Anda di halaman 1dari 35

PRAKTIK PERADILAN PIDANA 3.

DOSEN PENGAMPU:

Dr. A. Irzal Rias, S.H., M.H.

KELOMPOK 1:

2110112008 Khairul Imam


2110112963 Hanifa Aini
2110112165 Ernawati
2110112167 Annysa Chairani
2110113044 Nadya Farha
2110113088 Alya Sasabila Siahaan
2110113093 Mutiara Guswir Putri
2110113119 Ade Juliany Pasaribu
2110113120 Irfan Hijra
231011004 Arini Trias Justicia

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2023/2024

i
PRAKATA

Puji syukur diucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga

makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima

kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan

baik pikiran maupun materinya. Kami berharap bahwa makalah ini dapat memberikan

wawasan baru dan untuk mengantar pembaca menuju ke pemahaman yang lebih baik

terhadap Praktik Peradilan Pidana. Kami juga berharap bahwa makalah ini dapat menjadi

sumber inspirasi bagi pembaca untuk terlibat dalam diskusi dan pemikiran yang lebih

mendalam mengenai Praktik Peradilan Pidana dan perannya dalam menjaga keadilan dan

keamanan di masyarakat.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat

memberikan kontribusi positif dalam pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia.

Padang, September 2023

DAFTAR ISI

i
PRAKATA.................................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I......................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN.......................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG........................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH....................................................................................3
1.3 TUJUAN........................................................................................................3
BAB II....................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN.......................................................................................................... 4
2.1 PENGERTIAN PRAKTIK PERADILAN PIDANA................................................4
2.2 Tujuan Praktik Peradilan Pidana.................................................................17
BAB III................................................................................................................... 29
PENUTUP................................................................................................................ 29
3.1 KESIMPULAN..............................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Latar belakang munculnya praktik peradilan pidana dapat dilihat dari

perkembangan sejarah hukum dan kebutuhan manusia akan keadilan dan keamanan

dalam masyarakat. Berikut ini adalah penjelasan secara rinci dan sistematis terkait

latar belakang munculnya praktik peradilan pidana:

1. Perkembangan Hukum dan Kebutuhan Akan Keadilan: Seiring dengan

perkembangan peradaban manusia, muncul kebutuhan akan aturan yang

mengatur perilaku manusia agar tercipta keadilan dan ketertiban dalam

masyarakat. Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum yang berfungsi

untuk menjaga keadilan dan memberikan sanksi kepada pelaku tindak pidana.

2. Perlindungan Masyarakat dari Kejahatan: Praktik peradilan pidana muncul

sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan. Dalam

masyarakat yang kompleks, tindak pidana dapat merusak ketertiban sosial dan

mengancam keselamatan warga. Oleh karena itu, diperlukan sistem peradilan

yang dapat menangani kasus-kasus pidana dan memberikan sanksi yang sesuai

kepada pelaku kejahatan.

3. Penegakan Hukum dan Pemulihan Ketertiban: Praktik peradilan pidana juga

berfungsi sebagai alat untuk menegakkan hukum dan memulihkan ketertiban

dalam masyarakat. Dalam sistem peradilan pidana, terdapat proses

pengumpulan bukti, pemeriksaan terhadap tersangka, persidangan, dan

penjatuhan hukuman. Tujuan dari proses ini adalah untuk menegakkan hukum

1
dan memastikan bahwa pelaku tindak pidana menerima sanksi yang sesuai

dengan perbuatannya.

4. Deterrence dan Pencegahan Kejahatan: Praktik peradilan pidana juga memiliki

tujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana di masa depan. Dengan adanya

sistem peradilan yang efektif dan adil, diharapkan pelaku potensial akan berpikir

dua kali sebelum melakukan tindak pidana karena mereka tahu bahwa akan ada

konsekuensi hukum yang berat.

5. Perlindungan Hak Asasi Manusia: Praktik peradilan pidana juga berkaitan dengan

perlindungan hak asasi manusia. Dalam proses peradilan, hak-hak tersangka

atau terdakwa harus dihormati dan dilindungi. Prinsip-prinsip seperti praduga tak

bersalah, hak atas pembelaan, dan hak atas pengadilan yang adil menjadi

bagian penting dari praktik peradilan pidana yang baik.

6. Perkembangan Hukum Internasional: Munculnya praktik peradilan pidana juga

dipengaruhi oleh perkembangan hukum internasional. Misalnya, adanya

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang bertugas mengadili tindak pidana

internasional seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan

genosida. Praktik peradilan pidana internasional ini merupakan upaya untuk

menghukum pelaku kejahatan yang tidak bisa diadili di tingkat nasional.

Secara keseluruhan, latar belakang munculnya praktik peradilan pidana

dapat dilihat dari perkembangan hukum, perlindungan masyarakat, penegakan

hukum, pencegahan kejahatan, perlindungan hak asasi manusia, dan perkembangan

hukum internasional. Praktik peradilan pidana menjadi penting dalam menjaga

keadilan dan keamanan dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang sesuai

kepada pelaku tindak pidana.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana definisi dan pengertian terkait Praktik Peradilan Pidana?
2. Apa yang menjadi tujuan Praktik Peradilan Pidana?

1.3 TUJUAN

1. Untuk membantu pembaca dan mendiskusikan terkait pengertian terkait Praktik


Peradilan Pidana
2. Untuk membantu pembaca dan mendiskusikan terkait tujuan terkait Praktik
Peradilan Pidana

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN PRAKTIK PERADILAN PIDANA

Hukum Pidana adalah peraturan perundangan yang sebagian besar termuat

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan sebagian yang lain terdapat pada

perundang-undangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. lsi Hukum Pidana

pada pokoknya memuat: (a) penunjukkan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan

yang diancam dengan hukum pidana; (b) penunjukkan syarat-syarat umum yang harns

dipenuhi agar perbuatan-perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat

dihukum pidana; (e) penunjukkan orang-orang atau badan-badan hukum yang pada

umumnya dapat dipidana , dan (d) penunjukkan maeam hukuman pidana yang dapat

dijatuhkan. Adapun . tata cara pelaksanaan penuntutan, pengambilan putusan hukum

oleh Pengadilan , dan pelaksanaan putusan Pengadilan diatur dalam Hukum Acara

Pidana (Witjono, 1980: 15). Jadi, kata Hukum Pidana menetapkan "bila", kepada

"siapa", dan "bagaimana hukuman pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim; sedangkan

Hukum Acara Pidana mengetur prosedur dan proses peradilan atas dasar hukum

pidana.

Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur

bagaimana negara melalui alat-alat penegak hukumnya melaksanakan hak dan

kewajibannya untuk menjatuhkan, memidana seseorang yang melakukan tindak

pidana, sedangkan hukum pidana material berisi petunjuk dan uraian tentang delik

yaitu peraturan tentang material berisi petunjuk dan uraian tentang delik yaitu

peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, petunjuk

mengenai ornag yang dapat dipidana serta aturan tentang pemidanaan, yaitu

4
mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan

KUHAP mengatur tata laksana penanganan perkara pidana sejak diketahui terjadinya

suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, hingga sampai tahap akhir berupa

pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Dengan diundangkannya Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana

sesungguhnya terdapat dua pihak yang kepentingannya dilindungi. Pihak pertama

adalah masyarakat, yakni untuk menghukum pelanggar hukum setimpal dengan

kesalahannya guna ketertiban dan keamanan masyarakat. Pihak kedua adalah orang

yang dituntut, yakni bahwa yang bersangkutan harus diperlakukan secara adil

sedemikian rupa sehingga jangan sampai terjadi orang yang tidak bersalab mendapat

hukuman, ataukalau memang terbukti bersalah jangan sampai yang bersangkutan

mendapat hukuman yang terlalu berat yang tidak seimbang dengan kesalahan 'yang

dibuatnya. Titik herat Hukum Pidana pada perlindungan masyarakat, sedangkan titk

berat Hukum Acara Pidana pada perlindungan hak tersangka pelalru pelanggaran

hukum pidana.

Berkaitan dengan prosedur penyidikan, penuntutan, dan peradilan, dalam ilmu

hukum dikenal adanya dua sistem, yakni sistem "accusatoirft (penuduhan) dan sistem

ttinquisitoirtt (pemeriksaan). Sistem accusatoir mendudukkan tersangka atau pihak

yang didakwa sebagai suatu "subyek" berhadap-hadapan dengan pihak pendakwa

(kepolisian atau kejaksaan) sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak masing-

masing mempunyai hak yang sarna dan Hakim berkedudukan di atas kedua belah

pihak yang berperkara pidana menurut Hukum Pidana yang berlaku. Sedangkan sistem

inquisitoir mendudukkan tersangka sebagai "obyek" yang hams diperiksa atas dasar

pendakwaan yang sedikit banyak telah diyakini kebenarannya oleh pendakwa atas

dasar sumber pengetahuan di laur terdakwa, sehingga pemeriksaan atau "hearing"

5
lebih merupakan upaya untuk mendorong tersangka agar mengakui saja

"kesalahannya".

Di Indonesia disebut “Hukum Acara Pidana” sebagaimana menurut Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(UU No. 8 Tahun 1981), yang kemudian lazim disebut sebagai “Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana” atau “KUHAP” berdasarkan Pasal 285 KUHAP. Seperti

pada umumnya, para ilmuwan hukum pidana memberikan pendapat yang berbeda-

beda terhadap pengertian hukum acara pidana berdasarkan sudut pandangnya

masing-masing. Hal ini mengingat KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai

apa itu hukum acara pidana.

Adapun yang dimaksud dengan Hukum Acara Pidana menurut para ahli

sebagai berikut:

J de Bosch Kemper menyatakan bahwa Hukum Acara Pidana adalah sejumlah

asas-asas dan peraturan-peraturan undang0undang yang mengatur wewenang negara

untuk menghukum bilamana undang-undang pidana dilanggar.

Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, S.H., mengatakan bahwa Hukum Acara

Pidana merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat acara

bagaimaman badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, Kejaksaan, dan

Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum

pidana.

Rd. Achmad S Soema Dipradja, S.H., mengatakan bahwa ilmu Hukum Acara

Pidana mempelajari peraturan yang diadakan oleh Negara dalam hal adanya

persangkaan dilanggarnya Undang-Undang Pidana. Sehubungan dengan itu, Mr. J. M.

Van Bemmelen dinyatakan pula bahwa pada pokoknya hukum acara pidana mengatur

hal-hal berikut:

6
1. Diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan oleh alat-alat negara yang

khususnya diadakan untuk keperluan tersebut;

2. Diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan itu;

3. Diikhtiarkan segala daya upaya agar para pelaku dari erbuatan tadi dapat

ditangkap, jika perlu ditahan;

4. Alat-alat bukri yang telah diperoleh dan terkumpul hasil pengusutan dari

kebenaran persangkaan tadi diserahkan kepada Hakim, demikian juga diusahakan

agar tersangka dapat dihadapkan kepada Hakim;

5. Menyerahkan kepada Hakim untuk diambil putusan tentang terbukti tidaknya

daripada perbuatan yang disangka dilakukan oleh tersangka dan tindakan atau

hukuman apakah yang lalu/kemudian akan diambil atau dijatuhkan;

6. Menentukan upaya-upaya hukum yang dapat dipergunakan terhadap putusan

yang diambil Hakim;

7. Putusan yang pada akhirnya diambil berupa pidana atau tindakan untuk

melaksanakan.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan pokok hukum acara pidana adalah untuk:

a. Mencari dan mendapatkan kebenaran;

b. Memperoleh keputusan Hakim;

c. Melaksanakan keputussan Hakim.

Lilik Mulyadi mengungkapkan, hukum acara pidana adalah: (1) peraturan

hukum yang mengatur, menyelenggarakan, dan mempertahankan eksistensi hukum

pidana materiil (materieel strafrecht) guna mencari, menemukan, dan mendapatkan

kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya; (2) peraturan

7
hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses pengambilan putusan oleh

hakim; dan (3) peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan terhadap

putusan hakim yang telah diambil.

