Anda di halaman 1dari 26

ETIKA PROFESI

HUKUM PIDANA

Dosen

Kelompok :3

Nama :1. Adinda Septiani 061730311356

2. Artita Putri Melati 061730311360

3. Aurelia Yolanda Putri 061730311361

4. Gita Agustina 061730311367

PROGRAM STUDI TEKNIK LISTRIK


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
POLOTEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan inayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “HUKUM PIDANA” tepat dengan waktu yang ditetapkan.

Terima kasih saya ucapkan kepada yang telah membantu Penulis menulis
makalah ini dengan sangat baik. Terima kasih juga saya ucapkan kepada teman-
teman seperjuangan yang telah mendukung Penulis sehingga Penulis bisa
menyelesaikan tugas ini.

Kami menyadari, bahwa makalah yang Penulis buat ini masih jauh dari
kata sempurna baik segi penyusunan, bahasa, maupun penulisannya. Oleh karena
itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua
pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik lagi di masa
mendatang.

Semoga laporan makalah ini bisa menambah wawasan para pembaca dan
bisa bermanfaat untuk perkembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Palembang, 20

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................4

1.1 Latar Belakang..........................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................4

1.3 Tujuan........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................6

2.1 Hukum Pidana...........................................................................................6

2.2 Tindak Pidana Ringan...............................................................................7

2.3 Tindak Pidana Berat..................................................................................8

BAB III KESIMPULAN........................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................25

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

11. Latar Belakang


Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang
dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan
bermasyarakat, terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat social, juga
tidak terlepas dengan adamya hukum yang mengatur yang di dalam hokum
dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan suatu istilah
yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hokum pidana.
Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana,
serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang
melakukannya.
Hukum Pidana, juga sebagai salah satu bagian independen dari Hukum
Publik. Yang merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen
eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya
dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga
stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan
merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan
tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.

1.2 Rumusan Masalah


Dari uraian diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan hukum pidana.
2. Apa saja macam-macam pidana dan klasifikasinya.
3. Apa yang di maksud dengan tindak pidana ringan.
4. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana berat.

4
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dibuat, dapat diperoleh tujuan dari makalah ini
yaitu:
1. Apa yang di maksud dengan hukum pidana.
2. Apa saja macam-macam pidana dan klasifikasinya.
3. Apa yang di maksud dengan tindak pidana ringan.
4. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana berat.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hukum Pidana


Pidana berasal dari bahasa Belanda starf , yang pada dasarnya dapat
diartikan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang snegaja dijatuhkan kepada
seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.
menurut para ahli:
a. Van hamel, pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang
telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan
pidana atas nama negara sebagai peanggungjawab dari ketertiban hukum
umum bagi seorang pelanggar, yani semata-mata karena orang tersebut
telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh
negara.
b. Simons, pidana ialah suatu penderitaan yang oleh undang-undang
pidana telah dikaitkan dengan pelaggaran terhadap suatu norma, yang
dengan satuputusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara , yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1. Menentukan perbutan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pidana merupakan suatu tindakan yang
melanggar aturan atau ketetapan yang berlaku, sehingga bagi pelakunya akan
dikenai hukum pidana.

6
Perbuatan Pidana
Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai sanksi yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga
dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana, asal saja perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada
perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan
yang erat, oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian
ada hubungan yang erat pula. Untuk menyatakan hubungan yang erat itu
dipakailah perkataan perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk
kepada dua keadaan konkrit pertama adanya kejadian tertentu dan kedua adanya
orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.
Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai perbuatan pidana
yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang.
Apabila disimpulkan, maka perbuatan pidana hanya menunjukkan sifatnya
perbuatan yang terlarang dengan diancam pidana[5]. Jadi perbuatan pidana
dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana dipisahkan dengan kesalahan. Lain
halnya strafbaarfeit dicakup pengertian perbuatan pidan dan kesalahan.

Macam-Macam Pidana
Menurut ketentuan Pasal 10 KUHP terdapat beberapa jenis hukuman yang
dapat dijatuhkan pada seseorang yang telah melakukan tindak pedana, di mana
hukuman yang akan dijatuhkan itu dapat berupa:
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati
Mengenai hukum mati ini banyak negara yang sudah meniadakan
hukuman mati, termasuk Belanda sejak abad XVIII telah meniadakan
hukuman mati atau pidana mati tersebut dari undang-undang hukum
pidana umumnya. Tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati kadang

