Anda di halaman 1dari 15

A.

Pengertian Hukum Pidana

Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang


dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa
yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam
Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan
lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-
perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya.

Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah:


1.Pembunuhan
2.Pencurian
3.Penipuan
4.Perampokan
5.Penganiayaan
6.Pemerkosaan
7.Korupsi

Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar IlmuHukum”-nya


mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah
Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yangdilarang oleh Undang-
Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya,prosedur yang harus dilalui
oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”

Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

a. Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang


dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.

b.Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.

Beberapa Pengertian Hukum Pidana Menurut Para Ahli

Berdasarkan data dan informasi yang kami kumpulkan, ada 13 para ahli yang
memberikan pendapatnya mengenai pengertian tentang hukum pidana.
Yuk, kita simak satu persatu.
1. Pompe
Pengertian hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
2. Apeldorn
Pengertian hukum pidana dibedakan dalam dua arti yaitu hukum pidana materil
yang menunjuk pada perbuatan pidana yang oleh sebab perbuatan pidana itu
mempunyai dua bagian yaitu bagian objektif dan bagian subjektif. Dan hukum
pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materil ditegakkan.

3. Hazewinkel Suringan
Pengertian hukum pidana dibagai dalam arti objektif (ius poenali) yang meliputi
perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana oleh
badan yang berhak, ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat
digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum panitensier dan
subjektif (ius puniende) yaitu hak negara menurut hukum untuk menuntut
pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta malaksanakan pidana.

4. Moeljatno
Pengertian hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar aturan untuk
(a) menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut,
(b) menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang
telah diancamkan, dan
(c) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

5. Satochid Kartanegara
Pengertian hukum pidana dapat dipandang dari beberapa sudut yaitu : pengertian
hukum pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung
larangan-larangan ataukeharusan-kaharusan terhadap pelanggarnya diancam
dengan hukuman. Dan Pengertian hukum pidana dalam arti subjektif yaitu
sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang
melakukan perbuatan yang dilarang.

6. Sudarto
Pengertian hukum pidana bahwa hukum pidana dapat dipandang sebagai sistem
sangsi negati, ia diterapkan jika sarana lain sudah tidak memadai, maka
hukumpidana dikatakan mempunyai fungsi yang subsidier. Pidana termasuk juga
tindakan (maltregelen) bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu
yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu hakikat dan
tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran
(justification) pidana itu.

7. Simons
Hukum Pidana adalah semua perintah dan larangan yang diadakan oleh negara
dan yang diancam dengan suatu pidana/nestapa bagi barangsiapa yang tidak
menaatinya. Dan juga merupakan semua aturan yang ditentukan oleh negara yang
berisi syarat-syarat untuk menjalankan pidana tersebut.
8. Van Hattum
Hukum Pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan
yang diikuti dan ditetapkan oleh suatu negara atau oleh suatu masyarakat hukum
umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum
telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum
dan telah mengkaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan
suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa pidana.

9. Mezger
Hukum pidana adalah semua aturan hukum (die jenige rechtnermen) yang
menentukan / menghubungkan suatu pidana sebagai akibat hukum (rechtfolge)
kepada suatu perbuatan yang dilakukan.

10. W.L.G. Lemaire


Hukum pidana terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan
larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan
suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.

11. Adami Chazawi


Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-
ketentuan tentang :
Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan
melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang
disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar
larangan itu;

12. R. Abdoel Jamali


Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran
terhadap kepentingan umum. Kejahatan dan Pelanggaran tersebut diancam
dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang
bersangkutan.

13. Kansil
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran pelanggaran
dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Tujuan Hukum Pidana
1. Untuk melindungi suatu kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi
manusia) untuk melindungi kepentingan suatu masyarakat dan negara dengan
suatu perimbangan yang serasi dari suatu tindakan yang tercela/kejahatan di
satu pihak dari tindak-tindakan perbuatan yang melanggar yang merugiakan
dilain pihak.
2. Untuk membuat orang yang ingin melakukan kejahatan atau perbuatan yang
tidak baik akan menjadi takut untuk melakukan perbuatan tersebut.
3. Untuk mendidik seseorang yang melakukan perbuatan yang melanggar agar
tidak melakukan lagi, dan agar diterima kembali dilingkungan masyarakat.
4. Mencegah akan terjadinya gejala-gejala sosial yang tidak sehat atau yang
melakukan perbuatan yang dilanggar, dan hukuman untuk orang yang sudah
terlanjur berbuat tidak baik.
5. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan tidak
baik (aliran klasik)
6. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik
menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungan (aliran
modern).
Tujuan Hukum pidana Menurut liran klasik
Tujuan Hukum pidana untuk melindungi individu dari kekuasaan negara atau
penguasa. Sebaliknya, menurut aliran modern mengajarkan tujuan hukum pidana
untuk melindung masyarakat terhadap kejahatan. Dengan demikian hukum pidana
harus memerhatikan kejahatan dan keadaan penjahat, maka aliran ini mendapat
pengaruh dari perkembangan kriminologi.
Vos memandang perlu adanya aliran yang ketiga, yang merupakan kompromi aliran
klasik dan aliran modern. Dalam rancangan KUHP Juli Tahun 2016, tujuan
pemidanaan ditentukan dalam pasal 51 yaitu pemidanaan bertujuan :
1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat
2. Memasyarakatkan terpidana dengen mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang bake dan berguna
3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Mencapai tujuan hukum pidana

