Anda di halaman 1dari 67

Nama Kelompok : (1)

 Christoforus Wisnu 110110150224 Mata Kuliah : Hukum Pidana


 Syarifah Bilqis H 110110170216
Nama Dosen : Dr. Widati Wulandari, S.H., M.Crim
 Haikal Noor 110110170222
 Alvin Daniel 110110170238 Erika Magdalena, S.H., M.H.
 Muthi Aulia 110110170239 Hari/Tanggal : Rabu / 5 Desember 2018
 Sarah Thalia 110110170247

RESUME MATERI KULIAH HUKUM PIDANA


(PENGERTIAN, JENIS, OBJEK, FUNGSI, DAN HUBUNGAN DENGAN ILMU LAIN)

A. Pengertian Hukum Pidana


1. Mezger  aturan-aturan hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan
tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa
pidana.
2. Pompe  Suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak
bersifat umum yang diabstraksi dari keadaan-keadaan yang bersifat konkrit.
3. Prof. Soedarto, S.H.  Hukum pidana memuat aturan-aturan hukum yang
mengikatkan kepada perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat tertentu
suatu akibat yang berupa pidana.
4. prof. Satochid Kartanegara, S.H.  Hukum pidana adalah sejumlah
peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung
larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara
atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan
pidana, larangan atau keharusan itu disertai ancaman pidana, dan apabila hal
ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan
pidana, dan melaksanakan pidana.
5. Prof. Moeljatno, S.H.  Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara.
B. Jenis Hukum Pidana
1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale)  Seluruh peraturan yang memuat
larangan-larangan atau keharusan-keharusan, terhadap pelanggar peraturan
itu diancam dengan pidana. Jadi, memuat perumusan tindak pidana serta
ancaman pidananya.
2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi)  Seluruh peraturan yang memuat
hak negara untuk memidana seseorang yang melakukan perbuatan terlarang
(tindak pidana).
3. Hukum Pidana MateriilSeluruh peraturan yang memuat perumusan
mengenai perbuatan-perbuatan apakah yang diancam pidana; siapakah yang
dapat dipidana; pidana apakah yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang
yang melakukan tindak pidana.
4. Hukum Pidana FormilSeluruh peraturan yang memuat cara-cara negara
menggunakan haknya untuk melaksanakan pidana.
5. Hukum Pidana Umum (algemeen strafrecht) Hukum pidana yang berlaku
umum atau yang berlaku bagi semua orang dan dimuat dalam KUHP.
6. Hukum Pidana Khusus (bijzonder strafrecht) Hukum pidana yang berlaku
khusus bagi golongan-golongan tertentu dan dimuat dalam peraturan
perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP.
7. Hukum Pidana Tertulis Hukum pidana yang terdapat dalam KHP dan
KUHAP yang merupakan kodifikasi hukum maetriil, formil, dan juga yang
bersifat khusus.
8. Hukum Pidana Tidak Tertulis Hukum pidana adat sebagaimana seperti
dalam pasal 5 (3) b UU. 1 Drt 1951.
9. Hukum Pidana yang Dikodifikasikan Hukum pidana yang telah
dikumpulkan dan dibukukan.
10. Hukum Pidana yang tidak Dikodifikasikan Huku pidana yang tidak
dikumpulkan, melainkan tersebar dalam undang-undang atau peraturan-
peraturan yang bersifat khusus.
11. Hukum Pidana NasionalHukum pidana yang emmuat ketentuan-ketentuan
yang berasal dari negara itu sendiri.
12. Hukum Pidana InternasionalHukum pidana nasional namun memuat
ketentuan-ketentuan yang berasal dari dunia internasional.

C. Objek Hukum Pidana


Objek ilmu hukum pidana adalah seluruh ketentuan-ketentuan hukum pidana
yang berlaku dinegara Indonesia. Hukum yang berlaku diindonesia adalah
hukum positif dan hukum yang berlaku diindonesia adalah hukum pidana
posotif yang ada di indonesia.

Di Indonesia yang menjadi objek ilmu hukum pidana adalah:


1. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.
2. Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang- Undang Pidana di luar KUHP. Contohnya: Undang- Undang
Tindak Pidana Korupsi, Undang- Undang Tindak Pidana Terorisme,
Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang- Undang
Tindak Pidana Pembalakan Liar, dan lainnya.
4. Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Undang- Undang lainnya (Diluar
Undang- Undang Pidana dan Di luar KUHP). Contohnya: Undang-
Undang tentang Narkotika, Undang- Undang tentang Perbankan, dan
lainnya.
5. Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Peraturan Daerah.

D. Fungsi Hukum Pidana


Hukum pidana berfungsi untuk melawan kelakuan – kelakuan yang tidak normal.
Menurut Hart fungsi hukum pidana adalah untuk menjaga keteraturan dan
kesusilaan umum serta melindungi warga dari apa yang disebut asusila atau yang
merugikan dan untuk memberikan perlindungan atas eksploitasi dari pihak lain,
khususnya bagi mereka yang lemah karena masih muda, lemah fisik, pikiran atau
pengalaman.
Vos dalam leerboek-nya hukum pidana berfungsi untuk melawan kelakuan-
kelakuan yang tidak normal. Menurut Hart fungsi hukum pidana adalah untuk
menjaga keteraturan dan kesusilaan umum serta melindungi warga dari apa yang
disebut asusila atau yang merugikan dan untuk memberikan perlindungan atas
eksploitasi dari pihak lain, khususnya bagi mereka yang lemah karena masih
muda, lemah fisik, pikiran atau pengalaman.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menyatakan bahwa tujuan hukum piadana itu pada
umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak-
hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan
negara dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan atau tindakan tercela di
satu pihak dan dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.
Menurut aliran klasik, tujuan hukum pidana itu adalah untuk melindungi
kepentingan perseorangan terhadap kekuasaan negara. Sedangkan menurut
aliran modern, tujuan hukum pidana itu untuk melindungi masyarakat teradap
kejahatan.
Tujuan Hukum Pidana
1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan
yang tidak baik (aliran klasik).
2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik
menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungan 
(aliran modern).

E. Hubungan Hukum Pidana Dengan Ilmu Lain


 Sosiologi
Hubungan dengan hukum pidana, memusatkan perhatian pada sebab-sebab
timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu dan mencari cara cara untuk
memberantasnya.

 Kriminologi
Hubungan dengan hukum pidana, Kriminologi maupun hukum pidana
memiliki kedudukan yang sejajar sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
Penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana tidak semata-mata
mengandalakan doktrin atau teori dalam hukum pidana sendri,tetapi juga
memperhatikan kajian dalam kriminologi khusunya mengenai kejahatan.
Sebab kriminologi di gunakan untuk memberi petunjuk bagaimana
masyarakat dapat menanggulangi dan menghindari kejahatan dengan hasil
baik. Maka dengan demikian dapat ditentukan secara tepat pula kapan
hukum pidana harus di gunakan untuk menanggulangi kejahatan tersebut,
kriminologi juga membrikan kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup
kejahatan atau prilaku yang dapat di hukum.

 Filsafat
Hubungan dengan hukum pidana, filsafaf lebih kepada mengadakan analisis
dan sistematis kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan
yang benar. Ilmu filsafat juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum
pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian
menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.

 Politik
Hubungan dengan hukum pidana, hukum pada dasarnya produk dari politik,
politik juga meneliti perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam
hukum positif, supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Dan meneruskan
perkembangan hukum dengan berusaha menghilangkan ketegangan antara
“hukum positif” dengan “social reality”. Politik hukum membuat suatu “ius
constituendum” dan berusaha agar “ius constituendum” tersebut kemudian
menjadi “ius constitutum” baru. Selain itu pula politik juga membuat
bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan
pedoman kepada pembuat Undang-Undang (kebijakan legislative), kebijakan
aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan
eksekutif).

F. SUMBER
o Sofjan Sastrawidjaja, S.H. (Hukum Pidana, Asas Hukum Pidana Sampai
Dengan Alasan Peniadaan Pidana);
o Prof. Moeljatno, S.H. (Asas-Asas Hukum Pidana);
o Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H. (Hukum Pidana);
o Prof. Wirjono Projodikoro, S.H. (Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia);
o Eddy O.S. Hiariej (Prinsip-Prinsip Hukum Pidana).

6.

PNama Anggota :

1. Fildzah Lathifah A (110 110 150 251)


2. Priscilla Yovanka (110 110 170 214)
3. Nawang Xalma Kaldera (110 110 170 217)
4. Anggun Sri Lestari (110 110 170 219)
5. Muhammad Aldziky Nurizkiawan (110 110 170 242)
6. Ossya Salsabila (110 110 170 256)

Sumber-Sumber Hukum Pidana

Dalam ilmu hukum dikenal beberapa sumber hukum yaitu :

1) Undang-undang;
2) Kebiasaan dan adat;
3) Perjanjian antar negara;
4) Persetujuan;
5) Yurisprudensi;
6) Doktrin;
7) Proklamasi kemerdekaan;
8) Revolusi;
9) Coup de ‘etat yang berhasil;
10) Takluknya suatu negara kepada negara lain.

Sumber-sumber hukum butir 1), butir 2), dan butir 3) adalah sumber-sumber
hukum yang langsung. Sedangkan sumber-sumber hukum butir 4), butir 5), dan butir
6) adalah sumber-sumber hukum yang tidak langsung, artinya hal-hal itu menjadi
sumber hukum karena atas pengakuan undang-undang atau karena dengan melalui
kebiasaan.

Prof. Dr. Achmad Sanusi, S.H menamakan sumber-sumber hukum butir 1)


sampai dengan butir butir 6) itu sebagai sumber-sumber yang normal. Sedangkan
sumber-sumber hukum butir 7) sampai dengan butir 10) dinamakannya sebagai
sumber-sumber yang abnormal (Sanusi, 1977:34).

Di Indonesia sumber hukum pidana material terdapat dalam KUHP dan dalam
peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya di luar KUHP, juga Memori
Penjelasan (Memorie van Toelichting, yang disingkat M.v.T).

Selain itu masih dimungkinkan pula sumber dari hukum adat yang masih
hidup sebagai delik adat dengan pembatasan tertentu menurut pasal 5 ayat (3)b UU
No. 1 1951. Dan sumber hukum pidana formal atau hukum acara pidana terddapat
dalah KUHAP-UU RI No. 8/1981 dan dalam peraturan perundang-undangan hukum
acara pidana lainnya diluar KUHAP.

Sumber :

Sastrawidjaja, Sofjan. 1996. Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana sampai


dengan alasan peniadaan Pidana). Bandung : CV. Armico
Sumber hukum pidana di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Sumber hukum pidana tertulis : Hukum pidana tertulis meliputi KUHP dan
KUHAP yang merupakan kodifikasi dari hukum pidana materil dan hukum
pidana formil
2. Sumber hukum pidana tidak tertulis :Sumber hukum pidana tidak tertulis ialah
sebagian besar hukum adat pidana

Sumber:

Hukum pidana 1 oleh prof.Dr.Mr.H.A.Zainal Abidin Farid, S.H. . Jakarta:Sinar


Grafika

Sumber Hukum Pidana Tertulis

Yang tertulis dalam UU dan terkodifikasi dalam KUHP

- Ps II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945


- PP No. 2 (10 Oktober1945) : “semua peraturan yang ada sampai 17 Agustus
1945 masih berlaku” (WVSNI S. 1915 No. 732 & Gunsei Keizirei)
- UU No. 1 Tahun 1946 (26 Februari 1946)
o Ps I : Mempunyai 2 fungsi menghapuskan dan memulihkan (Han Bing
Siong) : WVSNI
o Ps V : Sebagai Toetsteen : Sudarto & Han Bing Siong ; Moeljatno &
Oemar Seno Adji
o Ps VI : WvSNI ------ WvS (KUHP)
o Ps IX – XVI : Pembentukan / Penambahan delik baru
o Ps XVII : KUHP berlaku untuk Jawa dan Madura
- PP No. 8/1946
o KUHP berlaku juga untuk Sumatera 8 Agustus 1946, sementara untuk
luar itu (NICA, 29-9-45) berlaku WvSNI
o Pemerintahan NICA mengadakan perubahan : penambahan Ps 570, S.
1945 No. 135 & perubahan WvSNI menjadi WvSVI mulai 22
September 1958
- UU 73/1957 (20-9-1958)
o Unifikasi Hukum Pidana mulai 29 September 1958
Sumber Hukum Pidana yang Tidak Dikodifikasikan

- UU No. 7 drt 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi


- UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi
- UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang
Sumber Hukum Pidana Tidak Tertulis

UU No. 1 drt. 1951 pasal 5 ayat 3 sub B

Hukum adat dan beberapa penggunaan interpretasi secara luas

Yang tidak mempunyai bandingannya dengan KUHP

- Suatu perbuatan yang melanggar hukum yang hidup


- Perbuatan tersebut tiada bandingnya dalam KUHP
- Perbuatan tersebut masih tetap berlaku untuk kaula – kaula dan orang orang
itu
- Ancaman pidana : pidana adat dengan pidana pengganti 3 bulan penjara dan/
atau denda Rp. 500
- 10 tahun penjara bila pidana adat di[andang melebihi pidana pengganti
tersebut dan pidana adat tersebut sudah tidak selaras lagi.
Yang mempunyai bandingannya dengan KUHP

- Ancaman Pidana : Menurut KUHP


Sumber : “Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” oleh S.R.
Sianturi, S.H. dan PPT.
Kelompok 3

Aisyah Adinda 110110170241


Reyhan Bobby A 110110170226
Kania Haerunnisa 110110170225
Ienas Basalamah 110110170223
Lilis Falihah 110110170212

Penerapan hukum pidana atau perundang-undangan pidana berhubungan


dengan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.