7
masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyak
pro-kontra terhadap hukuman ini.
Beberapa alasan dari mereka yang menentang hukuman mati antara
lain sebagai berikut:
1. Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan, maka tidak ada
jalan lagi untuk memperbaiki apabila ternyata di dalam
keputusannya hukum tersebut mengandung kekeliruan.
2. Pidana mati itu bertentangan dengan perikemanusiaan.
3. Dengan menjatuhkan pidana mati akan tertutup usaha untuk
memperbaiki terpidana.
4. Apabila pidana mati itu dipandang sebagai usaha untuk menakut-
nakuti calon penjahat, maka pandangan tersebut adalah kelitru
karena pidana mati biasanya dilakukan tidak di depan umum.
5. Penjatuhan pidana mati biasanya mengandung belas kasihan
masyarakat yang dengan demikian mengundang protes-protes
pelaksanaanya.
6. Pada umumnya kepala negara lebih cenderung untuk mengubah
pidana mati dengan pidana terbatas maupun pidana seumur hidup.

Alasan-alasan bagi mereka yang cenderung untuk mempertahankan


adanya hukuman atau pidana mati mereka mengemukakan pendapatnya
sebagai berikut:
1. Dipandang dari sudut yuridis dengan dihilangkannya pidana mati,
maka hilanglah alat yang penting untuk penerapan yang lebih baik
dari hukuman pidana.
2. Mengenai kekeliruan hakim, itu memang dapat terjadi
bagaimanapun baiknya undang-undang itu dirumuskan. Kekeliruan
itu dapat diatasi dengan pertahapan dalam upaya-upaya hukum dan
pelaksanaanya.
3. Mengenai perbaikan dari terpidana, sudah barang tentu
dimaksudkan supaya yang bersangkutan kembali ke masyarakat

8
dengan baik apakah jika dipidana seumur hidup yang dijatuhkan itu
kembali lagi dalam kehidupan masyarakat.

b. Pidana penjara
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan
kemerdekaan. Ada beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu:
1. Pensylvanian System: terpidana menurut sistem ini dimasukkan dalam sel-
sel tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama
narapidana, ia tidak boleh bekerja diluar sel, satu-satunya pekerjaan adalah
membaca buku suci yang diberikan padanya. Karena pelaksanaanya
dilakukan di sel-sel maka disebut juga Cellulaire System.
2. Auburn System: pada waktu malam ia dimasukkan dalam sel secara sendiri-
sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan narapidana
lainnya, tetapi tidak boleh saling berbicara di antara mereka, biasanya
disebut dengan Silent System.
3. Progressive System: cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah
bertahap, biasa diebut dengan English/Ire System.

c. Pidana kurungan dan kurungan pengganti


Pidana kurungan juga merupakan salah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan, akan tetapi pidana kurungan ini dalam beberapa hal lebih ringan
daripada pidana penjara.
1. Pidana kurungan pengganti
Pidana kurungan pengganti adalah pengganti pidana denda yang tidak
dibayar oleh terpidana. Dapat juga dijatuhi pidana kurungan pengganti,
apabila terpidana tidak membayar harga taksiran yang ditentukan dari
barang rampasan yang tidak diserahkan oleh terpidana.
2. Pidana denda
Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk
mengembaikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan
pembayan sejumlah uang tertentu. Jika terpidana tidak mampu

9
membayar pidana denda yang dijatuhkan kepadanya, maka dapat diganti
dengan pidana kurungan. Pidana ini yang disebut pidana kurungan
pengganti, maksima pidana kurungan pengganti adalah 6 bulan dan
boleh menjadi 8 bulan dalam ha terjadi pengulangan, perbarengan atau
penerapan pasal 52 atau pasal 52 a KUHP.

2. Pidana Tambahan:
a. Pencabutah hak-hak tertetu.
b. Perampasan barang-barang tertentu.
c. Pengumuman putusan hakim.

Tujuan Pemberian Pidana


Tujuan pemidanaan dapat kita cari melalui dasar pembenaran adanya
hukuman atau penjatuhan pidana itu.
Mengenai dasar pembenaran penjatuhan pidana ada dua teori yaitu
berdasarkan teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Menurut teori absolut,
tujuan dari pemidanaan terletak pada hukum pidana itu sendiri. Barang siapa yang
melakukan suatu perbuatan pidana, harus dijatuhi hukuman.
Sedang menurut teori relatif, tujuan pemidanaan adalah untuk:
1. Mencegah terjadinya kejahatan
2. Menakut-nakuti sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan
3. Untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana
4. Memberikan perlindungan kepda masyarakat terhadap kejahatan.
Menurut teori gabungan, yang merupakan kombinasi antara absolut dan
relatif, tujuan penjatuhan pidana karena orang tersebut melakukan kejahatan dan
agar ia jangan melakukan kejahatan lagi.

