Anda di halaman 1dari 29

ARTIKEL HUKUM PIDANA

Nama Kelompok:

1. Handhita Mahadewi_2308010065

2. Abhinaya Rakha Utama_2308010348

3. Muhamma ]d Azis_2308010634

4. Siti Aisyah_2308010635

PENGERTIAN HUKUM PIDANA

Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang sering di definisikan dalam istilah

"Hukuman" atau dengan definisi lain sebagai suatu penderita yang sengaja dijatuhkan atau

diberikan oleh negara-negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum

(sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.

Larangan dalam hukum pidana secara khusus disebut sebagai tindak pidana

(strafbaar feit).

Muljanto mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum

yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar- dasar dan aturan-aturan untuk:

a.) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan yang dilarang,

dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut.

b.) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar

larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah di

ancamkan.
c.) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila

ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Definisi Hukum Pidana Menurut Beberapa Pakar Hukum:

Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai Hukum Pidana, antara

lain sebagai berikut sebagai berikut:

I. POMPE, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum

mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.

2. APELDOORN, menyatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dan diberikan arti:

Hukum Pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan

itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua bagian, yaitu:

a.) Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan hukum

pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan

ancaman pidana atas pelanggarannya.

b.) Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk

dipertanggungjawabkan menurut hukum. Hukum Pidana formal yang mengatur cara

bagaimana hukum pidana materiil dapat di tegakkan.

3. D. HAZEWINKEL-SURINGA, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti:

a. Objektif (ius poenale), yang meliputi:

1) Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi

pidana oleh badan yang berhak.


2) Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila norma itu

dilanggar, yang dinamakan Hukum Panitensier.

3) Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran

delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.

4. VOS, menyatakan bahwa Hukum Pidana diberikan dalam arti bekerjanya sebagai:

a.) Peraturan hukum objektif (ius poenale) yang dibagi menjadi:

1) Hukum Pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat bilamana, siapa dan

bagaimana sesuatu dapat dipidana.

2) Hukum Pidana formal yaitu hukum acara pidana.

b.) Hukum subjektif (ius punaenandi), yaitu meliputi hukum yang memberikan kekuasaan

untuk menetapkan acara pidana, menetapkan putusan dan melaksanakan pidana yang hanya

dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.

c.) Hukum Pidana umum (algemene strafrechts) yaitu hukum pidana yang berlaku bagi

semua orang.

d.) Hukum pidana khusus (byzondere strafrechts), yaitu dalam bentuknya sebagai ius speciale

seperti hukum pidana militer, dan sebagai ius singulare seperti hukum pidana fiscal.

5. ALGRA JANSSEN, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat yang dipergunakan

oleh seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu

perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali sebagian

dari pelindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta
kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana. Beberapa

pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut:

1.) SATOCHID KARTANEGARA, bahwa hukum pidana dapat dipandang dari beberapa

sudut, yaitu:

a. Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-

larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.

b. Hukum pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara

untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang di larang.

2.) SOEDARTO, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan system sanksi yang negatif,

ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan

mempunyai fungsi, yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan (maatregelen).

bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, suatu yang dirasakan tidak enak oleh orang

lain yang dikenai, oleh karena itu hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk

memberikan alasan pembenaran (justtification) pidana itu.

3.) MARTIMAN PRODJOHAMIDJOJO, Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan

disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.

b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-

larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat di laksanakan apabila

orang yang di duga telah melanggar ketentuan tersebut.


4.) ROESLAN SALEH, mengatakan bahwa setiap perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan

sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan sehinga perlu adanya

penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu, suatu perbuatan pidana berarti

perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan

yang dicita-citakan masyarakat. Sehingga isi pokok dari definisi Hukum Pidana itu dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a. Hukum pidana sebagai hukum positif.

b. Substansi hukum pidana adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan

menentukan tentang kesalahan bagi pelakunya.

5.) BAMBANG POERNOMO, menyatakan bahwa Hukum Pidana

adalah hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang

membedakan dengan lapangan hukum yang lain, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak

mengadakan norma sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain, dan

sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana.

Secara tradisional definisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana

berkembang dengan pesat.