Berlakunya hukum pidana menurut waktu, memiliki arti penting untuk


penentuan saat kapan delik terjadi. Selanjutnya berlakunya undang-undang hukum
pidana menurut tempat memiliki arti penting untuk penentuan tentang sampai dimana
berlakunya hukum pidana sesuatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana.

A. Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana menurut Waktu

Ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut waktunya tercantum di


dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah
ada.”Rumusan ini dikenal dengan istilah Asas Legalitas (nullum delictum nula poena
sine praevia lege).

Istilah nullum delictum nula poena sine praevia lege ini berasal dari Anselm
von Feurbach, seorang sarjana hukum Jerman. Menurutnya, istilah adigium tersebut
mengandung tiga prinsip dasar:

 Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)


 Nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
 Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-
undang yang terlebih dahulu ada)
Pada umumnya asas legalitas ini mengandung pengertian yaitu:

1. Tidak terdapat perbuatan yang dapat diancam dengan pidana jika


perbuatan itu tidak dinyatakan dalam ketenttuan undang-undang
sebelumnya.
2. Menentukan tidak diperbolehkannya analogi digunakan dalam pidana
3. Menentukan bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut

Terdapat banyak pihak yang menyetujui adanya asas legalitas ini, namun tidak
sedikit juga terdapat pihak yang kontra terhadap asas tersebut. Salah satu tokoh besar
yang menentang adanya asas legalitas adalah Utrecht. Sikap keberatan tersebut
didasarkan beberapa alasan sebagai berikut:

1. Asas tersebut kurang melindungi kepentingan kolektif.


2. Terdapat kemungkinan seseorang yang telah melakukan sebuah perbuatan
berat tidak dapat dihukum dikarenakan perbuatan tersebut belum diatur di
dalam peraturan perundang-undangan.
3. Asas ini dapat menjadi halangan bagi hakim pidana menghukum
seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang biarpun tidak strafbaar,
masih juga strafwaardig

Selanjutnya menurut Utrecht, ada pula alasan penghapusan Pasal 1 ayat (1)
KUHP ini, karena hukum pidana adat menjadi tidak dapat dijalankan/dilaksanakan,
karena hukum pidana adat itu tidak tertulis. Mengenai keharusan adanya aturan
undang-undang atau aturan hukum tertulis tersebut, Moelyatno memberikan
tanggapan yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat,
apakah tidak dapat pidana, karena tidak ditentukan dengan aturan hukum yang
tertulis, padahal diketahui bahwa hukum pidana adat masih berlaku, dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 5 ayat 3b Undang-Undang Darurat 1951 yang memberikan
kewenangan pengadilan negeri menggunakan hukum pidana adat yang masih berlaku.

Ada dua fungsi asas legalitas menurut D. Schaffmeister, yaitu:

1. Instrumental, tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut


2. Melindungi, tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang.

Kemudian, D. Schaffmeiter menambahkan bahwa ada 7 aspek yang dapat dibedakan


dari asas legalitas, yaitu:

1. Tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana undang-undang.


2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan tafsiran analogi.
3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan.
4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex certa).
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana;
6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang.
7. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.

Asas legalitas

Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana menurut Tempat

Ruang lingkup berlakunya hukum pidana menurut tempatnya dapat dipelajari


melalui Pasal 2 hingga Pasal 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurut ilmu
hukum pidana, ajaran ini dibagi menjadi empat asas, yaitu:

1. Asas Teritorialitas / Asas Kewilayahan / Territorealitesits Begiasel of


Landgebiedsbeginsel
Asas teritorialitas dapat dikatakan sebagai asas yang paling tua dengan
memiliki pengertian bahwa hukum pidana setiap negara pastilah berlaku di
negaranya masing-masing. Asas ini diatur dalam Pasal 2 KUHP yang
berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di
Indonesia.”
Menurut asas teritorial, berlakunya Undang-undang Pidana suatu
negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana suatu tindak pidana itu
telah dilakukan, dan tempat tersebut haruslah terletak didalam wilayah negara
yang bersangkutan. Tentang hal ini berkatalah profesor van HATTUM, bahwa
setiap negara berkewajiban menjamin keamanan dan ketertiban didalam
wilayah negara masing-masing
Bagian pokok dari asas teritorialitas adalah tentang wilayah atau
territorial dalam hubungannya dengan berlakunya undang-undang hukum
pidana. Oleh karena itu, asas teritorialitas berlandaskan pada kedaultan suatu
negara yang berarti siapapun yang melakukan delik di suatu wilayah negara
harus tunduk kepada hukum pidana di tempat ia melakukan delik tersebut.
Namun demikian terhadap orang asing yang menurut Hukum Internasional
diberi hak territorialiteit, tidak boleh diganggu gugat artinya KUHP tidak
berlaku terhadap mereka, dan mereka tunduk kepada undang-undang pidana
negeri mereka. Mereka disini antara lain :
 Para kepala negara asing yang berkunjung ke Indonesia dengan persetujuan
pemerintah Indonesia.
 Para korps diplomatik negara-negara asing, misalnya: Ambasador, Duta
Istimewa.
 Para Konsul, seperti Konsul Jendral, Wakil Konsul dan Agen Konsul apabila
memang ada perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan negara asing
tersebut yang saling mengakui ada-nya hak tidak boleh diganggu-gugat
(imunniteit diplomatic) untuk para konsul negara masing- masing.
 Pasukan-pasukan negara asing dan para awak kapal perang asing yang ada di
bawah pimpinan langsung dari komandonya, yang datang di Indonesia atau
melintasi wilayah Indonesia dengan sepengetahuan pemerintah Indonesia.
 Para wakil dari Badan-Badan Internasional, seperti utusan PBB, Palang Merah
Internasional, dll.
Pihak-pihak tersebut memang tidak dapat dituntut pidana di Indonesia, akan
tetapi terhadap mereka dapat diajukan pengaduan kepada pemerintahnya, wakil
diplomatik itu sendiri. Pengaduan tersebut disertai tuntutan untuk memanggil
kembali wakil diplomatik yang bersangkutan dan untuk menuntut pidana di
negaranya sendiri.

Wilayah yang dimaksudkan bukan hanya berupa wilayah darat dan udara
melainkan juga wilayah laut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 KUHP.
Sementara pengertian kendaraan air dan pesawat udara Indonesia dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 95 dan 95a KUHP. Perluasan asas tersebut tidak boleh
diartikan meliputi seluruh kapal laut atau perahu. Hanya kapal perang dan kapal
dagang di laut bebas merupakan teritoir Indonesia.

2. Asas Nasionalitas Pasif / Asas Perlindungan / Passive-Nation Alitteitsbeginsel


of Beschermingsbeginsel

Menurut asas perlindungan, berlakunya Undang-undang pidana suatu


negara itu tidak bergantung pada tempat seorang pelaku telah melakukan
tindak pidananya, melainkan pada kepentingan hukum yang telah menjadi
sasaran tindak pidana tersebut. Dan negara yang kepentingan hukumnya
menjadi sasaran tindak pidana itu berwenang menghukum pelaku tindak
pidana.
Asas nasionalitas pasif berlaku bagi warga negara baik warga negara
tersebut maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana. Asas ini
tercantum di dalam Pasal 4 ayat 1,2, dan 4 KUHP dan diperluas dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan
juga oleh Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak
pidana ekonomi.
Dalam pasal 4 KUHP ditentukan bahwa ketentuan-ketentuan pidana
menurut undang-undang indonesia itu dapat diberlakukan terhadap setiap
orang tanpa memandang kebangsaan orang-orang tersebut . Tindak pidana
yang dimaksudkan tidaklah yang terjadi kepada warga negara sebagai
individu, melainkan kepentingan nasional atau kepentingan umum. Beberapa
kepentingan nasional yang tercakup dalam asas nasionalitas adalah pembuatan
uang palsu, pembuatan surat utang palsu, pencemaran nama baik kepala
negara, serta pembajakan kapal negara.

3. Asas Nasionalitas Aktif / Asas Personalitas / Acitieve Nation Alitteitsbeginsel


of Personaliteitsbeginsel
Asas nasionalitas aktif diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 6 KUHP
yang pada intinya menyatakan bahwa hukum pidana Indonesia mengikuti
warga negaranya kemanapun mereka berada. Tidak menjadi masalah apakah
kejahatan-kejahatan yang dilakukan terancam pidana oleh negara tempat
perbuatan itu dilakukan atau tidak.
Asas nasionalitas aktif ini juga diperluas oleh Pasal 7 KUHP yang
berbunyi: “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Bab XXVIII Buku Kedua.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 KUHP tersebut di atas, warga negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana tertentu (di luar wilayah Indonesia)
dapat dikenakan sanksi pidana menurut KUHP Indonesia. Tindak pidana
tertentu tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu:
 Golongan pertama:
- kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104 – 129 KUHP).
- kejahatan melanggar martabat Presiden (Pasal 131 – 139 KUHP)
- penghasutan (Pasal 160 KUHP)
- penyebaran tulisan/surat-surat yang mengandung penghasutan (Pasal
161 KUHP)
- membuat tidak cakap untuk dinas militer (Pasal 240 KUHP)
- bigami (Pasal 279 KUHP)
- melakukan perampokan atau pembajakan laut (Pasal 450 dan 451
KUHP).
 Golongan kedua:
Tindak pidana yang menurut undang-undang Indonesia yang dianggap
sebagai kejahatan, yang di negeri tempat tindak pidana dilakukan itu
juga diancam dengan pidana.

4. Asas Universalitas / Universilateitsbeginsel


Asas universalitas berlaku bagi seluruh pelaku yang menyangkut
kepentingan hukum seluruh dunia. Kepentingan yang dilindungi dalam asas
universalitas ini yaitu kepentingan internasional. Menurut asas universalitas,
setiap negara mempunyai kewajiban untuk turut serta dalam usaha
memelihara keamanan dan ketertiban dunia dengan negara-negara lain.
Hal ini diatur di dalam Pasal 4 ayat (4) dan dibatasi oleh Pasal 9
KUHP. Berdasarkan Pasal 9 KUHP ditentukan bahwa berlakunya ketentuan-
ketentuan hukum pidana Indonesia yang dimaksud dalam Pasal-Pasal 2, 3, 4,
5, 7 dan 8 dibatasi dengan kekecualian yang diakui dalam hukum publik
internasional, antara lain :
a) bahwa rumah dan pekarangan dari para duta negara besar dan duta dari
negara asing dianggap wilayah dari negara asing yang bersangkutan;
b) bahwa para diplomat asing tidak dapat dituntut di muka pengadilan di
negara mereka ditugaskan;
c) bahwa kapal-kapal perang dari negara asing yang berlabuh di pelabuhan
Indonesia dianggap pula sebagai wilayah negara asing yang bersangkutan.

