Anda di halaman 1dari 21

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGULANGAN

TINDAK PIDANA MAKAR

Mata Kuliah: Metode Penelitian Dan Penulisan Disertasi Hukum


Dosen Pengampu: Dr. Usman, S.H,, M.H
Nama Mahasiswa: Thema Aroo Zebua
Nim. P3B122002

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM

JAMBI
2023

1
2
A. Latar Belakang
Tujuan didirikannya Negara republik Indonesia adalah untuk melindungi

segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpa darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial sebagaimana yang diamanatkan dalam Alenia IV

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, melindungi

segenap bangsa dan seluruh tumpa darah Indonesia dari setiap bentuk ancaman

dari dalam negeri dan luar negeri pada hakikatnya merupakan salah satu fungsi

pemerintah Negara yang menjadi dasar dalam upaya penyelenggaraan

kesejahteraan dan penyelenggaraan keamanan.

Hal ini yang juga ditegaskan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar

1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum

(Rechtstaat) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat). Dasar

tersebut telah memberikan arah politik hukum bagi Indonesia, sehingga setiap

gerak, tindak dan pola, bagi warga negara, negara dan pemerintah harus

berdasarkan hukum termasuk dalam hal penyelenggaraan kesejahteraan dan

penyelenggaraan keamanan.

Memperhatikan kondisi Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama,

ras, golongan dan adat istiadat yang tersebar atas ribuan pulau, selain dapat

memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan berbangsa juga dapat

berpotensi negatif seperti timbulnya konflik yang berakibat terjadinya

kekerasan yang berbau SARA dan kerusuhan serta separatisme, seperti yang

saat ini terjadi dibeberapa daerah di Indonesia (maluku, poso, papua nangro

1
aceh darussalam). Keadaan tersebut dapat dikatakan sebagai ancaman

integritas terhadap keutuhan Negara Kesatuan republik Indonesia(NKRI).

Ancaman integritas itu termasuk makar seperti yang terjadi di aceh, maluku

dan papua, dengan munculnya sebagian kecil masyarakat yang ingin

memisahkan diri. Sehingga Negara seharusnya menjadikan peristiwa ini

sebagai sarana untuk mulai meninjau kembali konsep keamanan Negara

Indonesia khususnya makar.

Tindak pidana makar ada beberapa macam bentuk tindak pidana, seperti

tindak pidana menghilangkan nyawa presiden maupun wakil presiden dan ada

juga perbuatan ingin menyerahkan negara ke negara lain atau kekuasaan asing,

baik secara keseluruhan maupun sebahagian1.

Soedarto menyatakan bahwa melaksanakan politik hukum pidana berarti

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang

baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.2 Lebih lanjut A.

Mulder Menyatakan kebijakan atau politik hukum pidana adalah garis

kebijakan untuk menentukan:

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah


atau dipengaruhi;
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3. Cara bagaimana penyidik, penuntut, peradilan dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.3

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik

pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan

1
Jazim Hamidi, dan Eko widiarto, Politik hukum pengaturan tindak pidana makar di
Indonesia, Malang, Jurnal ilmiah.
2
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana perkembangan penyusunan
konsep KUHP Baru, PT. Kencana, Jakarta, 2011, Hal. 26.
3
Ibid., Hal. 27.

2
dan juga merupakan bagian dari penegakan hukum. Jadi kebijakan hukum

pidana dapat juga dikatakan kebijakan penegakan hukum pidana (Law

enforcement policy)4

Kebijakan hukum pidana dapat diwujudkan melalui tiga tahap yaitu tahap

penetapan pidana oleh pembuat Undang-Undang, tahap pemberian atau

penjatuhan pidana oleh pengadilan pidana, dan tahap pelaksanaan pidana oleh

instansi pelaksana yang berwenang.5 Perkembangan jumlah kejahatan

berhubungan erat dengan terputusnya tahap-tahap kebijakan pidana tersebut

diatas.