SIFAT HUKUM PIDANA


1. Sifat Retributif

Sifat retributif adalah salah satu aspek paling mendasar dari hukum pidana. Ini

mencerminkan pemikiran bahwa hukuman adalah bentuk balasan atas tindakan

kriminal yang telah dilakukan. Dalam konteks sifat ini, hukuman dianggap sebagai

cara untuk membalas kejahatan dengan memberikan sanksi yang setimpal dengan

tingkat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelaku. Tujuannya adalah untuk

memastikan bahwa keadilan dipenuhi dan masyarakat merasa bahwa tindakan

kriminal mendapat tanggapan yang sesuai. Namun, sifat retributif ini juga telah

menimbulkan pertanyaan tentang efektivitasnya dalam mencapai tujuan-tujuan hukum

pidana, seperti pencegahan kriminalitas.

2. Sifat Preventif

Sifat preventif dari hukum pidana adalah salah satu aspek yang penting dalam upaya

mengurangi tingkat kejahatan dalam masyarakat. Ada dua dimensi utama dalam sifat

ini: preventif umum dan preventif khusus. Preventif umum mengacu pada upaya

untuk memberikan efek jera kepada masyarakat umum sehingga mereka tidak tergoda

untuk melanggar hukum. Ini sering dicapai dengan mengenakan hukuman yang tegas

terhadap pelaku kejahatan. Di sisi lain, preventif khusus lebih fokus pada pelaku

kejahatan itu sendiri. Ini mencoba untuk mencegah mereka melakukan tindakan

kriminal lagi dengan berbagai cara, seperti pemasyarakatan, rehabilitasi, atau

pemantauan yang ketat.

3. Sifat Restoratif dan Sifat Publik

Selain sifat retributif dan preventif, ada juga dua sifat lain yang memiliki dampak

signifikan pada sistem hukum pidana: sifat restoratif dan sifat publik. Sifat restoratif
menekankan pemulihan dan perbaikan sebagai tujuan utama hukuman. Ini mencoba

untuk mengembalikan kerugian yang diakibatkan oleh kejahatan, baik kepada korban

maupun kepada masyarakat secara keseluruhan. Pendekatan ini melibatkan

kompensasi kepada korban, mediasi antara pelaku dan korban, dan upaya untuk

membantu pelaku kejahatan berubah menjadi anggota masyarakat yang produktif.

Sifat publik menggambarkan hukum pidana sebagai upaya oleh negara untuk

melindungi masyarakatnya. Ini mencerminkan fakta bahwa tindakan kejahatan

dianggap sebagai pelanggaran terhadap masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya

pelanggaran terhadap individu atau korban. Oleh karena itu, penuntutan kejahatan

dalam sistem hukum pidana adalah tugas negara atas nama masyarakat. Hal ini juga

menciptakan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum pidana.

Dalam merancang dan menerapkan sistem hukum pidana, penting untuk memahami sifat-

sifat dasar yang membentuk dasar hukum ini. Sifat retributif, preventif, restoratif, dan publik

adalah elemen-elemen yang saling terkait dan saling mendukung dalam menciptakan sistem

hukum pidana yang efektif dan adil. Selain itu, pemahaman yang mendalam tentang sifat-

sifat ini juga memungkinkan kita untuk mengkaji secara kritis peran hukum pidana dalam

menjaga ketertiban sosial dan keadilan dalam masyarakat.

FUNGSI HUKUM PIDANA

 fungsi umum

fungsi hukum secara umum atau keseluruhan. Yang mengatur hidup masyarakat dan

bertujuan untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat

 fungsi khusus
berfokus pada cara mencegah atau menaggulangi terjadinya tindak pidana. Juga sebagai

perlindungan kepentingan individu, kelompok. sanksinya bersifat lebih tajam dari hukum

pidana lainnya.

1.) Hukum pidana merupakan hukum publik, oleh karena:

a. Penjatuhan pidana dijatuhkan untuk mempertahankan kepentingan umum.

b. Pelaksanaannya sepenuhnya di tangan pemerintah.

c. Mengatur hubungan antara individu dengan negara.