Pengecualian di atas dapat dikatakan bahwa diperlakukan prinsip ex


territorialitas yang berarti bahwa orang-orang dianggap ada di luar suatu
wilayah tempat mereka berada.
Jenis kejahatan yang diancam pidana menurut pasal ini adalah setiap
kejahatan yang sangat berbahaya dan dapat mengancam kepentingan seluruh
dunia. Contohnya adalah kejahatan terorisme, perompakan di laut, serta
pembajakan pesawat.

SUMBER:
7. Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
8. Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
9. Poenomo, Bambang. 1978. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia
Indonesia.
10. Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.
Bandung: Eresco
11. Sastrawidjaja, Sofjan. 1996. Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana sampai
dengan Alasan Peniadaan Pidana. Bandung: ARMICO
12. Utrecht, E. 1956. Hukum Pidana I. Jakarta: Penerbit Universitas
13. Sianturi, S.R. 1989. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem – Petehaem
14. Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakri

RANGKUMAN MATERI PERKULIAHAN HUKUM


PIDANA
“Tindak Pidana”
Disusun oleh:

Kelompok 8

Mochamad Dicky Firmansyah - 110110150229

Dara Distira - 110110170206

Naufal Ahmad Shiddiq - 110110170221

Rezkyta Pasca Abrini - 110110170201

Salsabila Hadiani - 110110170234

Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran

Tindak Pidana

A. Istilah dan Pengertian


Tindak pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafbaar Feit. Di negara Anglo
Saxon dikenal dengan nama Offense atau Criminal Act. Namun, dalam KUHP tidak
terdapat definisi mengenai tindak pidana.

Istilah “strafbaar feit” kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai:

 Perbuatan yang dapat/boleh dihukum


 Peristiwa pidana
 Perbuatan pidana, dan
 Tindak Pidana

Tokoh yang menggunakan beberapa atau salah satu dari istilah diatas, antara lain:

1. Perbuatan yang boleh dihukum: H. J Van Schravendijk


2. Persitiwa pidana: Utrecht, Wirjono Prodjodikoro
3. Perbuatan pidana: Moeljatno
4. Tindak pidana: Satochid Kartanegara

Apabila diterjemahkan secara harfiah, strafbaar feit adalah sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum. Muncul beberapa pendapat ahli yang mencoba
mendefinisikan tindak pidana, di antaranya adalah:

 Hazewinkel-Suringa
Suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam
sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus
ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.
 Van Hamel
Suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.
 Pompe
Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap perilaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
 Moeljatno
Perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana
barangsiapa melanggar larangan itu.
Setiap tindak pidana memerlukan unsur perbuatan melawan hukum. Hal ini
karena terdapat pelanggaran norma yang tidak melawan hukum, pembunuhan dalam
pembelaan diri misalnya. Selain starfbaar feit, diperlukan juga strafbaar persoon
sebagai orang yang melakukan dan dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana
yang dilakukan. Namun feit di Belanda tidak hanya membahas hal- hal yang
berhubungan dengan perbuatan, melainkan pengabaian juga terkualifikasi ke dalam
feit yang dimaksud.

B. Rumusan

Simons merumuskan strafbaar feit yang meliputi:

- ada ancaman pidana

- bertentangan dengan hukum

- dilakukan oleh orang yang bersalah

- mampu bertanggung jawab dengan perbuatannya

Sedangkan menurut van Hamel strafbaar feit dirumuskan seperti berikut:

- kelakuan manusia yang dirumuskan kedalam UU

- melawan hukum

- patut dipidana

- ada kesalahan

Lalu ada Vos yang membahas seperti berikut:

- melawan hukum

- dilakukan orang yang bersalah

- dapat dipertanggungjawabkan
Simons, Van Hamel, dan Vos semuanya merumuskan delik atau strafbaarfeit
itu secara bulat, tidak memisahkan antara perbuatan dan akibatnya di satu pihak dan
pertanggung jawaban dilain pihak. A.Z. Abidin menyebut cara perumusan delik
seperti ini sebagai aliran monistis tentang delik. Yang lain, yaitu yang memisahkan
antara perbuatan dan akibatnya di satu pihak dan pertanggung jawaban dilain pihak
sebagai aliran dualistis. Memang di Inggris dipisahkan antara perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang dan diancam pidana (actusreus) di satu pihak dan
pertanggungjawaban (mensrea) dilain pihak. A.Z. Abidin memberi contoh rumusan
demikian seperti dibuat oleh Clark Marshall yang memberi batasan delik atau crime.
Yang dilarang ialah perbuatan (termasuk pengabaian) dan yang diancam dengan
pidana ialah orang yang melakukan perbutan atau pengabaian itu.

Hazewinkle-Suringa menulis bahwa sesuai berfungsinya sistem undang-


undang pidana belanda, lebih baik dikatakan suatu kelakuan manusia (yang meliputi
perbuatan dan pengabaian).Yang memenuhi rumusan yang dilarang oleh undang-
undang dan diancam dengan pidana.

Jadi meskipun yang memisahkan antara Actus reus pada kalimat pertama dan
Mensrea pada kalimat kedua, ia tidak memisahkan secara tajam antar keduanya.
Yang pertama bersifat konkrit, dan yang kedua bersifat umum. Ia menunjuk putusan
Hooge Raad 1946,N.J. 1946 No.548,mengenai “Melawan Hukum” sebagai dapatnya
dipidana (Strafbaarfeit) suatu perbuatan.

C. Jenis-Jenis
Menurut UU (KUHP) tindak pidana dibagi menjadi dua:
  Tindak pidana kejahatan
  Tindak pidana pelanggaran

    Menurut dokrin membagi tindak pidana bermacam-macam:


1. Delik formil adalah suatu delik yang di anggap telah selesai terlaksana
dengan di lakukannya perbuatan yang di larang dan di ancam oleh pidana.
Contoh; pasal 362 KUHP
2. Delik materil adalah suatu delik yang di anggap telah selesai terlaksana
dengan timbulnya akibat  yang di larang dan di ancam tindak pidana.
3. Delik sederhana adalah suatu delik yang merupakan delik pokok yang
terdiri dari beberapa unsur
Contoh : delik pokok tentang pembunuhan
               Terdiri dari dua unsur: a. Dengan sengaja
b. Menghilangkan nyawa orang lain
4. Delik dengan pemberatan adalah delik yang unsurnya sama dengan delik
pokok dan di tambah dengan unsure lain sehingga menjadi berat apa unsure
lain tersebut yaitu di rencanakan terlebih dahulu.
Contoh : pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana
5. Delik yang di istimewakan yaitu delik yang mendapat keringanan
Contoh: pasal 341 KUHP yaitu seorang ibu yang membunuh anaknya yang
baru lahir
Maka mendapat dua hukuman (batin&pembunuhan) maka diringankan

6. Delik laporan adalah suatu delik yang tidak menyeratkan adanya aduan


tetapi cukup dengan laporan
Contoh : pasal 284 KUHP
7. Delik aduan adalah delik yang tuntutannya diseratkan adanya pengaduan
dari pihak korban.
Contoh : seorang istri yang melaporkan suaminya selingkuh kepada pihak
yang berwajib

D. Elemen-Elemen
1. Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
4. Unsur melawan hukum yang objektif
5. Unsur melawan hukum yang subjektif

E.    Perbuatan dan Rumusan Delik Dalam UU

Telah dikemukakan di muka, bahwa hukum pidana Belanda selalu memakai


istilah feit. Seperti dikemukakan Hazewinkle Suringa, sebabnya karena dimaksudkan
bukan saja karena perbuatannya yang positif atau dengan melakukan sesuatu, tetapi
juga pengabaian atau dengan tidak melakukan sesuatu.

Van Bemmelen memberi contoh bahwa WVS Belanda pada umumnya


memakai istilah feit seperti dasar peniadaan pidana (Strafuitsluitings grond), pasal 44-
52 KUHP, semua dimulai dengan “tidak diancam dengan pidana barang siapa yang
melakukan perbuatan (feit). Juga tentang gabungan delik (Samenloop), dilakukan
suatu perbuatan (feit) yang jatuh dalam lebih dari satu ketentuan pidana (pasal 63
KUHP) dan tentang lebih banyak “Perbuatan” (Feiten) pasal 65-71 KUHP. Sekali-
kali dipakai juga istilah handelen. Pasal 65-75 KUHP.

Code Penal memakai infraction yang terbagi atas crimes (kejahatan), delict
(kejahatan ringan).Hukum pidana inggris memakai istilah act dan lawannya omission.
Menurut pendapat penulis, act itu dapat dibaca “tindakan” dan omission dibaca
“pengabaian”.

Oleh karena itulah, menurut pendapat penulis inilah tidak tepatnya istilah “tindak
pidana” itu, karena “tindak” pasti hanya meliputi perbuatan positif dan tidak meliputi
“pengabaian” (naleten). Seorang penjaga pintu jalan kereta api yang tidak menutup
pintu jalan tersebut tidak dapat dikatakan “bertindak” karena ia hanya pasif saja tidak
berbuat apa-apa.

Kesimpulan

Tindak pidana adalah sebuah perbuatan manusia yang melanggar ketentuan


hukum baik dengan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, perbuatan ini
haruslah memiliki unsur fundamental yakni melawan hukum, baik secara eksplisit
ditulis dalam rumusan delik pidana maupun tidak. Terhadap perbuatan ini
dilaksanakan hukuman oleh pihak yang berwenang.

 Unsur-Unsur
Unsur-unsur subjektif tindak pidana menurut Simons adalah :

1. 1)  Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan);
2. 2)  Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3. 3)  Melawan hukum (onrechtmatig);

4. 4)  Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);

5. 5)  Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar


persoon).

Unsur Objektif adalah unsur yang berkaitan dengan hubungan pelaku terhadap tindak
pidana.

1) Sifat melanggar hukum.


2) Kualitas dari pelaku (relatif terhadap tindak pidana yang dilakukan).
3) Kausalitas (sebuah tindak pidana sebagai penyebab yang menimbulan suatu
akibat)

 Rumusan
Penuntut harus dapat membuktikan bahwa tertuduh telah memenuhi berbagai
unsur yang ada dalam rumusan sebuah delik pidana. Penuntut umum dan hakim
memiliki kewajiban untuk mengetahui dengan tepat arti dan maksud dari sebuah
unsur dari delik undang-undang. Apabila penjelasannya tidak terdapat dalam undang-
undang, maka keduanya dapat mencari yurisprudensi. Apabila masih tidak
ditemukan, penjelasan harus dicari dalam doktrin.

Contoh: Rumusan Pasal 338 KUHP adalah

- Dengan sengaja
- Menghilangkan
- Nyawa
- Orang lain

 Contoh Kasus Tindak Pidana

Mabes Polri menyatakan telah menemukan delapan barang bukti terkait


pengungkapan kasus uang palsu yang terjadi di Bogor pada Jumat
(26/4/2013). Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri
Brigjen Pol. Boy Rafli Amar mengungkapkan penemuan barang bukti itu diungkap
lewat pemeriksaan Polri di rumah tersangka. Adapun, delapan barang bukti itu antara
lain 1 buah koper besar berisi 26 lembar uang kertas pecahan Rp100.000, 50.549
lembar uang Brasil pecahan 5.000 real, 7.000 lembar uang China pecahan 1 yuan,
1.718 lembar uang kertas pecahan Rp100.000. Barang bukti lainnya adalah 400
lembar uang Brasil pecahan 1 real, 153 lembar dollar Singapura, plat garansi original
Bank Swiss 1 lembar, dan foto tersangka berseragam  pakaian dinas upacara (PDU) 1
Polri berpangkat Irjen Pol dan Gubernur yang sudah proses edit adobe
photoshop yang terpasang di ruang tamu rumah tersangka.

Sementara itu, Boy menegaskan pihaknya terus bekerjasama dan berkoordinasi


dengan Bank Indonesia dan lembaga perbankan untuk menindaklanjuti maraknya
kasus uang palsu dengan cara melalui penegakan hukum saksi ahli. “Penegak hukum
uang itu diatur oleh BI. Apabila terjadi hal-hal yang berkaitan dengan pemalsuan
uang, BI menjadi pihak yang berkepentingan untuk menegakkan hukum,” jelasnya.

UPAYA MENGATASI KASUS  PEMALSUAN UANG

Upaya preventif
Upaya ini berupa peningkatan pengenalan dan pemahaman masyarakat terhadap ciri-
ciri keaslian uang rupiah melalui kegiatan sosialisasi dan publikasi serta merintis
pembentukan unit khusus penanggulangan uang palsu (Bank Indonesia [BI]).