Untuk menaggulangi permasalahan terhadap tindak pidana makar

diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang sejalan dengan ketentuan yang

ada dalam KUHP dan Undang-Undang lainnya yang mengatur tindak pidana

makar. Hal ini dikarenakan masalah tindak pidana makar tersebut dipahami

melalui suatu sudut pandang tertentu, meliputi pengertian, ruang lingkup serta

sanksi yang perlu diketahui dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dan peraturan hukum lainnya, peraturan-peraturan hukum yang

berupa aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan

sebagai hukum positif (ius Constitutum), akan menjadi efektif dan dirasakan

dapat mencapai keadilan serta kepastian hukum apabila penerapanya sesuai

dengan apa yang dimaksud oleh pembentuk Undang-Undang mengenai apa

yang tertulis dalam kalimat-kalimat itu. Hukum pidana hendaknya

4
Ibid., Hal.28.
5
Barda Nawawi Arief, Masalah penegakan..., Op.Cit., Hal.78-79.

3
dipertahakan sebagai salah satu sarana untuk “Social defence” dalam arti

melindungi masyarakat sebagai terhadap kejahatan dalam memperbaiki.

Makar ialah perbuatan seorang atau kelompok tertentu untuk menghianati

suatu negara maupun ingin memisahkan diri, dan perbuatan ini dapat

mengakibatkan situasi yang kurang kondusif dalam suatu negara dan ini sering

terjadi dikarenakan mungkin ada seorang ataupun kelompok tertentu yang

sudah tidak sejalan atau adanya perbedaan dan cara berfikir dengan negaranya,

akan tetapi makar juga disebabkan oleh adanya ketidak keadilan dalam suatu

daerah sehingga orang dan kelompok ini merasa tidak diperhatikan oleh

negara, dan jika dibiarkan akan menjadi suatu gejolak dan akan menciptakan

gerakan sparatis dalam suatu negara.

Menurut Barda Nawawi Arief, “salah satu tujuan pidana dan hukum

pidana adalah penanggulan kejahatan”.6 Namun dilihat dari efek atau manfaat

pencegahan yang ingin dihasilkan tampaknya sampai saat ini dapat dikatakan

belum berhasil hal itu tampak dari kurang tegasnya hakim untuk memberikan

hukuman yang berat kepada para pelaku makar sehingga tidak ada efek jera

terhadap pelaku tindak pidana makar. Berdasarkan latar belakang yang

dikemukakan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih

lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk Proposal Disertasi yang berjudul

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGULANGAN

TINDAK PIDANA MAKAR

6
Barda Nawawi arief,Kebijakan legislatif dalam penaggulangan dengan pidana penjara,
badan penerbit Universitas Diponegoro, 1996. Hal.85-86.

4
B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang penulis rumuskan dalam penulisan ini adalah:


1. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana makar?

2. Bagaimana penanggulangan kebijakan pidana dalam upaya penanggulangan

tindak pidana makar di Indonesia?

C. Landasan Teoritis

Kebijakan hukum pidana Menurut Badar Nawawi arief menyatakan

sebagai berikut: “Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah

semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan

secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik”.7

Hukum adalah sebuah entitas yang sangat komplek, meliputi kenyataan

masyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase bila

di ibaratkan benda ia bagaikan permata, yang tiap irisan dan sudutnya akan

memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang melihat atau

memandangnya.8

Hukum dalam arti luas, sama artinya dengan aturan, kaidah, atau norma.

Norma itu sangat luas, karena seluruh alam semesta ini diatur oleh norma-

norma tertentu, sehingga alam ini menjadi tertib dan teratur. Norma merupakan

anggapan bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak harus berbuat.

Dibelakang norma terdapat nilai, yang menjadi dasar dari norma. Norma itu

sangat luas, karena seluruh alam semesta ini diatur oleh norma-norma tertentu,

7
Badar Nawawi arief, Op.,Cit. Hal. 24.
8
Imam Syukani dan A. Ahsin Thorari , Dasar-dasar politik hukum,Cet. 7, PT. Raja
Grafindo Persada, Jkarta, 2011. Hal.1.

5
sehingga alam ini menjadi tertib dan teratur.9 Norma merupakan anggapan

bagaimana seseorang harus berbuat berbuat atau tidak harus berbuat.