2.) Fungsi hukum pidana secara khusus ialah melindungi kepentingan hukum terhadap

perbuatan yang tercela. Menurut Satochid Kartanegara dalam bukunya "Hukum Pidana" dan

Hermien Hadiati Koeswadji, dalam bukunya "Perkembangan Macam-macam Pidana Rangka

Pembangunan Hukum Pidana", yang dikategorikan Kepentingan Hukum tersebut yaitu:

a. Nyawa Manusia Bagi yang melanggar kepentingan hukum ini, yaitu menghilangkan nyawa

orang lain akan diancam dengan antara lain Pasal 338 KUHP. Manakalah perbuatan tersebut

dilakukan dengan perencanaan, akan diancam dengan ketent an Pasal 340 KUHP. Demikian

juga manakalah perbuatan atau tindakan dilakukan karena kelalaiannya, sehingga

menyebabkan matinya orang lain, maka akan diancam dengan Pasal 359 KUHP.

b. Badan atau Tubuh Manusia Ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan perbuatan

atau tindakan yang dapat membahayakan badan atau tubuh orang lain, akan diancam antara

lain dengan Pasal 351 KUHP

c. Kehormatan Seseorang KUHP mengatur masalah kehormatan seseorang dengan ketentuan

310 KUHP. Artinya bagi barang siapa yang menyerang kehormatan atau nama baik

seseorang, akan diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 310 KUHP. Manakala penistaan
tersebut dilakukan melalui internet, maka akan dijerat dengan Pasal 27 jo Pasal 45 Undang-

Undang Nomor II Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

d. Kemerdekaan Seseorang

Pasal 333 KUHP mengancam dengan pidana bagi barang siapa yang dengan sengaja dan

melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang

e. Harta Benda

Pasal 362 KUHP, yang merupakan pasal tentang pencurian, siapa pun dilarang melakukan

perbuatan atau tindakan pencurian barang milik orang lain baik seluruh maupun sebagian.

Tujuan Hukum Pidana

a.) Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik yang ditujukan:

1. Menakut-nakuti orang banyak (generale preventie)

2. Menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di kemudian hari

tidak melakukan kejahatan lagi (specialepreventie)

b.) Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan

kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.

c.) Menurut Wirjono Prodjodikoro, kedua tujuan tersebut merupakan

tujuan yang bersifat tambahan atau sekunder, dan menurut dia melalui tujuan tersebut, akan

berperan dan meluruskan neraca kemasyarakatan yang merupakan tujuan primer.


d.) Sebagaimana dikutip lebih lanjut oleh Andi Hamzah, dalam buku "Asas-asas Hukum

Pidana", pandangan Van Bemmelen yang menyatakan bahwa hukum pidana itu sama saja

dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk

menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Hukum pidana, dalam satu segi,

menyimpang dari bagian lain dari hukum, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal

penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, juga walaupun pidana itu

mempunyai fungsi lain dari menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum ialah

menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa

dengan sengaja menimbulkan penderitaan.

SUMBER HUKUM PIDANA

Secara umum Hukum Pidana dapat ditemukan dalam beberapa sumber hukum yakni:

1) KUHP (Wet Boek van Strafrecht) sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia terdiri

atas:

a) Tiga Buku KUHP, yaitu Buku I bagian Umum, Buku II tentang Kejahatan,

Buku III tentang Pelanggaran.

b) Memorie van Toelichting (MVT) atau penjelasan terhadap KUHP. Penjelasan

ini tidak seperti penjelasan dalam perundang-undangan Indonesia. Penjelasan

ini disampaikan bersama rancangan KUHP pada tweede kamer (parlemen

Belanda) pada Tahun 1881 dan diundangkan Tahun 1886.

KUHP sendiri pun telah mengalami banyak perubahan maupun pengurangan.

Dengan demikian undang-undang yang mengubah KUHP juga merupakan

sumber hukum pidana Indonesia.


2) Undang-undang diluar KUHP yang berupa tindak pidana khusus, seperti Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang, UU Narkotika, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

3) Beberapa yurispudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum tentang istilah dalam

hukum pidana, misalnya perbuatan apa saja yang dimaksud dengan penganiayaan

sebagaimana dirumuskan Pasal 351 KUHP yang dalam perumusan pasalnya hanya

menyebut kualifikasi (sebutan tindak pidananya) tanpa menguraikan unsur tindak

pidananya. Dalam salah satu yurispudensi dijelaskan bahwa terjadi penganiayaan dalam

hal terdapat perbuatan kesengajaan yang menimbulkan perasaan tidak enak, rasa sakit dan

luka pada orang lain. Selain itu Pasal 351 ayat (4) KUHP menyebutkan bahwa

penganiayaan disamakan dengan sengaja merusak kesehatan orang lain.