Upaya represif
Upaya ini berupa kerja sama dengan pihak penegak hukum,  khususnya dalam
menangani kasus kejahatan pemalsuan uang (Bank Indonesia [BI]).

JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

TUGAS HUKUM PIDANA


Oleh:

Bryan Gervian Adam 110110150220

Fathin Fidia Notarisya 110110170202


Btariany Anindita 110110170229

Shabrina Fadiah Ghazmi 110110170257

Andrea Rio Sinaga 110110170248

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2018
1. Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en overtredingen)
a. Delik Kejahatan adalah rechtsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun
tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah
dirasakan bertentangan dengan tata hukum (onrecht)
b. Delik Pelanggaran adalah wetsdelichten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat
melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya aturan yang
menentukan demikian.
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita dibagi atas kejahatan
(misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini,
tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah
dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari pasal 4, 5, 39, 45, dan 53
buku ke-1. Buku II melulu tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran.
2. Delik materiel dan delik formel (materiele en formeledelicten)
a. Delik Formal adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya
tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU.
b. Delik Materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan timbulnya akibat
yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU. ( Lamintang)

3. Delik komisi dan delik omisi (commissiedelicten en omissiedeliten / delik


commissionis dan delikta commissionis)
Delik yang terdiri dari melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan
pidana, misalnya mencuri (pasal 362), menggelapkan (pasal 372), dan menipu (pasal
378). Yang kedua adalah delik yang terdiri dari tidak melakukan sesuatu padahal
mestinya berbuat. Misalnya, delik dirumuskan dalam pasal 164: mengetahui suatu
permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam
pasal itu, tidak segera melaporkan kepada instansi yag berwajib atau org yang
terkena. Ada pula yang dinamakan delikta commissionis peromissionem commissa,
yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula
dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa
anaknya dengan jalan: tidak memberi makan pada anak itu.

4. Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (Zelfstandige en voorgezette
delicten)
a. Delik yang berdiri sendiri (Zelfstanding delicten)
Delik lelik yang berdiri sendiri

b. Delik yang diteruskan (Voortgezzatte Delicten)


Delik delik yang pada hakikatnya merupakan suatu kumpulan dari beberapa
delik yang berdiri sendiri, yang karena sifatnya dianggap sebagai suatu delik.

5. Delik selesai dan delik berlanjut (Aflopende en voortdurende delicten)


a. Delik selesai (Aflopende delicten)
Delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menyelesaikan
suatu kejahatan.

Delik berlanjut (Voortdurende delicten)

Delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan, delik ini juga disebut
delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang
berlangsung terus. Contohnya pada pasal 333 KUHP, yaitu orang yang
merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah. Keadaan yang dilarang
itu berjalan terus sampai si korban dilepas atau mati. Jadi, perbuatan yang
dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai seperti dalam pencurian
misalnya, tetapi masih menerus.

6. Delik tunggal dan delik berangkai


Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali,
sedangkan delik berangkai adalah delik yang baru merupakan delik apabila dilakukan
beberapa kali perbuatan. Misalnya yang terdapat pada pasal 481 yaitu penadahan
sebagai kebiasaan

7. Delik bersahaja dan delik berkualifikasi


a. Delik Bersahaja/ delik biasa adalah
Delik yang berisikan semua unsur dasar, namun terdapat satu atau lebih
keadaan yang memberatkan pidana. Contoh: Pasal 340 KUHP adalah
pembunuhan berencana, dimana terdapat dua unsur yaitu subjektif dan
obyektif.

b. Delik Berkualifikasi
Contohnya: Pasal 362 adalah pencurian biasa, dan Pasal 363 adalah
pencurian yang dikualifikasi, yaitu karena cara melakukannya di waktu ada
kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena objeknya adalah
hewan.

8. Delik sengaja (dolus) dan delik kelalaian (culpa)


a. Delik sengaja (dolus) adalah delik atau tindak pidana yang dilakukan dengan
adanya kesengajaan. memuat unsur-unsur kesengajaan, atau delik-delik yang
oleh pembentuk undang-undang dipersyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus
dilakukan “dengan sengaja”. Contoh: delik yang diatur dalam Pasal 187, 197,
245, 263, 310, 338 KUHP.
b. Delik kelalaian (culpa) adalah delik atau tindak pidana yang terjadi akibat
kealpaan atau kelalaian pembuat. Menurut Memorie van Toelichting, delik
kelalaian terletak antara sengaja dan kebetulan, dan bagaimanapun culpa
dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja.Memuat kealpaan sebagai
salah satu unsurnya, atau menurut Lamintang adalah delik-delik yang cukup
terjadi “dengan tidak sengaja” agar pelakunya dapat dihukum. Contoh: delik
yang diatur dalam Pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat (4), 395 dan 360 KUHP.
9. Delik politik dan delik komun atau umum
Menurut Konferensi hukum pidana di Kopenhagen 1939 yang dimaksud dengan
delik politik adalah suatu kejahatan yang menyerang baik organisasi, maupun
fungsi-fungsi Negara dan juga hak-hak warga negara. Kesulitan untuk menentukan
apakah sesuatu delik itu merupakan suatu kejahatan politik yang murni atau bukan
seringkali timbul oleh karena dalam kenyataannya memang terdapat kejahatan-
kejahatan politik yang murni dengan tujuan dari para pelakunya bersifat
ketatanegaraan, akan tetapi di samping kejahatan tersebut juga terdapat sejumlah
kejahatan yang tampaknya mirip dengan kejahatan politik, akan tetapi sebenarnya
tidak demikian. Sedangkan delik umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh
setiap orang.

10. Delik proria dan delik komun atau umum


Delik Komun atau Umum (Communia) adalah delik-delik yang dapat dilakukan oleh
setiap orang, sedangkan delik proria adalah delik-delik yang hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang yang memiliki sifat tertentu, misalnya sifat-sifat sebagai pegawai
negeri atau sebagai anggota militer. (lamintang)

11. Untuk indonesia, dikenal pula delik umum dan delik khusus.
a. Delik umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang dan diatur
secara umum oleh KUHP.
b. Delik khusus adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
tertentu dan diatur oleh bab-bab Buku II KUHP, seperti: (Bab I) kejahatan
terhadap keamanan negara, (Bab IX) sumpah palsu dan keterangan palsu,
dan (Bab XI) pemalsuan materai dan merek. Ada pula delik khusus lainnya
yang diatur di luar KUHP, seperti: tindak pidana ekonomi dan terorisme.

Sumber:

1. Asas-asas Hukum Pidana (Dr. Andi Hamzah, S.H.)


2. Asas-asas Hukum Pidana (Prof. Moeljatno, S.H.)
3. Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia (Drs. P.A.F. Lamintang, S.H.)

Hukum Pidana - Kelas D


Kelompok 6:

- Faiq Faisal (110110150226)


- Diagy Kashif Hasani (110110170199)
- Muhammad Fariz Firzatullah (110110170200)
- Ripael Tampubolon (110110170205)
- Alifia Jasmine (110110170224)
- Yolanda W. M. Pasaribu (110110170255)

Melawan Hukum (wederechtelijk)

Konsep sifat melawan hukum dalam hukum pidana dikenal dengan


istilah dalam bahasa Belanda nya yaitu “wederechtelijk”. Perkataan
“wederechtelijk” itu sendiri telah diberikan artian yang berbeda-beda,
sehingga Van Hamel telah membuat dua macam kelompok pengertian
“wederechtelijk” itu sendiri yakni, kelompok pertama adalah paham positif
yang mengartikan “wederechtelijk” sebagai “in strijd met het recht” atau
“bertentangan dengan hukum” dan kelompok kedua adalah paham negatif
yang mengartikan “wederechtelijk” sebagai “niet steunend op het recht” atau
“tidak berdasarkan hukum”. Kemudian Noyon mendefenisikan
“wederechtelijk” menjadi tiga macam yakni, “in strijd met het objectief recht”, “in
strijd met het subjetief recht van een ander” dan “zonder eigen recht” atau
“bertentangan dengan hukum positif”, “bertentangan dengan hak orang
lain”, dan “tanpa hak yang ada pada diri sendiri”.

Berkenaan dengan berbagai macam pengertian melawan hukum


tersebut, Noyon-Langemayer mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya
disesuaikan dengan setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan
artinya. Dengan menyatakan sesuatu perbuatan dapat dipidana maka
pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang
perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum atau selanjutnya akan
dipandang demikian. Dipidananya sesuatu yang tidak bersifat melawan
hukum tidak ada artinya.

Dalam konteks Indonesia sendiri Lamintang memberikan pengertian


“wederechtelijk” sebagai “secara tidak sah”. Perkataan “secara tidak sah”
tersebut, menurut Lamintang sendiri bukan hanya saja dapat dipergunakan
untuk menggantikan perkataan “wederechtelijk” dalam rumusan delik
tertentu, melainkan ia dapat juga diberlakukan secara umum dalam semua
rumusan delik dalam KUHP di mana saja perkataan tersebut dipergunakan
oleh pembentuk undang-undang.

Berbicara tindak pidana, unsur melawan hukum ini sangat penting


karena merupakan unsur yang menentukan apakah seseorang layak
dijatuhkan pidana atau tidak. Dalam praktik sehari-hari ada suatu perbuatan
yang sepintas lalu merupakan perbuatan melawan hukum tetapi undang-
undang memandangnya diperbolehkan oleh hukum, jadi tidak berlaku
pembelaan terpaksa untuk melawannya. Pembelaan terpaksa hanya terjadi
jika ada perbuatan membela diri terhadap serangan yang melawan hukum.

 Melawan Hukum menurut HR Belanda

Perbuatan melanggar hukum (onrechtimage daad) adalah bukan saja


perbuatan yang bertentangan dengan wet (undang-undang), tetapi juga
perbuatan yang dipandang dari pergaulan masyarakat tidak patut.
1. Sifat Melawan Hukum Formil
Sifat melawan hukum formil atau Formeel
wederrechtelijkheid mengandung arti semua bagian (unsur-unsur) dari
rumusan delik telah di penuhi. Demikian pendapat Jonkers yang
menyatakan “melawan hukum formil jelas adalah karena bertentangan
dengan undang-undang tetapi tidak selaras dengan melawan hukum formil,
juga melawan hukum materil, diantara pengertian sesungguhnya dari
melawan hukum, tidak hanya didasarkan pada hukum positif tertulis, tetapi
juga berdasar pada asas-asas umum hukum, pula berakar pada norma-norma
yang tidak tertulis. Sebagaimana yang diatur dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP,
untuk dipidananya setiap perbuatan menganut sifat melawan hukum formil.
Para penganut sifat melawan hukum formil mengatakan, bahwa pada setiap
pelanggaran delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum
dari tindakan pelanggaran tersebut.
2. Sifat Melawan Hukum Materil 
Sifat melawan hukum materil atau materiel wederrechtelijkheid terdapat
dua pandangan. Pertama, Sifat melawan hukum materiil dilihat dari sudut
perbuatanya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat
undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Biasanya sifat melawan
hukum materil ini dengan sendirinya melekat pada delik-delik yang
dirumuskan secara materil. Kedua, Sifat melawan hukum materil dilihat dari
sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan
hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas
kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.

Berbicara tentang sifat melawan hukum materiil, jika berdasarkan


fungsi maka sifat hukum materiil terbagi menjadi 2, yaitu dalam fungsi
negatif dan fungsi positif.

 Sifat Melawan Hukum Materiil Negatif


Sifat melawan hukum negatif mengakui kemungkinan adanya
hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya
perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut
sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum. Dalam hal ini
dianggap memiliki sifat melawan hukum materiil negatif apabila
perbuatannya memenuhi asas-asas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum. Terkait hal tersebut, dalam putusan Mahkamah Agung
telah menyebutkan beberapa contoh dari asas-asas hukum yang tidak
tertulis dan bersifat umum, yakni:
a. Faktor tidak dirugikannya negara,
b. Kepentingan umum tetap dapat dilayani, dan
c. Terdakwa sendiri tidak memperoleh keuntungan.
 Sifat Melawan Hukum Materiil Positif
Sifat melawan hukum positif menganggap suatu perbuatan
tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan
pidana dalam undang-undang. Terkait dengan fungsi sifat melawan
hukum materiil ini dinggap bertentangan dengan asas legalitas hukum
pidana.
Sumber:

Asas-Asas Hukum Pidana, Prof. Moeljatno

Asas-Asas Hukum Pidana, Dr. Andi Hamzah, S. H.

Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Drs. P.A.F. Lamintang, S.H.

Nama :

 Abhirama Widyadhana (110110150240)


 Azenia Tamara (110110170196)
 Evelyn Putri Paraya (110110170203)
 M. Farhans Aldiyansyah (110110170209)
 Dean Valdano (110110170211)
 David Ronaldo (110110170235)

Mata Kuliah: Hukum Pidana (D)

Dosen:

1. Dr. Widati Wulandari, S.H., M. Crim


2. Erika Magdalena C., S.H., M.H

Kausalitas
Ajaran kausalitas adalah ajaran yang mempermasalahkan hingga
seberapa jauh suatu tindakan itu dapat dipandang sebagai penyebab dari
suatu keadaan, atau hingga berapa jauh suatu keadaan itu dapat dipandang
sebagai suatu akibat dari suatu tindakan, dan sampai dimana seseorang
yang telah melakukan tindakan tersebut dapat diminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Dalam penentuan
pertanggung jawaban pidana, mencari dan menetapkan faktor yang
menyebabkan kematian, ajaran kausalitas menjadi penting. Ajaran kausalitas
akan menunjukkan perbuatan mana sebenarnya yang harus dianggap
sebagai penyebab dari timbulnya akibat. Ajaran kausalitas selain penting
dalam hal mencari dan untuk menentukan adanya hubungan kausal antara
wujud perbuatan dan akibat dalam indak pidana materiil, juga penting dalam
hal mencari dan menentukan adanya hubungan kausal antara wujud
perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur
akibatnya. Tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya ialah suatu
tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang ditambah dengan
satu unsur khusus yakni unsur akibat yang timbul dari perbuatan, baik unsur
akibat yang menjadikan tindak pidana lebih berat maupun menjadi lebih
ringan.

Lebih lanjut terkait hubungan kausalitas dalam hukum pidana paling


tidak secara garis besar ada empat teori masing-masing 1) Teori conditio
sine qua non 2) Teori generalisir 3) Teori individualisir 4) Teori relevansi.
Dapat dibahas sebagai berikut:

1. Teori conditio sine qua non (Ekuivalensi)


Teori conditio sie qua non disebut juga sebagai teori mutlak yang
menyatakan bahwa musabab adalah setiap syarat yang tidak dapat
dihilangkan untuk timbulnya akibat. Teori ini dikemukakan oleh von
buri, ketua mahkamah agung German. Menurut von buri, syarat
identik dengan mushabab dan oleh karena itu setiap syarat
mempunyai nilai yang sama. Teori ini disebut juga sebagai teori
ekuivalensi. Ilustrasi dari teori ini adalah sebagai beriku: A membunuh
B dengan sebilah pisau. Pisau tersebut diperoleh dari C, teman
akrabnya A. Pisau yang ada pada C dibelinya dari D pemilik toko alat-
alat dapur. Pisau di toko milik D dipesan dari E,pengrajin yang
membuat pisau tersebut. Menurut teori ekuivalensi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana atas kematian B adalah A, C,
D, dan E.

2. Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari
rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan
timbulnya akibat dilakukan dengan melihat dan menilai pada faktor
mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada
umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari faktor
penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah
peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada
umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara
abstracto, tidak secara inconcreto.
a) Teori Adequat Subjektif, Dipelopori oleh J. Von Kries yang
menyatakan bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor
yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab
saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat
diketahui oleh pembuat. Contoh, si A mengetahui bahwa si B
mengidap penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian
jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memuukul si
B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan
mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.
b) Teori Adequat Objektif, Berbeda dengan teori dari von Kries
yang dalam hal mencari faktor penyebab itu pada kesadaran si
pembuat bahwa pada kejadian normal pada umumnya faktor itu
layak atau sebanding untuk menimbulkan suatu akibat. Pada
ajaran adequat objektif ini, tidak memperhatikan bagaimana
sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada
faktor-faktor yang ada setelah (post factum. Peristiwa
senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan
secara akal (objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat.
Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat
sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana
kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya,
apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk
menimbulkan akibat. Teori ini dipelopori oleh Rumeli.

3. Teori Individualisir
Kalau teori generalisasi yang telah dibahas di atas melihat sebab in
abstracto, menurut perhitungan layak yang akan menimbulkan akibat,
maka teori individualisir, melihat sebab in concreto atau post factum.
Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka di antara sekian
rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya
merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya
berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai
andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan
faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor
penyebab. Pendukung teori yang individualisir ini antara lain Birkmeyer
dan Kari Binding.
4. Teori Relevansi
Dikemukakan oleh Mezger. Menurut teori ini dalam menentukan
hubungan sebab akibat tidak mengadakan pembedaan antara syarat
dengan sebab, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan tindak
pidana yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan
perbuatan manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-
undang itu dibuat. Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu
berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam undang-undang.

5. Teori adequate menurut Traeger


Menurut Traeger, akibat delik haruslah in het algemeen voorzienbaar
artinya pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin
sekali dapat terjadi. Van Bemmelen mengomentari teori ini bahwa
yang dimaksud dengan in het algemeen voorzienbaar ialah een hoge
mate van waarschijnlijkheid yang artinya, disadari sebagai sesuatu
yang sangat mungkin dapat terjadi.

Sumber Buku:
1. “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana” oleh Prof. Eddy O. S. Hiariej
2. “Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia” oleh P. A. F.
Lamintang
3. “Asas-Asas Hukum Pidana” oleh Andi Hamzah

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Kelompok 8

Anggota:
Farra Shalma Tanaya (110110170259)
Farrel Ananda (110110170204)
Muhammad Jihad (110110170
Agung Riyadi (110110170213)
Mikhael Situmorang (110110170208)

 Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan toeken


baardheid atau criminal responsibility dalam bahasa Inggris yang menjurus
kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah
seseorang terdakwa atau tersangka dapat dipertangungjawabkan atas suatu
tindak pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku,
diharuskan perbuatan yang dilakukannya itu memenuhi unsur delik yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang
dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakannya apabila
tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau
peniadaan sifat melawan hukum dari perbuatannya. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu
bertangungjawab yang dapat dipertangungjawabkan atas perbuatannya.
Menurut Pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang
memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia
menentukan
perbuatannya.
2. Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya;
3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.
 Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus
mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu
kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet) Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan


terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan Bahwa dengan kesengajaan yang


bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat
dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada
suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena
dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku
benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok
alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan ini ada apabila si
pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang
menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan
mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Kesengajaan ini yang terang-


terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang
bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka
akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk
dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatan seseorang yang dilakukannya4
2. Kelalaian (culpa) Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan,
bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan
sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu
(quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa
mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat
dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana
ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya
sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan
terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu
menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan
pidana.

 Menurut Van hamel orang mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga
syarat yaitu:
1. Mampu untuk menginsyfi makna dan akibat sungguh-sungguh dari
perbuatannya sendiri;
2. Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
dengan ketertiban masyarakat;
3. Mampu untuk menentukan kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Menurut Simons, mampu bertanggung jawab adalah mampu untuk


menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan
keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.

Menurut Moeljatno, dengan menyimpulkan ucapan-ucapan sarjana tersebut di


atas bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan


yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
 Penjatuhan pidana terhadap orang/korporasi (baik badan hukum maupun
badan yang bukan badan hukum) yang telah melakukan perbuatan pidana,
sebagaimana telah diancamkan, bergantung pada persoalan apakah dalam
melakukan perbuatan pidana tersebut dia mempunyai kesalahan. Sebab, asas-
asas dalam pertanggungjawaban pidana ialah:
1. Tidak ada pidana tanpa kesalahan (Geen straaf zonder shuld)
2. Tidak ada hukuman tanpa kesalahan (Keine Strate ohne schuld)  diatur
dalam Pasal 191 KUHAP (diputus bebas dan diputus lepas)
3. Tiada pidana tanpa kesalahan

 Menurut Moeljatno, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi


pidana) apabila dia tidak melakukan perbuatan pidana. Akan tetapi, apabila
seseorang melakukan perbuatan pidana, seseorang tersebut tidak selalu dapat
dipidana. Beberapa contoh mengenai seseorang yang melakukan perbuatan
pidana tetapi tidak dapat dipidana:
1. Apabila yang melakukan perbuatan pidana tersebut adalah anak
dibawah umur
2. Apabila yang melakukan perbuatan pidana tersebut adalah orang
gila/tidak waras/sakit jiwa
3. Apabila seseorang berada dalam keadaan bahaya sehingga terpaksa
melakukan suatu perbuatan pidana
Hal-hal diatas tersebut tidak dapat dipidana sebab mereka dianggap tidak
dapat berbuat lain dari apa yang telah dilakukan.
 Cara untuk menentukan ketidakmampuan bertanggung jawab terhadap
seseorang, sehingga ia tidak dapat dipidana ada tiga sistem, yaitu :
1. Sistem deskriptif (menyatakan), yaitu dengan cara menentukan dalam
perumusannya itu sebab-sebabnya tidak mampu bertanggung jawab.
Menurut sistem ini jika psikiater telah menyatakan seseorang sakit
jiwa, maka dengan sendirinya ia tidak dapat dipidana.
2. Sistem normatif (menilai), yaitu dengan cara menyebutkan akibatnya
yakni tidak mampu bertanggung jawab tanpa menentukan sebab-
sebabnya. Yang penting disini adalah apakah orang itu mampu
bertanggung jawab atau tidak ? jika tidak mampu bertanggung jawab,
maka apa yang menjadi sebabnya tidak perlu dipikirkan lagi.
3. Sistem deskriptif-normatif, yaitu dengan cara gabungan dari cara butir
1 dan butir 2 tersebut, yakni menyebutkan-sebab-sebabnya tidak
mampu bertanggung jawab. Dan hal ini harus sedemikian rupa
akibatnya hingga dipandang atau dinilai sebagai tidak mampu
bertanggung jawab.

SUMBER:
1. “Asas-asas Hukum Pidana” oleh Prof. Moeljatno, S.H.
2. “Hukum Pidana” oleh Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H.,M.H. Dan Dr. Hj. Nur Azisa,
S.H.,M.H.
3. “Hukum Pidana 1” oleh sofjan sastrawidjaja,S.H.

Nama Kelompok : Matthew Satria Gunena 110110170198

Nadia Andika 110110170207

Samuel Christopher 110110170215

Satria Dirga Wibawa 110110170220

Raja Muhammad Rafli 110110170227

Azdi Fauzan Khalid 110110170237

Kelompok : 9

Kesengajaan dan Kekeliruan

Dalam undang-undang (KUHP) kita, kesengajaan sebenarnya tidak di


definisikan, secara umum ajaran kesengajaan tidak ada dalam undang-undang.
Kesengajaan terdapat dalam dua teori, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan.

Teori kehendak atau willstheorie menurut Von Hippel adalah akibat yang
telah dikehendaki sebagaimana dibayangkan sebagai tujuan. Sedangkan menurut teori
pengetahuan, kesengajaan berarti kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-
unsur yang diperlukan menurut rumusan undang-undang. Dalam praktiknya tidak ada
perbedaan hakiki antara kedua teori tersebut.

Syarat kesengajaan menurut Pompe adalah Willen en werens atau mengetahui


dan menghendaki, kedua syarat tersebut bersifat mutlak, artinya seseorang dikatakan
melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, jika perbuatan tersebut dilakukan dengan
mengetahui dan menghendaki. Pelaku yang melakukan suatu perbuatan pidana sudah
pasti menyadari bahwa akibat dari perbuatan tersebut bisa sesuai dengan kehendak
atau tujuannya, maupun tidak sesuai dengan kehendak dan tujuannya. Affectus
punitur licet non sequator effectus, artinya kesengajaan dapat dihukum walaupun
kehendak atau tujuannya tidak tercapai.