Dibelakang norma terdapat nilai, yang menjadi dasar dari norma.

Hukum pidana merupakan bagian hukum publik yang membuat ketentuan-

ketentuan tentang;

1. Aturan hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan

tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (staft) bagi

yang melanggar larangan itu;

2. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi/ harus ada bagi pelanggar

untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada

larangan perbuatan yang dilanggarnya;

3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara

melalui alat-alat perlengkapan (hakim, polisi, jaksa) terhadap yang

disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka

usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi

pidana terhadap dirinya. Serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh

dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut

dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari

tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana

tersebut.10

Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur dan

menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan


9
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,
Hal.1.
10
Adami Chazawi, Op.cit., hal.2.

6
terpeliharanya ketertiban umum, secara khusus sebagai hukum publik, hukum

pidana memiliki fungsi sebagai berikut;

a. Fungsi melindungi kepentingan hukum (meliputi hak-hak, hubungan

hukum, kaedah hukum, dan bangunan masyarakat) dari perbuatan

yang menyerangnya;

b. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara

menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang

melindungi;

c. Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka

negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang

dilindungi.

Pengertian pidana itu sendiri itu adalah hukuman. Istilah pidana lebih

tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim terjemahan dari Recht

sementara yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang disengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-

syarat tertentu itu atau dapat juga dikatakan dengan tindakan tata tertib.11

Negara indonesia adalah negara hukum (Rechtstaats), maka setiap

tindak pidana yang terjadi seharusnya diperoses melalui jalur hukum, jadi

hukum dipandang sebagai satu satunya sarana bagi penyelesaian terhadap suatu

tindak pidana

Selanjutnya D.Simons, menyatakan bahwa:

Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan


dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh sesorang yang dapat
11
Tongat, Dasar dasar hukum pidana Indonesia dalam prespektif pembaharuan,
universitas muhammadiya, Malang, 2008, Hal. 12.

7
dipertanggung-jawabkan atas tindakanya dan yang oleh Undang-Undang
telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.12

Dalam hal ini ada hubunganya dengan asas legalitas, yang mana tiada

suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur dalam Undang-Undang,

maka barang siapa yang melanggar larangan tersebut dan larangan tersebut

sudah diatur dalam undang-undang maka bagi para pelaku dapat dikenai sanksi

atau hukuman sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang

menimbulkan kejadian tersebut.

Pengertian Tindak Pidana itu sendiri Moeljatno, merumuskan;

Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana
disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal
itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau
keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedang ancaman
pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.13

Lalu beliau memberi suatu parameter suatu perbuatan yang dapat

dikatakan suatu tindak pidana apabila :

a. Melawan Hukum;

b. Merugiakan Masyarakat;

c. Dilarang oleh aturan yang berlaku;

d. Pelakunya diancam dengan pidana;

Poin yang menentukan dari syarat ialah penekanan pada hal yang bersifat

dilarang oleh aturan yang berlaku. Dan aturan yang dipakai untuk

melandasinya yaitu ketentuan-ketentuan yang termuat dalam;

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);


12
Ibid,. Hal,105.
13
Evi Hartanti, Tindak pidana korupsi, edisi ke 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal,7.

8
2. Undang-Undang / Peraturan Pidana lainya yang merupakan

dengan ketentuan hukum pidana diluar kitab Undang-Undang

Hukum pidana.

Tindak pidana makar itu sendiri diatur dalam kitab Undang-Undang

hukum Pidana. Sedikit banyak dijelaskan tentang bentuk dan macam-macam

tindak pidana makar, yang tercantum dalam Pasal 104, 106, dan 107 KUHP,

dibentuknya kejahatan ini adalah ditujukan untuk melindungi kepentingan

hukum atas keselamatan dan keamanan kepala negara segera dari perbuatan-

perbuatan yang mengancam, menggangu, dan merubah kepentingan hukum

negara.

Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penaggulangan kejahatan dapat

ditempuh dengan;

a. Penerapan hukum pidana (Criminal Law Application);


b. Pencegahan tanpa pidana (Prepention without punishment); dan
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat mass media (Influencingviews of society on crime
and punishment / mass media).14

Penggunaan sarana penal terhadap tindak pidana makar harus dilakukan

dengan pendekatan yang komprehensif serta berorientasi pada kebijakan

(Policy Oriented Approach).15 Dengan demikian penggunaan upaya penal

tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk melindungi kepentingan

negara dan masyarakat (sosial) serta tujuan pembangunan secara umum.

Penggunaan hukum pidana terhadap pidana makar, sesungguhnya dapat

dilihat sebagai upaya represif dalam penangulangan kejahatan menurut


14
Barda Nawawi Arief, Bunga rampai..., Op.Cit., Hal.40.
15
Ibid., Hal.33.

9
Sudarto, ”tindakan represif sebenarnya dapat juga dipandang sebagai Perevensi

dalam penegertian luas. Demkian juga dengan tindakan kuratif, yang pada

hakikatnya juga merupakan upaya prefentif dalam arti luas yakni dalam usaha

penanggulangan kejahatan”.16

Pencegahan dan penggulangan kejahatan dengan sarana “penal”

merupakan “penal policy” atau “Penal law enforcement policy” yang

fungsionalisasinya / opersionalisasinya melalui beberapa tahap:

1. Formulasi (kebijakan legislatif);

2. Aplikasi (kebijakan yudikatif / yudicial );

3. Eksekusi (Kebijakan eksekutif / administratif).17

Dengan adanya tahap formulasi, maka pencegahan dan penaggulangan

kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum tetapi juga tugas aparat

pembuat hukum (legislatif), bahkan tahap legislatif merupakan tahap paling

strategis dari penal policy. Karena itu kesalahan / kelemahan kebijakan

legislatif merupakan kesalahan strategis yang menjadi penghambat upaya

pencegahan dan penggulangan pada tahap aplikasi dan eksekusi.18 Barda

Nawawi Arief mengatakan pengertian kebijakan hukum pidana (Pelan Policy)

dari Marcl Ancel adalah “suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya

mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya pada

pembuat Undang-Undang dan juga kepada para penyelenggara dan pelaksana

16
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1986, Hal. 118-121.
17
Moh, Hatta, Pengakan hukum dalam rangka penanggulangan kejahatan, Pustaka
pelajar, yogyakarta, 2010, Hal.39.
18
Ibid., Hal. 39-40.

10
putusan pengadilan”19 kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan

yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (Sosial policy) yang terdiri dari upaya /

kebijakan untuk kesejahteraan sosial (Social Welfare Policy) dan kebijakan

untuk perlindungan kepada masyarakat (Social Defance Police). Dengan

demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal)

dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukuman) maka kebijakan

hukum pidana (Penal Policy). Khususnya dalam kebijakan yudikstif / aplikatif

(penegakan hukum pidana In concertu) harus memerhatikan dan mengarah

pada tercapainya tujuan dan kebijakan sosial itu berupa sosial welfare dan

sosial defance.20

Selain dari hal tersebut pentingnya sistem pembaharuan sistem hukum

merupakan salah satu aspek strategis untuk mencegah dan menangulangi

masalah tindak pidana makar.

Sebagaimana yang dikemukan lebih lanjut oleh sudarto, bahwa :

Politik hukum pidana kebijakan hukum pidana berarti mengadakan

pemilihan untuk mencapai hasil perundang – undangan yang paling baik dalam

arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana berarti

usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan

keadaan dan situasi dan pada waktu dan masa yang akan datang.21

Kebijakan hukum pidana (criminal policy) dapat diartikan suatu usaha

untuk mewujudkan Perundang-undangan pidana suatu negara. Dengan adanya

19
Barda Nawawi Arief , Bunga rampai...., Op.Cit. Hal.19.
20
Moh.Hatta, penegakan hukum..., Op.Cit,. Hal.37-38.
21
Barda Nawawi Arief, Bunga rampai..., Op.Cit. Hal.23.

11
kebijakan hukum pidana dari pemerintah diharapkan dapat menanggulangi

tindak pidana makar dalam perspektif hukum pidana di Indonesia.

