PENDAHULUAN
1
hukum-hukum lainnya atau untuk memberika aturan-aturan untuk melindungi pihak
yang telah dirugikan.
BAB II
2
PEMBAHASAN
4
Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur macam-macam
hukuman (pidana), yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Macam-macam hukuman pokok yaitu:
a. hukuman mati :
b. hukuman penjara :
c. hukuman tutupan :
d. hukuman denda :
2). Undang-undang diluar KUHP yang berupa tindak pidana khusus, seperti UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
UU Narkotika, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
3) Beberapa yurisprudensi yang memberikan makna atau kaidah hukum tentang istilah dalam
hukum pidana, misalnya perbuatan apa saja yang dimaksud dengan penganiayaan
sebagaimana dirumuskan Pasal 351 KUHP yang dalam perumusan pasalnya hanya menyebut
kualifikasi (sebutan tindak pidananya) tanpa menguraikan unsur tindak pidananya. Dalam
salah satu yurisprudensi dijelaskan bahwa terjadi penganiayaan dalam hal terdapat perbuatan
kesengajaan yang menimbulkan perasaan tidak enak, rasa sakit dan luka pada orang lain.
Selain itu Pasal 351 ayat (4) KUHP menyebutkan bahwa penganiayaan disamakan dengan
sengaja merusak kesehatan orang lain. Yurisprudensi Nomor Y.I.II/1972 mengandung kaidah
hukum tentang hilangnya sifat melawan hukum perbuatan yakni bahwa suatu tindakan pada
umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan asas-asas
keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3
6
faktor yakni, negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, terdakwa tidak mendapat
untung.
5) Delik yang berdiri sendiri dan delik yang diteruskan (zelfstandige en voorgezette
delicten), dapat dibaca tentang uraian gabungan delik atau perbarengan (samenloop)
dan pasal 63 s/d. 70 KUHP.
6) Delik selesai dan delik berlanjut (aflopende en voortdurende delicten). Delik selesai
(aflopende delicten) adalah delik terjadi dengan melakukan satu atau beberapa
perbuatan saja. Delik berlanjut (voortdurende delicten) atau delik yang berlangsung
terus adalah delik yang terjadi karena meneruskan suatu perbuatan yang dilarang,
8
contoh: merampas kemerdekaan seseorang terus menerus/menyekap (pasal 333
KUHP), menjadi mucikari (pasal 506).
7) Delik sengaja dan delik kelalaian atau culpa (Doleuse en culpose delicten).Delik
Sengaja (doleuse delicten) adalah terjadinya perbuatan pidana karena dilakukan
dengan sengaja. Delik kelalaian (culpose delicten) adalah terjadinya perbuatan pidana
karena kelalaian (culpa).
8) Delik propria dan delik komun atau umum (delicta propria en commune delicten).
Delicta Propria (Propria delicten) adalah perbuatan pidana yang hanya dapat
dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu, misalnya delik
jabatan, delik korupsi, delik militer. Delicta commune (commune delicten) adalah
perbuatan pidana dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.
4. Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus (kesengajaan),
dan tidak mungkin pada tindak pidana culpa (kealpaan). Karena istilah niat disini adalah
artinya kesengajaan, yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki.
Sedangkan culpa adalah sikap batin yang ceroboh—tidak berhati-hati atau tidak memiliki dan
menggunakan pemikiran yang cukup baik mengenai perbuatannya maupun akibatnya,
sehingga melahirkan suatu tindak pidana culpa.
5. Percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif (tindak pidana omisionis), sebab
tindak pidana omisionis unsur perbuatannya ialah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak
berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan pada percobaan kejahatan
harus ada permulaan pelaksanaan, yang in casu harus berbuat.
6. Juga ada beberapa kejahatan yang karena sifat kejahatan dalam rumusannya tidak mungkin
dapat terjadi percobaannya, ialah:
a) Karena percobaannya (yang in casu melakukan suatu perbuatan dimana niat telah
ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pasal 53)
dirumuskan sebagai atau merupakan kejahatan selesai, yakni kejahatan-kejahatan
makar (104, 106, 107 juncto 87), yaitu:
b) Karena unsur perbuatan yang dilarang dari kejahatan pada dasarnya adalah berupa
percobaan, misalnya pasal 163 bis ayat (1); pasal 391.