Terdapat empat jenis perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja karena
kekeliruan :

1. Feltelijkr atau dwaling atau kesesatan fakta yaitu suatu kekliruan yang
dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan
pidana
Contoh : Seseorang menggunakan surat untuk suatu keperluan tetapi tidak
mengetahui isi surat tersebut tidak sesuai dengan faktanya
2. Rechtsdwaling atau kesesatan hukum yaitu suatu perbuatan dengan perkiraan
hal itu tidak dilarang oleh undang. Undang
3. Error in persona yakni kekeliruan mengenai orang yang hendak menjadi
tujuan dari perbuatan pidana. Error in persona termasuk dalam error invicibilis
atau kekeliruan yang tidak dapat ditanggulangi
Contoh: S ingin membunuh T, S mengira bahwa U adalah T dan kemudian S
membunuh U. Perbuatan S tetap dijatuhi pidana meskipun terjadi error in
persona
4. Error in Objecto atau kekeliruan mengenai objek yang hendak menjadi tujuan
dari perbuatan pidana
Contoh: X ingin mencuri tas Y karena X yakin bahwa di dalam tas itu berisi
uang, ternyata setelah tas itu dicuri, isinya bukan uang tetapi buku. X dijatuhi
pidana walaupun terjadi error in objecto

Dalam Kelalaian (culpa):


Tidak mengetahui dan menghendaki, tidak hati2 dalam perbuatannya/tindak pidana
yang mana menimbulkan akibat pidana.
Tidak menghendaki timbulnya hal yang terlarang dan kurang mengindahkan
larangangan.
Van Hammel, membagi 2 syarat :
a. Tidak mengadakan penduga-duga yang perlu menurut hukum

1. Kealpaan yang disadari (adanya kemungkinan terjadinya akibat pidana diisafi,


namun dianggap tidak berlaku karena keahlian yang ada)

Cth : seorang pembalap ngebut dijalan karena merasa jago dalam mengendarai motor,
tiba2 menanbrak orang lewat. Dimana seharusnya dia tahu bahwa dijalanan ramai,
harusnya berhati-hati
2. Kealpaan yang tidak disadari (Segarusnya menduga kemungkinan)
Cth : Orang yang baru bisa membawa motor, dikejar anjing sehingga menabrak
anjing.

b. Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum.

1. Culpa Levi (Ringan)


Sudah berhati-hati tetapi akibat tetap terjadi, dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya, dan disarari.
Cth : mengebut di jalan tol, dan menabrak orang. Tidak dipidana karena terjadinya
akibat faktor eksternal, di jalan tol boleh berkendara dengan cepat.
2. Culpa Lata (Berat)
Tanpa didahului upaya kehati-hatian.
Cth : Orang yang melempar batu ditengah keramaian berakibat melukai orang.
Perbedaan antara Culpa Levi dan Culpa Lata adalah dilihat dari pengetahuan akan
kondisi saat ini dari pelaku.

Jenis-jenis Kesengajaan :
a. Kesengajaan Sebagai Maksud (Opzet Als Oogmerk)
Kesengajaan sebagai maksud adalah kesengajaan untuk mencapai suatu
tujuan, antara motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan maupun akibatnya
benar-benar terwujud.

Contoh : Y ingin membunuh Z karena Z berselingkuh dengan istrinya. Ketika Z


sedang berjalan di jalan sepi, Y memukul bagian kepala Z dengan batu bertubi-tubi
hingga tewas. Di sini, motivasi Y adalah jelas karena Z berselingkuh tadi,
tindakannya memukul kepala Z hingga mati dan akibatnya memang dikehendaki.

b. Kesengajaan dengan Kepastian

Kesengajaan dengan kepastian atau keharusan adalah kesengajaan yang


menimbulkan dua akibat. Akibat pertama yang dikehendaki pelaku sedangkan akibat
kedua tidak dikehendaki namu pasti terjadinya.

Contoh: Kasus Thomas van Bremerhaven. Thomas mengirimkan dinamit pada


sebuah kapal yang ditagerkan meledak dalam 8 hari dalam perjalanan ke New York,
dan Thomas telah mengasuransikan peti pengangkut dinamit itu dengan tujuan
mendapat asuransi. Karena tidak hati-hati, peti dinamit meledak di pelabuhan
Belanda dan menyebabkan 83 orang tewas dan 50 orang luka-luka.
c. Kesengajaan sebagai Kemungkinan
Terjadi apabila suatu kesengajan menimbulkan akibat yang tidak pasti terjadi
namun merupakan suatu kemungkinan.

Contoh: Kasus kue taart kota Hoorn. Sesorang yang tidak senang kepada Mantri
Kota memberikan racuntikus dalam kue tarcis yang dibelinya, kemudian dikirim
kepada Mantri tersebut. Namun tempat pengiriman Mantri ternyata tinggal bersama
keluarganya, sehingga ada juga kemungkinan kue tersebut dimanakn oleh pihak
keluarga selain Mantri yang dituju. Dan ternyata yang meninggal bukanlah Mantri,
melainkan istrinya.

d. Dolus Eventualis (Opzet bij mogelijkheidsbewustzijn)

Kesengajaan bersyarat pada dasarya seseorang melakukan perbuatan namun


tidak dikehendaki akibatnya. Meskipun seseorang tidak menghendaki akibat tersebut,
namum perbuatannya tetap dilakukan, maka orang itu harus memikul risiko akibat
yang terjadinya.
Dua syarat dolus eventualis :
1. Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang merupakan
delik
2. Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh timbul, ialah apa
boleh buat, dapat disetujui dan berani memikul resiko

Contoh: pengendara sepeda motor dikejar polisi, kemudian dengan cepat mengendarai
motor tersebut hingga menabrak pejalan kaki yang tidak dikehendaki, namun
kemungkinan menabrak sebenarnya disadari pengendara itu sehingga harus tetap
menanggung resikonya.

e. Kesengajaan Berwarna

Kesengajaan ini dimana seseorang melakukan perbuatan dengan mengetahui


terlebih dahulu perbuatannya merupakan perbuatan pidana atau dilanggar undang-
undang. Orang tersebut, tidah hanya menghendaki tetapi harus mengetahui
perbuatannya melawan hukum.

Namun memang pada penerapan nya akan merumitkan penuntut umu dalam
membuktikan setiap pelaku bahwa mereka mengetahui perbuatnnya adalah tindak
pidana.
f. Kesengajaan Tidak Berwarna

Opzetkleurloos, menurut Simons seseorang melakukan perbuatan cukup


menghendaki adanya perbuatan tersebut, tidak perlu mengetahui apakah perbuatan itu
pebuatan pidana atau tidak.

Artinya melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, tidak memerlukan


pengetahuan pelaku apakah perbuatan yang dilakukan merupakan tindak pidana atau
bukan.

g. Kesengajaan Diobjektifkan
Bukan sebagai jenis kesengajaan melainkan cara untuk memastikan adanya
kesengajaan. Dalam menentukan adanya kesengajaan tidaklah mudah dibuktikan bagi
hakim, karena itu haruslah disimpulkan dari perbuatan yang tampak.

Contoh: A menembak B dalam jarak 2 m. di persidangan A mennyangkal bahwa


adanya kesengajaan dalam membunuh B, namun berdasarkan fakta hakim
mengobjektifkan kesengajaan bahwa menembak orang pada jarak 2 m, pastilah
mematikan. Dengan demikian A diputuskan sengaja membunuh B.

h. Dolus Directus
Sebagai corak yang menunjukan kesengajaan sebagai kepastian atau
keharusan. Tidak hanya karena pengetahuan, namun akibat dari perbuatan meski
tidak dikehendaki ada kesadaran akan keniscayaan akibatnya terjadi.

i. Dolus Indirectus
Kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang tapi akibat yang
timbul tidak dikehendaki.

Contoh: A menganiaya B dengan maksud hanya melukai, namun akibat yang


ditimbulkan ternyata kematian B. atau, C dan D bertengkar di jalan, kemudian C
memukul D sehingga terjatuh dan terlindas mobil yang mengakibatkan kematian D.

j. Dolus Determinatus
Pada Dolus Determinatus bertolak dari anggapan suatu kesengajaan harus
didasarkan pada objek tertentu. Sebagai contoh, seseorang tidak mungkin dikatakan
mencuri jika tidak ada barang yang dicurinya.
Pada varian ini sudah tidak lagi digunakan dan lebih mengarah pada
kesengajaan sebagai kepastian.

k. Dolus Indeterminatus
Juga termasuk varian yang tidak lagi digunakan. Sebagai kesengajan yang
ditujukan kepada sembarang orang.

Contoh: aksi teror berupa pengeboman di tempat umum, kesengajaannya tidak


memerdulika siapa yang akan mati karena tujuannya lebih untuk menimbulkan rasa
takut atau suasana teror.

Dimasukkan ke dalam kesengajaan sebagai kepastian.

l. Dolus Alternativus
Kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan menghendaki akibat
yang satu atau aibat yang lainnya.

Contoh : akibat dendam Y menabrak Z dengan mobil yang dikendarainya. Y


berkendak matinya ataupun cacatnya Z akubat tabrakan.

m. Dolus Generalis
Kesengajaan yang ditujukan kepada seseorang namun tindakan yang dilakukan lebih
dari satu untuk mencapai tujuan tersebut.

Contoh: orang yang dibunuh dengan cara dicekik lalu dilempar kedalam air. Dan
dokter forensik menentukan bahwa penyebab kematian adalah bukan karena cekikan,
melainkan tenggelam.

Dalam kasus ini sependapat dengan Simons, menyebutkan dolus generalis sesuai
dengan definisi di atas. Agar menyebabkan kematian, pelaku melakukan lebih dari
satu perbuatan.

n. Dolus Repentinus
Kesengajaan melakukan sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Artinya,
kesengajaan tersebut muncul seketika dengan memperhatikan situasi dan kondisi.

Contoh: seseorang yang setelah melakukan pencurian disebuah rumah kemudian


tertangkap tangan oleh penjaga rumah, agar tidak tertangkap pelaku membunuh
penjaga rumah tersebut dan berhasil.

o. Dolus Premeditatus
Kebalikan dari Dolus Repentinus, adalah kesengajaan yang dilakukan dengan
rencana terlebih dahulu. Misal pasal pembunuhan berencana, penganiayaan dengan
rencana dalam KUHP.

Rencana disini lebih untuk memberi suatu nuansa untuk melakukan perbuatan
dengan pertimbangan yang matang. Sebagai alasan pemberat dalam persidangan
untuk pentahuan pidana.

p. Dolus Antecedens
Kesengajaan yang ditempatkan terlalu jauh sebelum tindakan dilakukan. Contohnya,
pada bulan Oktober suami berniat menembak istrinya saat sedang berburu. Ketika
sedang membersihkan senapan pada bulan November, tapa sengaja suami, menembak
istrinya hingga mati.

q. Dolus Subsequens
Meletakkan kesengajan terhadap suatu perbuatan yang sudah terjadi. Misal, karena
kealpaannya A menabrak seseorang yang kemudian diidentifikasikan sebagai B yang
merupakan musuh A. tindakannya bukanlah suatu kesengajaan, namun membiarkan
B tergeletak dijalan tanpa memberi pertolongan adalah suatu kesengajaan.

r. Dolus Malus
Kesengajaan yang dilakukan dengan niat jahat. Pada intinya, seseorang yang
melakukan perbuatan pdiana dan dapat dipidana hanya karena orang tersebut
memahami perbuatan yang dilakukannya adalah yang dilanggar oleh undang-undang.
Dapat dikatakan persyaratan adanyan dolus ini identik dengan kesengajaan bewarna
seperti sebelumnya.

KEKELIRUAN/KESESATAN/DWALING :

Meskipun pada umumnya bagi kejahatan- kejahatan diperlukan adanya


kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping
kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk
kealpaan. Misalnya Pasal 359 KUHP dapat dipidananya orang yang menyebabkan
matinya orang lain karena kealpaannya, ini di samping Pasal 338 KUHP “dengan
sengaja menyebabkan matinya orang lain”

1. Error Facti/Mistake Of Fact


Merupakan suatu ketidaktahuan akan fakta yang ada akibat
kesalahpahaman
Contoh : A mengambil tas yang dikira tasnya, dalam hal tersebut khilaf
tentang fakta dan tidak dapat dipidana, karena ia tidak mengetahui barang itu
adalah milik orang lain.
2. Error Iuris/Mistake Of Law
Merupakan suatu ketidaktahuan akan hukum dan orang tersebut telah
terbukti melakukan delik, namun ia tidak mengetahui bahwa perbuatan
tersebut dilarang oleh undang-undang pidana. Ia harus dipidana sekalipun ia
tidak mengetahui adanya larangan itu, karena adanya fiksi hukum yang
menyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang.