Wirjono Prodjodikoro, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah,

menyatakan, hukum acara pidana erat dengan adanya hukum pidana, maka

dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara

bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu

kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai

tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

Merujuk pada beberapa literatur tentang hukum acara pidana, Tolib

Effendi mengungkapkan, hukum acara pidana disebut juga hukum pidana

formil. Menurutnya, hukum acara pidana berisi tentang bagaimana cara

menjalankan prosedur dalam menegakkan hukum pidana materiil atau

menjatuhkan sanksi bagi pelanggar aturan di dalam hukum pidana materiil.

Berdasarkan beberapa literatur yang memuat pendapat para ilmuwan hukum

pidana dan merujuk pada pengaturan dalam KUHAP, penyusun cenderung

memberikan pengertian hukum acara pidana sebagai aturan yang dibentuk

oleh negara yang berdaulat yang memuat prosedur-prosedur tentang bagaimana

penegak hukum melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di

pengadilan, dan pelaksanaan putusan pengadilan guna menjamin adanya

kepastian hukum bagi seluruh pihak yang terkait dalam prosedur-prosedur

tersebut.

8
Praktik Peradilan Pidana merupakan salah satu mata kuliah yang dipelajari

pada jurusan ilmu Hukum untuk mengimplementasikan teori yang sudah diperoleh

setelah mempelajari mata kuliah hukum pidana dan Hukum Acara Pidana. Praktik

Peradilan Pidana berasal dari kata Praktik dan Peradilan Pidana. Kata “praktik” berarti

menerapkan/melaksanakan/mengimplementasikan teori, sedangkan “peradilan

pidana” berarti proses untuk menerapkan keseluruhan aturan pidana baik materil

atau formil dalam rangka penegakan hukum pidana guna memperoleh kepastian

hukum dan mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, praktik peradilan pidana dapat

diartikan sebagai ilmu untuk mempelajari mengenai upaya untuk

menerapkan/melaksanakan/mengimplementasikan keseluruhan aturan pidana, baik

aturan materil maupun formil dalam rangka penegakan hukum, guna memperoleh

kepastian hukum dan mendapatkan keadilan.

Dalam mata kuliah dan praktek hukum peradilan pidana, mahasiswa dan

penegak hukum tidak semata-mata berperan menjadi seorang hakim, seorang

penuntut umum dan seorang advokat serta penyidik, tetapi lebih dari itu yaitu harus

tau bagaimana menyusun berkas dan menganalisa perkara sebagaimana

penyelesaian perkara sesungguhnya kemudian dipresentasikan dalam sidang

peradilan semu untuk persiapan dalam praktek sistem peradilan pidana, untuk

membuktikan terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan analisa dalam berkas yang

disusunnya. Pengenalan mata kuliah hukum acara pidana dan praktek peradilan

peradilan semu akan mengasah mahasiswa untuk lebih menyempurnakan dalam

kemampuan teori dan berpraktek. Terutama membuat surat – surat penting yang

digunakan dalam perkara pidana serta kemahiran dan keterampilan hukum dalam

menjalankan persidangan pengadilan semu tingkat pertama. Dalam melaksanakan

9
kegiatan belajar dan berlatih membuat surat – surat penting sekaligus menjalankan

praktek persidangan seharusnya berpedoman pada literatur yang tepat dan baik

dalam usaha membantu mahasiswa mencapai tujuan tersebut.

Bahwa pengertian dari pada Praktek peradilan Pidana adalah, suatu

rangkaian proses dalam praktek penyusunan berkas perkara pidana yang digunakan

di dalam pemeriksaan di pengadilan oleh Hakim atau Majelis Hakim, yang diawali

adanya berkas pada tingkat penyidikan, berkas pada tingkat penuntutan, berkas

pada tingkat persidangan dan berkas pada tingkat putusan pengadilan serta berkas

yang berkaitan dengan administratif. Langkah awal yang harus dilakukan sebelum

menyusun berkas dalam praktek peradilan pidana, yaitu:

1. Penentuan Fakta-Fakta Hukum Tindak Pidana.

2. Penyusunan Skenario Tindak Pidana.

3. Penerapan Dasar Hukum Tindak Pidana.

1. Penentuan Fakta-Fakta Hukum Tindak Pidana

Pada umumnya peristiwa yang terjadi awalnya di duga merupakan tindak

pidana, sehingga muncul banyak dugaan yang dimulai dari banyaknya nama- nama

orang yang terlibat dalam tindak pidana, nama-nama lokasi atau tempat terjadinya

tindak pidana, tanggal-tanggal yang berkaitan dengan perkara tindak pidana serta

barang-barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana. Sehingga hal-hal tersebut

dapat dianalisa, bahwa tidak semua yang muncul dalam uraian atau keterangan dan

lain-lain merupakan fakta-fakta hukum, mengingat untuk menetukan fakta-fakta

hukum harus memuat dan berkaitan dengan beberapa hal yaitu:

10
a). Tempus Delictie (Waktu terjadinya / dugaan Tindak Pidana);

Dalam perkara tindak pidana pasti akan muncul tanggal-tanggal yang berkaitan

dengan waktu peristiwa terjadinya perkara tindak pidana, maka tanggal-tanggal

tersebut dibuat pedoman dalam menentukan kronologi perkara tindak pidana dan

untuk melengkapi skenario perkara tindak pidana tersebut, kemudian diinventarisir

sebagai suatu kesatuan kronologis peristiwa perkara tindak pidana. Mengingat

penentuan waktu terjadinya tindak pidana berkaitan erat dengan pasal-pasal yang

harus ditentukan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana tersebut

b). Locus Delictie (Tempat terjadinya / dugaan Tindak Pidana);