Yurispudensi Nomor Y.I.II/1972 mengandung kaidah hukum tentang hilangnya sifat

melawan hukum perbuatan yakni bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang

sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-

asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3 faktor yakni,

negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, terdakwa tidak mendapat untung.

4) Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan tercela menurut

pandangan masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP. Hukum adat (hukum pidana adat)

masih tetap berlaku sebagai hukum yang hidup (The living law). Keberadaan hukum adat

ini masih diakui berdasarkan UU Darurat No.1 Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) Sub b. Seperti

misalnya delik adat Bali Lokika Sanggraha sebagaimana dirumuskan dalam Kitab Adi

Agama Pasal 359 adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang

sama-sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar
suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah

si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan memutuskan

hubungan cintanya tanpa alasan yang sah. Delik ini hingga kini masih sering diajukan ke

Pengadilan.

Delik adat Malaweng luse (bugis) /Salimara (Makassar) adalah hubungan kelamin antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana yang satu terhadap yang lainnya

terlarang untuk mengadakan perkawinan baik larangan menurut hukum islam atau hukum

adat berhubung karena hubungan yang terlalu dekat.

JENIS HUKUM PIDANA

1. hukum pidana objektif

didasarkan pada norma dan kejahatannya yang bersifak objektif. terdapat 2 bagian yaitu

hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

hukum pidana materiil atau biasa disebut hukum pidana dalam keadaan diam. merupakan

larangan atau peraturan yang ditentukannya jatuhan pidana.

hukum pidana formil atau bisa disebut hukum pidana dalam keadaan bergerak atau hukum

acara pidana. peraturan yang ditetapkan negara guna untuk melaksanakan hukum.

2. atas dasar subjek hukum

hukum pidana umum aturan aturan yang berlaku pada setiap orang tanpa membeda bedakan

kualitas pribadi subjek hukum tertentu.

hukum pidana khusus memuat aturan yang menyimpang dari hukum umum atau berkenaan

dengan jenis jenis tertentu.

3. hukum pidana yang dimodifikasi dan tidak dimodifikasi


dimodifikasi merupakan hukum pidana yang disusun secara lengkap dan sostematis. Dan

merupakan hukum yang sudah dibukukan.

tidak dimodifikasi merupakan hukum yang berada diluar KUHP atau biasa disebut tindak

pidana khusus.

4. Berdasarkan tempat berlakunya

hukum pidana umum merupakan hukum yang dibuat oleh pemerintah pusat dan berlaku pada

seluruh wilayah negara itu sendiri.

hukum pidana lokal merupakan hukum yang dibuat oleh pemerintah daerah dan diberlakukan

pada seluruh wilayah daerah tersebut.

5. Berdasarkan wilayah berlakunya

•hukum pidana nasional hukum yang mengatur rakyat dan melindungi kedaulatan rakyat,

bangsa, dan negaranya

•hukum pidana internasional hukuk yang mengatur dan disetujui oleh banyak

JENIS-JENIS HUKUM PIDANA YANG LAIN

1. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus

a. Hukum Pidana Umum

Makna Hukum Pidana Umum bahwa hukum pidana tersebut berlaku untuk

semua orang. Contoh hukum pidana umum adalah KUHP. Berdasarkan Pasal

103 KUHP disebutkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan

Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan

perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh

undang-undang ditentukan lain.


b. Hukum Pidana Khusus

Makna Hukum Pidana Khusus, artinya dalam suatu undang-undang ketentuan

sanksi pidana berbeda atau menyimpangi apa yang sudah ditentukan dalam

KUHP. Di sisi yang lain, hukum acaranya pun, berbeda dengan KUHAP.

Contoh Hukum Pidana Khusus misalnya UU PTPK dan UU PTPT.

2. Berdasarkan Tempat Berlakunya

a. Hukum Pidana Nasional

Hukum Pidana Nasional dibentuk atau diundangkan oleh pembentuk Undang-

Undang, yang dalam hal ini adalah DPR bersama Presiden dan berlaku untuk

seluruh negara Republik Indonesia. Contoh Hukum Pidana Nasional yaitu:

KUHP, UU PTPK, UU PTPT.

b. Hukum Pidana Lokal

Dibentuk oleh pembentuk perundang-undangan Daerah, baik

Pemerintah daerah tingkat I (provinsi) maupun Pemerintah Daerah tingkat II

(Pemerintah Kota atau Daerah Pemerintah Kabupaten).