Klasifikasi Tindak Pidana

Pada tahun 1916, Arrest Hoge Raad mencetuskan sebuah teori


hukum pidana yang dikenal dengan asas “tiada pidana tanpa kesalahan”
(geen straf zonder schuld beginsel). Dalam perkembangannya, teori

10
tersebut dapat ditemukan dalam penerapan sistem hukum yang menganut
sistem civil law dan dalam hukum pidana Indonesia teori ini telah
mendapat penegasan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia tahun 2004 Pasal 35 ayat (1). Teori Arrest tersebut
menjelasan bahwa pertanggungjawaban pidana ditentuan berdasarkan
pada kesalahan pembuat (liability based on fault) dan bukan hanya
dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian,
kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban
pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak

pidana.26 Selanjutnya, Von Feurbach menyatakan teori


pertanggungjawaban pidana yang didasarkan pada asas legalitas
(principle of legality), bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang undangan, yang dikenal dengan istilah Nullum delictum nulla
poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan
lebih dahulu).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHPidana)


mengklasifikasikan tindak pidana atas dasar-dasar tertentu, yaitu:

1. Menurut sistem KUHPidana, membedakan kesalahan dalam tindak


pidana menjadi dua jenis, yaitu kejahatan (misdrijven) yang termuat
dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) yang termuat dalam
buku III. Seseorang dianggap melakukan tindak pidana kejahatan
apabila perbuatan yang dilakukannya bertentangan dengan hukum
dan keadilan; sedangakan pelanggaran adalah perbuatan itu baru
dianggap sebagai delik setelah dirumuskan dalam undang-undang.
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formeel delict) dan tindak pidana materill (materiil delict). Tindak
pidana formil adalah suatu perbuatan pidana yang sudah selesai
dilakukan dan perbuatan itu mencocoki rumusan dalam pasal
undang- undang yang bersangkutan tanpa menyebut akibatnya;

11
sedangkan tindak pidana materill, yaitu suatu akibat yang dilarang
dan ditimbulkan dari suatu perbuatan tertentu dimana perbuatan yang
dilakukan bukan menjadi soal.
3. Menurut bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja
(doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose
delicten).
4. Menurut macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif yang dapat disebut juga dengan tindak pidana komisi
(delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif yang dapat
disebut juga dengan istilah tindak pidana omisi (delicta ommissionis).
Tindak pidana aktif atau komisi adalah suatu perbuatan yang dilarang
oleh undang- undang dan perbuatan tindak pidana tersebut dilakukan
secara aktif, sedangkan tindak pidana pasif atau omisi adalah delik
yang dapat diwujudan baik berbuat sesuatu ataupun tidak berbuat
sesuatu.
5. Menurut saat dan jangka watu terjadinya, dapat dibedakan antara
tindak pidana yang terjadi seketika dan tindak pidana yang terjadi
dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus. Tindak
pidana yang terjadi seketika adalah delik yang hanya dilakukan
sekali perbuatan dan diancam pidana oleh undang-undang yang telah
selesai dilakukan atau telah selesai menimbulkan suatu akibat;
sedangkan tindak pidana berlanjut adalah delik yang meliputi
beberapa perbuatan dimana perbuatan satu dengan lainnya sangat
saling berhubungan erat dan berlangsung terus menerus.
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum
dan tindak pidana khusus. Definisi tindak pidana umum adalah
semua delik yang berbentuk pokok atau sederhana tanpa dengan
pemberatan ancaman pidana; sedangkan tindak pidana khusus atau
berkualifikasi adalah delik yang dilakukan karena adanya keadaan-
keadaan tertentu yang dapat memberatkan atau mengurangi ancaman
pidananya.
7. Dilihat dari sudut subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak
pidana communia (delicta communia), yang dapat dilakukan oleh

