Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik.
Hukum Pidana di Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda. KUHP
merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia, dimana asas-
asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di
luar KUHP.
Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mengamanatkan
asas setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini
tidak terbukti dengan adanya ketidakseimbangan antara perlindungan hukum antara
perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan karena masih sedikitnya hak-
hak korban kejahatan diatur pada perundang-undangan nasional.
Segala aktivitas manusia dalam segala aspek kehidupan sosial, politik, dan
ekonomi dapat menjadi sebab terjadinya kejahatan. Kejahatan akan selalu hadir dalam
kehidupan ataupun lingkungan sekitar, sehingga diperlukan upaya untuk
menanganinya. Dengan upaya penanggulangan kejahatan, diharapkan dapat menekan
baik dari kualitas maupun kuantitasnya hingga pada titik yang paling rendah sesuai
dengan keadaannya.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dari makalah ini adalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan hukum pidana
1.2.2 Tujuan dari hukum pidana
1.2.3 Keistimewaan sanksi hukum pidana
1.2.4 Pengaturan hukum pidana
1.2.5 Sumber hukum pidana
1.2.6 Asas-asas hukum pidana
1.2.7 Macam-macam Delik
1.2.8 Percobaan melalukan kejahatan dan pelanggaran
1.2.9 Penjelasan tentang apa itu Delneming, Semenloop, dan Residive

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita sebagai mahasiswa
mengetahui sistem yang ada dalam hukum pidana.

1.4 Manfaat Penulisan


Manfaat hukum pidana yaitu, untuk melindungi suatu kepentingan hukum
terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar denga suatu sanski atau hukuman
berupa pidana yang telah ditetapkan UU dan yang sifatnya lebih tajam daripada

1
hukum-hukum lainnya atau untuk memberika aturan-aturan untuk melindungi pihak
yang telah dirugikan.

BAB II
2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Pidana


Dalam literatur telah banyak dijelaskan pengertian dan makna hukum pidana sebagai
salah satu bidang dalam ilmu hukum. Pendefinisian Hukum pidana harus dimaknai sesuai
dengan sudut pandang yang menjadi acuannya. Pada prinsipnya secara umum ada dua
pengertian tentang hukum pidana, yaitu disebut dengan ius poenale dan ius puniend. Ius
poenale merupakan pengertian hukum pidana objektif. hukum pidana ini dalam pengertian
menurut Mezger adalah "aturan-aturan hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan
tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.". Pada bagian
lain Simons merumuskan hukum pidana objektif sebagai “Semua tindakan-tindakan
keharusan (gebod) dan larangan (verbod) yang dibuat oleh negara atau penguasa umum
lainnya, yang kepada pelanggar ketentuan tersebut diancam derita khusus, yaitu pidana,
demikian juga peraturan-peraturan yang menentukan syarat bagi akibat hukum itu. Selain itu
Pompe merumuskan hukum pidana objektif sebagai semua aturan hukum yang menentukan
terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang
bersesuainya.

Sebagai bahan perbandingan perlu kiranya dikemukakan pandangan pakar hukum


pidana Indonesia tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana (objektif). Moeljatno
memberikan makna hukum pidana sebagai bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku
di suatu negara, yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk :
a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Perumusan Moeljatno mengindikasikan bahwa hukum pidana merupakan seperangkat
aturan yang mengatur tentang 3 unsur yakni aturan tentang tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana dan proses verbal penegakan hukum jika terjadi tindak pidana.
Unsur ini menunjukkan keterkaitan antara hukum pidana materil dan hukum pidana formil,
yang bermakna bahwa pelanggaran terhadap hukum pidana materil tidak akan ada artinya
tanpa ditegakkannya hokum pidana formil (hukum acara pidana). Demikian pula sebaliknya
hukum pidana formil tidak dapat berfungsi tanpa ada pelanggaran norma hukum pidana
materil (tindak pidana). Andi Zainal Abidin Farid mengemukakan istilah hukum pidana
bermakna jamak yang meliputi :
a) Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah
ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang berwenang;
peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang;
3
b) Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat
diadakan reaksi terhadap pelanggaran-peraturan-peraturan itu; dengan kata
lain hukum penitensier atau hukum sanksi.
c) Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-
peraturan itu pada waktu dan wilayah negara tertentu. Sementara itu ius
puniendi, atau pengertian hukum pidana subjektif menurut Sudarto memiliki
dua pengertian yaitu :
 Pengertian luas, yaitu hubungan dengan hak negara / alat-alat
perlengkapannya untuk mengenakan atau menentukan ancaman pidana
terhadap suatu perbuatan.
 Pengertian sempit, yaitu hak negara untuk menuntut perkara-perkara
pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang
melakukan tindak pidana. Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut di atas
merupakan kewenangan dari lembaga legislatif untuk merumuskan
perbuatan pidana sekaligus ancaman pidananya, untuk selanjutnya
tugas dan fungsi memeriksa dan menurut suatu perkara pidana ada
dalam kewenangan lembaga yudikatif.

