Kriminologi
Hubungan dengan hukum pidana, Kriminologi maupun hukum pidana
memiliki kedudukan yang sejajar sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
Penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana tidak semata-mata
mengandalakan doktrin atau teori dalam hukum pidana sendri,tetapi juga
memperhatikan kajian dalam kriminologi khusunya mengenai kejahatan.
Sebab kriminologi di gunakan untuk memberi petunjuk bagaimana
masyarakat dapat menanggulangi dan menghindari kejahatan dengan hasil
baik. Maka dengan demikian dapat ditentukan secara tepat pula kapan
hukum pidana harus di gunakan untuk menanggulangi kejahatan tersebut,
kriminologi juga membrikan kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup
kejahatan atau prilaku yang dapat di hukum.
Filsafat
Hubungan dengan hukum pidana, filsafaf lebih kepada mengadakan analisis
dan sistematis kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan penerapan
yang benar. Ilmu filsafat juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum
pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian
menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
Politik
Hubungan dengan hukum pidana, hukum pada dasarnya produk dari politik,
politik juga meneliti perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam
hukum positif, supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Dan meneruskan
perkembangan hukum dengan berusaha menghilangkan ketegangan antara
“hukum positif” dengan “social reality”. Politik hukum membuat suatu “ius
constituendum” dan berusaha agar “ius constituendum” tersebut kemudian
menjadi “ius constitutum” baru. Selain itu pula politik juga membuat
bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan
pedoman kepada pembuat Undang-Undang (kebijakan legislative), kebijakan
aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan
eksekutif).
F. SUMBER
o Sofjan Sastrawidjaja, S.H. (Hukum Pidana, Asas Hukum Pidana Sampai
Dengan Alasan Peniadaan Pidana);
o Prof. Moeljatno, S.H. (Asas-Asas Hukum Pidana);
o Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H. (Hukum Pidana);
o Prof. Wirjono Projodikoro, S.H. (Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia);
o Eddy O.S. Hiariej (Prinsip-Prinsip Hukum Pidana).
6.
PNama Anggota :
1) Undang-undang;
2) Kebiasaan dan adat;
3) Perjanjian antar negara;
4) Persetujuan;
5) Yurisprudensi;
6) Doktrin;
7) Proklamasi kemerdekaan;
8) Revolusi;
9) Coup de ‘etat yang berhasil;
10) Takluknya suatu negara kepada negara lain.
Sumber-sumber hukum butir 1), butir 2), dan butir 3) adalah sumber-sumber
hukum yang langsung. Sedangkan sumber-sumber hukum butir 4), butir 5), dan butir
6) adalah sumber-sumber hukum yang tidak langsung, artinya hal-hal itu menjadi
sumber hukum karena atas pengakuan undang-undang atau karena dengan melalui
kebiasaan.
Di Indonesia sumber hukum pidana material terdapat dalam KUHP dan dalam
peraturan perundang-undangan hukum pidana lainnya di luar KUHP, juga Memori
Penjelasan (Memorie van Toelichting, yang disingkat M.v.T).
Selain itu masih dimungkinkan pula sumber dari hukum adat yang masih
hidup sebagai delik adat dengan pembatasan tertentu menurut pasal 5 ayat (3)b UU
No. 1 1951. Dan sumber hukum pidana formal atau hukum acara pidana terddapat
dalah KUHAP-UU RI No. 8/1981 dan dalam peraturan perundang-undangan hukum
acara pidana lainnya diluar KUHAP.
Sumber :
1. Sumber hukum pidana tertulis : Hukum pidana tertulis meliputi KUHP dan
KUHAP yang merupakan kodifikasi dari hukum pidana materil dan hukum
pidana formil
2. Sumber hukum pidana tidak tertulis :Sumber hukum pidana tidak tertulis ialah
sebagian besar hukum adat pidana
Sumber:
Istilah nullum delictum nula poena sine praevia lege ini berasal dari Anselm
von Feurbach, seorang sarjana hukum Jerman. Menurutnya, istilah adigium tersebut
mengandung tiga prinsip dasar:
Terdapat banyak pihak yang menyetujui adanya asas legalitas ini, namun tidak
sedikit juga terdapat pihak yang kontra terhadap asas tersebut. Salah satu tokoh besar
yang menentang adanya asas legalitas adalah Utrecht. Sikap keberatan tersebut
didasarkan beberapa alasan sebagai berikut:
Selanjutnya menurut Utrecht, ada pula alasan penghapusan Pasal 1 ayat (1)
KUHP ini, karena hukum pidana adat menjadi tidak dapat dijalankan/dilaksanakan,
karena hukum pidana adat itu tidak tertulis. Mengenai keharusan adanya aturan
undang-undang atau aturan hukum tertulis tersebut, Moelyatno memberikan
tanggapan yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat,
apakah tidak dapat pidana, karena tidak ditentukan dengan aturan hukum yang
tertulis, padahal diketahui bahwa hukum pidana adat masih berlaku, dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 5 ayat 3b Undang-Undang Darurat 1951 yang memberikan
kewenangan pengadilan negeri menggunakan hukum pidana adat yang masih berlaku.