Sesuai dengan pembentukannya tersebut, maka keberadaan hukum

pidana lokal ini hanya berlaku lokal, tempat di mana wilayah hukum pidana

tersebut dibentuk. Dengan demikian, hukum pidana lokal ini tidak berlaku

untuk daerah lain. Hukum pidana lokal ini berbentuk Peraturan Daerah

(PERDA).

Berlakunya perda ini merupakan konsekuensi logis dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Khususnya dalam Pasal 7

yang disebutkan
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai

berikut:

1) Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang:

4) Peraturan Pemerintah;

5) Peraturan Presiden:

6) Peraturan Daerah Provinsi: dan

7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Catatan Tambahan:

Berdasarkan Pasal 15 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

Tentang

1) Materi muatan tentang ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:

a. Undang-undang:

b. Peraturan Daerah Provinsi; atau

c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan c. Berupa acaman

pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


3. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis (Hukum

Pidana Adat)

a. Hukum Pidana Tertulis Hukum pidana tertulis adalah ketentuan dalam perundang-

undangan dibuat dan diundangkan oleh para pembentuk perundang-undangan dan dilakukan

secara tertulis serta dimuat dalam berita lembaran negara. Contoh hukum pidana tertulis

adalah KUHP, UU PTPK, UU PTPT.

b. Hukum Pidana Tidak Tertulis

Contoh hukum pidana tidak tertulis adalah hukum pidana adat. Uraian lebih lanjut dilihat

uraian Bab I tentang sumber hukum pidana diatas.

4. Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional a. Hukum Pidana Internasional

Romli Atmasasmita, dalam bukunya "Pengantar Hukum Pidana

Internasional", mengutip pandangan Roling. seorang pakar hukum Internasional Belanda,

yaitu Hukum Pidana Internasional adalah hukum yang menentukan hukum pidana nasional

yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan

bilamana terdapat unsur-unsur internasional di dalamnya. Lebih lanjut, dalam buku tersebut,

ditulis bahwa penetapan tindak pidana internasional atau international crimes yang berasal

dari kebiasaan hukum internasional adalah: 1) Tindak pidana pembajakan (piracy)


2) Kejahatan perang (war crimes) 3) Tindak pidana perbudakan (slavery).

Kemudian penetapan pidana internasional atau international crimes sebagaimana dimuat

dalam Piagam Mahkamah Militer Internasional (The International Military Tribunal) di

Nuremberg menetapkan 3 golongan

kejahatan :

1) Crimes against peace atau kejahatan atas perdamaian, yang diartikan termasuk persiapan-

persiapan atau pernyataan perang agresi.

2) War crimes atau kejahatan perang atau pelanggaran atas hukum- hukum traditional dan

kebiasaan dalam perang, dan

3) Crimes against humanity yakni segala bentuk kekejaman terhadap penduduk sipil

(concombatant) selama perang berlangsung.

b. Hukum Pidana Nasional

Sebagaimana sudah dicontohkan di atas, KUHP, UU PTPK, UU

PTPT merupakan hukum pidana nasional.


SIFAT-SIFAT HUKUM PIDANA

1. Sifat Retributif

Sifat retributif dalam hukum pidana mengacu pada prinsip bahwa hukuman adalah balasan

yang setimpal terhadap tindakan kriminal yang telah dilakukan. Tujuan utamanya adalah

memastikan bahwa pelaku kejahatan bertanggung jawab atas perbuatannya. Di Indonesia,

sifat ini tercermin dalam hukuman penjara yang panjang bagi pelaku kejahatan serius seperti

pembunuhan.

2. Sifat Preventif

Sifat preventif dalam hukum pidana memiliki dua dimensi. Pertama, preventif umum

bertujuan untuk mencegah masyarakat umum dari melakukan kejahatan dengan memberikan

efek jera melalui hukuman yang tegas. Kedua, preventif khusus adalah upaya untuk

mencegah pelaku kejahatan tertentu melakukan tindakan serupa di masa depan. Contoh

penerapan sifat ini adalah program pemasyarakatan yang membantu pelaku narkoba agar

tidak kembali mengkonsumsi narkoba setelah bebas.

