan jalan berfikir dari masyarakat itu sendiri.
Pluralitas yang dimaksudkan disini dapat kita lihat dari adanya berbagai macam latar
belakang pendidikan setiap orang dalam masyarakat yang berbeda-beda, sehingga
mengerucut pada pemahaman mereka terhadap suatu hal. Selain itu juga dapat
dipengaruhi juga dari keanekaragaman budaya yang secara tidak langsung telah diserap
dalam alur berfikir mereka dan diimplementasikan dalam menyikapi suatu
permasalahan. Faktor keanekaragaman agama juga dapat dijadikan salah satu pengaruh
dari pola pikir masyarakat tadi.

11
Perdebatan yang terjadi sejalan dengan dinamika didalam hukum nasional dan
internasional yang perkembangannya dalam setengah abad terakhir ini, serta
munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam melihat dan menilai relevansi pidana
mati dalam konteks sistem hukum, bentuk dan asas negara, serta perubahan sosial,
termasuk teknologi yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Perdebatan akan
wacana ini terus berkembang. Ada yang beberapa menelan mentah-mentah kedua
wacana dan argumentasi dari kedua sudut pandang tadi, akan tetapi adapula yang
masih mentelaah lebih jauh dari permasalahan keduanya tadi. Inipun terjadi dikalangan
masyarakat. Masyarakat seolah bingung dengan kedua konsepsi yang ada tadi, karena
dalam masyarakatpun memiliki kemajemukan basic pendidikan. Jadi ini menjadi
sebuah polemik tersendiri dalam beberapa pandangan masyarakat.

12
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas makan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hukuman mati ini dapat di tinjau dari berbagai macam aspek kehidupan seperti
aspek agama, hukum, HAM, sosiologis dan aspek lainnya. prinsip dasar HAM
yang secara sosiologis harus dijunjung tinggi oleh siapapun. Tetapi sekedar
mengingatkan prinsip dasar HAM juga mengatur bahwa tidak seorangpun boleh
ditangkap, ditahan atau dibatasai kebebasannya, dan tidak seorangpun dapat
dihukum dengan suatu peraturan yang berlaku turut serta masih banyak hak-hak
dasar lain yang harus dijamin, dilindungi dan ditegakkan oleh negara.
2. Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP
Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas konsep
Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa Di indonesia delik yang diancam
dengan pidana mati semakin banyak. Di dalam KUHP sudah menjadi Sembilan
buah, yaitu : Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (1), Pasal 124,
Pasal 140 ayat (3), Pasal 340, Pasal 36 ayat (4), Pasal 444, Pasal 479 ayat (2), dan
Pasal 479 ayat (2) KUHP.Pidana mati tercantum di dalam Pasal 36 jo. Pasal 8 huruf
a, b, c, d, atau e dan Pasal 37 jo. Pasal 9 a, b, c, d, e Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal
15, pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan,
sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia
terhadap delik tersebut di atas (Pasal 6, 9, 10, dan 14).
3. Hukum mati ini tidak cocok di terapkan di indonesia jika di pandang dari segi ham
karena hukuman mati ini merupakan bentuk hukuman yang sangat keji dan tidak
manusiawi dan UUD 1945 juga telah melindungi hak-hak seseorang sebagai warga
negara untuk bebas hidup dan tidak disiksa. Konsep perlindungan hak asasi
manusia itu sendiri di indonesia dapat dilihat dalam pancasila maupun undang-
undang dasar 1945 itu sendiri

13
3.2. Saran
1. Dalam penerapan hukuman mati di nidonesia agar jangan dilakukan dengan
gegabah tanpa melihat titik permasalahannya terledih dahulu. Islam memang
memperbolehkan hukuman mati ini tapi harus sesuai dengan ketewntuan-ketentuan
yang berlaku.
2. Hukuman mati ini jangan dijadikan debagai penopang strategi politik kalau hanya
untuk membuat nama seseorang terkenal di dunia politik sebaiknya jangan
diterapkan di Indonesia karena akan menimbulkan kelaknatan terhadap negara ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Megah, Tim, 2012, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Permata press, jakarta
Prodjodikoro, Wirjono, 1989, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco,
Bandung
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kinidan di
Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati TerhadapPembunuhan
Berencana, CV Rajawali, Jakarta, 1982.
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977
Suparman Marzuki. Hukuman Mati Dalam Perspektif Etis. www.pushamuii.ac.id. (31
Januari 2008).
M. Abdul Kholiq AF. Buku Pedoman Kuliah HUKUM PIDANA, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta 2005 hlm 177
Randlom naning .Cita dan citra hak asasi manusia indonesia. Lembaga krimonologi UI.
Jakarta 1983 sebagaimana dikutip oleh St. Harum Pujiarto, RS, Hak Asasi Manusia
: Kajian Filosofis Dan Implementasinya Dalam Hukum Pidana Di Indonesia
Universitas atmajaya . Yogyakarta. hlm 25.
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia. Artikel dalam Junal
Hukum N0.14 Vol 7 Agustus 2000 Hlm 5

15

Anda mungkin juga menyukai