Asas legalitas
Wilayah yang dimaksudkan bukan hanya berupa wilayah darat dan udara
melainkan juga wilayah laut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 KUHP.
Sementara pengertian kendaraan air dan pesawat udara Indonesia dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 95 dan 95a KUHP. Perluasan asas tersebut tidak boleh
diartikan meliputi seluruh kapal laut atau perahu. Hanya kapal perang dan kapal
dagang di laut bebas merupakan teritoir Indonesia.
SUMBER:
7. Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
8. Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta
9. Poenomo, Bambang. 1978. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Ghalia
Indonesia.
10. Prodjodikoro, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia.
Bandung: Eresco
11. Sastrawidjaja, Sofjan. 1996. Hukum Pidana: Asas Hukum Pidana sampai
dengan Alasan Peniadaan Pidana. Bandung: ARMICO
12. Utrecht, E. 1956. Hukum Pidana I. Jakarta: Penerbit Universitas
13. Sianturi, S.R. 1989. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem – Petehaem
14. Lamintang, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakri
Kelompok 8
Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran
Tindak Pidana
Tokoh yang menggunakan beberapa atau salah satu dari istilah diatas, antara lain:
Apabila diterjemahkan secara harfiah, strafbaar feit adalah sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum. Muncul beberapa pendapat ahli yang mencoba
mendefinisikan tindak pidana, di antaranya adalah:
Hazewinkel-Suringa
Suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam
sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus
ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.
Van Hamel
Suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.
Pompe
Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap perilaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.
Moeljatno
Perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana
barangsiapa melanggar larangan itu.
Setiap tindak pidana memerlukan unsur perbuatan melawan hukum. Hal ini
karena terdapat pelanggaran norma yang tidak melawan hukum, pembunuhan dalam
pembelaan diri misalnya. Selain starfbaar feit, diperlukan juga strafbaar persoon
sebagai orang yang melakukan dan dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana
yang dilakukan. Namun feit di Belanda tidak hanya membahas hal- hal yang
berhubungan dengan perbuatan, melainkan pengabaian juga terkualifikasi ke dalam
feit yang dimaksud.
B. Rumusan
- melawan hukum
- patut dipidana
- ada kesalahan
- melawan hukum
- dapat dipertanggungjawabkan
Simons, Van Hamel, dan Vos semuanya merumuskan delik atau strafbaarfeit
itu secara bulat, tidak memisahkan antara perbuatan dan akibatnya di satu pihak dan
pertanggung jawaban dilain pihak. A.Z. Abidin menyebut cara perumusan delik
seperti ini sebagai aliran monistis tentang delik. Yang lain, yaitu yang memisahkan
antara perbuatan dan akibatnya di satu pihak dan pertanggung jawaban dilain pihak
sebagai aliran dualistis. Memang di Inggris dipisahkan antara perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang dan diancam pidana (actusreus) di satu pihak dan
pertanggungjawaban (mensrea) dilain pihak. A.Z. Abidin memberi contoh rumusan
demikian seperti dibuat oleh Clark Marshall yang memberi batasan delik atau crime.
Yang dilarang ialah perbuatan (termasuk pengabaian) dan yang diancam dengan
pidana ialah orang yang melakukan perbutan atau pengabaian itu.
Jadi meskipun yang memisahkan antara Actus reus pada kalimat pertama dan
Mensrea pada kalimat kedua, ia tidak memisahkan secara tajam antar keduanya.
Yang pertama bersifat konkrit, dan yang kedua bersifat umum. Ia menunjuk putusan
Hooge Raad 1946,N.J. 1946 No.548,mengenai “Melawan Hukum” sebagai dapatnya
dipidana (Strafbaarfeit) suatu perbuatan.