11
2.9 Delneming, Samenloop dan Residive
Delneming
Pengertian “turut serta” (ikut serta, bersama-sama) melakukan perbuatan pidana
(delict) dapat dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama. Turut serta (deelneming)
dari beberapa orang di dalam perbuatan pidana dapat merupakan kerja-sama, yang
masing-masing dapat berbeda-beda sifat dan bentuknya.
Dalam Pasal 55 KUHP yang dianggap pelaku itu ialah:
1. Orang yang melakukan (pleger)
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir delik.
2. Orang yang menyuruh melakukan (doen pleger)
Disini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh (doen pleger) dan yang disuruh atau
pelaksana (pleger)
3. Orang yang turut melakukan (medepleger) “Turut melakukan” dalam arti kata
bersama-sama melakukan. Sedikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang
melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) perbuatan pidana
itu.
4. Orang yang membujuk melakukan (uitlokker) Orang dengan sengaja memberi
kesempatan/bantuan, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan dan sebagainya
dengan sengaja membujuk melakukan suatu perbuatan pidana (uitlokking). Pasal 56
KUHP, disebut mereka yang “membantu” (medeplichtige) atau golongan “gehilfe”,
yang melakukan delik;
Ayat (1). Barangsiapa dengan sengaja membatu melakukan kejahatan.
Ayat (2). Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya, keterangan
untuk melakukan kejahatan.
Samenloop
Dalam hal “turut serta” (deelneming) digambarkan, bahwa ada beberapa orang
melakukan satu peristiwa pidana. Sebaliknya, dalam “gabungan” (samenloop)
melakukan perbuatan pidana adalah menggambarkan bagaimana harus diselesaikan,
apabila ada satu orang melakukan beberapa perbuatan pidana.
Selain itu dikenal pengulangan perbuatan pidana atau “mengulangi” (recidive)
tindak pidana yang menggambarkan pula satu orang telah melakukan beberapa tindak
pidana, tetapi perbedaannya:
a. dalam “samenloop” beberapa perbuatan pidana yang dilakukan, yang satu dengan
yang lainnya belum pernah ada putusan hakim (vonis);
b. dalam “recidive” antara melakukan perbuatan pidana yang satu dengan yang lain
sudah ada putusan hakim (vonis).
Gabungan tindak pidana (samenloop atau concursus) ada tiga macam, antara lain:
1. Gabungan satu perbuatan (eendaadsche samenloop atau concursus idealis),
tercantum dalam pasal 63 KUHP;
12
2. Perbuatan yang diteruskan (voorgezette - handeling) tercantum dalam pasal 64
KUHP;
3. Gabungan beberapa perbuatan (meerdaadsche samenloop atau concursus realis)
tercantum dalam pasal 65 dan 66 KUHP.
Residive
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
13
Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan
salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini
ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman
tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang
berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan
tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
3.2 Saran
Hukum di indonesia harus lebih di tegakkan agar permasalahan kasus-kasus hukum
pidana di indonesia bisa diatur lebih baik lagi dan yang melanggar hukum harus diberi
hukuman yang setimpal sesuai dengan Undang-undang.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Zainal Abidin Farid. 1995. Hukum Pidana I, Sinar Grafika : Jakarta
Ida Bagus Surya Dharma Jaya, Hukum Pidana Materil & Formil : Pengantar Hukum Pidana,
USAID-The Asia Foundation-Kemitraan Partnership, Jakarta, 2015.
14
Gerson W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya, Alumni Ahaem Petehaem,
Jakarta, 1986.
W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Djakarta, 1970.
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1986.
BRM. Hanindyopoetro, dan Naroyono Artodibyo, Pelajaran Hukum Pidana 3 Hukum
Pidana II Bagian Penyertaan, Malang: Penerbit FHPM Universitas Brawijaya, Malang, 1975,
15