3. Sifat Restoratif

Sifat restoratif dalam hukum pidana menekankan pemulihan dan perbaikan. Fokusnya adalah

memulihkan kerugian yang diakibatkan oleh tindakan kriminal, baik kepada korban maupun

kepada pelaku kejahatan. Di Indonesia, program mediasi kriminal digunakan untuk mencapai

rekonsiliasi antara pelaku dan korban dalam kasus-kasus tertentu.


4. Sifat Publik

Sifat hukum pidana yang bersifat publik mencerminkan tanggung jawab negara untuk

menegakkan hukum dan melindungi masyarakatnya. Penuntutan kasus kriminal oleh jaksa

penuntut umum adalah salah satu contoh nyata dari sifat ini. Tujuannya adalah untuk

menjamin bahwa pelaku kejahatan dibawa ke pengadilan dan menerima sanksi yang pantas.

5. Sifat Keteraturan

Sifat keteraturan dalam hukum pidana menekankan pentingnya aturan dan prosedur yang

jelas dalam penegakan hukum. Ini termasuk prosedur penuntutan, persidangan yang adil, dan

pelaksanaan hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku.

Studi Kasus: "Kasus Korupsi BLBI"

Salah satu studi kasus yang mencerminkan berbagai sifat hukum pidana adalah "Kasus

Korupsi dalam Program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)." Kasus ini melibatkan

sejumlah pelaku yang terlibat dalam skandal korupsi dalam program BLBI yang merugikan

negara Indonesia secara signifikan.

Dalam penanganan kasus ini, sifat retributif tercermin dalam hukuman penjara yang panjang

bagi para pelaku korupsi, termasuk para pengusaha terkenal. Tujuannya adalah memberikan

sanksi yang setimpal terhadap tindakan korupsi mereka.


Sifat preventif juga tercermin dalam upaya pemerintah untuk mencegah tindakan korupsi

serupa di masa depan dengan memperketat pengawasan perbankan dan meningkatkan

transparansi dalam program bantuan keuangan.

Selain itu, sifat restoratif tercermin dalam upaya pemulihan dana yang telah dirampok oleh

para pelaku korupsi melalui program restitusi, yang bertujuan untuk mengembalikan kerugian

ke negara.

SANKSI HUKUM PIDANA

Jenis-Jenis Sanksi Hukum Pidana

-Sanksi hukum pidana dapat dibagi menjadi beberapa jenis utama:

1. Hukuman Penjara

Hukuman penjara adalah sanksi yang paling umum digunakan dalam hukum pidana di

Indonesia. Ini melibatkan penahanan pelaku kejahatan dalam lembaga pemasyarakatan untuk

jangka waktu tertentu. Hukuman penjara bertujuan untuk mengisolasi pelaku dari

masyarakat, memberikan efek retribusi, dan mencegahnya melakukan kejahatan selama masa

hukuman.
2. Denda

Denda adalah sanksi moneter yang harus dibayar oleh pelaku kejahatan. Denda dapat

digunakan sebagai sanksi independen atau bersamaan dengan hukuman penjara. Tujuannya

adalah memberikan efek deterrensi dan membebani pelaku secara finansial.

3. Pemasyarakatan

Pemasyarakatan melibatkan pengawasan pelaku kejahatan setelah mereka menjalani

hukuman penjara. Ini mencakup masa percobaan dan pengawasan oleh petugas

pemasyarakatan. Tujuannya adalah membantu pelaku kejahatan untuk reintegrasi ke dalam

masyarakat.

4. Pencabutan Hak

Sanksi hukum pidana juga dapat mencakup pencabutan hak tertentu dari pelaku, seperti hak

memegang senjata api, hak memilih, atau hak berpartisipasi dalam kegiatan tertentu.

Pencabutan hak bertujuan untuk mengurangi kemampuan pelaku melakukan tindakan

kriminal di masa depan.

5. Kerja Sosial

Kerja sosial melibatkan pelaku kejahatan dalam pekerjaan sosial yang bermanfaat bagi

masyarakat. Ini bertujuan untuk memberikan peluang kepada pelaku untuk memperbaiki

perilaku mereka dan memberikan manfaat kepada masyarakat.