C. Jenis-Jenis
Menurut UU (KUHP) tindak pidana dibagi menjadi dua:
Tindak pidana kejahatan
Tindak pidana pelanggaran
D. Elemen-Elemen
1. Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
4. Unsur melawan hukum yang objektif
5. Unsur melawan hukum yang subjektif
Code Penal memakai infraction yang terbagi atas crimes (kejahatan), delict
(kejahatan ringan).Hukum pidana inggris memakai istilah act dan lawannya omission.
Menurut pendapat penulis, act itu dapat dibaca “tindakan” dan omission dibaca
“pengabaian”.
Oleh karena itulah, menurut pendapat penulis inilah tidak tepatnya istilah “tindak
pidana” itu, karena “tindak” pasti hanya meliputi perbuatan positif dan tidak meliputi
“pengabaian” (naleten). Seorang penjaga pintu jalan kereta api yang tidak menutup
pintu jalan tersebut tidak dapat dikatakan “bertindak” karena ia hanya pasif saja tidak
berbuat apa-apa.
Kesimpulan
Unsur-Unsur
Unsur-unsur subjektif tindak pidana menurut Simons adalah :
1. 1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan);
2. 2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
Unsur Objektif adalah unsur yang berkaitan dengan hubungan pelaku terhadap tindak
pidana.
Rumusan
Penuntut harus dapat membuktikan bahwa tertuduh telah memenuhi berbagai
unsur yang ada dalam rumusan sebuah delik pidana. Penuntut umum dan hakim
memiliki kewajiban untuk mengetahui dengan tepat arti dan maksud dari sebuah
unsur dari delik undang-undang. Apabila penjelasannya tidak terdapat dalam undang-
undang, maka keduanya dapat mencari yurisprudensi. Apabila masih tidak
ditemukan, penjelasan harus dicari dalam doktrin.
- Dengan sengaja
- Menghilangkan
- Nyawa
- Orang lain
Upaya preventif
Upaya ini berupa peningkatan pengenalan dan pemahaman masyarakat terhadap ciri-
ciri keaslian uang rupiah melalui kegiatan sosialisasi dan publikasi serta merintis
pembentukan unit khusus penanggulangan uang palsu (Bank Indonesia [BI]).
Upaya represif
Upaya ini berupa kerja sama dengan pihak penegak hukum, khususnya dalam
menangani kasus kejahatan pemalsuan uang (Bank Indonesia [BI]).
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
1. Delik kejahatan dan delik pelanggaran (misdrijven en overtredingen)
a. Delik Kejahatan adalah rechtsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun
tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah
dirasakan bertentangan dengan tata hukum (onrecht)
b. Delik Pelanggaran adalah wetsdelichten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat
melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya aturan yang
menentukan demikian.
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita dibagi atas kejahatan
(misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini,
tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah
dianggap demikian adanya, dan ternyata antara lain dari pasal 4, 5, 39, 45, dan 53
buku ke-1. Buku II melulu tentang kejahatan dan buku III tentang pelanggaran.
2. Delik materiel dan delik formel (materiele en formeledelicten)
a. Delik Formal adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya
tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU.
b. Delik Materil adalah delik yang dianggap telah selesai dengan timbulnya akibat
yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh UU. ( Lamintang)
4. Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (Zelfstandige en voorgezette
delicten)
a. Delik yang berdiri sendiri (Zelfstanding delicten)
Delik lelik yang berdiri sendiri
Delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan, delik ini juga disebut
delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang
berlangsung terus. Contohnya pada pasal 333 KUHP, yaitu orang yang
merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah. Keadaan yang dilarang
itu berjalan terus sampai si korban dilepas atau mati. Jadi, perbuatan yang
dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai seperti dalam pencurian
misalnya, tetapi masih menerus.
b. Delik Berkualifikasi
Contohnya: Pasal 362 adalah pencurian biasa, dan Pasal 363 adalah
pencurian yang dikualifikasi, yaitu karena cara melakukannya di waktu ada
kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena objeknya adalah
hewan.
11. Untuk indonesia, dikenal pula delik umum dan delik khusus.
a. Delik umum adalah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang dan diatur
secara umum oleh KUHP.
b. Delik khusus adalah delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
tertentu dan diatur oleh bab-bab Buku II KUHP, seperti: (Bab I) kejahatan
terhadap keamanan negara, (Bab IX) sumpah palsu dan keterangan palsu,
dan (Bab XI) pemalsuan materai dan merek. Ada pula delik khusus lainnya
yang diatur di luar KUHP, seperti: tindak pidana ekonomi dan terorisme.