12
siapa saja) dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh
orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu).
8. Menurut pada perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dibedakan menjadi tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak
pidana aduan (klacht delicten). Tindak pidana aduan adalah suatu
delik yang dapat dituntut dengan membutuhkan atau diisyaratkan
adanya pengaduan dari orang yang dirugikan, apabila tidak ada aduan
maka delik itu tidak dapat dituntut; sedangkan tindak biasa atau
umum adalah suatu delik yang dapat ditutntut tanpa membutuhkan
adanya pengaduan.
9. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, antara lain:
a. tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yaitu delik
pidana yang didasarkan atas penilaian pada saat penjatuhan
hukuman dengan pidana penjara maksimum 1 tahun sampai
dengan 7 tahun.
b. tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) yaitu delik
yang diancam dengan pidana penjara diatas 7 tahun atau diancam
dengan pidana lebih berat (pidana mati atau seumur hidup) untuk
menunjukkan sifat berat pidananya.
c. tindak pidana yang diperingan (gepriviligeerde delicten) yaitu delik
yang hanya diancam secara tunggal dan penjatuhan hukuman
penjara selama-lamanya 1 tahun.
d. Selain itu, dalam hal-hal tertentu ada penyimpangan dari pola
penetapan berat ringannya pidana seperti pada ketentuan diatas,
yakni dengan diberlakukannya tindak pidana ringan dimana dalam
menjatuhkan sifat berat ringannya hukuman pidana ini didasarkan
pada nilai objek perkara pidana yang dilakukannya dan hanya
dijatuhi hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
10. Menurut kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana
tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang
dilindungi seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap
harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama
baik, terhadap kesusilaan, dan lain sebagainya.

13
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan,
dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan
tindak pidana berangkat (samengestelde delicten).

2.2 Tindak Pidana Ringan


Pada tanggal 27 Februari 2012, Mahkamah Agung menerbitkan sebuah
aturan tertulis berupa PERMA RI No. 02 Tahun 2012 sebagai wujud implementasi
dari fungsi pengaturan Mahkamah Agung yang terdapat dalam Pasal 79 Undang-
Undang Mahkamah Agung. Perma tersebut mengatur ketentuan secara khusus
tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam
KUHPidana. Tujuan diterbitkannya perma ini adalah untuk mengefektifkan
kaidah hukum pidana yang disesuaikan dengan per- kembangan dinamika sosial
masyarakat. Ketentuan aturan mengenai kejahatan ringan yang diatur dalam
KUHPidana dianggap sudah tidak sesuai dengan keadaan sosial masyarakat saat
ini.
Dalam upaya pembaharuan kaidah-kaidah hukum pidana yang disesuaikan
dengan dinamika perubahan aktivitas sosial di masyarakat, turut mempengaruhi
perkembangan penggunaan istilah dalam kajian ilmu hukum pidana tanpa
mengubah hakikat dari hukum pidana itu sendiri. Perluasan pemahaman tentang
tindak pidana ringan ini sebenarnya menggunakan pendekatan kajian terminologi
Tindak Pidana Ringan (Tipiring) pada KUHAPidana. Sebab timbulnya suatu
kebijakan hukum baru dikarenakan adanya faktor kepentingan yang ditimbulkan
dari banyaknya kasus pidana yang ditangani oleh hakim sehingga turut
menimbulkan upaya pembaharuan terhadap peraturan perundangan-undangan
yang lama. Tindak Pidana Ringan (Tipiring) menurut Utrecht berhubungan
dengan kompetisi pengadilan.

Definisi secara konkrit tentang tindak pidana ringan akan sulit


ditemukan dalam KUHPidana, dikarenakan sebagian besar isi pokok
peraturan hukum dalam KUHPidana Indonesia merupakan adopsi dari
KUHPidana warisan Hindia – Belanda. Pada masa kolonial Belanda tidak
menyertakan aturan hukum tentang tindak pidana ringan dalam

14
KUHPidana Hindia – Belanda. Dalam KUHPidana, tindak pidana ringan
lebih dikenal dengan jenis-jenis perbuatan ringan, seperti: penganiayaan
ringan, pencurian ringan, penggelapan ringan, dsb.

Akan tetapi pemahaman tentang unsur-unsur tindak pidana ringan


dijelaskan lebih lanjut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) No. 8 Tahun 1981 sebagai ketentuan hukum pidana formal dari
KUHPidana, meskipun penjelasan tersebut bukan merupakan definisi
umum tentang tindak pidana ringan menurut KUHPidana. Pemahaman
tentang tindak pidana ringan menurut KUHAP dijelasan dalam Pasal 205
ayat (1) KUHAP yaitu “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak
pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau
kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya
tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang
ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.”

Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP


tersebut, Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pemahaman tentang
tindak pidana ringan adalah suatu perkara kejahatan yang ancaman
hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda
paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah dalam KUHPidana. Apabila
dianalisis lebih lanjut pada setiap bunyi pasal yang menjelaskan tentang
pidana kurungan atau penjara paling lama tiga bulan dalam KUHPidana
setidaknya terdapat sembilan pasal yang tergolong ke dalam bentuk
Tindak Pidana Ringan, antara lain:

a. Pasal 302 ayat (1) : Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan;


b. Pasal 352 ayat (1) : Penganiayaan Ringan;
c. Pasal 364 : Pencurian Ringan;
Secar
d. Pasal 373 : Penggelapan Ringan;
a
e. Pasal 379 : Penipuan Ringan;
f. Pasal 384 : Penipuan Dalam Penjualan;
g. Pasal 407 ayat (1) : Perusakan Barang;
h. Pasal 482 : Penadahan Ringan; dan
i. Pasal 315 : Penghinaan Ringan
15
substansi, pemahaman tentang tindak pidana ringan menurut Peraturan
Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2012 hampir sama dengan muatan pokok
dalam Pasal 205-210 KUHAP dimana kategori Tindak Pidana Ringan (tipiring)
ini didasarkan atas ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga
bulan melalui pemeriksaan perkara yang dilakukan dengan acara cepat dengan
segera menetapkan Hakim tunggal untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan
perkara tersebut, yang selanjutnya nilai denda menurut KUHPidana
dilipatgandakan menjadi 10.000 (kali) dalam perma ini, sehingga dengan
sendirinya dianggap sebagai tindak pidana ringan tanpa adanya lagi lembaga
banding atau kasasi dan lembaga penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Selain itu, tidak diperbolehkan melakukan tindakan penahanan terhadap diri
tersangka atau terdakwa oleh pihak penyidik dan jaksa penuntut umum pada
kasus tindak pidana ringan. Perintah penahanan dapat dilakukan oleh penyidik
atau jaksa penuntut umum terhadap diri terdakwa atau tersangka untuk
kepentingan penyidikan apabila terdakwa atau tersangka melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dengan begitu, asas
peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan pada penyelesaian kasus tindak
pidana ringan akan tercapai.

Namun, bila dicermati lebih lanjut akan terdapat perbedaan unsur


klasifikasi tindak pidana ringan antara ketentuan dalam perma dengan
KUHPidana, seperti yang telah Penulis jelaskan sebelumnya. Jenis-jenis tindak
pidana ringan yang termuat dalam perma ini hanya terfokus pada enam pasal yang
tergolong dalam tindak pidana ringan, yaitu Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan
482. Bentuk kejahatan ringan tersebut berupa pencurian, penipuan, penggelapan,
dan penadahan. Hal tersebut berbeda dengan klasifikasi tindak pidana dalam
KUHPidana yang menyebutkan ada sembilan pasal yang tergolong dalam tindak
pidana ringan. Pada PERMA RI No. 02 tahun 2012 tidak mencantumkan Pasal
302 ayat (1) tentang Penganiayaan Ringan Terhadap Hewan, Pasal 352 ayat (1)
tentang Penganiayaan Ringan, dan pasal 315 tentang Penghinaan Ringan. Dengan
tidak dicantumkannya ketiga pasal tersebut dalam perma ini yaitu didasarkan atas

16
pertimbangan nilai objek perkara pidana, sebagaimana yang termuat dalam Pasal
1, berbunyi :

“Kata-kata dua ratus lima puluh rupiah dalam pasal 364, 373, 379,
384, 407 dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah).”

Selanjutnya, pada Pasal 2 ayat (2) :

“Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih


dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Ketua
Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut dengan
Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210
KUHAP.”

Berdasarkan bunyi kedua pasal tersebut, maka Penulis dapat menarik


kesimpulan bahwa segala bentuk kejahatan ringan menurut KUHPidana yang
kemudian diubah dalam perma ini lebih menitik-beratkan pada kasus tindak
pidana ringan yang memiliki objek perkara dengan nilai dan/atau jumlah denda
sebesar dua ratus lima puluh rupiah dan dilipatgandakan 10.000 kali menjadi Rp
2.500.000,00, yang selanjutnya pemeriksaan perkara tersebut dilakukan melalui
Asas Peradilan Cepat (APC).

Analisi Kasus Tindak Pidana Ringan


Suatu perbuatan pencurian baru dapat dikatakan aapabila terdapat unsur-
unsur rumusan pasal 362KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhny


a atau sebagiankepunyaan orang lain dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian,dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.”

17
Unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam Pasal 362KUHP adalah:

1. Unsur Obyektif
a.Unsur Perbuatan
Mengambil Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus
ada perbuatan aktif ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan
benda tersebut kedalam kekuasaanya. Perbuatan para pelaku yaitu
mengambil uang korban sebesar delapan ratus ribu rupiahyang ada di
meja kasir dan tiga buah coklat Silver Queen, kemudian membawa
barang- barang tersebut bersamanya.

b.Unsur benda
Benda atau barang yang menjadi obyek dari perbuatan pelaku
adalah benda bergerakyaitu uang sebesar delapan ratus ribu rupiah dan tiga
buah coklat Silver Queen seharga tiga pulu satu ribu rupiah.

c. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain


Benda atau barang yang menjadi objek pencurian haruslah benda-
benda yang ada pemiliknya dan benda tersebut tidak perlu seluruhnya
milik orang lain, cukup sebagian sajasudah termasuk dalam unsur ini.Pada
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku di indomart. Bukanlah
mengambil
seluruh barang atau benda yang ada, tetapi hanya sebagian, yaitu uang seb
esar delapan ratus riburupiah dan tiga buah coklat.

2. Unsur subyektifa.
a. Unsur maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama
kesengajaan sebagai maksuddan unsur memiliki. Sebagai unsur subyektif,

18
memiliki adalah untuk memiliki bagi dirisendiri atau untuk dijadikan
barang miliknya.Pelaku pada tindak pidana di indomart bermaksud ingin
memiliki, karena telah membawakabur benda yang bukan kuasanya.

b. Melawan hokum
Maksud memiliki dengan melawan hokum atau maksud memiliki
itu ditujukan pada melawanhokum, artinya ialah sebelum bertindak
melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudahmengetahui, sudah sadar
memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hokum.

Berdasarkan analisa diatas, perbuatan yang dilakukan pelaku, telah


memenuhi unsur-unsur pasal362 KUHP, tetapi cara yang dilakukan oleh pelaku
dalam melakukan tindak pidana pencurian didahuluioleh ancaman kekerasan,
yaitu dengan cara menodongkan pistol ke salah satu pinggang karyawan di
toko.Oleh karena itu pelaku dapat terkena rumusan pasal 365 (1) KUHP
yang berbunyi:
“Diancam dengan penjara paling lama Sembilan
tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti
dengan kekerasanatau ancaman kekerasan, terhadap orang
dengan maksud untuk mempersiapkan atau pencurian,
ataudalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan
melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atauuntuk tetap
menguasai barang yang dicuri”.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi pada pasal 365 (1) KUHP adalah sebagai
berikut:
1. Unsur-unsur yang terdapat pasal 362, baik yang bersifat obyektif maupun
subyektif
2.Unsur-unsur khusus, yaitu unsur-unsur yang bersifat memberatkan pencurian,
yakni:
a. Unsur-unsur obyektif.

19
1) Cara atau upaya yang digunakan berupa kekerasan, atau ancaman
kekerasan.
2) Yang ditujukan kepada orang.
3) Waktu penggunaan upaya kekerasan atau ancaman kekerasan itu, ialah
sebelum, padasaat, atau setelah berlangsungnya pencurian.

b. Unsur-unsur subyektif.
Unsur subyektifnya ialah maksud digunakannya kekerasan ataupun
anacaman kekerasanitu ditujukan pada empat hal, yaitu untuk
mempersiapkan, untuk mempermudah pencurian,apabila tertangkap tangan
memungkinkan untuk melarikan diri sendiri atau peserta lainnya,apabila
tertangkap tangan dapat tetap menguasai benda hasil
curiannya.Berdasarkan uraian kasus yang dilakukan di indomart, pelaku
telah memenuhi rumusan unsur-unsur obyektif dan subyektif pada pasal
365 (1) KUHP, yaitu, pada saat melakukan tindak pidana pencurian,
pelaku melakukan ancaman kekerasan dengan cara menodongkan pistol
kepada salah satukaryawan yang ada di indomart, untuk mempersiapkan
dan mempermudah pencurian yang merekalakukan
2. 3 Tindak Pidana Berat
Liputan6.com, Jakarta - Pembunuhan aktivis lingkungan Jopi
Peranginangin, ternyata berawal dari cekcok. Tersangka, Praka Joko Lestanto
tidak berkenan dengan perkataan Jopi. Hal tersebut terungkap dalam rekonstruksi
kasus pembunuhan Jopi. Penyidik Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal)
mengungkapkan Praka Joko merasa dilecehkan.
Pada saat itu, Praka Joko langsung menghampiri dan menarik baju korban
diiringi dengan pukulan. "Terjadi cekcok mulut dalam Kafe Venue antara korban
dengan tersangka. Korban telah mengatakan sesuatu yang melecehkan tersangka.
Tersangka yang di bawah pengaruh minuman keras menarik baju korban dan
memukulnya," ujar Kadisgakum Lantamal III Letkol Laut (PM) Febber HS di
Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (11/6/2015).
Akibat perselisihan tersebut, rekan Jopi yang tengah bersamanya di Venue

20
Lounge and Bar di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, berusaha melerai. Petugas
Venue pun ikut melerai. Petugas memerintahkan tersangka untuk keluar dari
Venue. "Petugas ikut membantu melerai dan memerintahkan tersangka untuk
keluar kafe. Keributan kecil teman korban dengan tersangka pun terjadi di luar,"
lanjut Febber membacakan kronologi singkat kasus pembunuhan Jopi.
Keributan kecil tersebut membuat tangan kiri teman Jopi terluka. Luka itu
akibat sangkur yang dikeluarkan Praka Joko dari tas pinggangnya sambil
mengucap, "Saya tentara." Namun, Praka Joko tidak berhenti sampai di situ.
Walaupun Jopi sudah dituntun temannya yang lainnya ke mobil, tersangka masih
melampiaskan kekesalannya. "Tersangka masih penasaran ingin memukuli
korban. Korban lari ke parkiran mobil di depan Habibie Center. Tersangka
mengejar dan menusuk Jopi di bagian punggung sebelah kanan," terang Febber.
Setelah menusuk Jopi, tersangka langsung lari menunju parkiran motor
dan meninggalkan lokasi. "Tersangka langsung lari menuju parkiran motor dan
langsung pulang. Ini disusun dari keterangan tersangka dengan petunjuk dan alat
bukti yang kami miliki," tutup Febber. (Bob/Sss)

Analisis Kasus Tindak Pidana Berat


Tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan oleh Praka Joko yang
mengenai tubuh dan nyawa Jopi Peranginangin merupakan tindak pidana ini
sangat erat hubungannya antara satu dengan yang lain karena pembunuhan hampir
selalu didahului dengan penganiayaan, dan penganiyaan hampir selalu tuntutan
subsider setelah tuntutan pembuhuhan berhubungan dengan keadaan pembuktian.
Dalam KUHP menjelaskan dan mengatur tentang penganiayaan beserta akibat
hukum apabila melakukan pelanggaran tersebut, pasal yang menjelaskan tentang
masalah penganiayaan ini sebagian besar adalah pasal 351 sampai dengan pasal
355, dan masih banyak pula pasal-pasal lain yang berhubungan dengan pasal
tersebut yang menjelaskan tetang penganiayaan.
Adami Chazawi mengemukakan bahwa kejahatanterhadap nyawa
(misdrijven tegen bet leven) adalah berupa kejahatan terhadap nyawa orang
lain.Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan objek kejahatan ini

21
adalah nyawa (leven) manusia lebih lanjut diuraikan bahwa kejahatan terhadap
nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atas 2 (dua) dasar, yaitu:
a. Atas dasar unsur kesalahannya;
b. Atas dasar unsur objeknya (nyawa).
Sebagian pakar mempergunakan istilah “merampas jiwa orang lain”.
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan segaja untuk menghilangkan/merampas
jiwa orang lain adalah pembunuhan. Tindakan untuk menghilangkan
“nyawa”orang yang sering disamakan dengan menghilangkan “jiwa”dengan
pembunuhan yang mengandung makna mematikan yang berarti cara melanggar
hukum yang biasanya selalu dilatarbelakangi oleh bermacam motif, misalnya
politik, kecemburuan, dendam, sakit hati, membela diri, dan sebagainya. Pada
pembunuhan yang dilakukan oleh Praka Joko sebagai pelaku tunggal pada
perbuatan menghilangkan nyawa Jopi P. dengan menggunakan sangkur (senjata
tajam milik mariner). Pada tanggal 23 sekitar jam 10 pagi WIB, Sawit Watch
mendampingi Jerry (Keponakan Korban (Jopi) memberitahukan peristiwa tindak
pidana Pembunuhan Jopi yang diarahkan ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK)
Kepolisian Jakarta Selatan, Setelah melakukan Laporan ke SPK Kepolisian
Jakarta Selatan karena berada diwilayah hukum Jakarta Selatan pada saat
peristiwa pembunuhan terjadi, maka pihak Kepolisian akan melakukan gelar
perkara termasuk mendapatkan keterangan saksi-saksi dan bukti-buktidari
lapangan seperti CCTV yang berada pada sekitar pembunuhan di kafe Venue.
Dimana gelar perkara dan dengar kesaksian ini fungsinya untuk mengetahui
peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi pada pembunuhan Jopi. Di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut KUHAP dimana
pada Pasal 108 KUHAP dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan Pelapor,
yaitu:
“Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi
korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan
laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun
tertulis.” Pada Senin, 25 Mei 2014 Sekitar jam 14.00