Contoh: A menanam ganja di pekarangan rumahnya untuk kemudian


dijadikan obat untuk istrinya, namun A tidak mengetahui bahwa penanaman
ganja dilarang oleh hukum

Sumber : Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia

Drs. E. Utrecht, Hukum Pidana I

KELOMPOK 10

Olivia Maudira 110110150252

Tasya Rebecca 110110170251

M. Arya Gunawan 110110170231

Kartika Andini 110110170228

Mohammad Rezkya S. U 110110170260

ALASAN PEMBENAR

1. Definisi Alasan Pembenar


Alasan Pembenar adalah alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari
perbuatan, sehingga menjadi perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang
dibenarkan dan tidak dapat dijatuhi pidana.

2. Jenis-Jenis Alasan Pembenar


Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pembernar yang terdapat
dalam KUHP adalah :

a. Keadaan Memaksa/Keadaan Darurat (Noodtoestand)


Pasal 48 KUHP yang berbunyi barangsiapa yang melakukan
perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat
dihindari tidak boleh dihukum dapat dijadikan rujukan sebagai bentuk
penjelasan mengenai noodtoestand
Seseorang dikatakan berada dalam keadaan memaksa/darurat
adalah apabila seseorang dihadapkan pada suatu dilema untuk
memilih melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar.
Oleh karena itu pada hal ini terjadi perbenturan antara 3 hal penting
yaitu :
- Perbenturan antara kepentingan hukum dan kepentingan
hukum yang lain
- Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban
hukum
- Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban
hukum lainnya.
Contoh klasik : Dua orang pelaut yang secara bersama-sama
berpegangan pada sebuah balok untuk menyelamatkan nyawa
mereka, oleh karena kapal yang mereka tumpangi telah tenggelam ke
dalam laut, kemudian salah seorang dari mereka secara terpaksa
mendorong kawannya hingga yang terakhir ini meninggal dunia
tenggelam, yakni dengan maksud untuk menyelamatkan diri sendiri
b. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Dijelaskan dalam pasal 49 ayat 1 KUHP yang berbunyi barangsiapa
melakukan perbutan yang terpaksa dilakukannya untuk
mempertahankan dirinya atau diri orang lai, mempertahankan
kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari
serangan yang melawan hukum dan mengancam dengan segera
pada saat itu juga tidak boleh dihukum.

Menurut pasal diatas hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai


pembelaan terpaksa yaitu :
- Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga,
kehormatan, kesusilaan atau harta benda
- Serangan itu bersifat melawan hukum
- Pembelaan merupakan keharusan
- Cara pembelaan adalah patut
Contoh : A dengan sekonyong-konyong di tengah jalan diserang oleh
B yang hendak merebut tas A. Pasal 49 ayat 1 KUHPidana
membenarkan A membela tas (harta benda)-nya, dan apabila perlu,
juga dirinya, terhadapa serangan B itu. Tindakan A terkenal dengan
nama “pembelaan darurat”, tiap orang diberi hak (hak pokok azasi
manusia) untuk membela diri.

c. Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang (wettelijkvoorschrift)


Dijelaskan dalam pasal 50 KUHP yang berbunyi barangsiapa
melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang
tdak boleh dihukum. Dalam hal ini, tejadinya perbenturan antara
kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya. Contohnya
sesorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan
menaruh isi rumah dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan
perabot di jalan adalah dilarang, namun karena ketentuan dari
pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga perbuatannya tersebut
tidak dapat dipidana.
d. Menjalankan Perintah Jabatan yang Sah
Dijelaskan dalam pasal 51 ayat 1 KUHP yang berbunyi barang siapa
melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang
diberikan oleh kuasa yang berhak. Perintah jabatan, yang dikeluarkan
oleh suatu jabatan yang berkuasa (berhak), yaitu suatu perintah yang
sah, memberi hak kepada yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu. Hak ini menghapsukan anasir melawan
hukum, oleh sebab itu, perintah jabatan tersebut adalah suatu
rechtvaardigingsgrond. Menurut Andi Hamzah bahwa perintah itu
karena jabatan, dalam artian bahwa antara yang memberi perintah
dan yang diperintah ada hubungan hukum public, contohnya adalah
seorang walikota mengeluarkan peraturan bahwa setiap orang
setelah pukul 20.00 dijumpai dijalan umum akan ditembak mati di
tempat oleh polisi.

Sumber :

- Andi Sofyan dan Nur Azisa.Buku Ajar Hukum Pidana.2016. Makassar. Pustaka
Pena Press

- Moeljatno. Asas Hukum Pidana. 1993. Jakarta. Bina Aksara

- Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana,1991, Jakarta. Rineka Cipta.’’

- Lamintang

RESUME

ALASAN PEMAAF
Muhammad Permana Shidiq 110110170246

Muhamad Oscario D Lababan 110110170233

Raden Lukman Wiradipoetra 110110150242

Karin Khairunnisa Kusnandar 110110170240

Farros Naufal Ridwan 110110170243

Gitta Nurvy Auliya 110110170250

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2018

ALASAN PEMAAF
Menurut Prof. Molejatno, alasan pemaaf adalah alasan yang meniadakan
kesalahan si pembuat tindak pidana. Perbuatannya tetap bersifat melawan hukum
tetapi pembuatnya tidak dapat dipidana karena padanya tidak ada kesalahan.

Menurut Prof. Andi Sofyan, alasan Pemaaf itu sendiri adalah alasan yang
menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan
hukum jadi tetap pebuatannya adalah perbuatan pidana,tetapi dia tidak dipidana
karena dianggap tidak ada kesalahan atau kesalahannya dimaafkan sehingga dia tidak
berhak dipidana ataupun dia diputus bebas oleh pengadilan.

Pada dasarnya di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku di


Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit mengenai alasan pemaaf. Pembentuk
undang-undang hanya membuat sejumlah ketentuan yang bersifat khusus di dalam
KUHP, dimana pembentuk undang-undang itu telah merumuskan sejumlah keadaan-
keadaan yang mana ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku dianggap tidak dapat
diberlaukan karena keadaan-keadaan tertentu tersebut.

Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak
dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi
disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin
pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu
bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan
itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).

Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pemaaf yang terdapat dalam
KUHP adalah :

1. Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP) :


Pasal 44 ayat (1) KUHP: “Barang siapa melakukan suatu perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna
akalnya atau karena sakit berubah akal tidak boleh dihukum.
Pasal ini membedakan pertanggungjawaban dalam dua kategori yaitu
cacat dalam pertumbuhan dan gangguan penyakit kejiwaan.
Menurut ketentuan pasal 44 ayat 1 KUHP itu, seseorang dapat disebut
sebagai “niet kan worden toegerekend” atau sebagai “ontoerekenigsvatbar”
ataupun sebagai “tidak dapat dipertanggungjawabkan” atas tindakan-
tindakannya apabila orang tersebut ternyata memenuhi salah satu syarat, yaitu
apakah orang tersebut mempunyai “pertumbuhan yangmtidak sempurna dari
kemampun akal sehatnya” ataupun ia memiliki “gangguan penyakit pada
kemampuan akal sehatnya”. Untuk menentukan hal tersebut terdapat pada
seseorang adalah tugas hakim yang menentukannya. Profesor Simons
berpendapat bahwa seseorang ahli jiwa itu harus memberikan suatu
keterangan tentang ada atau tidak adanya suatu “gangguan terhadap akal
sehat”, akan tetapi hakim mempunyai kebebasan untuk mengikuti ataupun
tidak mengikuti nasihat yang telah ia terima dari ahli semacam itu. Atas dasar
keadaan ini maka perbuatan tindak pidana pelaku dapat dianggap dimaafkan.

2. Daya paksa/overmacht (Pasal 48 KUHP) :


Daya paksa adalah setiap daya, setiap dorongan atau setiap paksaan yang
tidak dapat dilawan. Daya paksa fisik (Vis absoluta) dan relative (Vis
compulsive) termasuk alasan yang meniadakan unsur kesalahan sehingga
digolongkan sebagai alasan pemaaf.
Daya paksa absolut adalah daya paksa yang sama sekali tidak dapat
ditahan. Misalnya seorang yang tangannya tiba – tiba dipegang oleh orang
lain lalu dipukulkan pada kaca jendela hingga pecah, maka orang yang
tangannya dipukulkan itu tidak dapaat dikatakan melakukan tindak pidana
pengrusakan barang sebagaimana diatur dalam Pasal 406 KUHP.
Daya paksa relative adalah daya atau kekuatan yang sebenarnya masih
dapat dihindari atau dengan kata lain bahwa orang yang dipaksa masih dapat
berbuat lain akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk dapat mengadakan
perlawanan. Misalnya seorang bankir yang diancam dengan dengan todongan
pistol menyerahkan sejumlah uang dari kas kepada perampok. Dalam situasi
ini daya paksa yang mendesak bankir kepada suatu paksaan untuk melakukan
suatu perbuatan yang dalam keadaan normal ia tidak akan melakukannya
sehingga harus dipandang bahwa pembuatnya tidak ada unsur kesalah dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Vis compulsive biasanya dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu dalam arti
sempit dimana sumber paksaan datang dari orang lain (overmacht in enge
zin), dan keadaan darurat yang disebabkan bukan oleh orang lain tetapi
disebabkan oleh keadaan-keadaan tertentu (noodtoestand). Juga dikatakan
dalam daya paksa arti sempit, inisiatif seseorang untuk berbuat suatu
perbuatan, ada karena orang lain memberikan tekanan. Contoh dan daya paksa
sempit adalah kalau orang ditodong dengan pistol untuk melakukan sesuatu
perbuatan pidana. Maka akan muncul tiga kemungkinan dalam keadaan
darurat :

1) Terjepit antara dua kepentingan. Dengan kata lain, ada konflik


kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain.
Mempertahankan hidupnya dengan melawan atau barang-barangnya
diambil oleh si penodong tadi.
2) Terjepit antara kepentingan dengan kewajiban. Adanya konflik antara
kepentingan dan juga kewajiban, karena tidak ingin nyawanya
terancam oleh si penodong maka dia melawan si penodong sampai
meninggal, disini adanya konflik yaitu disatu sisi dia berusaha
mempertahankan kepentingan jiwanya untuk selamat tapi disatu sisi
dia telah melanggar hukum mengenai penganiayaan sampai
meninggal. Akhirnya kepentingannya dikabulkan.
Ada konflik antara dua kewajiban .Contohnya seorang dapat panggilan
dalam waktu yang sama untuk hadir di dua pengadilan yang berbeda. Maka
dia memilih untuk datang di pengadilan yang satu dan tidak datang di
pengadilan yang satunya lagi. Maka dia telah mengabaikan satu kewajiban
untuk menunaikan kewajiban yang kedua.
Yang berupa suatu keadaan darurat : Bedanya dengan kekuasaan yang
bersifat relatif ialah bahwa pada keadaan darurat itu ini orang yang dipaksa itu
sendirilah yang memilih peristiwa pidana manakah yang ia lakukan itu,
sedang pada kekuasaan yang berisfat relaitf orang itu tidak memilih, dalam
hal ini yang mengambil inisiatif ialah orang yang memaksa.

Menurut Memorie van Toelichting mengenai pembentukan pasal 48


KUHP tersebut, overmacht itu disebut sebagai suatu “penyebab yang datang
dari luar yang membuat seusatu perbuatan tu menjadi tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya dan telah dirumuskan sebagai
“setiap kekuatan , setiap paksaan, setiap tekanan, dimana terhadap kekuatan,
paksaan atau tekanan tersebut orang tidak dapat memberikan perlawanan”.
Beradsarkan rumusan mengenai “overmacht” yang tedapat dalam Memorie
van Toelichting diatas itu, di dalam perkembangan selanjutnya pembentuk
undang-undang telah mengakui tentang adanya tiga macam peristiwa pokok,
dimana suatu “overmacht” dapat terjadi peristiwa-peristiwa tersebut adalah :
1. Peristiwa-peristiwa dimana terdapat pemaksaan secara fisik
2. Peristiwa-peristiwa dimana terdapat pemaksaan secara psikis
3. Peristiwan-peristiwa dimana terdapt suatu keadaan yang biasanya
disebut sebagai noodtoestand, yaitu suatu keadaan dimana terdapat :
a. Suatu pertentangan antara kewajiban hukum yang satu dengan
kewajiban hukum lainnya.
b. Suatu pertentangan antara kewajiban hukum dengan suatu
kepentingan hukum.
c. Suatu pertentangan antara kepentingan hukum dengan
kepentingan hukum lainnya.
Apabila terdapat perbuatan-perbuatan yang dilakukan pelaku karena
overmacht maka dapat juga menjadi alasan pemaaf bagi perbuatan-perbuatan
pidana yang diperbuat.

3. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (NOODWEER-EXCES)


(Pasal 49 ayat (2) KUHP) :
Pasal 49 ayat (2) KUHP: “Melampaui batas pertahanan yang sangat
perlu, jika perbuatan itu sekonyong – konyong dilakukan karena perasaan
tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.”
Dalam pembelaan terpaksa ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu:
- Harus ada situasi pembelaan terpaksa, yang artinya suatu situasi
dimana pembelaan raga, kehormatan kesusilaan, atau harta benda
terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi
keharusan. Jika orang dapat menghindar dari serangan, pembelaan
tidak menjadi keharusan sehingga bantahan ditolak. Bantahan
tersebut hanya berhasil jika pembelanya sendiri merupakan
keharusan,
- Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan
akibat langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat, yang pada
gilirannya disebabkan oleh serangan.
- Memenuhi syarat Noodweer.
- Adanya hubungan kausal

Sebagai contoh, seorang Penyidik Polri memberikan perintah kepada


beberapa orang anggota Polri bawahnnya, agar turut bersama-sama dengannya
untuk menangkap seseorang, dengan mengatakan bahwa telah ada Surat
Perintah Penangkapan, padahal sebenarnnya tidak ada. Para anggota Polri itu
mengenal si pemberi perintah adalah atasan mereka, yang memang mereka
ketahui berwenang menerbitkan Surat Perintah Penangkapan. Setelah bertemu
dengan orang yang hendak ditangkap, Penyidik Polri tersebut memerintahkan
bawahannya melakukan penangkapan. Dalam hal ini terjadi penangkapan
tanpa perintah, sedangkan penangkapan tanpa surat perintah dibenarkan dalam
peristiwa tertangkap tangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP, anggota Polri yang


melaksanakan perintah tersebut tidak dapat dipidana karena:

1) Dengan itikad baik mengira perintah diberikan dengan wewenang,


sebab mereka mengenal si pemberi perintah sebagai orang yang
memang berwenang membuat Surat Perintah Penangkapan

Menangkap orang atas perintah pejabat penyidik adalah menjadi tugas


dari para anggota Polri.

4. Melaksanakan Perintah Jabatan yang Tidak Sah (Pasal 51 ayat (2)


KUHP)
Pasal 51 ayat (2) KUHP: “Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa
yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, keucali jika pegawai
yang dibawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan
– akan diberikan kuasa yang berhak degan sah dan menjalankan perintah itu
menjadi kewajiban pegawai yang dibawah perintah tadi.”
Suatu perintah jabatan yang tidak sah dapat meniadakan dipidanya
seseorang. Perbuatan seseorang itu tetap bersifat melawan hukum, tetapi ia
tidak dapat dipidana jika memenuhhi unsur - unsur sebagai berikut:
a. Jika orang yang diperintah dengan itikad dbaik mengira bahwa
perintah itu sah (diberikan oleh wewenang). suatu perbuatan disini
dikatakan itikad baik apabila memenuhi dua syarat :
1) Subjektif, artinya bahwa batin orang yang diperintah harus
mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi
pejabat yang mengeluarkan perintah,maupun dari segi
macamnya perintah.
2) Apabila fakta-fakta yang ada, adalah masuk akal jika terdakwa
mengira bahwa perintah adalah sah atau berwenang maka apa
yang diperintah secara objektif, yaitu dalam kenyataannya
harus masuk dalam lingkungan pekerjaannya.
b. Pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Misalnya seorang bidan telah melaksanakan aborsi yang dikiranya
berindikasi medis atas perintah seorang dokter selaku atasannya.
Namun ternyata aborsi itu merupakan aborsi terlarang
sebagaimana diatur dalam Pasal 346 KUHP. Dalam hal ini bidan
tidak dapat dipidana karena ia mengira bahwa perintah itu sah dan
pelaksanaannya termasuk dalaml bidang pekerjaannya.

 Sumber Referensi :
 Asas Asas Hukum Pidana (Prof.Moeljatno.S.H.).
 BUKU AJAR HUKUM PIDANA (Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H
dan Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H).
 Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia (FRANS
MARAMIS, S.H., M.H.)
 Buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Drs P.A.F. Lamintang
S.H.)
 HUKUM PIDANA I (Prof. Sudarto. SH)

RESUME PIDANA DAN PEMIDANAAN

Nama Kelompok : 1. Mastro Septri Johan T (110110150239)


2. Bernadetta Lakshita Pradipta Utomo
(110110170218)
3. Mikhail Ashiddiqh (110110170244)
4. Hani Adila F (110110170253)
5. Tesalonika Triningtyas (110110170254)
Nama Dosen : 1. Dr. Widati Wulandari, S.H., M.Crim
2. Erika Magdalena Chandra, S.H., M.H.
Mata Kuliah : Hukum Pidana

Kelas : D

Tanggal Pengumpulan : 5 Desember 2018

Pidana adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum di mana semua unsur
terpenuhi dan pelaku dapat bertanggung jawab. Istilah-istilah pidana yang sering
dijumpai di buku adalah Straf, sentence, hukuman, dan pidana. Moeljatno
menggunakan istilah pidana, sedangkan Sudarto menggunakan istilah hukuman dan
pidana. Pidana menurut Roeslan Saleh adalah reaksi atas delik, nestapa, sengaja,
dilimpahkan negara, dan dilakukan oleh pembuat delik. Pidana menurut Soedarto
adalah penderitaan yang sengaja, dibebankan, dan orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dasar dan sumber pemberian pidana terbagi menjadi dua, yaitu hukum tertulis
dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis yaitu adanya kepastian hukum seperti diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Sedangkan hukum tidak tertulis, yakni memberikan
kesempatan kepada pengadilan melalui putusannya menetapkan apakah perbuatan itu
termasuk perbuatan pidana atau bukan. Penetapan tersebut didasarkan kepada hukum
yang tidak tertulis dan biasa dikena dengan common law.
Lalu, pedoman pemberian pidana ada aliran klasik dan modern. Aliran klasik
adalah didasari sebuah pemikiran bahwa yang bisa dipidana adalah perbuatan bukan
pada orang yang melakukan tindak pidana artinya menitikberatkan pada sebuah
perbuatan. Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa
pada abad ke-18 di Perancis dan Inggris, yang banyak menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan. Pada Aliran Modern Berbeda dengan aliran klasik, aliran
ini berorientasi pada pelaku tindak pidana dan menghendakinya adanya
individualisme dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus diperhatikan sifat-sifat
dan keadaan pelaku tindak pidana.
Jenis-jenis pidana dapat ditemukan dalam Pasal 10 KUHP. Pada dasarnya jenis
pidana terbagi menjadi dua yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis pidana
pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP adalah pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, dan pidana denda. Sedangkan jenis pidana tambahan yang diatur dalam
Pasal 10 KUHP adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
a. Pidana Pokok
 Pidana Mati
Sebagai mana yang ditentukan oleh pasal 11 KUHP: “Pidana mati
dijalankan oleh algojo di tempat gantungan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan terpidana sambil berdiri”
Di Indonesia, tindakan pidana yang diancam pidana mati semakin
banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2)
KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340
KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2)
KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan
dilaksanakan setelah mendapatkan Fiat Eksekusi dari Presiden berupa
penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan
permohonan grasi.
 Pidana Penjara
Menurut A.Z Abidin Farid dan A. Hamzah (Tolib Setiady 2010: 91)
menegaskan bahwa “Pidana Penjara merupakan bentuk pidana yang berupa
kehilangan kemerdekaan”. Pidana Penjara atau Pidana Kehilangan
Kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tapi juga pidana
pengasingan.
Pidana penjara bervariasi mulai dari pidana sementara mulai dari satu
hari sampai dengan pidana seumur hidup.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara
otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang terbatasi, seperti hak
untuk memilih dan dipilih (dalam artian pemilihan umum), hak memegang
jabatan publik, dan lain-lain.
 Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan Pidana Penjara,
keduanya merupakan bentuk pidana yang berupa perampasan kemerdekaan.
Pidana kurungan membatasi ruang gerak terpidana dengan mengurung orang
tersebut didalam sebuah lembaga kemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan
pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat
ringannya pidana ditentukan oleh Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana
kurungan menempati urutan ketiga.
 Pidana Denda
Pidana Denda merupakan pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana
penjara. Pidana Denda adalah kewajiban orang yang telah dijatuhi pidana
denda tersebut oleh hakim/pengadilan untuk membayar sejumlah uang
tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
b. Pidana Tambahan
 Pencabutan hak-hak tertentu
Menurut pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh
hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
2. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata.
3. Hak memilih dan dipilih dalam dalam pemilihan.
4. Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan,
hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawasan atas orang yang bukan anaknya sendiri.
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anaknya sendiri.
6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1)
KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak
sebagai berikut:
1. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana
kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3. Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling dikit dua
tahun dan paling banyak lima tahun.

 Perampasan barang-barang tertentu


Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana
harta kekayaan, seperti halnya dengan denda. Ketentuan mengenai
perampasan barang-barang tertentu diatur dalam Pasal 39 KUHP.
 Pengumuman Putusan Hakim
Pidana ini dimaksudkan untuk pencegahan agar masyarakat
terhindar dari keliahaian busuk atau kesembronoan seorang pelaku.
Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas
ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.

Secara garis besar teori-teori pemidanaan yang dapat ditemukan dalam berbagai
literatur hukum ada tiga yakni teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan.
1. Teori absolut
Teori absolut adalah teori yang mengajarkan bahwa dasar daripada
hukuman harus daripada kejahatannya sendiri. Tujuan pemidanaan menurut
teori absolut adalah semata-mata untuk memberi hukuman atau membuat jera
seseorang yang melakukan tindak pidana. Teori ini juga disebut dengan nama
lain teori pembalasan atau teori retributif. Pidana dijatuhkan karena untuk
memenuhi tuntutan keadilan.
2. Teori relatif
Teori relatif adalah teori yang mengajarkan bahwa yang dianggap
sebagai dasar hukum adalah tujuan dari hukuman. Penjatuhan pidana
bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat juga sebagai bentuk
pencegahan terjadinya tindak pidana oleh orang lain (prevensi general) dan
pencegahan tindak pidana lainnya oleh orang yang dijatuhi pidana (prevensi
spesial).
3. Teori gabungan
Teori gabungan adalah teori yang mengajarkan bahwa yang dianggap
sebagai dasar hukum adalah kejahatan itu sendiri yaitu siksaan, akan tetapi
disamping itu pula sebagai dasar adalah tujuan daripada hukuman. Teori
memperhitungkan adanya pembalasan juga pencegahan tindak pidana.
Tujuan pemidanaan menurut Pasal 54 RUU KUHP:
(1)  Pemidanaan bertujuan:
1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Pasal 54 RUU KUHP dapat kita katakan mengikuti teori gabungan. Bahwa
penjatuhan pidana berkaitan dengan membuat jera pelaku tindak pidana juga sebagai
tindakan pencegahan terjadinya tindak pidana oleh orang lain maupun tindak pidana
oleh terpidana itu sendiri. Tujuan penjatuhan pidana menurut pasal 54 RUU KUHP
juga berkaitan dengan perlindungan bagi masyarakat atas terjadinya tindak pidana.
Berkaitan dengan salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kelakuan
terpidana, maka penjatuhan pidana tidak diperkenankan untuk membuat terpidana
menderita juga merendahkan martabat terpidana.
Pasal 58 RUU KUHP memuat tentang perubahan atau penyesuaian pidana. Pasal
58 RUU KUHP ini memungkinkan adanya perubahan atau penyesuaian pidana bagi
terpidana apabila olehnya dipenuhi syarat-syarat untuk dilakukan perubahan atau
penyesuaian pidana dan dengan memperhitungkan kemajuan yang dicapai selama
terpidana dalam masa pembinaan. Pasal 58 RUU KUHP ini mempertimbangkan salah
satu tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki perilaku terpidana.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.


Bambang Poernomo, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992.
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2011.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa, 1965.

Anda mungkin juga menyukai