Anda di halaman 1dari 20

PERCOBAAN TINDAK PIDANA

Dosen Pengampuh Abdul Khaliq, SH., MH,.

DISUSUN OLEH:
Kelompok HK20C

1.Azriel Zamil : 20416274201157


2.Kori Kurniawan : 20416274201070
3.Sukmawati : 20416274201024
4.Winnie Febian N : 20416274201075

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM (S1)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUANA PERJUANGAN KARAWANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nyalah kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik yang berjudul
“PERCOBAAN TINDAK PIDANA” Makalah ini dibuat sebagai tugas yang
diberikan dosen kepada mahasiswa yang mengikuti mata perkuliahan HUKUM
PIDANA untuk memberikan informasi tentang percobaan tindak pidana
Tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada Dosen dari Mata Kuliah
Hukum Ketenagakerjaan yaitu Bapak Abdul Khaliq, SH, MH., Selaku dosen
Pengampu yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberi tugas makalah
ini dengan baik. Dengan diberikannya tugas makalah ini, kami dapat mengerti dan
memahami materi mengenai PERCOBAAN TINDAK PIDANA
Dalam menyusun makalah ini tentunya kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dan bisa membuat makalah ini menjadi berguna dan bermanfaat
bagi pembaca terutama mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Buana
Perjuangan Karawang.

ii
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................... 3
BAB II TUJUAN PUSTAKA ........................................................................ 4
2.1. Pengertian Hukum Pidana ........................................................ 4
2.2. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana ............................................ 6
BAB III PEMBAHASAN .............................................................................. 8
3.1. Percobaan menurut pasal 53 KUHPidana ................................. 8
3.2. Pidana dan Pemidanaan Terhadap Delik Percobaan ................. 8
BAB IV PENUTUP ........................................................................................ 16
4.1. Kesimpulan................................................................................ 16
4.2. Saran ......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan manusia lain untuk
hidup berdampingan dengannya. Sebagai mahluk sosial manusia tidak akan
mampu hidup menyendiri terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali
dalam keadaan terpaksa dan itupun sifatnya hanya untuk sementara waktu. Hidup
menyendiri terlepas dari pergaulan manusia dalam masyarakat, hanya mungkin
terjadi dalam dongeng belaka. Namun dalam kenyataannya, hal itu tidak mungkin
terjadi.
Sudah menjadi kodrat manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat
hidup secara sendiri-sendiri artinya dalam pergaulan hidup manusia sangat
tergantung pada manusia lain yaitu hasrat untuk hidup berkelompok, berkumpul,
dan berdamping-dampingan serta saling mengadakan hubungan antar sesamanya
dalam masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus
bekerjasama dan mengadakan hubungan antara yang satu dengan yang lainnya.
Adakalanya dalam hubungan antar manusia tersebut terdapat perbedaan-perbedaan
kepentingan dan tujuan, sehingga menimbulkan pertikaian-pertikaian antara
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya dan bahkan antara kelompok
manusia yang satu dengan kelompok manusia yang lainnya.
Hukum pidana adalah sebagian dari pada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk
menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut. Mengenai hukum pidana yang berkaitan
dengan tindak pidana Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana, yaitu
perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana,
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

