Anda di halaman 1dari 25

Pengertian

dan
Ruang Lingkup
Hukum Pidana

HUKUM PIDANA Page 1


1.1 Pengertian Hukum Pidana
semenjak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia lainnya dalam
wadah yang kita kenal sebagai masyarakat. Mula-mula ia berhubungan dengan orang tuanya
dan setelah usianya meningkat dewasa ia hidup bermasyarakat, dalam masyarakat tersebut
manusia saling berhubungan dengan manusia lainnya. Sehingga menimbulkan kesadaran pada
diri manusia bahwa kehidupan dalam masyarakat berpedoman pada suatu aturan yang oleh
sebagian besar warga masyarakat tersebut ditaati. Hubungan antara manusia dengan manusia
dan masyarakat diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Di dalam pembagian
hukum konvensional, Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal
perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan
berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.
Secara historis hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah hubungan pribadi atau
hubungan privat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambil alih kelompok
atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambil alih oleh negara dan dijadikan
kepentingan umum.
Hukum pidana merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yaitu dalam hal
sanksinya. Yang membedakan hukum pidana dengan hukum yang lainnya, diantaranya adalah
bentuk sanksinya, yang bersifat negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman). Bentuknya
bermacam-macam dari dipaksa diambil hartanya karena harus membayar denda, dirampas
kebebasannya karena dipidana kurungan atau penjara, bahkan dapat pula dirampas
nyawanya, jika diputuskan dijatuhi pidana mati.
Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran.
 Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang -
undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan
masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa
pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya.
 Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun
tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain,
seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam
berkendaraan, dan sebagainya.
Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya
bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan

HUKUM PIDANA Page 2


hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua
ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis).
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan
salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini
ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman
tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang
berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan
tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya
dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana.
Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-
Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya.
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-
nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang
menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-
hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan
pengadilannya, serta hukuman/sanksi yang ditetapkan atau dijatuhkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
a. Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut. 
b. Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara
kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang
(hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.
Menurut Prof. Moeljatno,S. Hukum Pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk :

HUKUM PIDANA Page 3


a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Satochid Kartanegara, bahwa hukum pidana dapat dipandang dari beberapa
sudut, yaitu:
a. Hukum pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung
larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam
dengan hukuman.
b. Hukum pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak
negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang
melanggarnya.
b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut.
Menurut Roeslan Saleh, mengatakan bahwa hukum pidana sebagai hukum positif.
Hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan kesalahan bagi
pelakunya.
Menurut Bambang Poernomo, menyatakan bahwa hukum pidana adalah hukum
sanksi.

Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai hukum pidana, antara
lain sebagai berikut:

1. Prof. Pompe memberikan pengertian hukum pidana yakni semua aturan-aturan


hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dijatuhi
pidana dan apakah macamnya pidana itu.

HUKUM PIDANA Page 4


2. Prof. Simons mengartikan hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan
larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa
(pidana) barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan yang
menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk
mengadakan (menjatuhi) dan menjalani pidana tersebut.
3. Van Hamel, menurutnya hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan
yang dianut suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (Rechtsorder)
yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu
nestapa kepada yang melanggar aturan-aturan tersebut.
4. Apeldoorn, bahwa hukum pidana dibedakan dan diberikan arti:
Hukum pidana materiil yang menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh
sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu mempunyai dua
bagian, yaitu:
a. Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang bertentangan dengan
hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum yang menyebabkan
tuntutan hukum dengan ancaman pidana atas pelanggarannya.
b. Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk kepada pelaku untuk
dipertanggungjawabkan menurut hukum.
Hukum pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat
ditegakkan.
5. D. Hazewinkel-Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana dalam arti:
a. Objektif (ius poenale), yang meliputi:
1. Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana
oleh badan yang berhak.
2. Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat digunakan, apabila
norma itu dilanggar, yang dinamakan Hukum Panitensier.
3. Subjektif (ius puniendi), yaitu: hak negara menurut hukum untuk menuntut
pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
6. VOS, menyatakan bahwa hukum pidana diberikan dalam arti bekerjanya sebagai:
a. Peraturan hukum objektif (ius poenale) yang dibagi menjadi:
1. Hukum pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat bilamana, siapa
dan bagaimana sesuatu dapat dipidana.
2. Hukum pidana formal yaitu hukum acara pidana.
b. Hukum subjektif (ius punaenandi), yaitu meliputi hukum yang memberikan
kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan putusan dan
HUKUM PIDANA Page 5
melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang
ditunjuk untuk itu.
c. Hukum pidanna umum (algemene strafrechts), yaitu hukum pidana yang berlaku
bagi semua orang.
d. Hukum pidana khusus (byzondere strafrecht), yaitu dalam bentuknya sebagai ius
speciale seperti hukum pidana militer, dan sebagai ius singulare seperti hukum
pidana fiscal.
7. Algra Janssen, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat yang dipergunakan oleh
seorang penguasa (hakim) untuk memperingati mereka yang telah melakukan suatu
perbuatan yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut kembali
sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa,
kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu
tindak pidana.
Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum di atas dapat disimpulkan bahwa hukum
pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa
larangan maupun keharusan sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut
dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri,
melaikan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan
ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.
1.2 Ruang Lingkup Hukum Pidana
Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa
pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan
salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu
bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu :
 Sikap tindak atau perikelakuan manusia;
 Masuk lingkup laku perumusan kaedah hukum pidana (pasal 1 ayat I KUHP) yang
berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan
pidana dalam perundang undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.
 Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran.
 Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan. 
Dilihat dari ruang lingkupnya hukum pidana dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis

HUKUM PIDANA Page 6


2. Hukum pidana sebagai hukum positif

3. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum public

4. Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif

5. Hukum pidana material dan hukum pidana formal

6. Hukum pidana kodifikasi dan hukum pidana tersebar

7. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus

8. Hukum pidana umum (nasional) dan hukum pidana setempat

Hukum pidana objektif (ius peonale) adalah seluruh garis hukum mengenai tingkah
laku yang diancam dengan pidana jenis dan macam pidana, serta bagaimana itu dapat
dijatuhkan dan dilaksakan pada waktu dan batas daerah tertentu. Artinya, seluruh warga dari
daerah (hukum) tersebut wajib menaati hukum pidana dalam arti objektif tersebut.

Hukum pidana objektif (ius peonale) ialah semua peraturan yang


mengandung/memuat larangan/ancaman dari peraturan yang diadakan ancaman hukuman.
Hukum pidana objektif ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Hukum pidana material, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung perumusan:


perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum, hukum apakah
yang dapat dijatuhkan.
2. Hukum pidana formal, yaitu disebut juga sebagai hukum acara, memuat peraturan-
peraturan bagaimana cara negara beserta alat-alat perlengkapannya melakukan hak
untuk menghukum (mengancam, menjatuhkan, atau melaksanakan).

Hukum pidana subjektif (ius puniendi) merupakan hak dari penguasa untuk
mengancam suatu pidana kepada suatu tingkah laku sebagaimana digariskan dalam hukum
pidana objektif, mengadakan penyidikkan, menjatuhkan pidana, dan mewajibkan terpidana
untuk melaksanakan pidana yang dijatuhkan. Persoalan mengenai apakah dasarnya atau
darimana kekuasaan penguasa tersebut, jawabannya menurut E.Y Kanter terletak pada
falsafah dari hukum pidana.

Hukum pidana umum (alegemen strafrecht) adalah hukum pidana yang berlaku untuk
tiap penduduk, kecuali anggota militer, nama lain dari hukum pidana umum adalah hukum
pidana biasa atau hukum pidana sipil (commune strafrecht). Akan tetapi dilihat dari segi
pengkodifikasiannya maka KUHP pun disebut sebagai hukum pidana umum, dibanding
dengan perundang-undangan lainnya yang tersebar.

HUKUM PIDANA Page 7


Hukum pidana khusus adalah suatu peraturan yang hanya ditunjukkan kepada
tindakkan tertentu (tindak pidana subversi) atau golongan tertentu (militer) atau tindakkan
tertentu, seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi, dan lain-lain.

Menurut Samidjo, S.H. hukum pidana khusus dapat disebut:

a. Hukum pidana militer

b. Hukum pidana fiskal (pajak)

c. Hukum pidana ekonomi

d. Hukum pidana politik.

Jika suatu perbuatan termasuk dalam suatu aturan pidana umum, diatur pula dalam
peraturan pidana khusus, yang khusus itulah yang dikenakan, Adagium untuk itu adalah, “Lex
specialis derograt lex generalis” jadi, hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada hukum
pidana umum. Hal dapat kita lihat pada KUHP nasional yang ditentukan dalam pasal 63 ayat
2 KUHP dan pasal 103 KUHP.

Hukum pidana militer merupakan ketentuan-kententuan pidana yang tercantum dalam


KUHP militer atau disebut KUHPT, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara dan
dikenal juga KUHDT, Kitab Undang-undang Displin Tentara.

Hukum pidana fiskal (pajak) merupakan ketentuan-ketentuan pidana yang tercatum


dalam undang-undang mengenai pajak.

Hukum pidana ekonomi merupakan ketentuan yang mengatur pelanggaran ekonomi


yang dapat mengganggu kepentingan umum.

Hukum pidana politik merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur kejahatan-


kejahatan politik, misalnya menghianati rahasia negara, intervensi, pemberontakan, sabotase.

RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA 

Hukum Pidana disusun dan dibentuk dengan maksud untuk diberlakukan dalam
masyarakat agar dapat dipertahankan segala kepentingan hukum yang dilindungi dan
terjaminnya kedamaian dan ketertiban.Dalam hal diberlakukannya hukum pidana ini, dibatasi
oleh hal yang sangat penting,yaitu :

a. Batas waktu (diatur dlm buku pertama, Bab I pasal 1 KUHP)

b. Batas tempat dan orang (diatur dlm buku Pertama Bab I Pasal 2 – 9 KUHP)

HUKUM PIDANA Page 8


1.3 Fungsi Hukum Pidana

Fungsi hukum pidana di golongkan menjadi 2 yaitu:

1.     Fungsi secara umum


Hukum pidana adalah bagian dari hukum-hukum lain yang berlaku di suatu negara
maka fungsinya sama dengan fungsi hukum pada umumnya yaitu mengatur hidup
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.
2.       Fungsi secara khusus
Ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak
memperkosanya dengan suatu sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam dari pada
hukum lain atau sering disebut fungsi hukum pidana memberi aturan untuk melindungi.

1.4 Tujuan Hukum Pidana


Tujuan umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang atau perseorangan (hak
asai manusia) melindungi kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang
serasi dari suatu tindakan tercela/kejahatandi satu pihak dari tindak penguasa sewenang-
wenang dilain pihak.
Tujuan khususnya adalah pengayoman semua kepentinagn secara berimbang
berdasarkan pancasila dan UUD 1945.

Menurut para ahli tujuan hukum pidana adalah :

1. Memenuhi rasa keadilan (WIRJONO PRODJODIKORO)

2. Melindungi masyarakat (social defence) (TIRTA AMIDJAJA)

3. Melindungi kepentingan individu (HAM) dan kepentingan masyarakat dengan negara


( (KANTER DAN SIANTURI)

4. Menyelesaikan konflik (BARDA .N)

Tujuan Pidana (Menurut literatur Inggris R3D) :

1. Reformation, yaitu memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan
berguna bagi masyarakat.

2. Restraint, yaitu mengasingkan pelanggar dari masyarakat sehingga timbul rasa aman
masyarakat

3. Retribution, yaitu pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan

HUKUM PIDANA Page 9


4. Deterrence, yaitu menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual
maupun orang lain yang potensi menjadi penjahat akan jera atau takut untuk
melakukankejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

Adapun dikenal dua aliran mengenai tujuan hukum pidana, yaitu :

1. Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak
baik (aliran klasik);
2. Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi
baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya (aliran modern).
Alat hukum pidana adalah pemidana untuk mencapai tujuan hukum pidana ada teori
pemidanaan/teori klasik
1.       Teori absolut
2.       Teori relatif
3.       Teori gabungan (absolut + relatif )
Semua ini dalam rangkaian social defence (perlindungan masyarakat) untuk mencapai
kedamaian.
1.       Teori absolut (teori pembalasan)
Artinya negara memberi pidana kepada orang yang melakukan pidana karena sebagai
suatu pembalasan sehingga seseorang yang telah melakukan pidana wajib hukumnya untuk
dibalas dengan sanksi berupa pidana.
2.       Teori relatif
Negara pemerintah memberikan pidana memiliki tujuan yaitu:
a. Ditujukan kepada masyarakat umum apabila seseorang telah melakukan kejahatan maka
akan di beri sanksi pidana agar masyarakat umum tidak melakukannya.
b.  Diberikan kepada pelaku tindak pidana iyalah dalam rangka memberikan pendidikan untuk
mempersiapkan pelaku tersebut kembali ke masyarakat (resosialisasi).
c.   Apabila tidak di kemungkinkan untuk diberi pendidikan/diperbaiki maka akan di
lenyapkan.
3.       Teori gabungan (absolut + relatif)
Yalah tujuan pemerintah membrikan sanksi:
a. Untuk menghilangkan rasa bersalah sehingga terwujud suatu keseimbangan karena
berbuatannya telah diberikan sanksi.
b. Dalam rangka memberikan pendidikan untuk di kembalikan lagi kedalam kehidupan
bermasyarakat.

HUKUM PIDANA Page 10


1.5 Sumber-Sumber Hukum Pidana

Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber
hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :

1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).


2. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
3. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang
dibuat setelah kemerdekaan antara lain:
1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.

2. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.

3. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme. Dll

Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang


Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-
Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta dan sebagainya.

1.6 Asas-Asas Hukum Pidana

1. Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP). Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan
dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling
ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang
telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada
diri orang tersebut.

3. Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua
peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara
Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat

HUKUM PIDANA Page 11


terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing (pasal 2
KUHP).

4. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua
WNI yang melakukan tindak pidana di mana pun ia berada (pasal 5 KUHP).

5. Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua
tindak pidana yang merugikan kepentingan negara (pasal 4 KUHP).

1.7 Macam-Macam Pembagian Delik

Dalam hukum pidana dikenal macam-macam pembagian delik ke dalam:

1. Delik yang dilakukan dengan sengaja, misalnya, sengaja merampas jiwa orang lain
(Pasal 338 KUHP) dan delik yang disebabkan karena kurang hati-hati, misalnya,
karena kesalahannya telah menimbulkan matinya orang lain dalam lalu lintas di jalan.
(Pasal 359 KUHP).
2. Menjalankan hal-hal yang dilarang oleh Undang-undang, misalnya, melakukan
pencurian atau penipuan (Pasal 362 dan378 KUHP) dan tidak menjalankan hal-hal
yang seharusnya dilakukan menurut Undang-undang, misalnya tidak melapor adanya
komplotan yang merencanakan makar.

3. Kejahatan (Buku II KUHP), merupakan perbuatan yang sangat tercela, terlepas dari
ada atau tidaknya larangan dalam Undang-undang. Karena itu disebut juga sebagai
delik hukum.

4. pelanggaran (Buku III KUHP), merupakan perbuatan yang dianggap salah satu justru
karena adanya larangan dalam Undang-undang. Karena itu juga disebut delik Undang-
undang.

1.8 Macam-Macam Pidana

Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah
melanggar ketentuan-ketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP
ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut:

Hukuman-Hukuman Pokok

1. Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah
menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri

HUKUM PIDANA Page 12


hukuman mati ini kadang masih diberlakukan untuk beberapa hukuman walaupun
masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini.
2. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan ke dalam hukuman penjara
seumur hidup dan penjara sementara. Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun
dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman
dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan
terpidana tidak mempunyai Hak Vistol.

3. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan
dijatuhkan karena kejahatan-kejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum
dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman
kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak
dapat ditahan di luar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada
hukuman penjara dapat dipenjarakan di mana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan
kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus
dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol
(hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian.

4. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan
kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan.

5. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-alasan politik terhadap


orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara
oleh KUHP.

Hukuman Tambahan Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri


melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan tersebut antara lain:

1. Pencabutan hak-hak tertentu.

2. Penyitaan barang-barang tertentu.

3. Pengumuman keputusan hakim.

HUKUM PIDANA Page 13


Sejarah
Hukum Pidana

HUKUM PIDANA Page 14


2.1 SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Masa Kerajaan Nusantara

Pada masa kerajaan Nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat
aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab
hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas
ibi iussangatlah tepat. Karena di manapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan
kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan
hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip
kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur
tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.

Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah
berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai
dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti
Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan
kitab Adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi
perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.

Hukum pidana pada periode ini banyak dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan
masyarakat. Agama mempunyai peranan dalam pembentukan hukum pidana di masa itu.
Pidana potong tangan yang merupakan penyerapan dari konsep pidana Islam serta konsep
pembuktian yang harus lebih dari tiga orang menjadi bukti bahwa ajaran agam Islam
mempengaruhi praktik hukum pidana tradisional pada masa itu.

B. Masa Sebelum Penjajahan Belanda

Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun
1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum
pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di
wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara
hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata
yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang
kemudian berkembang di Indonesia.

Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat


ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi
satu. Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh
mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat

HUKUM PIDANA Page 15


tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana
ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan
hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, dibeberapa wilayah adat di Nusantara,
hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca
oleh khalayakumum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi
hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan
Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.

C. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda

1. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun1602-1799

Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke
wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang
Belanda yang diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.Hak
keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran
dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan
di Nusantara, dan mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa
VOC memperluas daerah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk
memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-aturan yang dibawanya dari Eropa untuk
ditaati orang-orang pribumi. Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk
plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan,
plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui
peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian
menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu.
Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Batavia) yang
dibuat pada tahun 1642.

Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia
Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang
asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain.
Walaupun statute tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut
sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis. Dalam perkembangannya,
salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk
memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.

HUKUM PIDANA Page 16


Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal,
antara lain) sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai
berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi. Untuk
mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan
untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah
Elout, Buyskes, dan Vandr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang
berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu
terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka
Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang
sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).

Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak
memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-
undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke
Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van
Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk
Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Wetboek van Koopenhandel
(WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.

2. Masa Regering Reglement (1855-1926)

Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistempemerintahan di


negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini
terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda.
Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, Karena parlemen
(Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan di
wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat
(1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan
dan harta kerajaan dibagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan
melalui undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain
yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur
dengan undang-undang”.

Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap
daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-peraturan yang menata daerah jajahan tidak
semata-mata ditetapkan raja dengan Konin klijk Besluit, namun harus melalui mekanisme
perundang-undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan
HUKUM PIDANA Page 17
parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR
ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855.
Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya
Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:

 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.

 Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana


Eropa.

 Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum                  


Pidana  Pribumi  yang diundangkan dengan Staatblad No. 85 Tahun 1872.

 Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.

 Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum


Pidana  Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan
mulai  berlaku 1 Januari 1918.

3. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)

Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement(RR) yang


mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun
1925. Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal
dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet
tahun1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda.Berdasarkan
Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-
undang. Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya
dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk
Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda
(Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh
penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas
pemberlakua nhukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.

4. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)

Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang
berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala
tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei. Pertama kali, pemerintahan militer Jepang

HUKUM PIDANA Page 18


mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-
undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak
bertentangan dengan pemerintahan militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa
hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap
menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische
Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan
penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-
golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling. Untuk melengkapi
hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia
mengeluarkan Gun Seirei.

Nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor
14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun
1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei
Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda. Pada masa ini,
Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi
menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah
Indonesia timur dibawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar,
dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan
di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di
masing-masing wilayah.

D. Masa Setelah Kemerdekaan

Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17


Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana dalam sejarah tata hukum Indonesia
yang didasarkan pada berlakunya empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca
kemeredekaan dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan
konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga masa Indonesia
menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan keempat masa Indonesia kembali
kepada UUD 1945, Tahun 1945-1949. Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai
negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang
bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak
sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya,
mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam

HUKUM PIDANA Page 19


penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18Agustus 1945. Konstitusi itu
adalah Undang Undang Dasar 1945. Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal
pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal
yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata
hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih
lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. 

Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacum) karena hukum
nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan
Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini. Ketentuan ini menjelaskan
bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-
peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu
adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di
Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara. Hal ini juga berarti funding fathers
bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata
hukum kolonial menjadi tata hukum nasional. Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali
mengeluarkan kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945
yang terdiri dari dua pasal, yaitu:

Pasal 1

“Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya


negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar, masih tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
dengan Undang Undang Dasar tersebut”.

Pasal 2

“Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945. Sekilas ini Penpres ini hampir
sama dengan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas
dinyatakan tanggal pembatasan yaitu 17 Agustus 1945”.

Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial sebagai hukum
pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut secara tegas menyatakan :”Dengan menyimpang
seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2
menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret1942. Dengan titik tonggak

HUKUM PIDANA Page 20


waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua
peraturan hukum pidanayang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang
dikeluarkan oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah tanggal 8
Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-undang tersebut juga dinyatakan
bahwa semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara
Hindia Belanda dicabut. Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942
panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningenvan hetmiliter
gezag. Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah sebagai berikut.Semua
peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda
dulu (Verordeningen van het militergezag) dicabut.

Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU Nomor 1 Tahun


1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum menjawab persoalan. Kenyataan ini
disebabkan karena perjuangan fisik bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai.
Secara de jure memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka,
namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih saja berkelanjutan. Melalui
aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda maupun negara-negara boneka yang berhasil
dibentuknya, Belanda sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di
Indonesia.Bahkan pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan
pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht (Ketentuan-
ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum Pidana) dengan Staatblad Nomor
135 Tahun 1945 yang mulai berlaku tanggal 7 Oktober 1945. 

Ketentuan ini antara lain mengatur tentang diperberatnya ancaman pidana untuk
tindak pidana yang menyangkut  kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka,
namun hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan. Wetboek van
Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana telah diberlakukan di
Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur
KUHP dihitung sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah
berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat dianggap telah usang dan sangat
tua, walaupun Indonesia sendiri telah beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun
demikian,perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP tersebut. KUHP
Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami perkembangan.

Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang menurut UU
Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal ini menandakan bahwa wujud asli
KUHP adalah berbahasa Belanda.

HUKUM PIDANA Page 21


KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan dari bahasa Belanda
oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto
Surodibroto, R. Susilo,dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi
terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu,
sangat mungkin dalam setiap terjemahan memiliki redaksi yang berbeda-beda.

KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda dengan jiwa
bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda ini berasal dari sistem hukum
kontinental (Civil Law System) atau menurut Rene David disebut dengan the Romano-
Germanic Family. The Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang
menonjolkan aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and individual
right)

Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-
nilai sosial. Jika kemudian KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan
kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan kejahatan-kejahatan baru.
Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar dalam hukum pidana, yaitu pidana, tindak
pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka masalah-masalah dalam KUHP antara lain: 

a. Pidana KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan bagi hakim atau
penegak hukum yang lain, sehingga arah pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola
yang sama. Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak  dimungkinkannya
modifikasi pidana yang didasarkan pada perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem
pemidanaan dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak member keleluasaan bagi hakim
untuk memilih pidana yang tepat untuk pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai
jenis-jenis pidana, pelaksanaan pidana-pidana mati, pidana denda, pidana penjara, dan
pidana bagi anak.

b. Tindak pidana dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP bersifat
positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-undang (asas legalitas formil).
Dengan demikian, KUHP tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-
tengah masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan.Disamping itu, KUHP
menganut pada Daadstrafrecht yaitu hukum pidana yang berorientasi pada perbuatan.
Aliran ini pada sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari aspek
perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).

KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan pelanggaran yang sekarang
telah ditinggalkan. Tindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money laundering,

HUKUM PIDANA Page 22


cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa perbuatan yang menurut hukum adat
dianggap sebagai tindak pidana belum tercover di dalam KUHP. 

Oleh karena itu, secara sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak
sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

c. Pertanggungjawaban pidana beberapa masalah yang muncul dalam aspek


pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas kesalahan (culpabilitas) yang
tidak dicantumkan secara tegas dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie
van Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.

Asas culpabilitas merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan dalam
Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat dipidana karena secara obyektif memang
telah melakukan tindak pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif
terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan asas culpabilitas). Masalah
lainnya adalah masalah yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam
KUHP (Pasal 45-47) adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun. Pasal-pasal tersebut
tidak mengatur secara rinci tentang aturan pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya
menyebutkan beberapa alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah
anak di bawah umur 16 tahun. Selain itu, KUHP tidak menyebutkan pertanggungjawaban
pidana korporasi. Pada dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan
korporasi seperti pencemaran lingkungan.

Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya Kitab Undang-


Undang Hukum Pidana Indonesia dapat diilustrasikan dalam bagan berikut :

Tahun Peristiwa Selisih waktu

1810 CodePenal diberlakukan di Prancis 1 tahun

1811 CodePenal diberlakukandi Belanda 56 tahun

1867 Wetboek van Strafrecht voor Europeanen berlaku 6 tahun


di Hindia-Belanda

1873 Wetboek van Strafrecht voorInlander berlaku di 8 tahun


Hindia-Belanda

1881 Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda 5 tahun

1886 Wetboek van Strafrecht diberlakukan di Belanda 29 tahun

1915 Wetboekvan Strafrecht Nedherlands 3 tahun

HUKUM PIDANA Page 23


Indie disahkan untuk Hindia Belanda

1918 Wetboek van Strafrecht Nedherlands 28 tahun


Indie deberlakukan di Hindia Belanda

1946 Wetboek van Strafrecht Nedherlands


Indie disebut sebagai KUHP Indonesia

Total                 selisih

Waktu           136 tahun

DAFTAR PUSTAKA

HUKUM PIDANA Page 24


Prasetyo, Teguh. 2013. Hukum Pidana. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada

http://rolifhumj.blogspot.com/ 7 Maret 2015 12:30

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum 7 Maret 2015 12:45

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_pidana 7 Maret 2015 13:05

http://rolifhumj.blogspot.com/2013/04/sejarah-hukum-pidana-di-indonesia.html 7 Maret 2015


13:10

http://wardahcheche.blogspot.com/2014/11/sejarah-hukum-pidana.html 6 Maret 2015 19:00

http://andruhk.blogspot.com/2012/07/asas-asas-hukum-pidana.html 6 Maret 2015 18:45

http://fhunram.blogspot.com/2013/05/fungsi-dan-tujuan-hukum-pidana.html 9 Maret 2015 15:11

https://masalahukum.wordpress.com/2013/08/29/hakekat-sifat-tujuan-dan-fungsi-hukum-
pidana/ 15:29

HUKUM PIDANA Page 25

Anda mungkin juga menyukai