2.2 Tujuan Hukum Pidana


Tujuan hukum pidana ialah mengatur masyarakat sedemikian rupa sehingga hak dan
kepentingan masyarakat itu terlidungi. Dengan menjatuhkan sanksi pada orang-orang atau
badan yang perbuatannya membahayakan kepentingan orang lain atau masyarakat, hukum
pidana dapat menjaga ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Apabila masyarakat
tertib dan teratur, maka segala aktivitas kehidupan masyarakat menjadi tenteram dan aman.
Apabila masyarakat aman dan tenteram, masyarakat bisa bekerja dengan tenang sehingga
dapat tercapainya tujuan hukum dan tujuan negara yakni menjadikan masyarakat yang adil
dan maknur. Hukum pidana adalah hukum bersanksi. Sifat hukum pidana yang istimewa
bukan hanya norma-normanya, melainkan juga hukuman (sanksi pidana) nya.
Hukuman pidana bersifat “siksaan atau penderitaan” yang dijatuhkan terhadap orang
atau badan karena melakukan tindak pelanggaran atau kejahatan yang ditentukan oleh
undang-undang pidana (hukum pidana). Tujuan hukum pidana menjatuhkan sanksi ”pidana”
terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan pidana dan melanggar undang-undang hukum
pidana adalah sebagai “ultimum remedium” (obat terakhir) dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan umum atau kepentingan masayarakat..
Yang dimaksud dengan “kepentingan hukum atau hak hukum” yang harus dilindungi oleh
undang-undang yaitu:
a. Jiwa/nyawa seseorang
b. Badan seseorang (fisik)
c. Kehormatan seseorang
d. Kesusilaan seseorang
e. Kemerdekaan seseorang (agama, kepercayaan, dan politik)
f. Harta benda seseorang

4
Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur macam-macam
hukuman (pidana), yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Macam-macam hukuman pokok yaitu:
a. hukuman mati :
b. hukuman penjara :
c. hukuman tutupan :
d. hukuman denda :

Yang termasuk hukuman tambahan yaitu:


a. pencabutan hak-hak tertentu
b. perampasan bang-barang tertentu
c. pemgumuman keputusan hakim

2.3 Keistimewaan Sanksi Hukum Pidana


Sebagaimana diketahui maksud dan tujuan tiap-tiap macam-macam hukum ialah
untuk melindungi kepentingan orang-orang dalam masyarakat di dalam lingkungan sesuatu
negara. Tetapi apabila hukum pidana itu dilaksanakan, maka itu berarti bahwa kepribadian
seseorang yang dikenakan hukuman tadi telah dilanggar; misalnya orang dijatuhi hukuman
mati, di denda, dipenjara, berarti hak-haknya sebagai warga negara dirampas oleh negara.
Jadi, jika hukum pidana dilaksanakan, hasilnya malah sebaliknya daripada maksud dan tujuan
hukum pada umumnya. Inilah keistimewaan hukum pidana saja, di satu sisi bertujuan
melindungi kepentingan umum (masyarakat), dilain sisi merampas hak/kepentingan orang
yang melanggarnya. Oleh karena itu, maka hukum pidana diumpamakan sebagai sebuah
“pedang yang bermata dua” yang dapat menusuk diri sendiri (pemegangnya).

2.4 Pengaturan Hukum Pidana


Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang


dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah
diancamkan.
5
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur
tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut
diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Dengan demikian hukum pidana
bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melaikan sudah terletak pada norma lain dan
sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya
norma agama dan kesusilaan.

2.5 Sumber Hukum Pidana


Secara umum hukum pidana dapat ditemukan dalam beberapa sumber hukum yakni :
1). KUHP (Wet Boek van Strafrecht) sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia terdiri
atas :
(a). Tiga Buku KUHP, yaitu Buku I Baguan Umum, Buku II tentang Kejahatan, Buku
III tentang Pelanggaran.
(b). Memorie van Toelichting (MvT) atau penjelasan terhadap KUHP.

Penjelasan ini tidak seperti penjelasan dalam perundang-undangan Indonesia.


Penjelasan ini disampaikan bersama rancangan KUHP pada tweede kamer (parlemen
Belanda) pada tahun 1881 dan diundangkan tahun 1886.
KUHP sendiripun telah mengalami banyak perubahan maupun pengurangan. Dengan
demikian undang-undang yang mengubah KUHP jugs merupakan sumber hukum pidana
Indonesia.

2). Undang-undang diluar KUHP yang berupa tindak pidana khusus, seperti UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
UU Narkotika, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

3) Beberapa yurisprudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum tentang istilah dalam
hukum pidana, misalnya perbuatan apa saja yang dimaksud dengan penganiayaan
sebagaimana dirumuskan Pasal 351 KUHP yang dalam perumusan pasalnya hanya menyebut
kualifikasi (sebutan tindak pidananya) tanpa menguraikan unsur tindak pidananya. Dalam
salah satu yurisprudensi dijelaskan bahwa terjadi penganiayaan dalam hal terdapat perbuatan
kesengajaan yang menimbulkan perasaan tidak enak, rasa sakit dan luka pada orang lain.
Selain itu Pasal 351 ayat (4) KUHP menyebutkan bahwa penganiayaan disamakan dengan
sengaja merusak kesehatan orang lain. Yurisprudensi Nomor Y.I.II/1972 mengandung kaidah
hukum tentang hilangnya sifat melawan hukum perbuatan yakni bahwa suatu tindakan pada
umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan asas-asas
keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3

6
faktor yakni, negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, terdakwa tidak mendapat
untung.

4) Di daerah-daerah perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang dan tercela menurut


pandangan masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP. Hukum adat (hukum pidana adat)
masih tetap berlaku sebagai hukum yang hidup (The living law). Keberadaan hukum adat ini
masih diakui berdasarkan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 Pasal 5 Ayat (3) Sub b. Seperti
misalnya delik adat Bali Lokika Sanggraha sebagaima dirumuskan dalam Kitab Adi Agama
Pasal 359 adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama
belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka
karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si
pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa
alasan yang sah. Delik ini hingga kini masih sering diajukan ke pengadilan. Delik adat
Malaweng luse (Bugis)/Salimara’ (Makassar) adalah hubungan kelamin antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan dimana yang satu terhadap yang lainnya terlarang untuk
mengadakan perkawinan baik larangan menurut hukum islam atau hukum adat berhubung
karena hubungan yang terlalu dekat.

2.6 Asas-Asas Hukum Pidana


Asas hukum pidana dalam KUHP Indonesia itu antara lain asas “legalitas” dengan semboyan
yang berbunyi “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” yang artinya, tidak
ada tindak pidana tidak ada hukuman, kecuali ada undang-undangnya lebih dahulu.Atau
dengan kalimat lain, bahwa perbuatan pidana tidak dapat dihukum, bilamana tidak ada
undang-undang yang mengaturnya lebih dahulu. Adagium tersebut tercantum dalam pasal 1
ayat (1) KUHP yang menyatakan:
“Tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam
undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu” (Geen feit is
strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling) terjemahan
bebas “ tidak ada perbuatan pidana, apabila tidak diatur lebih dahulu dalam undang-undang”.
Ketentuan di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP itu dikenal sebagai “asas legalitas” yang
mempunyai dua makna yakni :
1) untuk kepastian hukum, bahwa undang-undang hanya berlaku untuk kedepan
dan tidak berlaku surut (asas non retroactive);
2) untuk kepastian hukum, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari undang-
undang ( ketentuan hukum umum/lex generalis).
Ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP di atas dikecualikan di dalam yang tersebut dalam
pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbuyi:
“Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah waktu dilakukan perbuatan itu, maka
dipakailah ketentuan yang lebih meringankan bagi tersangka”.
Pasal 1 ayat (2) KUHP ini merupakan ketentuan khusus yang menyampingkan pasal 1 ayat
(1) KUHP sebagai ketentuan umum. Dikenal dengan asas lex specialis derogat lex generalis.
7
2.7 Macam-Macam Delik
Delik dapat dibagi dalam beberapa macam, yaitu:
1) Menurut cara penuntutannya.
a) Delik aduan (klacht delict) yaitu suatu delik yang diadili, apabila yang
berkepentingan (yang dirugikan) mengadunya kepada polisi/penyidik. Bila tidak
ada pengaduan maka penyidik tidak akan mengadakan penyidikan dan
membuatkan Berita Acara Pemeriksaan.
b) Delik biasa, yaitu perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang tidak memerlukan
pengaduan, melainkan laporan.

2) Menurut jumlah perbuatan pidananya.


a) Delik Tunggal (enkelvoudig delicten) yaitu delik yang terdiri dari satu perbuatan
saja.
b) Delik berangkai (samengestelde delicten) adalah perbuatan yang terdiri dari
beberapa delik.

3) Menurut tindakan atau akibatnya.


a) Delik material, yaitu suatu delik yang dilarang oleh undang-undang ialah
“akibatnya”, misalnya dalam pembunuhan pasal 338 KUHP. Dalam pasal
tersebut tidak dinyatakan perbuatan apa yang dilakukan, tetapi hanya akibatnya
(matinya orang lain) yang dilarang.
b) Delik formal, kejahatan itu selesai, kalau “perbuatan” sebagaimana dirumuskan
dalam peraturan pidana itu telah dilakukan. Contoh: kasus pencurian pasal 363
KUHP. Dalam pasal ini dilarang “mengambil barang orang lain” dengan tidak sah
atau tanpa hak. Perbuatannya ialah “mengambil”. Dengan selesainya perbuatan
itu terjadilah kejahatan pencurian.

4) Menurut ada tidaknya perbuatan.


a) Delik Komisi (commissiedelicten/delicta commissionis) ialah delik yang
dilakukan dengan perbuatan.Di sini seseorang melakukan perbuatan aktif dengan
melanggar larangan. Delik ini dapat berwujud delik material maupun formal.
b) Delik Omisi (ommissiedelicten/delicta ommissie) ialah dilakukan dengan
membiarkan atau mengabaikan yang seharusnya dilakukan (perintah).Delik ini
perbuatannya pasif (diam).

5) Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige en voorgezette
delicten), dapat dibaca tentang uraian gabungan delik atau perbarengan (samenloop)
dan pasal 63 s/d. 70 KUHP.

6) Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten). Delik selesai
(aflopende delicten) adalah delik terjadi dengan melakukan satu atau beberapa
perbuatan saja. Delik berlanjut (voortdurende delicten) atau delik yang berlangsung
terus adalah delik yang terjadi karena meneruskan suatu perbuatan yang dilarang,

8
contoh: merampas kemerdekaan seseorang terus menerus/menyekap (pasal 333
KUHP), menjadi mucikari (pasal 506).

7) Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (Doleuse en culpose delicten).Delik
Sengaja (doleuse delicten) adalah terjadinya perbuatan pidana karena dilakukan
dengan sengaja. Delik kelalaian (culpose delicten) adalah terjadinya perbuatan pidana
karena kelalaian (culpa).

8) Delik propria dan delik komun atau umum (delicta propria en commune delicten).
Delicta Propria (Propria delicten) adalah perbuatan pidana yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu, misalnya delik
jabatan, delik korupsi, delik militer. Delicta commune (commune delicten) adalah
perbuatan pidana dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.

2.8 Percobaan Melakukan Kejahatan dan Pelanggaran


Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita telah membuat "percobaan untuk
melakukan kejahatan" atau "poging tot misdrijf" itu sebagai suatu perbuatan yang
terlarang dan telah mengancam pelakunya dengan suatu hukuman. Perihal percobaan
kejahatan merupakan ketentuan umum hukum pidana, yang dimuat dalam Buku 1 Bab IV
terdiri dua pasal, 53 dan 54, dalam hal ini berbeda dengan pengulangan (residive) yang tidak
mengenal ketentuan umum yang dimuat dalam Buku I. Pasal 53 merumuskan:
1. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu,
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
2. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi
sepertiga.
3. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
4. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.
Pasal 54 merumuskan: "Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana" Telah
dikemukakan sebelumnya bahwa apa yang dirumuskan pada pasal 53 (1) bukanlah
definisi atau arti yuridis dari percobaan kejahatan, tetapi rumusan yang memuat tentang
syarat-syarat kapankah melakukan percobaan kejahatan dapat dipidana, syarat-syarat itu
ialah:
1. Adanya niat (voornemen);
Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat disini diartikan sama dengan kesengajaan
( opzettelijk ). Tetapi sebaliknya dalam hal kesengajaan yang mana, disini telah
menimbulkan perbedaan pandangan, walaupun pada umumnya para pakar hukum
berpendapat luas, ialah terhadap semua bentuk kesengajaan. Demikian juga dalam
praktik hukum mengikuti pandangan sebagian besar para pakar hukum dengan
menganut pendapat yang luas. Pendapat sempit telah dianut oleh VOS yang
memberikan arti niat disini sebagai kesengajaan sebagai tujuan saja. Di Indonesia
9
ialah Moeljatno yang berpendapat bahwa niat tidak sama dengan kesengajaan.
Sebagaimana dalam doktrin hukum, menurut tingkatannya kesengajaan ( opzettleijk )
ada 3 macam, yaitu:
a. Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan ( opzet als oogmerk ), yang dapat juga
disebut kesengajaan dalam arti sempit;
b. Kesengajaan sebagai kepastian ( opzet bij zekerheids bewustzijn ) atau
kesadaran/keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari sebagai pasti
menimbulkan suatu akibat;
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan ( opzet bij mogelijkheids bewustzijn ) atau
suatu kesadaran/keinsyafan mengenai suatu perbuatan terhadap kemungkinan
timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan, disebut juga dengan dolus eventualis.

2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering);


Mengenai semata-mata niat, sejahat apa pun niat, tidaklah mempunyai arti apa-apa
dalam hukum pidana. Karena niat itu sendiri adalah suatu sikap batin yang belum ada
apa-apanya, murni masih di dalam batin seseorang,sikap batin mana boleh sembarang
apa yang dimaksudnya, tanpa dimintai pertanggung-jawaban, dan tanpa ada akibat
hukum apa pun. Barulah mempunyai arti menurut hukum pidana, apabila niat itu telah
diwujudkan dalam suatu tingkah laku tertentu, dan tingkah laku tertentu ini oleh pasal
53 ayat (1) dirumuskan sebagai permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering). Dalam
hal ini telah dimulai pelaksanaan suatu perbuatan yang dapat dipandang sebagai salah
satu unsur dari norma pidana. Misalnya: kehendak mencuri atau mengambil barang
milik orang lain mulai diwujudkan misalnya, telah memasuki rumah atau pencopet
telah memasukkan tangan ke kantong orang yang hendak dicopet.
3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Pada syarat kedua yang telah dibicarakan, ialah harus telah memulai pelaksanaan
(permulaan pelaksanaan). Seperti di atas telah diterangkan bahwa dari sudut proses,
permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering) adalah mendahului dari perbuatan
pelaksanaan (uitvoeringshandelingen), yang sesungguhnya perbuatan pelaksanaanlah
yang dapat menyelesaikan kejahatan, dan bukan permulaan pelaksanaan. Pasal 53
ayat (1) sendiri sesungguhnya membedakan antara permulaan pelaksanaan dengan
pelaksanaan. Tentang permulaan pelaksanaan terdapat dalam kalimat "jika niat itu
telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan" (begin van uitvoering). Sedangkan
pelaksanaan atau perbuatan pelaksanaan terdapat dalam kalimat selanjutnya yang
berbunyi: "dan tidak selesainya pelaksanaan (uitvoering) itu, bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya".

Undang-undang sendiri tidak menjelaskan secara sempurna perihal tiga syarat


tersebut. Pembentuk Undang-undang menyerahkannya pada praktik hukum. Oleh sebab itu
10
tidak heran kemudian tentang 3 syarat itu telah menimbulkan banyak pendapat, sebagaimana
nanti terlihat seperti yang akan diutarakan dibelakang. Dari pemuatan syarat-syarat
dipidananya percobaan kejahatan dalam pasal 53 ayat (1) tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi syarat-syarat tersebut pasal
53 ayat (1), dan secara a contrario ada pula percobaan kejahatan yang tidak dapat dipidana,
yakni jika salah satu syarat itu tidak dipenuhi, misalnya pada syarat ketiga: percobaan
kejahatan yang pelaksanaannya tidak selesai disebabkan karena kehendaknya sendiri atau
yang biasa disebut dengan pengunduran diri sukarela (vrijwilhge terugtred).
2. Disamping itu juga ada percobaan kejahatan yang secara tegas oleh Undang-undang
ditetapkan percobaannya tidak dipidana, contoh pada percobaan penganiayaan biasa (351
ayat 5), percobaan penganiayaan hewan (302 ayat 4), percobaan perang tanding (184 ayat 5).
3. Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (bahkan ditegaskan
dalam pasal 54);

4. Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus (kesengajaan),
dan tidak mungkin pada tindak pidana culpa (kealpaan). Karena istilah niat disini adalah
artinya kesengajaan, yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki.
Sedangkan culpa adalah sikap batin yang ceroboh—tidak berhati-hati atau tidak memiliki dan
menggunakan pemikiran yang cukup baik mengenai perbuatannya maupun akibatnya,
sehingga melahirkan suatu tindak pidana culpa.

5. Percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif (tindak pidana omisionis), sebab
tindak pidana omisionis unsur perbuatannya ialah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak
berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan pada percobaan kejahatan
harus ada permulaan pelaksanaan, yang in casu harus berbuat.

6. Juga ada beberapa kejahatan yang karena sifat kejahatan dalam rumusannya tidak mungkin
dapat terjadi percobaannya, ialah:
a) Karena percobaannya (yang in casu melakukan suatu perbuatan dimana niat telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pasal 53)
dirumuskan sebagai atau merupakan kejahatan selesai, yakni kejahatan-kejahatan
makar (104, 106, 107 juncto 87), yaitu:

 104: makar untuk maksud membunuh, merampas kemerdekaan, atau meniadakan


kemampuan Presiden atau Wakilnya memerintah;
 106: makar dengan maksud agar seluruh atau sebagian wilayah
Indonesia jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara;
 107: makar dengan maksud menggulingkan pemerintah;

b) Karena unsur perbuatan yang dilarang dari kejahatan pada dasarnya adalah berupa
percobaan, misalnya pasal 163 bis ayat (1); pasal 391.

11
2.9 Delneming, Samenloop dan Residive
 Delneming
Pengertian “turut serta” (ikut serta, bersama-sama) melakukan perbuatan pidana
(delict) dapat dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama. Turut serta (deelneming)
dari beberapa orang di dalam perbuatan pidana dapat merupakan kerja-sama, yang
masing-masing dapat berbeda-beda sifat dan bentuknya.
Dalam Pasal 55 KUHP yang dianggap pelaku itu ialah:
1. Orang yang melakukan (pleger)
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir delik.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)
Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh atau
pelaksana (pleger)
3. Orang yang turut melakukan (medepleger) “Turut melakukan” dalam arti kata
bersama-sama melakukan. Sedikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang
melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) perbuatan pidana
itu.
4. Orang yang membujuk melakukan (uitlokker) Orang dengan sengaja memberi
kesempatan/bantuan, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya
dengan sengaja membujuk melakukan suatu perbuatan pidana (uitlokking). Pasal 56
KUHP, disebut mereka yang “membantu” (medeplichtige) atau golongan “gehilfe”,
yang melakukan delik;
Ayat (1). Barangsiapa dengan sengaja membatu melakukan kejahatan.
Ayat (2). Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya, keterangan
untuk melakukan kejahatan.

 Samenloop

Dalam hal “turut serta” (deelneming) digambarkan, bahwa ada beberapa orang
melakukan satu peristiwa pidana. Sebaliknya, dalam “gabungan” (samenloop)
melakukan perbuatan pidana adalah menggambarkan bagaimana harus diselesaikan,
apabila ada satu orang melakukan beberapa perbuatan pidana.
Selain itu dikenal pengulangan perbuatan pidana atau “mengulangi” (recidive)
tindak pidana yang menggambarkan pula satu orang telah melakukan beberapa tindak
pidana, tetapi perbedaannya:
a. dalam “samenloop” beberapa perbuatan pidana yang dilakukan, yang satu dengan
yang lainnya belum pernah ada putusan hakim (vonis);
b. dalam “recidive” antara melakukan perbuatan pidana yang satu dengan yang lain
sudah ada putusan hakim (vonis).
Gabungan tindak pidana (samenloop atau concursus) ada tiga macam, antara lain:
1. Gabungan satu perbuatan (eendaadsche samenloop atau concursus idealis),
tercantum dalam pasal 63 KUHP;
12
2. Perbuatan yang diteruskan (voorgezette - handeling) tercantum dalam pasal 64
KUHP;
3. Gabungan beberapa perbuatan (meerdaadsche samenloop atau concursus realis)
tercantum dalam pasal 65 dan 66 KUHP.

 Residive

Recidive atau pengulangan perbuatan pidana adalah apabila seseorang telah


melakukan kejahatan atau pelanggaran dan telah dijatuhi hukuman (vonis) dan
hukuman itu telah dijalankan, kemudian ia melakukan lagi kejahatan lain.
Pembuat undang-undang memandang perlu untuk menghukum orang yang telah lebih
dari satu kali melakukan delik, yang biasanya disebut “penjahat kambuhan” atau
“recidivist” lebih berat daripada penjahat yang baru pertama kali berbuat kejahatan.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada 2 macam recidive:
1. Peraturan recidive umum (generale recidive), dimana tidak diperhatikan sifatnya
perbuatan pidana yang diulangi, artinya asal saja terdakwa kembali melakukan
perbuatan pidana dari macam apapun.
2. Peraturan recidive yang bersifat khusus, (speciale recidive), diatur khusus dalam
pasalnya sendiri-sendiri, dan umumnya mengenai pelanggaran-pelanggaran
(pasal-pasal 489 ayat (2); 492 ayat (2) KUHP dan lain-lain).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

13
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan
salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini
ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman
tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang
berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan
tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
3.2 Saran
Hukum di indonesia harus lebih di tegakkan agar permasalahan kasus-kasus hukum
pidana di indonesia bisa diatur lebih baik lagi dan yang melanggar hukum harus diberi
hukuman yang setimpal sesuai dengan Undang-undang.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Zainal Abidin Farid. 1995. Hukum Pidana I, Sinar Grafika : Jakarta
Ida Bagus Surya Dharma Jaya, Hukum Pidana Materil & Formil : Pengantar Hukum Pidana,
USAID-The Asia Foundation-Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015.
14
Gerson W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem Petehaem,
Jakarta, 1986.
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Djakarta, 1970.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1986.
BRM. Hanindyopoetro, dan Naroyono Artodibyo, Pelajaran Hukum Pidana 3 Hukum
Pidana II Bagian Penyertaan, Malang: Penerbit FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975,

Moeljatno, Hukum Pidana: Delik-Delik Percobaan – Delik-Delik Penyertaan , Jakarta:


PT Bina Aksara, 1985,

15

Anda mungkin juga menyukai