Sejalan dengan fokus permasalah yang akan dibahas, terlebih dahulu

perlu dikemukakan kerangka pemikiran teoritis mengenal teori penegakan

hukum, dan teori peradilan pidana

1. Teori Keadilan dan Kepastian Hukum

Sejak dicetuskannya teori hukum alam pada zaman Socrates

hingga Francois Geny, sudah menitik beratkan keadilan sebagai mahkota

hukum. Oleh karena begitu pentingnya keadilan sebagai tumpuan hukum,

berbagai ahli hukum memberikan pandangan mengenai hak dan

kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran untuk

tercapainya suatu keadilan di masyarakat merupakan dasar pemikiran teori

keadilan. Di antara teori-teori itu antara lain: teori keadilan Plato dalam

bukunya Republict, teori keadilan Aristoteles dalam bukunya

nicomachaean ethics, teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a

theory of justice dan teori keadilan Hans Kelsen dalam bukunya general

theory of law and state, dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Teori Keadilan Plato


Plato dalam makalahnya yang berjudul Georgias yang
kemudian dibukukan pada buku yang berjudul Republict
memberikan doktrin tentang keadilan yang berdasar pada
kebaikan. Dalam mewujudkan suatu keadilan dibutukan
suatu pembalasan dalam setiap perilaku yang jahat akan
tetapi pembalasan tersebut dilaksanakan untuk mewujudkan
kebaikan. Selain itu Plato juga menekankan pada prinsip
moralitas yang tinggi dengan menekankan pada prinsip
moralitas yang tinggi dengan menekankan bahwa lebih baik
menderita dalam keadilan daripada melakukannya, dan

12
bahwa lebih baik tunduk pada hukum yang sah daripada
mengelak darinya.
2) Teori Keadilan Aristoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa
didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics,
dan rethoric. Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai
suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan.
Keadilan ini berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan
barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat.
3) Teori Keadilan Roscoe Pound
Pound melihat keadilan dalam hasil-hasil konkrit yang
biasa diberikannya kepada masyarakat. Ia melihat bahwa
hasil yang diperoleh itu hendaknya berupa pemuasan
kebutuhan manusia sebanyak-banyaknya dengan
pengorbanan yang sekecil-kecilnya, singkatnya social
engineering yang semakin efektif.
4) Teori Keadilan John Rawls
John Rawls yang dipandang sebagai perspektif
Liberal egalitarian of social justice, berpendapat bahwa
keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-
institusi sosial (social institutions). Tidak ada pembedaan
status kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara
satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan yang
lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang.

5) Teori Keadilan Hans Kelsen


Hans Kelsen dalam bukunya General of Law and
State, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial
yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur
perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga
dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya. Sebagai aliran
positivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan
mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakekat suatu
benda atau hakekat manusia, dari penalaran manusia atau
kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diasumsikan sebagai
doktrin hukum alam.22

Berdasarkan teori keadilan tersebut di atas, pembaharuan hukum

merupakan suatu keniscayaan dengan adanya perkembangan masyarakat.

22
Marwan Effendy, Teori Hukum dan Perspektif Kebijakan, Perbandingan dan
Harmonisasi Hukum Pidana, Referensi ME Centre Group, Jakarta, 2014, hal. 74.

13
Dengan adanya perkembangan masyarakat tersebut maka hukum pun

harus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat agar hukum dapat

menjawab kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Sehingga pada

akhirnya dapat tercapai keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum

bagi masyarakat. Perkembangan hukum pidana saat ini sudah dipandang

perlu untuk diadakannya pembaharuan-pembaharuan hukum. Hukum

pidana akan datang yang akan menjadi kajian adalah menyangkut

Rancangan KUHP dan isu-isu lain yang aktual seputar hukum pidana.

Untuk memahami teori keadilan dan teori kepastian hukum,

dapat dirujuk pendapat yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch,

mengenai tujuan hukum. Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip

Sudikno Mertokusumo:

Hukum berfunsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan


melalui penegakan hukumlah hukum itu menjadi kenyataan.
Dalam menegakan hukum ada tida unsur yang selalu harus
diperhatikan, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum
(Rechtssichereit), dan kemanfaatan (Zwechmassigkeit).23

Berdasarkan pendapat ahli hukum tersebut di atas, kiranya dapat

ditarik pengertian bahwa dalam upaya penegakan hukum terdapat 3 (tiga)

tujuan hukum yang harus dicapai, yakni tercapainya asas keadilan, asas

kepastian hukum, dan asas kemanfaatan hukum tersebut bagi masyarakat.

Menurut L.J. Van Apeldoorn, asas keadilan sebagai tujuan

hukum didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu masyarakat atau

negara, kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan-golongan

23
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007,
hal. 160.

14
manusia selalu bertentangan satu sama lain. Selanjutnya ia menjelaskan

bahwa:

Pertentangan inilah yang menyebabkan pertikaian bahkan


peperangan. Hukum mempertahankan perdamaian dan
menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dengan
mengusahakan terjadinya suatu keseimbangan di antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi bagi setiap orang
untuk memperoleh bagiannya melalui peraturan yang memuat
kesinambungan kepentingan-kepentingan yang dalam bahasa
lainnya adalah: “ius suum cuiqe tribuere”.24

Mengenai ukuran keadilan itu sendiri, diakui oleh Mochtar

Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta sebagai sesuatu yang relatif.

Keduanya mengemukakan bahwa definisi tentang apa yang disebut dengan

adil akan berbeda-beda bagi setiap individu. Selengkapnya dinyatakan

bahwa:

Tidak berlebihan apabila keadilan itu sesuatu yang sukar untuk


didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan merupakan unsur yang
tidak bisa tidah harus ada ada tidak dipisahkan dari hukum
sebagai perangkat asas dan kaidah yang menjamin adanya
keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat.25

Tujuan hukum selanjutnya adalah kepastian hukum. Menurut

Bernard Arief Sidharta:

Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan


antar manusia, yaitu menjamin prediktabilitas, dan juga
bertujuan untuk mencegah jangan sampai hak yang terkuat yang
berlaku. Apa yang telah diatur dalam hukum, itu harus ditaati
dan menjadi putusan pengadilan. Artinya, tidak ada suatu
perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan peraturan
perundangan-undangan yang ada dan berlaku pada waktu itu.26

24
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino, Cetakan
Kedua puluhenam, Pradya Paramitha, Jakarta, 1996, hal. 26.
25
Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal. 52-53.
26
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2009, hal. 190.

15
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa beberapa asas yang

terkandung dalam asas kepastian hukum adalah:

1) Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum.


2) Asas Undang-Undang menetapkan berbagai perangkat
aturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya
melakukan tindakan pemerintahan.
3) Asas non-retroaktif perundang-undangan; sebelum
mengikat, undang-undang harus diumumkan secara layak.
4) Asas non-liquet: hakim tidak boleh menolak perkara yang
dihadapkan kepadanya dengan alasan undang-undang tidak
jelas atau tidak ada.
5) Asas peradilan bebas: objektif-imparsial dan adil-
manusiawi.
6) Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin
perlindungannya dalam Undang-Undang Dasar.27

2. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum menempati posisi yang strategis dalam

pembangunan hukum. Menurut Jeremy Bentham, penegakan hukum

adalah sentral bagi perlindungan hak asasi manusia.28 Dalam menegakan

hukum harus dipahami bahwa manusia adalah insan utama yang

menentukan segala kegiatan di dalam hukum itu, karena menurut L.M

Friedman: “the legal system is not a machine, it is run by human

beings”.29 Artinya prioritas utama dalam masalah penegakan hukum bukan

pada hukum itu sendiri, melainkan pada kualitas manusia yang

menjalankan hukum yaitu aparatur penegak hukum, mengingat peranan

aparatur penegak hukum sangat menentukan dalam penegakan hukum.