Sumber:
Nama :
Dosen:
Kausalitas
Ajaran kausalitas adalah ajaran yang mempermasalahkan hingga
seberapa jauh suatu tindakan itu dapat dipandang sebagai penyebab dari
suatu keadaan, atau hingga berapa jauh suatu keadaan itu dapat dipandang
sebagai suatu akibat dari suatu tindakan, dan sampai dimana seseorang
yang telah melakukan tindakan tersebut dapat diminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Dalam penentuan
pertanggung jawaban pidana, mencari dan menetapkan faktor yang
menyebabkan kematian, ajaran kausalitas menjadi penting. Ajaran kausalitas
akan menunjukkan perbuatan mana sebenarnya yang harus dianggap
sebagai penyebab dari timbulnya akibat. Ajaran kausalitas selain penting
dalam hal mencari dan untuk menentukan adanya hubungan kausal antara
wujud perbuatan dan akibat dalam indak pidana materiil, juga penting dalam
hal mencari dan menentukan adanya hubungan kausal antara wujud
perbuatan dengan akibat dalam tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur
akibatnya. Tindak pidana yang dikualifisir oleh unsur akibatnya ialah suatu
tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten) yang ditambah dengan
satu unsur khusus yakni unsur akibat yang timbul dari perbuatan, baik unsur
akibat yang menjadikan tindak pidana lebih berat maupun menjadi lebih
ringan.
2. Teori Generalisasi
Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari
rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan
timbulnya akibat dilakukan dengan melihat dan menilai pada faktor
mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada
umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Jadi mencari faktor
penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah
peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada
umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara
abstracto, tidak secara inconcreto.
a) Teori Adequat Subjektif, Dipelopori oleh J. Von Kries yang
menyatakan bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor
yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab
saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat
diketahui oleh pembuat. Contoh, si A mengetahui bahwa si B
mengidap penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian
jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memuukul si
B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan
mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.
b) Teori Adequat Objektif, Berbeda dengan teori dari von Kries
yang dalam hal mencari faktor penyebab itu pada kesadaran si
pembuat bahwa pada kejadian normal pada umumnya faktor itu
layak atau sebanding untuk menimbulkan suatu akibat. Pada
ajaran adequat objektif ini, tidak memperhatikan bagaimana
sikap batin si pembuat sebelum berbuat, akan tetapi pada
faktor-faktor yang ada setelah (post factum. Peristiwa
senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan
secara akal (objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat.
Tentang bagaimana alam pikiran/sikap batin si pembuat
sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana
kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya,
apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan untuk
menimbulkan akibat. Teori ini dipelopori oleh Rumeli.
3. Teori Individualisir
Kalau teori generalisasi yang telah dibahas di atas melihat sebab in
abstracto, menurut perhitungan layak yang akan menimbulkan akibat,
maka teori individualisir, melihat sebab in concreto atau post factum.
Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka di antara sekian
rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya
merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya
berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai
andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat, sedangkan
faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor
penyebab. Pendukung teori yang individualisir ini antara lain Birkmeyer
dan Kari Binding.
4. Teori Relevansi
Dikemukakan oleh Mezger. Menurut teori ini dalam menentukan
hubungan sebab akibat tidak mengadakan pembedaan antara syarat
dengan sebab, melainkan dimulai dengan menafsirkan rumusan tindak
pidana yang memuat akibat yang dilarang itu dicoba menemukan
perbuatan manakah kiranya yang dimaksud pada waktu undang-
undang itu dibuat. Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu
berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam undang-undang.
Sumber Buku:
1. “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana” oleh Prof. Eddy O. S. Hiariej
2. “Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia” oleh P. A. F.
Lamintang
3. “Asas-Asas Hukum Pidana” oleh Andi Hamzah
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Kelompok 8
Anggota:
Farra Shalma Tanaya (110110170259)
Farrel Ananda (110110170204)
Muhammad Jihad (110110170
Agung Riyadi (110110170213)
Mikhael Situmorang (110110170208)
Menurut Van hamel orang mampu bertanggung jawab harus memenuhi tiga
syarat yaitu:
1. Mampu untuk menginsyfi makna dan akibat sungguh-sungguh dari
perbuatannya sendiri;
2. Mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan
dengan ketertiban masyarakat;
3. Mampu untuk menentukan kehendaknya dalam melakukan perbuatan.
SUMBER:
1. “Asas-asas Hukum Pidana” oleh Prof. Moeljatno, S.H.
2. “Hukum Pidana” oleh Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H.,M.H. Dan Dr. Hj. Nur Azisa,
S.H.,M.H.
3. “Hukum Pidana 1” oleh sofjan sastrawidjaja,S.H.
Kelompok : 9
Teori kehendak atau willstheorie menurut Von Hippel adalah akibat yang
telah dikehendaki sebagaimana dibayangkan sebagai tujuan. Sedangkan menurut teori
pengetahuan, kesengajaan berarti kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-
unsur yang diperlukan menurut rumusan undang-undang. Dalam praktiknya tidak ada
perbedaan hakiki antara kedua teori tersebut.
Terdapat empat jenis perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja karena
kekeliruan :
1. Feltelijkr atau dwaling atau kesesatan fakta yaitu suatu kekliruan yang
dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju pada salah satu unsur perbuatan
pidana
Contoh : Seseorang menggunakan surat untuk suatu keperluan tetapi tidak
mengetahui isi surat tersebut tidak sesuai dengan faktanya
2. Rechtsdwaling atau kesesatan hukum yaitu suatu perbuatan dengan perkiraan
hal itu tidak dilarang oleh undang. Undang
3. Error in persona yakni kekeliruan mengenai orang yang hendak menjadi
tujuan dari perbuatan pidana. Error in persona termasuk dalam error invicibilis
atau kekeliruan yang tidak dapat ditanggulangi
Contoh: S ingin membunuh T, S mengira bahwa U adalah T dan kemudian S
membunuh U. Perbuatan S tetap dijatuhi pidana meskipun terjadi error in
persona
4. Error in Objecto atau kekeliruan mengenai objek yang hendak menjadi tujuan
dari perbuatan pidana
Contoh: X ingin mencuri tas Y karena X yakin bahwa di dalam tas itu berisi
uang, ternyata setelah tas itu dicuri, isinya bukan uang tetapi buku. X dijatuhi
pidana walaupun terjadi error in objecto
Cth : seorang pembalap ngebut dijalan karena merasa jago dalam mengendarai motor,
tiba2 menanbrak orang lewat. Dimana seharusnya dia tahu bahwa dijalanan ramai,
harusnya berhati-hati
2. Kealpaan yang tidak disadari (Segarusnya menduga kemungkinan)
Cth : Orang yang baru bisa membawa motor, dikejar anjing sehingga menabrak
anjing.
Jenis-jenis Kesengajaan :
a. Kesengajaan Sebagai Maksud (Opzet Als Oogmerk)
Kesengajaan sebagai maksud adalah kesengajaan untuk mencapai suatu
tujuan, antara motivasi seseorang melakukan perbuatan, tindakan maupun akibatnya
benar-benar terwujud.
Contoh: Kasus kue taart kota Hoorn. Sesorang yang tidak senang kepada Mantri
Kota memberikan racuntikus dalam kue tarcis yang dibelinya, kemudian dikirim
kepada Mantri tersebut. Namun tempat pengiriman Mantri ternyata tinggal bersama
keluarganya, sehingga ada juga kemungkinan kue tersebut dimanakn oleh pihak
keluarga selain Mantri yang dituju. Dan ternyata yang meninggal bukanlah Mantri,
melainkan istrinya.
Contoh: pengendara sepeda motor dikejar polisi, kemudian dengan cepat mengendarai
motor tersebut hingga menabrak pejalan kaki yang tidak dikehendaki, namun
kemungkinan menabrak sebenarnya disadari pengendara itu sehingga harus tetap
menanggung resikonya.
e. Kesengajaan Berwarna
Namun memang pada penerapan nya akan merumitkan penuntut umu dalam
membuktikan setiap pelaku bahwa mereka mengetahui perbuatnnya adalah tindak
pidana.
f. Kesengajaan Tidak Berwarna
g. Kesengajaan Diobjektifkan
Bukan sebagai jenis kesengajaan melainkan cara untuk memastikan adanya
kesengajaan. Dalam menentukan adanya kesengajaan tidaklah mudah dibuktikan bagi
hakim, karena itu haruslah disimpulkan dari perbuatan yang tampak.
h. Dolus Directus
Sebagai corak yang menunjukan kesengajaan sebagai kepastian atau
keharusan. Tidak hanya karena pengetahuan, namun akibat dari perbuatan meski
tidak dikehendaki ada kesadaran akan keniscayaan akibatnya terjadi.
i. Dolus Indirectus
Kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang tapi akibat yang
timbul tidak dikehendaki.
j. Dolus Determinatus
Pada Dolus Determinatus bertolak dari anggapan suatu kesengajaan harus
didasarkan pada objek tertentu. Sebagai contoh, seseorang tidak mungkin dikatakan
mencuri jika tidak ada barang yang dicurinya.
Pada varian ini sudah tidak lagi digunakan dan lebih mengarah pada
kesengajaan sebagai kepastian.
k. Dolus Indeterminatus
Juga termasuk varian yang tidak lagi digunakan. Sebagai kesengajan yang
ditujukan kepada sembarang orang.
l. Dolus Alternativus
Kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan menghendaki akibat
yang satu atau aibat yang lainnya.
m. Dolus Generalis
Kesengajaan yang ditujukan kepada seseorang namun tindakan yang dilakukan lebih
dari satu untuk mencapai tujuan tersebut.
Contoh: orang yang dibunuh dengan cara dicekik lalu dilempar kedalam air. Dan
dokter forensik menentukan bahwa penyebab kematian adalah bukan karena cekikan,
melainkan tenggelam.
Dalam kasus ini sependapat dengan Simons, menyebutkan dolus generalis sesuai
dengan definisi di atas. Agar menyebabkan kematian, pelaku melakukan lebih dari
satu perbuatan.
n. Dolus Repentinus
Kesengajaan melakukan sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Artinya,
kesengajaan tersebut muncul seketika dengan memperhatikan situasi dan kondisi.
o. Dolus Premeditatus
Kebalikan dari Dolus Repentinus, adalah kesengajaan yang dilakukan dengan
rencana terlebih dahulu. Misal pasal pembunuhan berencana, penganiayaan dengan
rencana dalam KUHP.
Rencana disini lebih untuk memberi suatu nuansa untuk melakukan perbuatan
dengan pertimbangan yang matang. Sebagai alasan pemberat dalam persidangan
untuk pentahuan pidana.
p. Dolus Antecedens
Kesengajaan yang ditempatkan terlalu jauh sebelum tindakan dilakukan. Contohnya,
pada bulan Oktober suami berniat menembak istrinya saat sedang berburu. Ketika
sedang membersihkan senapan pada bulan November, tapa sengaja suami, menembak
istrinya hingga mati.
q. Dolus Subsequens
Meletakkan kesengajan terhadap suatu perbuatan yang sudah terjadi. Misal, karena
kealpaannya A menabrak seseorang yang kemudian diidentifikasikan sebagai B yang
merupakan musuh A. tindakannya bukanlah suatu kesengajaan, namun membiarkan
B tergeletak dijalan tanpa memberi pertolongan adalah suatu kesengajaan.
r. Dolus Malus
Kesengajaan yang dilakukan dengan niat jahat. Pada intinya, seseorang yang
melakukan perbuatan pdiana dan dapat dipidana hanya karena orang tersebut
memahami perbuatan yang dilakukannya adalah yang dilanggar oleh undang-undang.
Dapat dikatakan persyaratan adanyan dolus ini identik dengan kesengajaan bewarna
seperti sebelumnya.
KEKELIRUAN/KESESATAN/DWALING :
KELOMPOK 10
ALASAN PEMBENAR
Sumber :
- Andi Sofyan dan Nur Azisa.Buku Ajar Hukum Pidana.2016. Makassar. Pustaka
Pena Press
- Lamintang
RESUME
ALASAN PEMAAF
Muhammad Permana Shidiq 110110170246
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
ALASAN PEMAAF
Menurut Prof. Molejatno, alasan pemaaf adalah alasan yang meniadakan
kesalahan si pembuat tindak pidana. Perbuatannya tetap bersifat melawan hukum
tetapi pembuatnya tidak dapat dipidana karena padanya tidak ada kesalahan.
Menurut Prof. Andi Sofyan, alasan Pemaaf itu sendiri adalah alasan yang
menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan tetap bersifat melawan
hukum jadi tetap pebuatannya adalah perbuatan pidana,tetapi dia tidak dipidana
karena dianggap tidak ada kesalahan atau kesalahannya dimaafkan sehingga dia tidak
berhak dipidana ataupun dia diputus bebas oleh pengadilan.
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak
dapat dicela (menurut hukum) dengan perkataan lain ia tidak bersalah atau tidak
dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Jadi
disini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak mungkin
pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 44 (tidak mampu
bertanggungjawab), pasal 49 ayat (2) (noodweer exces), pasal 51 ayat (2) (dengan
itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Alasan penghapus pidana yang termasuk alasan pemaaf yang terdapat dalam
KUHP adalah :
Vis compulsive biasanya dibagi menjadi 2 bagian utama, yaitu dalam arti
sempit dimana sumber paksaan datang dari orang lain (overmacht in enge
zin), dan keadaan darurat yang disebabkan bukan oleh orang lain tetapi
disebabkan oleh keadaan-keadaan tertentu (noodtoestand). Juga dikatakan
dalam daya paksa arti sempit, inisiatif seseorang untuk berbuat suatu
perbuatan, ada karena orang lain memberikan tekanan. Contoh dan daya paksa
sempit adalah kalau orang ditodong dengan pistol untuk melakukan sesuatu
perbuatan pidana. Maka akan muncul tiga kemungkinan dalam keadaan
darurat :
Sumber Referensi :
Asas Asas Hukum Pidana (Prof.Moeljatno.S.H.).
BUKU AJAR HUKUM PIDANA (Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H
dan Dr. Hj. Nur Azisa, S.H., M.H).
Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia (FRANS
MARAMIS, S.H., M.H.)
Buku Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Drs P.A.F. Lamintang
S.H.)
HUKUM PIDANA I (Prof. Sudarto. SH)
Kelas : D
Pidana adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum di mana semua unsur
terpenuhi dan pelaku dapat bertanggung jawab. Istilah-istilah pidana yang sering
dijumpai di buku adalah Straf, sentence, hukuman, dan pidana. Moeljatno
menggunakan istilah pidana, sedangkan Sudarto menggunakan istilah hukuman dan
pidana. Pidana menurut Roeslan Saleh adalah reaksi atas delik, nestapa, sengaja,
dilimpahkan negara, dan dilakukan oleh pembuat delik. Pidana menurut Soedarto
adalah penderitaan yang sengaja, dibebankan, dan orang yang melakukan perbuatan
yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Dasar dan sumber pemberian pidana terbagi menjadi dua, yaitu hukum tertulis
dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis yaitu adanya kepastian hukum seperti diatur
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Sedangkan hukum tidak tertulis, yakni memberikan
kesempatan kepada pengadilan melalui putusannya menetapkan apakah perbuatan itu
termasuk perbuatan pidana atau bukan. Penetapan tersebut didasarkan kepada hukum
yang tidak tertulis dan biasa dikena dengan common law.
Lalu, pedoman pemberian pidana ada aliran klasik dan modern. Aliran klasik
adalah didasari sebuah pemikiran bahwa yang bisa dipidana adalah perbuatan bukan
pada orang yang melakukan tindak pidana artinya menitikberatkan pada sebuah
perbuatan. Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa
pada abad ke-18 di Perancis dan Inggris, yang banyak menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan. Pada Aliran Modern Berbeda dengan aliran klasik, aliran
ini berorientasi pada pelaku tindak pidana dan menghendakinya adanya
individualisme dari pidana, artinya dalam pemidanaan harus diperhatikan sifat-sifat
dan keadaan pelaku tindak pidana.
Jenis-jenis pidana dapat ditemukan dalam Pasal 10 KUHP. Pada dasarnya jenis
pidana terbagi menjadi dua yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis pidana
pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP adalah pidana mati, pidana penjara, pidana
kurungan, dan pidana denda. Sedangkan jenis pidana tambahan yang diatur dalam
Pasal 10 KUHP adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang
tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
a. Pidana Pokok
Pidana Mati
Sebagai mana yang ditentukan oleh pasal 11 KUHP: “Pidana mati
dijalankan oleh algojo di tempat gantungan pada leher terpidana kemudian
menjatuhkan papan terpidana sambil berdiri”
Di Indonesia, tindakan pidana yang diancam pidana mati semakin
banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2)
KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340
KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2)
KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.
Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan
dilaksanakan setelah mendapatkan Fiat Eksekusi dari Presiden berupa
penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan
permohonan grasi.