Untuk mencapai tujuan pemidanaan dikenal tiga teori yaitu :

1. Teori pembalasan, diadakannya pidana adalah untuk pembalasan. Teori ini


dikena pada akhir abad ke 18 dengan pengikut Immanuel Kant, Hegel, Herbert,
dan Stahl. Teori tujuan relatif, jika teori absolut melihat kepada kesalahan yang
sudah dilakukan,

2. Sebaliknya teori relatif ataupun tujuan berusaha untuk mencegah kesalahan


pada masa mendatang, dengan perkataan lain pidana merupakan sarana untuk
mencegah kejahatan, oleh karena itu juga sering disebut teori prevensi, yang
dapat kita tinjau dari dua segi yaitu, prevensi umum dan prevensi khusus.Dengan
dijatuhkannya sanksi pidana diharapkan penjahat potensial mengurungkan
niatnya, karena ada perasaan takut akibat yang dilihatnya, jadi ditujukan kepada
masyarakat pada umumnya. Sedangkan prevensi khushs ditujukan kepada
pelaku agar ia tidak mengulangi perbuatan jahatnya.

3. Teori gabungan, gabungan dari dua teori diatas.

Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap


gejala-gejala sosial yang kurang sehat disamping pengobatan bagi yang sudah
terlanjur tidak berbuat baik. Jadi hukum pidana ialah, ketentuan-ketentuan yang
mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran
kepentingan hukum.

Akan tetapi, kalau di dalam kehidupan ini mash ada manusia yang melakukan
perbuatan tidak baik yang terkadang merusak lingkungan hidup manusia lain,
sebenarnya sebagai akibat dari moralistas individu itu sendiri.

Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu
(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana) maka, dipelajari
olehnya “kriminologi”

Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang melakukan suatu
tindak tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial, disamping itu, juga
ada ilmu lain yang membantu hukum pidana, yaitu ilmu psikologi.

Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas
mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa
motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk
meniadakan perbuatan itu.
Sumber Hukum Pidana

Sumber hukum pidana itu ada 2 yakni sumber hukum tertulis dan sumber hukum
tidak tertulis. Di indonesia sendiri belum ada kitab undang-undang hukum pidana
nasional yang artinya kita masih memberlakukan kitab undang-undang hukum
pidana warisan belanda. Adapun KUHP terdiri dari 3 buku yakni sebagai berikut :

• Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).


• Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
• Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).

Sumber hukum pidana tertulis yaitu sebagai berikut :

• Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);


• Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP;
• Undang-undang Hukum Pidana Khusus;
• Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana.

Asas-Asas Hukum Pidana


• Asas Legalitas, yaitu tidak ada suatu perbuatan bisa dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang sudah
ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Bila sesudah
perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan,
maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa
(Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
• Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Yaitu untuk menjatuhkan pidana
kepada orang yang sudah melakukan tindak pidana, harus dilakukan jika ada
unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
• Asas teritorial, artinya yaitu ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas
semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial
Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera
Indonesia, pesawat terbang Indonesia, & gedung kedutaan dan konsul
Indonesia di negara asing (pasal 2 KUHP).
• Asas nasionalitas aktif, yang artinya ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana di mana pun ia berada
(pasal 5 KUHP).
• Asas nasionalitas pasif, yang artinya yaitu ketentuan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan
negara (pasal 4 KUHP).
FUNGSI HUKUM PIDANA.

Sebagai hukum publik, hukum pidana memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau


memperkosanya.

Kepentingan hukum (rechtersebutelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan


dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat,
maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak
dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk
terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang kehidupan.

Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan hukum itu meliputi :


1. Hak-hak (rechten)
2. Hubungan hukum (rechtersebutetrekking)
3. Keadaan hukum (rechtstoestand)
4. Bangunan masyarakat (sociale instellingen)

Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :
• Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) misalnya
kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum
atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan
hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap
rasa susila,
• Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke
belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan
ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya,
• Kepentingan hukum negara (staatersebutelangen), misalnya
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara,
kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan
hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya,

Ketiga kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Contoh :
kepentingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) larangan
mencuri (pasal 362 KUHP), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338 KUHP).
Pasal 363 KUHP melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum orang atas
hak milik kebendaan pribadi dan pasal 338 KUHP adalah melindungi dan
mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak individu/nyawa orang. Untuk
melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui sanksi pidana/straf (hukuman
penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam hukuman penjara maksimum
5 tahun dan pasal 338 KUHP dapat diancam hukuman penjara maksimum 15 tahun,

2. Fungsi Memberi dasar legitimasi bagi negara

Fungsi hukum pidana yang dimaksud disini adalah tiada lain memberi dasar
legitimasi bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan
melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan
sebaik-baiknya. Fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana, yang telah
dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) yakni UU No. 8 tahun 1981. Dalam hukum acara pidana telah diatur
sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara
negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.
Misalnya bagaimana cara negara melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap
terjadinya tindak pidana seperti melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan,
pemeriksaan, vonis, dll. Semua tindakan negara diatas tentu berakibat tidak
menyenangkan bagi siapa saja. Namun atas dasar kepentingan hukum dan negara
tindakan negara tersebut dibenarkan, melalui prosedur KUHAP diatas.

3. Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara.

Sebagaimana diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua diatas adalah
hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada
negara agar dapat menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi dengan sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas
harus dibatasi. Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi
kepentingan hukum yang dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu
penting agar negara tidak melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan
pribadi manusia. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya
dalam rangka negara menjalankan fungsinya mempertahankan kepentingan hukum
yang dilindungi yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan
menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu, menjadi wajib. Adanya KUHP
dan KUHAP sebagai hukum pidana materi dan formil dalam rangka
mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang dilindungi pada sisi
sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara apabila terjadi
pelanggaran hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara dalam
setiap melakukan tindakan hukum. Misalnya jika seseorang membunuh (pasal 338
KUHP) negara tidak boleh menghukum melebihi ancaman maksimum 15 tahun.
Begitu juga ketika negara menahan seseorang ada batas masa penahanan
misalnya penyidik hanya selama 20 hari. Jika ketentuan diatas dilanggar oleh
negara maka akan terjadi kesewenangan. Dengan demikian masyarakat sendiri
dirugikan. Jika akibat suatu tindakan negara justru merugikan masyarakat, maka
tujuan dan fungsi hukum pidana tersebut tidak tercapai. Tujuan hukum untuk
kebenaran dan keadilan hanya semboyan saja.
A.Sejarah Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia

Masa Pra Sejarah

Pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai


perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja
ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri
lagi bahwa ada gium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena di manapun
manusia hidup,selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum.

Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern.
Hukum pada zamandahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan
hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan
kerajaan. Hukum pidanaadat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah
berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam
Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana.
Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram,
jayalengkara, kutara Manawa, dan kitab Adilullah berlaku dalam masyarakat pada
masa itu.

Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan
ditaati oleh masyarakat nusantara. (Aruan Sakidjo & Bambang Poernomo, Hukum
Pidana, hal 8) Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan
kepercayaan masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum
pidana di masa itu. Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari
konsep pidana Islam serta konsep pembuktian yang harus lebih dari tiga orang
menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam mempengaruhi praktik hukum pidana
tradisional pada masa itu.

Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum
pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum
perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari
sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.

Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat


ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan
bercampur menjadi satu.

Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang
dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai
contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat
kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang
sangat terpengaruh oleh ajaran - ajaran Hindu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang
dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada
umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis.
Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui
cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah
yang bersangkutan.

Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini
telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak
umum.

Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat
Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan
Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

Masa Hindia Belanda


Sebagai diketahui dari tahun 1811 sampai tahun 1814 Indonesia pernah jatuh
dari tangan Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus
1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda.
Pemerintahan Inggris diserah terimakan kepada Komisaris Jenderal yang dikirim
dari Belanda.

Dengan Reegerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie


23 September 1815) maka hukum dasar pemerintah colonial tercipta Agar tidak
terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816,
Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua
peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan.

Pada umumnya masih berlaku Statuta Betawi yang baru, dan untuk orang pribumi
hukum adat pidana masih diakui asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum
yang diakui dan perintah-perintah, begitu pula undang-undang dari pemerintah.

Kepada Bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan


yang didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan,
yaitu:
1. Yang dipidana kerja rantai.
2. Yang dipidana kerja paksa.
3. Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah. Dalam
prakteknya,
Pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara :
1. Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan;
2. Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang;
3. Kerja paksa tanpa dirantai tetapi dibuang.
Dengan sendirinya semua peraturan terdahulu tidak berlaku lagi. KUHP yang
berlaku bagi golongan Eropa tersebut adalah salinan dari Code Penal yang berlaku
di Negeri Belanda tapi berbeda dari sumbernya tersebut,
yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri
atas 4 buku.
KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga saduran dari KUHP yang
berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada
KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886.

Oleh karena itu, perlu pula ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di
Negeri Belanda.

Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya
Crimineel Wetboek voor het Koninglijk Holland 1809.
Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya menurut Vos,
yaitu :
1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana;
2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja
3. Penghapusan perampasan umum

Tetapi kodifikasi ini umumnya singkat karena masuknya Prancis dengan Code
Penalnya Negeri Belanda pada tahin 1811.

Sistem pidana di dalam Code Penal sekali jika dibanding dengan kodefikasi 1809.
Diperkenalkan lagi perampasan umum. Dengan Gouf Besluit 11 Desember 1831
diadakan beberapa perubahan misalnya, tenyang perampasan umum tapi
diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati dengan cara Prancis
guillotine dig anti dengan penggantungan menurut sistem Belanda kuno.

Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan, juga mengusahakan


KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan-perubahan sebagian-
sebagian. Pidana sistem sel yang brlaku dengan undang-undang 28 Juni 1851 Stbl
68 diperluas dengan undang-undang 29 Juni 1854 Stbl 102, pidana badan dihapus,
jumlah pidana mati dikurangi, sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan (
wanbedrijf ), pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan delik
selesai.

Kemudian, 17 September 1870 Stbl 162 pidana mati dihapus.


Dengan KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia Negara yang
menyelesaikan rancangan pada tahun 1875. Pada tahun 1879 Menetri Smidt
mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan didalam Staten
Generaal dengan Menteri Modderman yang sebelumnya adalah anggota Panitia
Negara itu. Dan pada tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru,yang
mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886.
Jarak antara disahkan dan berlakunya KUHP Belanda selama 5 tahun karena
dengan sistem pidana sel perlu dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru, di
samping perlu diciptakan undang-undang baru seperti undang-undang kepenjaraan
dan lain-lain.

Setelah berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah
oleh Pemerintah Belanda, bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu 1866 dan 1872
yang banyak persamaannya dengan Code Penal Prancis, perlu diganti dan di
sesuaikan dengan KUHP baru Belanda tersebut.
Berdasarkan asas konkordansi ( concordantie ) menurut pasal 75 Regerings
Reglement, dan 131 Indische Staatsregeling, maka KUHP di Negeri Belanda harus
diberlakukan pula didaerah jajahan seperti di Hindia Belanda dengan penyesuaian
pada situasi dan kondisi setempat.

Semula direncanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan


Eropa dan golongan Bumiputera yang baru. Dengan Koninklijk Besluit tanggal 12
April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP untuk golongan Eropa.
Setelah selesai kedua rancangan tersebut, menteri jajahan Belanda Mr Idenburg
berpendapat bahwa sebaiknya ada 1 KUHP di Hindia Belanda, jadi berupa
unifikasi.
Sesuai dengan ide Menteri Edinburg tersebut maka dibentuklah komisi yang
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1913. Dengan K.B tanggal 15 Oktober
1915 dan diundangkan pada September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek van
strafrecht voor Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan penduduk.

Dengan Invoeringsverordening berlakulah pada tanggal 1 Januari WvSI tersebut.


Peralihan dari masa dualisme, yaitu 2 macam WvS untuk 2 golongan penduduk
menurrut Jonkers lebih brsifat formel daripada materiel. Ide unifikasi bukan hal
yang baru. Statuta Betawi 1642 dan ketentuan pidana interimair 1848 berlaku untuk
semua golongan penduduk.

Sebenarnya kedua WvS 1866 dan 1872 tersebut juga hampir sama, yang kedua
merupakan salinan dari yang pertama kecuali sistem pidananya.
Tetapi perbedaan antara kedua golongan penduduk, yaitu golongan Eropa dan
Bumiputera Timur Asing mewarnai juga perumusan-perumusan delik di dalam
WvS tersebut, misalnya pasal 284 (mukah = overspel) bagi laki-laki hanya belaku
bagi golongan Eropa (yang tinduk pada Pasal 27 BW).

Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)


Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum
pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan
kembali

Peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1
Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan
pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah
yangdulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan
dengan pemerintahan militer.

Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur
pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan
hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163
Indische Staatregeling.
Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan
penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan
golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische
Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer
Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei.

Nomor istimewa 1942, Osamu Seirei N omor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei
Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei
Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana
khusus.

Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di


Hindia Belanda. Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana
karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan
penguasa militer yang tidak saling membawahi.

Wilayah Indonesia timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang


berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan
Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai
hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.

Masa Kemerdekaan-sekarang

Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi


kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam
sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi
Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945
kedua masa setelah Indonesia menggunakan konstitusi negara serikat (Konstitusi
Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia menggunakan konstitusi
sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945
Makalah Tentang Arti, Fungsi, Tujuan, Sejarah dan Jenis-Jenis
Hukum Pidana Di Indonesia

Ditulis oleh :

Shitta Nabila

Universitas Nasional

2019

Anda mungkin juga menyukai