Sejalan dengan pendapat L.M Friedman adalah pandangan seorang Hakim


27
Ibid.
28
Jeremy Bentham, Anarchical Falalcies dalam A.I Belden, ed, Human Rights,
Wardsworth, California, 1997, hal. 30.
29
Ibid

16
Agung Oliver Wendell Holmes bahwa, hukum adalah bukan apa yang

tertulis dengan indah dalam Undang-Undang, melainkan apa yang

dilakukan oleh aparatur penegak hukum.30

Pandangan L.M Friedman dan Oliver Wendell Holmes selaras

dengan penjelasan UUD 1945, yaitu hal yang penting dalam

penyelenggaraan negara adalah terletak pada semangat penyelenggara

negara. Mengacu pada pandangan ini dalam menegakkan hukum dan

menjamin terwujudnya kepastian hukum, keadilan hukum, dan

kemanfaatan hukum tindakan para aparatur penegak hukum harus ada

aturannya secara formal. Aturan tersebut sangat diperlukan untuk

mencegah terjadinya kontradiktif dengan Undang-Undang.

Pengertian dari penegakan hukum antara lain dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa:

Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada


kegiatan menyelaraskan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di
dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantah dan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan
kedamaian pergaulan hidup.31

Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa penegakan hukum


bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan Perundang-undangan,
walaupun dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya
adalah demikian, sehingga pengertian Law enforcement begitu
populer. Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk
mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-
keputusan hakim. Perlu dicatat bahwa pendapat yang agak
sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila
pelaksanaan perundang-undangan dan keputusan-keputusan

30
Marwan Efendy, Op Cit, hal., 254.
31
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 5.

17
hakim malah mengganggu kedamaian di dalam pergaulan
hidup.32

Pendapat lainnya mengenai hukum diuraikan oleh Sudikno

Mertokusumo, yang menyatakan bahwa:

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.


Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara
normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran
hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
ditegakkan, melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi
kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang
selalu harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum
(Rechssichherheit), kemanfaatan (Zweckmaasigkeit), dan
keadilan (Gereichtigkeit).33

Selanjutnya, Selo Sumardjan seperti dikutip Sidik Sunaryo

mengemukakan bahwa “penegakan hukum berkaitan erat dengan usaha

menanamkan hukum di dalam masyarakat agar mengetahui, menghargai,

mengakui dan mentaati hukum, reaksi masyarakat yang didasarkan pada

sistem nilai-nilai yang berlaku dan jangka waktu menanamkan hukum”. 34

Terkait dengan penegakan hukum, Leden Marpaung menjelaskan bahwa:

Penegakan hukum yang berisi kepatuhan, timbulnya tidak secara


tiba-tiba melainkan melalui suatu proses yang terbentuk dari
kesadaran setiap insan manusia untuk melaksanakan dan tidak
melaksanakan sesuai bunyi peraturan yang ada. Proses tersebut
tidak berasal dari bawah ke atas atau sebaliknya, melainkan
tidak mempedulikan darimana datangnya, karena kewajiban
untuk mematuhi segala bentuk peraturan perundang-undangan
adalah milik semua bangsa Indonesia. Dalam realita sehari-hari
ada warga negara yang menjunjung hukum, ada warga yang
salah atau keliru menghayati hak dan kewajibannya sehingga
yang bersangkutan dianggap telah melanggar hukum. Anggapan
32
Ibid, hal. 7-8.
33
Sudikno Mertokusumo, Op Cit, hal. 160.
34
Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang,
2004, hal. 56.

18
seseorang telah melanggar hukum harus dibuktikan dahulu
kebenarannya secara cermat dan teliti karena adanya asas
praduga tidak bersalah (Presumption of Innocent).35

Menurut Sudikno hukum itu berfungsi sebagai perlindungan

kepentingan manusia dan agar kepentingan manusia terlindungi hukum

harus dilaksanakan dimana pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal,

damai.36 Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan,

melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan.

Dikaitkan dengan pendapat para ahli tentang penegakan hukum

tersebut, maka keberhasilan penegakan hukum anak sebagai pelaku tindak

pidana, ditentukan oleh seberapa jauh UUSPPA, secara substantif mampu

bertindak secara tegas dan keras terhadap anak sebagai pelaku tindak

pidana.

35
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Penyelidikan dan Penyidikan,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 3.
36
Ibid.

19

Anda mungkin juga menyukai