Pidana Penjara
Menurut A.Z Abidin Farid dan A. Hamzah (Tolib Setiady 2010: 91)
menegaskan bahwa “Pidana Penjara merupakan bentuk pidana yang berupa
kehilangan kemerdekaan”. Pidana Penjara atau Pidana Kehilangan
Kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tapi juga pidana
pengasingan.
Pidana penjara bervariasi mulai dari pidana sementara mulai dari satu
hari sampai dengan pidana seumur hidup.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara
otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang terbatasi, seperti hak
untuk memilih dan dipilih (dalam artian pemilihan umum), hak memegang
jabatan publik, dan lain-lain.
Pidana Kurungan
Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan Pidana Penjara,
keduanya merupakan bentuk pidana yang berupa perampasan kemerdekaan.
Pidana kurungan membatasi ruang gerak terpidana dengan mengurung orang
tersebut didalam sebuah lembaga kemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan
pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat
ringannya pidana ditentukan oleh Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana
kurungan menempati urutan ketiga.
Pidana Denda
Pidana Denda merupakan pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana
penjara. Pidana Denda adalah kewajiban orang yang telah dijatuhi pidana
denda tersebut oleh hakim/pengadilan untuk membayar sejumlah uang
tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
b. Pidana Tambahan
Pencabutan hak-hak tertentu
Menurut pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh
hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
2. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata.
3. Hak memilih dan dipilih dalam dalam pemilihan.
4. Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan,
hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawasan atas orang yang bukan anaknya sendiri.
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau
pengampuan atas anaknya sendiri.
6. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu.
Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1)
KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak
sebagai berikut:
1. Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka
lamanya pencabutan adalah seumur hidup.
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana
kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling
banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3. Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling dikit dua
tahun dan paling banyak lima tahun.
Secara garis besar teori-teori pemidanaan yang dapat ditemukan dalam berbagai
literatur hukum ada tiga yakni teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan.
1. Teori absolut
Teori absolut adalah teori yang mengajarkan bahwa dasar daripada
hukuman harus daripada kejahatannya sendiri. Tujuan pemidanaan menurut
teori absolut adalah semata-mata untuk memberi hukuman atau membuat jera
seseorang yang melakukan tindak pidana. Teori ini juga disebut dengan nama
lain teori pembalasan atau teori retributif. Pidana dijatuhkan karena untuk
memenuhi tuntutan keadilan.
2. Teori relatif
Teori relatif adalah teori yang mengajarkan bahwa yang dianggap
sebagai dasar hukum adalah tujuan dari hukuman. Penjatuhan pidana
bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat juga sebagai bentuk
pencegahan terjadinya tindak pidana oleh orang lain (prevensi general) dan
pencegahan tindak pidana lainnya oleh orang yang dijatuhi pidana (prevensi
spesial).
3. Teori gabungan
Teori gabungan adalah teori yang mengajarkan bahwa yang dianggap
sebagai dasar hukum adalah kejahatan itu sendiri yaitu siksaan, akan tetapi
disamping itu pula sebagai dasar adalah tujuan daripada hukuman. Teori
memperhitungkan adanya pembalasan juga pencegahan tindak pidana.
Tujuan pemidanaan menurut Pasal 54 RUU KUHP:
(1) Pemidanaan bertujuan:
1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Pasal 54 RUU KUHP dapat kita katakan mengikuti teori gabungan. Bahwa
penjatuhan pidana berkaitan dengan membuat jera pelaku tindak pidana juga sebagai
tindakan pencegahan terjadinya tindak pidana oleh orang lain maupun tindak pidana
oleh terpidana itu sendiri. Tujuan penjatuhan pidana menurut pasal 54 RUU KUHP
juga berkaitan dengan perlindungan bagi masyarakat atas terjadinya tindak pidana.
Berkaitan dengan salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kelakuan
terpidana, maka penjatuhan pidana tidak diperkenankan untuk membuat terpidana
menderita juga merendahkan martabat terpidana.
Pasal 58 RUU KUHP memuat tentang perubahan atau penyesuaian pidana. Pasal
58 RUU KUHP ini memungkinkan adanya perubahan atau penyesuaian pidana bagi
terpidana apabila olehnya dipenuhi syarat-syarat untuk dilakukan perubahan atau
penyesuaian pidana dan dengan memperhitungkan kemajuan yang dicapai selama
terpidana dalam masa pembinaan. Pasal 58 RUU KUHP ini mempertimbangkan salah
satu tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki perilaku terpidana.
DAFTAR PUSTAKA