-Tujuan Sanksi Hukum Pidana

Sanksi hukum pidana memiliki beberapa tujuan utama:

1. Retribusi

Tujuan utama sanksi hukum pidana adalah retribusi, yaitu memberikan balasan yang setimpal

dengan tindakan kriminal yang telah dilakukan oleh pelaku. Retribusi mencerminkan prinsip

bahwa pelaku harus bertanggung jawab atas tindakan mereka dan bahwa masyarakat

memandang tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap norma-norma sosial.

2. Deterrensi

Sanksi hukum pidana juga memiliki tujuan deterrensi, yaitu mencegah pelaku dan orang lain

untuk melakukan tindakan serupa di masa depan. Hukuman yang keras diharapkan akan

membuat individu berpikir dua kali sebelum melanggar hukum. Deterrensi mencakup dua

aspek:

- Deterrensi Umum: Membuat masyarakat umum sadar akan konsekuensi tindakan kriminal

dan mencegah mereka melanggar hukum.

- Deterrensi Khusus: Mencegah pelaku kejahatan tertentu melakukan tindakan serupa di

masa depan.

3. Rehabilitasi

Salah satu tujuan sanksi hukum pidana adalah membantu pelaku kejahatan untuk mengubah

perilaku mereka dan menjadi anggota masyarakat yang produktif. Ini mencakup program

rehabilitasi, konseling, dan pendidikan di dalam lembaga pemasyarakatan.


4. Proteksi Masyarakat

Sanksi hukum pidana juga bertujuan melindungi masyarakat dengan mengisolasi pelaku

kejahatan yang berpotensi berbahaya dari masyarakat. Tujuan ini mencakup pemasyarakatan,

pengawasan, dan pencabutan hak tertentu.

-Dampak dan Tantangan dalam Penerapan Sanksi Hukum Pidana di Indonesia

Meskipun sanksi hukum pidana memiliki tujuan yang mulia, penerapannya di Indonesia tidak

selalu berjalan mulus. Beberapa dampak dan tantangan dalam penerapannya termasuk:

1. Overcrowding dalam Lembaga Pemasyarakatan

Hukuman penjara yang panjang dan ketidakcukupan fasilitas pemasyarakatan telah

menyebabkan overcrowding atau kelebihan kapasitas dalam lembaga pemasyarakatan di

Indonesia.

2. Ketidaksetaraan dalam Penerapan Hukuman

Ketidaksetaraan dalam penerapan hukuman, terutama terkait dengan faktor sosial dan

ekonomi, masih menjadi masalah serius dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
3. Perluasan Alternatif Sanksi

Pemerintah Indonesia sedang mempertimbangkan perluasan alternatif sanksi seperti program

rehabilitasi untuk beberapa jenis pelanggaran ringan.

-Kesimpulan

Sanksi hukum pidana adalah alat penting dalam sistem hukum Indonesia untuk menegakkan

keadilan dan menjaga ketertiban sosial. Mereka memiliki berbagai jenis dan tujuan yang

mencakup retribusi, deterrensi, rehabilitasi, dan perlindungan masyarakat. Meskipun

memiliki dampak positif, sanksi hukum pidana juga memiliki tantangan dan masalah yang

perlu diatasi untuk meningkatkan efektivitas dan keadilan dalam sistem hukum pidana

Indonesia.

PEMBAGIAN HUKUM PIDANA

A. Objectief

• Merupakan keseluruhan larangan/perintah yg oleh negara di ancam dengan nestapa yang

berupa pemidanaan apabila larangan atau perintah itu tidak di taati

• keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat² untuk penjatuhan pidana

• keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan Pidana

Di bagi menjadi 2 :

1. Materiil

Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan

pidana (sanksi).

Contoh Hukum pidana materiil adalah KUHP. Selain KUHP, manakala suatu Undang-

Undang mengatur tentang ketentuan pidana, maka dalam Undang-Undang tersebut


mengadung Hukum Pidana materiil. Misalnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (UU PTPK). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(UU PTPT). Ciri khas suatu hukum pidana materiil, dapat dilihat dari adanya bunyi Pasal

"Setiap orang yang.....diancam dengan pidana penjara.....".

atau

"Barang siapa.....diancam dengan pidana penjara.....".

2. Formil

Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Contoh hukum

pidana formil adalah KUHAP. Selain KUHAP. manakalah suatu Undang-Undang mengatur

tentang proses suatu peradilan pidana, maka dalam Undang-Undang tersebut mengandung

Hukum Pidana Formil.