Dalam penentuan tempat terjadinya perkara tindak pidana sangat penting untuk

memastikan dimanakah perkara tindak pidana ini akan diajukan dalam proses

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan yang berwenang, mengingat

perkara yang akan dianalisis terkadang tidak menunjukkan pada satu tempat yang

pasti, melainkan menunjuk dan atau menyebut banyak tempat atau lokasi. Untuk itu

penentuan tempat atau lokasi terjadinya tindak pidana jangan hanya semata-mata di

tentukan berdasarkan terjadinya peristiwa tindak pidana, ataupun ditangkapnya

seseorang atau beberapa orang yang diduga melakukan tindak pidana, maka

sebaiknya dilinvetarisir dulu lokasi-lokasi atau tempat-tempat yang disebutkan atau

ditunjuk dalam perkara tindak pidana tersebut. Dengan demikian untuk menentukan

lokasi atau temapat yang ada hubungannya peristiwa tindak pidana, akan dipilih

berdasarkan sesuatu hal yang lain termasuk diantaranya bergantung pada

pengembangan berita acara pemeriksaan para pihak dan atau skenario perkara

tindak pidana pada tahap berikutnya.

11
c). Para Pihak yang terlibat dalam Tindak Pidana;

Dalam menangani suatu perkara tindak pidana atau menentukan kasus posisinya,

pasti menyebutkan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tindak pidana tersebut,

sehingga tahapan-tahapan dalam menentukan fakta-fakta hukum janganlah terlebih

dahulu menentukan tersangkanya, lebih baik nama-nama para pihak yang terlibat

dalam tindak pidana yang muncul diinventaris lebih dahulu secara tuntas dan

menyeluruh. Sedangkan untuk menentukan pihak tersangkanya, saksi-saksi yang

merupakan alat bukti ditentukan setelah adanya pengembangan yang pasti

sebagaimana ditentukan dalam kasus posisi dari skenario perkara tindak pidana.

Mengingat dalam menentukan tersangka pada tahap fakta-fakta hukum akan

mempersempit dan berkembangnya suatu perkara tindak pidana, apalagi penentuan

tersangka pada tahap pencarian fakta-fakta hukum bisa-bisa dapat menimbulkan

kekeliruan yang nyata terjadi (seperti perkara tindak pidana Singkong dan Karta).

Untuk itu lebih baik fokus pada satu nama, sehingga pengembangan perkara selalu

diarahkan ke nama yang telah ditetapkan sebagai calon tersangka. Jangan sampai

menentukan tersangka yang hanaya kasat mata yang patut diduga keras melakukan

tindak pidana, karena kemungkinan ada aktor baru yang muncul dalam perkara

tindak pidana tersebut. Suatu misal kasus nebis in idem, tersangkanya seorang

pemuda tidak berbuat apa-apa tetapi dituduh oleh pejabat setempat melakukan

tindak pidana pembunuhan terhadap anak pejabat tersebut, hanya karena tersangka

atau pemuda itu tidak disenangi oleh pejabat tersebut dan ternyata anaknya di

sekolahkan ke luar negeri. Setelah ditentukan trersangkanya dan di proses samapai

tingkat peradilan. diputuskan pemuda tersebut bersalah yang harus menjalani pidana

penjara selama 10 (sepuluh) tahun. Kemudian Pemuda itu menjalani hukuman dan

keluar dari penjara mencari anak pejabat tesebut dan ketemu anaknya dibunuh,

12
maka peristiwa tersebut merupakan nebis in idem yaitu suatu perkara tindak pidana

tidak boleh diputus 2 (dua) kali dalam kasus yang sama dan terdakwa yang sama.

d). Barang Bukti yang berkaitan dengan Tindak Pidana;

Bukti-bukti yang berkaitan dengan perkara tindak pidana yang dijadikan fakta-fakta

hukum adalah apabila jumlahnya sedikit alat bukti menurut perundang-undangan

sehingga tidak memenuhi ketercukupan, dan untuk pengembangannya maka bukti

dapat dilakukan di dalam tahap skenario perkara tindak pidana. Dimungkinkan juga

skenario perkara diarahkan terhadap bukti-bukti yang belum muncul dalam

melakukan pemeriksaan terhadap para pihak yang terlibat dalam peristiwa perkara

tindak pidana. Di dalam praktek peradilan pidana fakta-fakta hukum yang

dikumpulkan untuk di inventaris secara rinci dengan diurutkan sesuai rangkaian

kronologis perkara, untuk kemudian dikembangkan di dalam skenario perkara.

Fakta-fakta hukum tersebut harus memuat tentang syarat minimal yaitu: tempus

delictie, locus delictie, para pihak yang terlibat dalam tindak pidana dan bukti-bukti

yang berkaitan dengan tindak pidana. Berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada

tersebut, maka dapat diputuskan kemungkinan untuk dipilih siapa sebagai calon

tersangkanya dan siapa pula saksi-saksinya. Kalau memang ada pengembangan

ditemukan barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana dan dimungkinkan ada

tersangka lain, maka sebaiknya pemeriksaannya diarahkan kepada calon tersangka

lain tersebut, sehingga perkara tindak pidana tersebut dapat ditangani dengan tuntas

2. Penyusunan Skenario Tindak Pidana.

13
Bahwa pada umumnya perkara tindak pidana dibuat dengan sebuah uraian

secara umum dari suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana, maka

uraian tersebut dicari fakta-fakta hukum yang berkaitan dengan locus delictie,

tempus delictie, para pihak yang terlibat dan barang bukti atas tindak pidana.

Kemudian disusun sebagai skenario tindak pidana yang berfungsi layaknya jalan

cerita suatu perkara tindak pidana yang dengan tegas akan menentukan siapa

tersangka, korban, saksi-saksi yang akan di panggil untuk hadir dalam pemeriksaan

sampai dengan perkara tindak pidana itu di putus. Dalam skenario perkara tindak

pidana harus disusun dengan cermat dengan memperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

a. Harus ada sinkronisasi fakta hukum.