1
2

Perbuatan dapat dikatakan menjadi suatu tindak pidana apabila


mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a. melawan hukum;
b. merugikan masyarakat;
c. dilarang oleh aturan pidana;
d. pelakunya diancam dengan pidana.
Berbicara mengenai tindak pidana, menurut sistem yang ada dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) yang berlaku di Indonesia, tindak
pidana terbagi atas dua (2) jenis yaitu kejahatan (Misdrijven) dan pelanggaran
(Overtreddingen). Pembagian kedua (2) jenis perbuatan pidana ini tidak
ditetapkan secara nyata dalam satu Pasal KUHPidana, akan tetapi sudah sudah
dianggap sedemikian adanya dan berlaku secara umum bagi seluruh rakyat
Indonesia. Adapun perbedaan prinsipil kedua (2) jenis perbuatan pidana yang
disebutkan di atas. Kejahatan:”rechtsdelichten” yaitu perbuatan yang meskipun
tidak ditentukan oleh undang-undang sebagai perbuatan pidana, tetapi tetap
dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.
Sedangkan Pelanggaran:”wetsdelichten” yaitu perbuatan yang sifat
melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang
mengatur demikian. Salah satu perbuatan pidana dalam wujud kejahatan yang
sering muncul ke permukaan saat ini adalah pencurian. Maraknya tindak pidana
pencurian yang terjadi sangat erat kaitannya dengan keadaan hidup masyarakat
khususnya pelaku kejahatan. Kasus pencurian telah menjadi perkara yang
sering diperiksa,
diadili dan diputus oleh pengadilan.
3

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja penjelasan dari hukum pidana, materil dan formil serta fungsi dan
tujuannya?
2. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana percobaan
pada pasal 53 KUHPidana?
3. Bagaimana penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
percobaan?
1.3 Maksud dan Tujuan
1. Menjelaskan kepada pembaca apa saja pengertian dari hukum pidana,
materil dan formil beserta fungsi dan tujuan.
2. Memaparkan bagaimana penerapan hukum pidana pada pasal 53
KUHPidana
3. Menjelaskan sanksi pidana pada pelaku tindak pidana percobaan
BAB II
TUJUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hukum Pidana

Menurut Moeljatno Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan


hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan
aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Menurut Soedarto Hukum Pidana sebagai aturan hukum, yang
mengingatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu
akibat berupa pidana. Dengan demikian pada dasarnya hukum pidana berpokok
pada 2 hal yaitu:
a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Yang dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang
memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat
disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat.
Perbuataan jahat itu harus ada orang yang melakukannya, maka dari itu di
rinci menjadi 2 ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar
larangan itu.
b. Pidana.
Merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Dalam

4
5

KUHP yang sekarang berlaku jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum
dalam pasal 10 KUHP.
Menurut Van Hamel memberikan batasan bahwa hukum pidana
merupakan keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam
kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang
bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu penderitaan kepada yang
melanggar larangan tersebut.
Dari definisi diatas, pada hakikatnya untuk hukum pidana bisa dibagi
menjadi 2 yaitu :
1. Hukum pidana materiil, Hukum pidana materiil disini sebagaimana yang
disebutkan oleh Moeljatno dalam huruf a dan b. Dengan demikian dapat diatur
dalam hukum pidana materiil yaitu :
a. Perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang dapat dipidana.
b. Syarat untuk menjatuhkanpidana atau kapan atau dalam hal apa seseorang
yang telah melakukan perbuatan yang dilarang dapat dipidana.
c. Ketentuan tentang pidana.
Contoh Hukum Pidana materiil adalah KUHP.
2. Hukum pidana formil, sebagaimana disebutkan Moeljatno dalam huruf c.
Hukum pidana formil merupakan hukum acara pidana atau suatu proses atau
prosedur untuk melakukan segala tindakan manakala hukum pidana materiil akan,
sedang dan atau sudah dilanggar. Atau dalam arti lain, Hukum pidana formil
merupakan hukum acara pidana atau suatu proses atau prosedur untuk melakukan
segala tindakan manakala ada sangkaan akan, sedang dan atau sudah terjadi tindak
pidana. Contoh hukum pidana formil adalah KUHAP. Akan terjadi tindak pidana
misalnya ada laporan bahwa disuatu rumah dicurigai sedang diadakan pertemuan
untuk melakukan kegiatan pengeboman suatu tempat, sedangkan terjadi tindak
pidana misalnya ada laporan bahwa tempat bank tersebut sedang terjadi
perampokan. Sudah terjadi tindak pidana misalnya ada laporan disuatu tempat
ditemukan mayat penuh dengan luka-luka.
6

2.2 FUNGSI DAN TUJUAN HUKUM PIDANA


1. Hukum Pidana merupakan hukum publik, oleh karena:
a. Penjatuhan pidana dijatuhkan untuk mempertahankan kepentingan umum.
b. Pelaksanaannya sepenuhnya ditangan pemerintah.
c. Mengatur hubungan antara individu dengan negara.
2. Fungsi hukum pidana secara khusus ialah melindungi kepentingan umum
terhadap perbuatan yang tercela. Menurut Satochid Kartanegara dalam
bukunya “Hukum Pidana” dan Hermien Hadiati Koeswadji, dalam bukunya
“Perkembangan Macam-Macam Pidana Rangka Pembangunan Hukum Pidana”,
yang dikategorikan Kepentingan Hukum tersebut yaitu:
a. Nyawa manusia
Bagi yang melanggar hukum ini, yaitu menghilangkan nyawa orang lain akan
diancam dengan pasal 338 KUHP, Manakala perbuataan tersebut dibuat
dengan perencanaan akan diancam dengan pasal 340 KUHP. Demikian juga
manakala perbuatan atau tindakan dilakukan karena kelalaiannya, sehingga
menyebabkan mati orang lain maka akan diancam dengan pasal 359 KUHP.
a. Badan atau tubuh manusia Ancaman pidana bagi barang siapa yang
melakukan perbuatan atau tindakan yang dapat membahayakan badan atau
tubuh orang lain, akan diancam dengan pasal 351 KUHP.
b. Kehormatan seseorang KUHP mengatur masalah kehormatan seseorang
dengan ketentuan 310 KUHP. Artinya bagi barang siapa yang menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang, akan diancam dengan pidana
berdasarkan pasal 310 KUHP. Manakala penistaan tersebut dilakukan melalui
internet, maka akan dijerat dengan pasal 27 jo pasal 45 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
c. Kemerdekaan seseorang Pasal 333 KUHP mengancam dengan pidana bagi
barang siapa yang dengan sengaja dan melawan hukum merampas
kemerdekaan seseorang.
7

e. Harta benda Pasal 362 KUHP, yang merupakan pasal tentang pencurian,
siapapun dilarang melakukan perbuatan atan tindakan pencurian barang milik
orang lain baik seluruh maupun sebagian.
3. Fungsi Hukum Pidana secara umum mengatur kehidupan kemasyarakatan.
Andi Hamzah, dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana”, menulis bahwa
hukum pidana merupakan kode moral suatu bangsa. Disitu dapat dilihat sebenarnya
yang dilarang, tidak diperbolehkan dan yang harus dilakukan dalam suatu
masyarakat atau negara. Hermann Mannheim, bahwa hukum pidana adalah
pencerminan yang paling terpercaya peradaban suatu bangsa.
4. Tujuan Hukum Pidana
a. Untuk menakuti-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik yang
ditujukan:
1) menakut-nakuti orang banyak
2) menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di
kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan
suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga
bermanfaat bagi masyarakat.
c. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kedua tujuan tersebut merupakan tujuan
yang bersifat tambahan atau sekunder, melalui tujuan tersebut akan berperan
dalam meluruskan neraca kemsyarakatan yang merupakan tujuan primer.
d. Menurut pandangan Van Bemmelen yang menyatakan bahwa hukum pidana
itu sama saja dengan bagian lain dari hukum karena seluruh bagian hukum
menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh
hukum.
5. Sanksi Hukum Pidana
a. Preventif
Sanksi Hukum Pidana untuk mencegah terjadinya pelanggaran
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Percobaan menurut pasal 53 KUHPidana

Ketentuan mengenai percobaan pasal 53 KUHPidana sebagai berikut:


1. Percobaan terhadap kejahatan tindak pidana, jika niat petindak dinyatakan
dengan adanya permulaan pelaksaan tindakan, dan pelaksanaan tindakan itu
tidak selesai hanya karena keadaaan-keadaan diluar kehendaknya.
a. Niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan. Hal
ini ternyata dari rumusan pasal 53 KUHP. Dengan demikian percobaan untuk
melakukan kejahatan.
b. Permulaan pelaksaan tindakan sesuai dengan perumusan percobaan, kata-
kata permulaan tindakan harus dihubungkan dengan kata-kata niat yang
mendahuluinya yang terdapat dalam pokok kalimat tersebut, Jadi permulaan
pelaksaan tindakan dari niat penindak.
c. Pelaksaan tindakan tidak selesai karena keadaan diluar kehendak penindak.
Dalam hal ini menjadi perhatian dalam 3 macam yaitu: tidak selesai,
hanyalah, keadaan-keadaan diluar kehendak petindak. Yang tidak selesai itu
adalah kejahatan, atau kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan
dengan undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari
kejahatan.
2. Maksimum pidana pokok yang ditentukan terhadap kejahatan itu, dalam hal
percobaan dikurangi dengan sepertiga.
3. Jika pidana mati atau pidana penjara seumur hidup yang diancamkan terhadap
kejahatan itu, maka pidana penjara maksimumnya 15 tahun yang dijatuhkan.
4. Pidana tambahan untuk percobaan sama dengan kejahatan selesai.

3.2. Pidana dan pemidanaan terhadap delik percobaan

Di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sesuai pasal 10,


sanksi pidana terdiri dari:

8
9

a. Pidana pokok, antara lain:


- Pidana Mati
- Pidana Penjara
- Pidana Kurungan
- Denda
b. Pidana tambahan, antara lain:
- Pencabutan beberapa hak tertentu
- Perampasan beberapa barang tertentu
- Pengumuman putusan hakim.

Dalam memberikan efek jera kepada seorang pelaku kejahatan sebagai


konsekuensi dari perbuatannya maka hukum pidana dapat dikatakan sebagai
jalan terakhir yaitu apabila upaya hukum lain selain hukum pidana dianggap tidak
mampu dalam memberikan atau menyelenggarakan tata tertib dalam pergaulan
masyarakat. Waluyadi berpendapat: "Hukum pidana juga dapat dikatakan sebagai
crimum meridium, yaitu sebagai upaya antisipatif preventif agar manusia
mengetahui akibat yang ditimbulkan apabila ia memperkosa atau melanggar hak-
hak orang lain (baik nyawa atau harta) dengan jalan memperkenalkan hukum
pidana sedini mungkin.

Secara khusus tujuan hukum pidana adalah sebagai upaya pencegahan untuk
tidak dilakukannya delik atau mencegah kejahatan, dengan jalan melindungi
segenap kepentingan dari pada subyek hukum dari pihak-pihak yang tidak
bertanggungjawab. Perlindungan tersebut diwujudkan melalui pemberian sanksi
dengan penderitaan, nestapa atau segala sesuatu yang tidak mengenakkan secara
tegas kepada pihak-pihak yang telah terbukti melanggar hukum.

Tujuan dasar dari adanya pidana bagi seseorang yang telah melanggar
norma-norma hukum pidana adalah dengan pertimbangan untuk membalas si
pelaku delik. Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang
membenarkan adanya penjatuhan hukuman (sanksi). Di antaranya teori absolut
dan teori relatif.
10

a. Teori absolut.
Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan sebagai pembalasan terhadap
para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan
kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.
b. Teori relatif.
Teori ini dilandasi oleh tujuan sebagai berikut:
1) Menjerakan Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau
terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya
(speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui bahwa jika
melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan
mengalami hukuman yang serupa (generate preventive). Memperbaiki
pribadi terpidana
2) Berdasarkan perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama
menjalani
3) hukuman, terpidana merasa menyesal sehingga ia tidak akan
mengulangi
4) perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang yang
baik dan berguna.
5) Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya.
Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan
membuat terpidana tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan
hukuman seumur hidup.

Jadi tujuan penjatuhan hukuman dalam hukum pidana adalah untuk


melindungi dan juga memelihara ketertiban hukum guna mempertahankan
keamanan dan ketertiban masyarakat sebagai satu kesatuan.

Hukum pidana tidak hanya melihat penderitaan korban atau penderitaan


terpidana, tetapi melihat ketenteraman masyarakat sebagai suatu kesatuan yang
utuh. Ketentuan mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Pertimbangan
hakim disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian
11

yang diperoleh dari pemeriksaan persidangan yang menjadi dasar penentuan


kesalahan –kesalahan terdakwa”. Pertimbangan hakim terdiri dari pertimbangan
yuridis dan fakta-fakta dalam persidangan. Selain itu, majelis hakim haruslah
menguasai aspek teoritik dan praktik, pandangan doktrin, yurisrudensi dan kasus
posisi yang sedang ditangani kemudian secara limitative menerapkan pendiriannya.
Undang-undang yang mengatur tentang tiga dasar yang menyebabkan pidana
umum adalah:
1) Dasar pemberatan karena jabatan
2) Dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaan
3) Dasar pemberatan karena pengulangan (recidive).
1. Dasar pemberatan pidana karena jabatan
Pemberatan pidana karena jabatan ditentukan dalam pasal 52 KUHP yang
rumusan lengkapnya, adalah: Jikalau seorang pegawai negeri melanggar
kewajibannya yang istimewa dalam jabatannya, karena melakukan perbuatan yang
boleh dihukum memakai kekuasaan, kesempatan, atau daya upaya yang diperoleh
dari jabatannya, maka hukumannya boleh ditambah sepertiga. Dasar pemberatan
pidana tersebut dalam pasal 52 KUHP ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari
kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai empat hal, adalah
dalam melakukan tindak pidana dengan:
a) Melakukan suatu kewajiban khusus dari jabatannya;
b) Memakai kekuasaan jabatannya;
c) Menggunakan kesempatan karena jabatannya;
d) Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.
2. Dasar pemberatan pidana karena menggunakan bendera kebangsaan
Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera
kebangsaan dirumuskan dalam pasal 52a KUHP yang berbunyi: “Bilamana pada
waktu melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan Republik
Indonesia, maka hukumannya untuk kejahatan tersebut dapat ditambah
sepertiganya”.
3. Dasar pemberatan pidana karena pengulangan (recidive) Ada dua arti
pengulangan, yang satu menurut masyarakat (sosial), dan yang lainnya dalam
12

arti hukum pidana. Menurut arti yang pertama, masyarakat menganggap bahwa
setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya, yang kemudian melakukan
tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat
lainnya. Tetapi pengulangan dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar
pemberatan pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan
tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang diberikan undang-
undang. Menurut Pasal 486, Pasal 487, dan Pasal 488 pemberatan pidana dapat
ditambah sepertiga dari ancaman maksimum pidana yang diancam pada kejahatan
yang bersangkutan. Pemberatan pidana sebagaimana diatur Pasal 486, Pasal 487,
dan Pasal 488 harus memenuhi dua syarat:
a) Orang itu harus telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah
dijatuhkan oleh hakim, atau ia dibebaskan dari menjalani pidana, atau
ketika ia melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak Negara untuk
menjalankan pidananya belum kadaluarsa.
b) Melakukan kejahatan pengulangannya adalah dalam waktu belum lewat lima
tahun sejak terpidana menjalani sebagian atau seluruh pidana yang
dijatuhkan.
Disebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan dasar
peringanan tertentu yang hanya berlaku khusus terhadap tindak pidana yang
disebutkan itu saja, dan tidak berlaku umum untuk segala macam tindak pidana.
Dasar diperingannya pidana khusus oleh karena di dalamnya terdapat unsur tertentu
yang menyebabkan tindak pidana tersebut menjadi lebih ringan dari pada bentuk
pokoknya.
Selain secara yuridis, dasar yang memberatkan dan meringankan
hukuman/pidana dapat juga dilihat secara subjektif dengan melihat syarat
pemidanaan yang terdiri atas perbuatan dan orang. Unsur perbuatan meliputi
perbuatan yang bersifat melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar. Unsur
yang terkait dengan adanya kesalahan pelaku yang meliputi kemampuan
bertanggungjawab dan kesengajaan (dolus) atau kealpaan (Culpa) serta tidak ada
alasan pemaaf. Apabila syarat-syarat pemidanaan tersebut telah terpenuhi maka
dapat dilakukan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Namun sebelum
13

menjatuhkan pidana, terdapat aspek yang perlu dipertimbangkan di luar syarat


pemidanaan yang meliputi aspek korban atau pelaku. Aspek korban meliputi
kerugian atau penderitaan akibat tindak pidana yang didalamnya serta derajat
kesalahan korban dalam terjadinya tindak pidana.
Kerugian atau penderitaan yang besar atau berat merupakan aspek
memberatkan pemidanaan terhadap pelaku, dan sebaliknya sedikit atau
ringannya kerugian atau penderitaan korban merupakan aspek yang meringankan
bagi pemidanaan terhadap pelaku. Derajat kesalahan korban dalam terjadinya
tindak pidana merupakan aspek yang dipertimbangkan dalam menjatuhkan
putusan.
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya pidana yang
akan diberikan kepada pelaku berdasarkan Undang-undang No.14 tahun 1985
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman Pasal 4 ayat 2 dimana
telah dilakukan perubahan terhadap undang-undang nomor 14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dengan undang-undang nomor
35 tahun 1999 tentang perubahan atas undang-undang nomor 14 tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Selain itu telah
dibentuk Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman yang
telah disesuaikan dengan undang-undang sebelumnya. Pasal 27 ayat 2 undang-
undang nomor 14 tahun 1970 berbunyi: “Dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa”.

Hakim dalam mengambil putusan perkara pidana oleh Undang-undang


dijamin kemandirian dan kebebasannya. Demikian pula dengan simbol-simbolnya
maupun dengan janji-janji dan kode etik profesinya kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang diberi kebebasan di dalam menentukan benar salahnya seseorang
dan jenis pidana apa yang akan dijatuhkan serta berat ringannya. Sebelum
mengambil keputusan perkara pidana maka Hakim dituntut pula untuk
mengetahui apa makna dari kebebasan dan kemandirian serta dituntut pula untuk
14

mengetahui tujuan dari pidana dan pemidanaan, sehingga putusan Hakim


diharapkan akan memberikan putusan yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.

Putusan yang adil dan benar adalah putusan yang mencerminkan tingkat
kesadaran hukum masyarakat. Kualitas putusan pengadilan adalah tergantung pula
dengan kualitas dari Hakimnya. Hakim yang berilmu, berpandangan luas,
bermoral dan akhlak yang baik, memegang teguh etika profesi lebih diharapkan
lahir suatu putusan yang berkualitas sebab dengan Hakim yang berkualitas maka
ia akan berfikir, berbuat mengambil putusan dengan pertimbangan yang rasional,
hati-hati dan cermat, dapat memikirkan apa yang akan terjadi. Putusannya akan
memberi manfaat apa tidak bagi terdakwa khususnya bagi masyarakat dan
lingkungannya.