22
Audensi dengan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Wahyu Hadiningrat,
hasil pertemuan dan keterangan Kapolres dari hasil penyidikan pembunuhan Jopi
termasuk pelaku dan jumlah pelaku tetapi beliau keberatan untuk menjawab
dengan alasan kasusnya sudah dilimpahkan ke POM AL daerah Pasar Senen.
Dengan alasan bahwa pelakunya adalah seorang TNI maka penyidik Polisi tidak
berwenang menangani kasus ini, sehingga penyidikan terhadap motif dan mencari
aktor pembunuhan jopi dilakukan oleh POM AL sesuai dengan NOMOR 31
TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER pasal 198;
(1) Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk
yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum,
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
(2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur,
dan Penyidik dalam lingkungan peradilan umum, sesuai dengan
wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk
penyidikan perkara pidana.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dengan surat
keputusan bersama Menteri dan Menteri Kehakiman.
Dan untuk perkara pidana prajurit PRAKA JOKO merupakan kekuasaaan
Pengadilan Militer sesuai pasal 40 UU Peradilan Militer yang akan memeriksa
dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana dimana Terdakwanya adalah:
Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah; “termasuk tingkat kepangkatan”
Kapten ke bawah; Pada Kamis, 11 Juni 2015, Rekontruksi di Kafe Venue oleh
Penyidik POM AL untuk mengetahui peristiwa terjadinya pembunuhan Jopi hal
ini dilakukan untuk melihat mata rantai peristiwa tidak terputus sehingga fakta
hukumnya bisa diungkap dan dijelaskan dalam penyidikan.

23
Dengan diawali pemgumunan penyidik dihalaman depan Cafe Venue
pembunuhan Jopi P dengan pasal yangdisangkakan kepada Praka Joko yang
disebut oleh Letkol Feber HS yaitu;
Pasal 351 ayat (3):
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah,
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Tugas penyidik menemukan semua unsur unsur pidananya pada pasal yang
disangkakan dan undang-undang juga tidak memberikan ketentuan apakah yang di
artikan dengan ,”penganiayaan” (mishandeling) pada pembunuhan Jopi dan juga
Praka Joko sebagai terdakwa dihadapkan kedalam persidangan oleh Oditurat
Militer yaitu melanggar pasal 351 ayat (3) KUHPidana yang unsur-unsurnya
sebagai berikut :

1. Barang Siapa ;
Yang dimaksud dengan “Barang Siapa” adalah setiap orang yang telah
melakukan suatu perbuatan, sedangkan orang tersebut mampu mempertanggung
jawabkan tersebut. dibuktikan bahwa terdakwa adalah orang yang sehat jasmani
dan rohani, olehkarena itu mampu mempertanggung jawabkan setiap
perbuatannya dan selama dalam pemeriksaan tidak dapat suatu hal yang
menghilangkan tanggung jawab nyata perbuatan yang dilakukan kepadanya ;
2. Dengan Sengaja ;
Bahwa pengertian dengan sengaja yaitu perbuatan yang dilakukan
terdakwa dilakukan secara sadar sehingga terdakwa bisa memperkirakan akibat
dari perbuatannya, serta sesuai yang menyangkut keterangan saksi, surat dan

24
petunjuk dengan keterangan terdakwa yaitu Bahwa peristiwa penyaniayaan
dilakukan terhadap diri korban (Jopi) oleh terdakwa dengan menggunakan
tangannya sendiri sehingga sadar akan perbuatannya ;
3.Melakukan Penganiayaan ;
Yang dimaksud melakukan penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja
menimbulkan kematian Jopi Peranginangin Penutup atas keinginan Audensi
oleh Tim Kuasa Hukum Keluarga Jopi kepada Panglima TNI Jenderal
Moeldoko untuk mendukung penyelesaian kasus secara Terbuka dan
mendapatkan respon dari Panglima dan segera akan dijadwal untuk bisa
bertemu dengan para Kuasa Hukum.
Hal penting yang akan didorong pada pertemuan dengan Panglima adalah
memastikan pengeroyokan serta pelaku pelakunya segera bisa ditangkap dan
POM AL untuk transparan dan segera mengumumkan nama-nama tersangka
pelaku dan menangkap/menahan serta memecat para pembunuh Jopi dari Militer.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/26077892/Analisis_Kasus_Tindak_Pidana_Penipuan_
dalam_KUHP

https://cahayaniaya.blogspot.com/2016/10/makalah-hukum-pidana.html

https://www.liputan6.com/news/read/2250201/pembunuhan-aktivis-jopi-berawal-
dari-cekcok

https://sawitwatch.or.id/2015/08/26/analisis-hukum-kasus-pembunuhan-jopi/

25
26

Anda mungkin juga menyukai