Dalam penyusunan fakta-fakta hukum yang baru haruslah dibuat denga cermat

berkaitan dengan fakta-fakta hukum yang sudah ada dan tidak perlu berbelit-belit,

mengingat fakta-fakta hukum yang baru itu hanya berfungsi untuk memperjelas

perkara tindak pidana, sehingga kalau terlalu berbelit-belit justru akan semakin

membingungkan, maka perlu sekali adanya sinkronisasi antara fakta hukum yang

satu dengan fakta hukum yang lain.

b. Penambahan Para Pihak dan barang bukti.

Bahwa setiap penambahan di dalam skenario perkara tindak pidana terhadap para

pihak dan barang bukti hendaknya yang memiliki kualifikasi yang layak baik sebagai

saksi dan penambahan barang bukti dalam perkara tersebut, artinya dapat

menjelaskan dan atau memperjelas suatu peristiwa perkara tindak pidana yang

terjadi. Penambahan para pihak bisa bersifat memberatkan tersangka atau

14
meringankan tersangka, selain itu bukti-bukti yang menguatkan terjadinya peristiwa

perkara tindak pidana hendaknya perlu sekali dimunculkan. Penambahan para pihak

dalam skenario perkara tindak pidana tidak hanya untuk memperkuat pembuktian

saja, akan tetapi juga diperlukan untuk pengembangan kasus dan variasi serta

improvisasi perkara tindak pidana. Suatu misal penambahan saksi warga negara

asing, maka akan menambah kaitannya dengan tata cara pemeriksaan warga negara

asing, proses penyumpahan, penerjemah dan lain-lain.

c. Unsur Tindak Pidana.

Bahwa untuk tahapan skenario perkara tindak pidana, hendaknya diarahkan sesuai

dengan unsur-unsur pasal dari pada perkara tindak pidana yang akan disangkakan

atau didakwakan. Secara garis besar perkara tersebut dapat ditemukan perkiraan

awal mengenai kualifikasi tindak pidana tentang apakah yang terjadi. Maka skenario

penyusunannya bertujuan untuk melengkapi dan mengembangkan fakta-fakta

hukum yang ada diarahkan sesuai unsur-unsur tindak pidana sesuai pasal yang akan

diterapkan. Misal: Tindak pidana pencurian dengan pemberatan, maka unsur-unsur

pasal diskenariokan mengarah pada tindak pidana pencurian dengan pemberatan. 1

3. Penerapan Dasar Hukum Tindak Pidana.

Bahwa penerapan dasar hukum atau pasal dalam perkara tindak pidana

harus tepat dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukan, sehingga analisis dari

perkara yang ada setelah dikembangkan dengan skenario yang akan membuat alur

perkara, maupun penerapan hukum yang dipilih akan menjadikan titik utama.

1 Tolib Effendi, Kemahiran Beracara Pidana Pada Pengadilan Tingkat Pertama, Setara Press, Malang,
2016, h.50.

15
Mengingat analisis perkara tindak pidana yang berdasarkan fakta- fakta hukum

dikaitkan dengan penerapan pasal yang dipilih menjadi awal mula dalam penyusunan

berkas perkara tindak pidana. Maka yang harus diperhatikan rambu-rambunya

antara lain adalah:

a. Undang Undang Terbaru Tidak Selalu Tepat.

Karena ada perubahan undang-undang yang selalu harus diperhatikan, maka

pedoman awal untuk menentukan undang-undang yang tepat adalah dengan melihat

tanggal pengundangan undang- undang tersebut lalu dihubungkan dengan tempus

delicti dalam perkara yang di analisis. Selain tanggal diundangkan perlu diperhatikan

juga ketentuan peralihan mengenai masa berlaku undang-undang tersebut, karena

ada peraturan perundang-undangan yang berlaku efektif tidak pada saat

diundangkan, melainkan pada waktu yang akan datang (tertentu). Sebagai contoh

perkara tindak pidana korupsi yang bersangkut paut dengan pengadaan barang dan

jasa.

Maka perlu sekali dicermati undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi, peraturan tentang pengadaan barang dan jasa, serta peraturan tentang

keuangan negara. Sedangkan peraturan tentang barang dan jasa mengalami

penyempurnaan dari tahun 2003, 2007 dan 2011, sehingga pada prinsipnya aturan

lama tidak dicabut hanya dilengkapi, sama halnya dengan undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Keterlibatan Pihak-Pihak Lain Dalam Tindak Pidana Khusus.

Dalam penegakan hukum perkara tindak pidana (khusus) korupsi yang

mengkaitkan dengan pihak-pihak lain di luar sistem peradilan pidana, dimana KPK

16
(Komisi Pemberantasan Korupsi) memiliki yurisdiksi untuk menangani perkara tindak

pidana korupsi dengan kualifikasi khusus (Pasal 11 Undang Undang No.30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan

tersebut pelaksanaan fungsi penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh KPK,

sehingga keberadaan Polri dan Kejaksaan dikesampingkan. Dengan demikian

kecermatan dalam menentukan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara tindak

pidana korupsi harus sesuai analisis yang tepat.

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana Dikembangkan.

Sesuaikan uraian unsur-unsur tindak pidana yang dikembangkan di dalam

skenario perkara tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana yang diarahkan dalam

undang-undang. Persesuaian antara unsur- unsur tindak pidana yang akan

didakwakan dalam perkara tindak pidana dengan skenario perkara tindak pidana

sangat diperlukan untuk memudahkan dalam penyusunan berkas perkara tindak

pidana. Sehingga harus dipahami unsur-unsur pasal yang akan didakwakan agar

pengembangan skenario perkara tindak pidana dapat diarahkan sesuai dengan apa

yang dikehendaki dalam unsur-unsur pasal tindak pidana tersebut.

2.2 Tujuan Praktik Peradilan Pidana

Pelaksanaan sistem peradilan adalah komponen penting dari kurikulum yang

disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Lewat mata kuliah Praktik

Peradilan, mahasiswa memiliki kesempatan untuk menerapkan prinsip-prinsip yang

telah dipelajari dalam Hukum Acara, baik itu Hukum Acara Pidana, Hukum Acara

Perdata, atau bahkan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Karena itu, Praktik

Peradilan menjadi mata kuliah yang harus diikuti oleh semua mahasiswa di Fakultas

17
Hukum.Mata kuliah Praktik Peradilan, terutama dalam konteks peradilan pidana,

bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam kepada mahasiswa mengenai

pelaksanaan sebenarnya dari sistem peradilan pidana. Tujuannya adalah agar

mahasiswa dapat menguasai proses dan praktik yang terkait dengan peradilan pidana

secara nyata.

Berikut adalah beberapa tujuan dari mempelajari Praktik Peradilan Pidana:

1. Sebagai Pelatihan dan Simulasi

Tujuan Praktik Peradilan Pidana dalam hal pelatihan dan simulasi adalah suatu

metode pembelajaran yang digunakan untuk melatih mahasiswa dalam mengerti

dan menguasai proses peradilan pidana secara praktis. Dalam konteks ini, kegiatan

pelatihan dan simulasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam

tentang bagaimana sistem peradilan pidana bekerja dalam praktiknya. Ini bisa

mencakup simulasi persidangan, peran-peran dalam persidangan, dan latihan

kasus nyata.

Dengan melaksanakan praktik peradilan pidana ke dalam pembelajaran,

mahasiswa dapat belajar bagaimana berperan dalam proses hukum pidana,

termasuk pengajuan kasus, penyelidikan, persidangan, dan proses pengadilan.

2. Pengembangan kemahiran dan keterampilan

Dalam menjalankan persidangan adalah metode pembelajaran yang dirancang

untuk melatih dan memperkuat kemampuan praktis mahasiswa dalam konteks

sistem peradilan pidana. Tujuan utamanya adalah mempersiapkan mahasiswa

18
untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses persidangan dalam peradilan

pidana.

Praktik Peradilan Pidana bertujuan agar mahasiswa memiliki kemahiran

dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, kemahiran dalam

pembelaan perkara pidana, kemahiran dalam penuntutan perkara pidana,

kemahiran dalam pemeriksaan perkara di persidangan, kemahiran dalam

melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan, dan kemahiran dalam

proses pra peradilan.

Selain itu juga, mahasiswa dapat mengasah kemampuan komunikasi dan

berargumentasi, serta memahami bagaimana peraturan hukum diaplikasikan

dalam konteks persidangan. Praktik ini membantu mahasiswa menjadi lebih siap

untuk menghadapi situasi nyata di ruang sidang dan menjadi profesional hukum

yang kompeten dalam menjalankan tugas-tugas hukum dalam sistem peradilan

pidana.

3. Kemahiran Surat-menyurat

Pengembangan kemahiran surat-menyurat dalam konteks hukum pidana adalah

metode pembelajaran yang bertujuan untuk melatih kemampuan mahasiswa

dalam penulisan dokumen-dokumen hukum yang relevan dengan kasus-kasus

pidana. Kemampuan surat-menyurat ini sangat penting dalam pekerjaan hukum

pidana, termasuk dalam penyusunan berbagai jenis dokumen hukum, seperti

dakwaan, penangguhan penahanan, banding, dan lain sebagainya.

19
Dalam praktik peradilan pidana, mahasiswa dapat belajar cara menyusun

dokumen hukum yang tepat, jelas, dan sesuai dengan ketentuan hukum yang

berlaku. Dan juga dapat memahami format, struktur, dan tata bahasa yang sesuai

untuk dokumen-dokumen hukum, serta mengembangkan kemampuan analisis

kasus yang kuat untuk menunjang argumentasi hukum dalam sebuah tulisan.

Beberapa dokumen penting dalam Hukum Acara Pidana

1) Surat Dakwaan

Surat dakwaan merupakan suatu akta yang dikenal dalam proses

penuntutan perkara pidana dan merupakan bagian dari hukum acara pidana.

Surat dakwaan adalah dokumen tertulis yang berisi tuduhan resmi terhadap

terdakwa atas tindak pidana yang diduga dilakukannya. Ada beberapa jenis

surat dakwaan, yaitu: surat dakwaan tunggal, surat dakwaan alternatif

(dakwaan pilihan), surat dakwaan subsidair, surat dakwaan kumulatif, dan

surat dakwaan kombinasi.

2) Surat Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan adalah upaya untuk mengeluarkan tersangka

sebelum waktu penahanannya selesai. Ini merupakan salah satu cara untuk

melindungi hak asasi manusia, di mana seseorang yang menjadi tersangka

atau terdakwa yang ditahan dapat mengajukan permohonan agar

penahanannya ditunda.

3) Surat Banding

20
Banding yaitu salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah

satu pihak atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan

Pengadilan Negeri. Perihal acara peradilan banding dalam hukum pidana

diatur dalam pasal 233 sampai dengan pasal 243 KUHAP.

Dalam proses pembelajaran hukum, perbedaan antara teori dan praktik

adalah hal yang pasti. Setiap mahasiswa yang mempelajari mata kuliah Hukum Acara

Pidana akan menyadari bahwa teori yang dipelajari dalam kelas seringkali berbeda

dengan situasi praktis di lapangan. Oleh karena itu, Praktik Peradilan Pidana menjadi

suatu kebutuhan yang sangat penting.

Praktik Peradilan Pidana memungkinkan mahasiswa untuk mengalami dan

memahami secara langsung bagaimana sistem peradilan pidana beroperasi dalam

situasi nyata. Mahasiswa dapat melihat bagaimana teori-teori yang telah dipelajari

diterapkan dalam persidangan sebenarnya, serta memahami perbedaan dan

tantangan yang mungkin timbul antara teori dan praktik.

Selain itu, Praktik Peradilan Pidana memberikan kesempatan kepada

mahasiswa untuk mengembangkan keterampilan praktis yang diperlukan dalam

pekerjaan di bidang hukum pidana, seperti kemampuan berbicara di depan

pengadilan, memahami prosedur persidangan, dan berinteraksi dengan berbagai

pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana.

Tujuan akhir dari Praktik Peradilan Pidana ini adalah mempersiapkan

mahasiswa untuk menghadapi situasi nyata di dunia hukum dan mengembangkan

keterampilan praktis yang diperlukan dalam profesi hukum. Dengan demikian,

21
Praktik Peradilan Pidana menjadi langkah penting sebagai pelengkap mata kuliah

Hukum Acara Pidana.

Praktik peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak

hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan

penahanan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan, serta pelaksanaan

putusan pengadilan. atau dengan kata lain bekerjanya institusi kepolisian, institusi

kejaksaan, institusi kehakiman, hingga diakhiri institusi lembaga pemasyarakatan.

yang mempunyai tujuan dalam hal ini adalah usaha pencegahan kejahatan

(Prevention Of Crime) baik jangka pendek, yaitu resosialisasi kejahatan, jangka

panjang, yaitu pengadilan kejahatan serta jangka panjang, yaitu kesejahteraan

sosial.[1]

Praktik peradilan pidana merupakan lanjutan dari hukum pidana dan hukum

acara pidana dimana Tujuan hukum pidana adalah mencari kebenaran materiil.

Hukum pidana materiil menentukan perbuatan mana yang termasuk tindak pidana.

Hukum pidana materiil tercantum pada KUHP. Sedangkan hukum acara adalah

seperangkat aturan yang diberikan aparat penegak hukum. Yang dimaksud aparat

penegak hukum adalah hakim, polisi, jaksa, dan advokat. Hukum pidana formil

tercantum pada KUHAP.

Menurut Mardjono Reksodiputro tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:

1. Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

22
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya.

Dari tujuan tersebut, Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa komponen-

komponen yang berada dalam sistem peradilan pidana yakni Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat bekerja sama dan dapat

membentuk suatu “integrated criminal justice system”. Karena menurutnya apabila

antara komponen-komponen terseput tidak terdapat keterpaduan dalam

menjalankan tugas dan fungsinya, maka akan diperkirakan terdapat tiga kerugian

yang akan terjadi, antara lain sebagai berikut:

a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing

instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;

b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing

instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana); dan

4. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas

terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas

menyeluruh dari sistem peradilan pidana.[2]

Menurut Romli Atmasasmita bahwa Criminal justice system adalah suatu

sistem yang ada dalam masyarakat yang memiliki fungsi untuk menanggulangi

kejahatan.[3] Menanggulangi dalam hal ini diartikan sebagai pengendalian kejahatan

agar tetap berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian kejahatan

agar tetap dalam batas toleransi masyarakat tidak bermakna bahwa hal ini

memberikan toleransi terhadap suatu tindakan kejahatan atau membiarkan

kejahatan tersebut terjadi. Namun, toleransi tersebut harus dijadikan sebagai suatu

23
kesadaran bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih ada manusia di dalam

masyarakat. Sehingga dalam hal ini, dimana ada masyarakat pasti disitu pula tetap

akan ada suatu tindakan kejahatan yang terjadi.

Pada dasarnya tujuan dari praktik peradilan pidana merupakan Tindakan

nyata dari tujuan hukum acara pidana. Atau biasa disebut hukum pidana formil.

Hukum acara pidana memiliki tujuan menyelesaikan masalah yang memenuhi kriteria

hukum substantif melalui proses berdasarkan aturan yang terkandung dalam hukum

acara. Ini berarti bahwa hukum acara hanya bekerja ketika ada masalah yang

dihadapi oleh individu. Masalah ini harus ditangani secara adil untuk mendapatkan

kebenaran.

Muladi, membagi tujuan dari Sistem Peradilan Pidana ke dalam beberapa

tujun yaitu sebagai berikut:

a) Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana. Tujuan jangka

pendek lebih diarahkan kepada pelaku tindak pidana dan mereka yang

berpotensi melakukan kejahatan, yaitu diharapkan pelaku sadar akan

perbuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan lagi, demikian pula orang lain

tidak melakukan kejahatan sehingga kejahatan semakin berkurang.

b) Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan. Tujuan jangka

menengah adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan damai di dalam

masyarakat. Tentu tujuan menengah ini akan dapat tercapai jika tujuan jangka

pendek tercapai sebab tidak mungkin akan tercipta rasa aman dan damai di

masyarakat jika kejahatan masih tetap terjadi.

24
c) Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial Sementara tujuan jangka

panjang sistem peradilan pidana adalah terciptanya tingkat kesejahteraan yang

menyeluruh di kalangan masyarakat. Tujuan ini adalah konsekuensi dari tujuan

jangka pendek dan menengah, sehingga keberhasilannya juga tergantung pada

tujuan-tujuan sebelumnya.

Menurut Van Bemmelen dalam bukunya “Leerboek van het Nederlandse

Strafprocesrecht”, yang dikutip oleh Rd. Achmad S. Soemadipradja, berpendapat

bahwa hukum acara pidana pada hakikatnya mengatur hal-hal:

a) Menyelidiki kebenaran dugaan pelanggaran hukum acara pidana, melalui

Negara yang dirancang khusus untuk itu.

b) Upaya penindakan terhadap pelakunya.

c) Segala upaya akan dilakukan agar pelaku perbuatan ini bisa ditangkap dan bila

perlu ditahan.

d) Alat bukti yang diperoleh dan dikumpulkan dari hasil pemeriksaan kebenaran

dugaan telah diserahkan kepada hakim, serta diproses agar tersangka dapat

diajukan ke hadapan hakim.

e) Biarlah hakim yang memutuskan apakah tersangka dapat membuktikan

perbuatan yang dituduhkan dan tindakan atau hukuman apa yang akan

diambil atau dijatuhkan di masa lalu.

f) Mengidentifikasi sarana banding yang dapat digunakan terhadap putusan

hakim.

g) Keputusan akhir berupa kejahatan atau tindakan yang akan diambil.

25
Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, dapat disimpulkan bahwa

tiga tujuan utama hukum acara pidana adalah:

1. Cari dan temukan kebenarannya.

2. Keputusan dibuat oleh hakim.

2. Melaksanakan keputusan yang dibuat.

Demikian pula menurut Rd. Achmad S. Soema Dipradja, hukum acara pidana

mencakup “menetapkan aturan-aturan yang dengannya penyidik dan pada akhirnya

hakim dapat berupaya menembus untuk menemukan kebenaran tentang perbuatan

yang dilakukan oleh orang-orang yang diduga telah melakukannya”.

Munculnya penemuan-penemuan hukum baru dan terbentuknya peraturan

perundang-undangan baru, terutama sejak pemerintahan Orde Baru, cukup

menggembirakan dan menjadi secercah harapan dalam kehidupan hukum di

Indonesia, termasuk perkembangan KUHAP. Jika mencermati beberapa

pertimbangan yang menjadi alasan dikembangkannya KUHAP, secara ringkas KUHAP

memiliki lima tujuan sebagai berikut:

a) Perlindungan martabat (tersangka dan terdakwa).

b) Melindungi kepentingan hukum dan pemerintah.

c) Kodifikasi dan kesatuan KUHAP.

d) Mencapai konsistensi sikap dan tindakan penegakan hukum.

e) Melaksanakan hukum acara pidana menurut Pancasila dan UUD 1945.

26
Dalam Pedoman Penerapan KUHAP telah dirumuskan tujuan hukum

acara pidana, yaitu

“Menemukan dan memperoleh atau setidak-tidaknya mengakses kebenaran

materiil, yaitu menegakkan kebenaran perkara pidana secara keseluruhan

dengan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan

tepat untuk mengidentifikasi terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana

sesuai dengan ketentuan KUHAP, dengan demikian meminta kepada pengadilan

untuk mempertimbangkan dan memutuskan apakah suatu tindak pidana dapat

dibuktikan atau tidak. kejahatan itu dilakukan dan apakah terdakwa dapat

dipersalahkan.”

Jika melihat susunan kata di atas, maka tujuan hukum acara pidana

dapat dirinci sebagai berikut.

1. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang hakiki dan utuh dari suatu

perkara pidana karena penerapan ketentuan hukum acara pidana secara

benar dan jujur.

2. Identifikasi subjek hukum berdasarkan bukti yang kredibel, untuk dapat

menuntut Anda melakukan kejahatan.

3. Menjelaskan tentang peninjauan kembali dan putusan pengadilan, untuk

dapat menentukan apakah dapat dibuktikan bahwa terdakwa melakukan

tindak pidana.

27
Tujuan hukum acara pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP dijelaskan

sebagai berikut:

1. Mencari dan mengemukakan kebenaran.

2. Pemberian keputusan oleh hakim.

3. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga tujuan tersebut, yang terpenting karena merupakan dasar dari

dua tujuan terakhir, adalah pencarian kebenaran. Fungsi menelusuri dan

menemukan kebenaran adalah menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, tujuan hukum

acara pidana adalah untuk mengetahui hakikat suatu hal, pantas atau tidak?

“mendekati kebenaran material” atau bahkan lebih “setidaknya mendekati kebenaran

material”

28
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Hukum Pidana adalah peraturan perundangan yang sebagian besar termuat

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan sebagian yang lain terdapat pada

perundang-undangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sedangkan

Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal, yang mengatur bagaimana

negara melalui alat-alat penegak hukumnya melaksanakan hak dan kewajibannya

untuk menjatuhkan, memidana seseorang yang melakukan tindak pidana, sedangkan

hukum pidana material berisi petunjuk dan uraian tentang delik yaitu peraturan

tentang material berisi petunjuk dan uraian tentang delik yaitu peraturan tentang

syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, petunjuk mengenai ornag yang

dapat dipidana serta aturan tentang pemidanaan, yaitu mengatur kepada siapa dan

bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan KUHAP mengatur tata laksana

penanganan perkara pidana sejak diketahui terjadinya suatu peristiwa yang diduga

sebagai tindak pidana, hingga sampai tahap akhir berupa pelaksanaan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Praktik Peradilan Pidana merupakan salah satu mata kuliah yang dipelajari

pada jurusan ilmu Hukum untuk mengimplementasikan teori yang sudah diperoleh

setelah mempelajari mata kuliah hukum pidana dan Hukum Acara Pidana. Praktik

Peradilan Pidana berasal dari kata Praktik dan Peradilan Pidana. Kata “praktik” berarti

menerapkan/melaksanakan/mengimplementasikan teori, sedangkan “peradilan

pidana” berarti proses untuk menerapkan keseluruhan aturan pidana baik materil

atau formil dalam rangka penegakan hukum pidana guna memperoleh kepastian

29
hukum dan mendapatkan keadilan. Oleh karena itu, praktik peradilan pidana dapat

diartikan sebagai ilmu untuk mempelajari mengenai upaya untuk

menerapkan/melaksanakan/mengimplementasikan keseluruhan aturan pidana, baik

aturan materil maupun formil dalam rangka penegakan hukum, guna memperoleh

kepastian hukum dan mendapatkan keadilan.

Bahwa pengertian dari pada Praktek peradilan Pidana adalah, suatu

rangkaian proses dalam praktek penyusunan berkas perkara pidana yang digunakan

di dalam pemeriksaan di pengadilan oleh Hakim atau Majelis Hakim, yang diawali

adanya berkas pada tingkat penyidikan, berkas pada tingkat penuntutan, berkas

pada tingkat persidangan dan berkas pada tingkat putusan pengadilan serta berkas

yang berkaitan dengan administratif.

30
DAFTAR PUSTAKA

Romli Atmasasmita, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Kencana. Jakarta.

Mardjono Reksodipoetro, 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum

Melawan Kejahatan). Dikutip dari Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, 2010.

Romli Atmasasmita, 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif

Eksistensialisme Dan Abolisionalisme. Jakarta. Bina Cipta.

Roesnawati, Emy. (2019). Buku Ajar Praktik Peradilan Pidana. Sidoarjo: UMSIDA Press.

Sugianto. (2018). Hukum Acara Pidana dalam Praktek Peradilan di Indonesia. Yogyakarta:

Deepublish.
32

Anda mungkin juga menyukai