Hakim yang berkualitas adalah Hakim yang menguasai Undang-undang


secara baik dan benar, selanjutnya mengguankan Undang-undang tersebut secara
baik dan benar dalam kasus-kasus kongkrit. Hakim sendiri juga harus mengetahui
nilai-nilai (tingkat) kesadaran hukum masyarakat sehingga putusan Hakim selalu
dilandasi pertimbangan-pertimbangan hukum (motiverd) yang lengkap dan
sistematis sehingga orang mendengar atau membaca suatu putusan dapat
mengetahui jalan pikiran Hakim dalam mengambil putusan. Untuk mengambil
keputusan, hakim harus mempunyai pertimbangan yang bijak supaya putusan
tersebut sesuai dengan asas keadilan. Setiap putusan hakim merupakan salah satu
dari ketiga kemungkinan sebagai berikut:

a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib, yaitu pemidanaan
terhadap terdakwa apabila kesalahan terdakwa pada perbuatan yang telah
dilakukan dan perbuatan itu adalah suatu tindak pidana menurut hukum dan
keyakinan cukup dibuktikan
b. Putusan bebas, yaitu terdakwa dibebaskan apabila menurut hasil pemeriksaan
kesalahan terdakwa menurut hukum dan keyakinan tidak terbukti.
15

c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, yaitu jika kesalahan terdakwa
menurut hukum dan keyakinan cukup terbukti, tetapi apa yang dilakukan
terdakwa bukan merupakan suatu tindak pidana.

Putusan hakim merupakan putusan yang isinya menjatuhkan hukuman


yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka keputusan tersebut dapat
dijalankan. Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar
supaya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dapat
dilaksanakan, misalnya apabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar
segera dikeluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda, agar
uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana
penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah Lembaga
Pemasyarakatan dan sebagainya.

Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena


idealnya putusan harus memuat idée des recht, yang meliputi tiga unsur yaitu
keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit), dan kemanfaatan
(zwechtmassigkeit). Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus
dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada giliranya dapat
dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.
Mochtar kusumaatmadja mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif, maupun
legislative. Dengan kebebasan yang dimilikinya itu, diharapkan hakim dapat
mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan
keyakinanya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat.

Dengan demikian, hukum dan badan-badan pengadilan akan dapat


berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan
pembinaan tertib hukum. Dalam penjatuhan pidana terhadap percobaan melakukan
kejahatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 53, pidananya
dikurangi sepertiga dari ancaman hukuman yang diancamkan terhadap delik yang
dilakukan oleh pelaku.
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Penerapan hukum pidana materil terhadap percobaan melakukan tindak


pidana memenuhi rumusan pasal 53 KUHPidana yang harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
- Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan;
- Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan
- Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai oleh karena terhalang oleh
sebab-sebab yang timbul kemudian tidak terletak dalam kemauan penjahat itu
sendiri.
Dipidananya percobaan terdapat dua pandangan yang subjektif yang
menganggap bahwa orang melakukan percobaan itu harus di pidana oleh karena
sifat berbahayanya orang itu. Dan pandangan yang objektif yang menganggap
bahwa dasar untuk memidana percobaan disebabkan karena berbahayanya
perbuatan yang di lakukan.

4.2 SARAN
Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim dalam memberikan atau
menjatuhkan dakwaan terhadap terdakwa mengenai percobaan tindak pidana
hendaknya lebih mencermati dan teliti dalam menjatuhkan dakwaan dan lebih
mengerti tentang dasar-dasar mengenai percobaan walaupun ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya tetapi dasar percobaan dalam Pasal 53
KUHP tidak dapat diselewengkan dalam hal percobaan.
Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan maka perlu memperhatikan
terdakwa yang dimana jangan sampai terdakwa sudah sering keluar masuk penjara
dalam kasus yang sama walaupun berbeda maka tujuan dari pemidanaan itu tidak
tercapai, jadi Majelis Hakim perlu mengetahui apakah terdakwa dalam kasus ini
baru pertama kalinya atau sudah berulang kali melakukan tindak pidana.

16
DAFTAR PUSTAKA

Purwoleksono, Endro Didik. 2016. Hukum Pidana. Surabaya : Airlangga


University Press Kampus C Unair.

Madile, Magelehaen. 2016. Penjatuhan Pidana Terhadap Perbuataan Percobaan


Melakukan Tindak Pidana. Lex-Crimen, vol. 5, no. 2, 69-74.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/11118

Anda mungkin juga menyukai