Misalnya UU PTPK dan UU PTPT. Kedua Undang-undang tersebut, selain mengatur hukum

pidana materiil di dalamnya juga mengatur tentang hukum formil atau hukum acara pidana.

Ciri khas suatu hukum pidana formil, dapat dilihat dari adanya bunyi Pasal yang mengatur

misalnya tentang "PENYIDIKAN PENUNTUTAN", "PENANGKAPAN", "PENAHANAN".

B. Subjectieve

a.) Merupakan hak dari negara atau alat perlengkapannya untuk mengenakan dan

mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu tersebut (yang diatur oleh IUS POENALE).

b.) Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan

c.) lus puniendi didasarkan pada ius poenale.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa Objectief = lus Poenale = Strafrecht In Objectieve Zin,

hal ini membahas masalah peraturan- peraturannya

sedangkan Subjectief =lus Poeniendi Strafrecht In Subjectieve Zin, membahas masalah organ

yang memidana, yang dalam hal ini adalah Negara.


PERISTIWA HUKUM PIDANA

Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian

perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat

dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Dan unsur-

unsur itu terdiri dari:

A. Objektif.

Yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat

yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dari

pengertian objektif di sini adalah tindakannya.

B. Subjektif.

Yaitu perbuatan seorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur

ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang dilakukan

oleh seorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana.

Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa pidana ialah:

1.) Harus ada perbuatan.

Maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau

beberapa orang. Kegiatan itu terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami

oleh prang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.

2.) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ketentuan hukum.

Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang

berlaku pada saat itu. Pelakunya memang benar- benar telah berbuat seperti yang terjadi dan

terhadapnya wajib mempertanggungjawabkan akibat yang timbul dari perbuatan itu.

Berkenaan dengan syarat ini hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang

tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu mempertanggungjawabkan.


Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau beberapa

orang dalam melaksanakan tugas, membela diri dari ancaman orang lain yang mengganggu

keselamatannya dan dalam keadaan darurat dan mereka yang tidak mempunyai kesalahan.

3.) Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Maksudnya bahwa

perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai

suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.

4.) Harus berlawanan dengan hukum. Artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan

hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan hukum.

5.) Harus terdapat ancaman hukumnya. Maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur

tentang larangan atau keharusan dalam suatu perbuatan tertentu, maka ketentuan itu memuat

sanksi ancaman hukumannya. Dan ancaman hukuman itu dinyatakan secara tegas maksimal

hukumnya yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau di dalam suatu perbuatan

tertentu, maka dalam peristiwa pidana

terhadap pelakunya tidak perlu melaksanakan hukuman.


Daftar Pustaka

1. Supriyadi, A. S., & Pohan, E. L. (2019). Hukuman Mati dalam Hukum Pidana

Indonesia: Tinjauan Hukum dan Praktik Hukum Pidana. Jurnal Hukum dan Keadilan,

43(2), 183-196.

2. Soedjono, R. D. (2020). Teori dan Praktik Deterrensi dalam Hukum Pidana Indonesia.

Penerbit Buku Kompas.

3. Iskandar, D., & Hidayat, S. (2018). Sanksi Hukum Pidana dalam Kasus-Kasus Korupsi

di Indonesia: Studi Kasus BLBI. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 48(1), 42-55.

4. Fitri, A. (2017). Pemasyarakatan sebagai Upaya Rehabilitasi Pemuda Pelaku Tindak

Pidana di Indonesia. Jurnal Hukum Universitas Indonesia, 34(3), 433-448.

5. Simanjuntak, T. (2019). Reformasi Hukum Pidana dan Perubahan dalam Sistem

Hukum Indonesia. Penerbit RajaGrafindo Persada.

6. Handayani, E. (2020). Dinamika Penegakan Hukum Pidana di Indonesia: Tantangan

dan Prospek. Penerbit Rajawali Pers.


7. Tim Redaksi HukumOnline. (2018). Kasus Korupsi BLBI: Analisis Hukum Pidana dan

Implementasinya di Indonesia. HukumOnline.

8. Pohan, E. L. (2017). Pencabutan Hak dalam Hukum Pidana Indonesia: Tinjauan Asas

dan Implementasi. Jurnal Hukum Universitas Indonesia, 34(2), 231-248.

9. H. Suyanto, S.H., M.H., MKn.2018.Pengantar Hukum Pidana.DIY:Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai