Nim: 1011419219
Kelas/semester: H/2
Soal 1. Jelaskan 5 pengrtian para ahli definisi, unsur, fungsi dan tujuan.
1. Van Hamel, Hukum pidana adalah semua dasar - dasar dan aturan - aturan yang
dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum yaitu
dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu
nestapa kepada yang melanggar larang - larangan tersebut.
2. Simon, Hukum pidana adalah kesemuanya perintah - perintah dan larangan -
larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa
( Pidana ) barangsiapa yang tidak menaati kesemuanya aturan - aturan yang
menentukan syarat - syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan -
aturan itu untuk mengadakan ( menjatuhi ) dan menjalankan pidana tersebut.
3. Wirjono Prodjodikoro, Hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai
pidana, pidana diartikan sebagai hal yang dipidanakan, yaitu oleh instansi yang
berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakan dan juga hal yang tidak sehari - hari dilimpahkan
4. Mesger, Hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu
perbuatan tertentu yang memenuhi syarat - syarat tertentu suatu akibat yang
berupa pidana.
5. J.M Van Bemmelen, Hukum pidana terdiri atas tindak pidana yang disebut
berturut - turut, dari peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan -
perbuatan itu sendiri dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan -
perbuatan itu.
Soal 3. Jelaskan apa yang di maksud berlakunya Hukum Pidana menurut waktu
dan tempat
A. Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempatnya (Locus Delicti)
Di dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) KUHP telah diatur mengenai berlakunya hukum
pidana Indonesia menurut waktu (kapan dilakukannya suatu tindak pidana), Oleh karena
itu selanjutnya yang perlu diketahui adalah dimana tempat berlakunya hukum pidana
Indonesia tersebut, sekaligus juga terkait dengan bagi siapa hukum pidana tersebut
diberlakukan. Pada dasarnya kekuatan berlakunya hukum pidana Indonesia menurut
tempat ini telah diatur dalam Pasal 2 s.d. Pasal 9 KUHP dimana di dalam pasal tersebut
dikelompokkan menjadi empat asas, yaitu Asas teritorial, Asas personal (nasional
aktif),Asas perlindungan (nasional pasif) dan Asas universal.
Asas teritorial ini mengajarkan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku di wilayah
negara itu sendiri. Asas tersebut merupakan asas pokok dan telah dianggap sebagai asas
yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan negara. Memang menjadi
keniscayaan dan logis jika suatu ketentuan hukum suatu negara berlaku di seluruh
wilayah negara itu. Di dalam asas teritorial, dianut oleh Indonesia dan telah disebutkan
di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 KUHP. Menurut Pasal 2, yang menjadi sebuah patokan
adalah wilayah dan tidak mempersoalkan siapa yang melakukan tindak pidana di
wilayah itu. Artinya, bahwa siapapun, baik orang Indonesia maupun orang asing, yang
melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia maka akan diberlakukan
hukum pidana Indonesia. Berdasarkan Konvensi Paris 13 Oktober 1919, wilayah
Indonesia meliputi tanah daratan, laut sampai 12 mil dan ruang udara di atasnya. Laut
sampai 12 mil diukur dari titik pantai dari pulau-pulau terluar. Jika berbatasan langsung
dengan Negara tetangga yang jaraknya kurang dari 24 mil, maka diambil titik tengah
sebagai batasnya. Yang disebut sebagai wilayah Indonesia adalah wilayah Negara
Indonesia sesuai dengan yang dimaksud pada waktu proklamasi kemerdekaan Indonesia
yang meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.Wilayah ini kemudian dikukuhkan
dengan UU No. 7 Tahun 1976 yang memasukkan Timor Timur sebagai bagian dari
wilayah Indonesia.
Dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 5 s.d. 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan
sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka
diberlakukan hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana
tersebut dianggap sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang
Indonesia itu berada. Karena dianggap membahayakan kepentingan negara Indonesia,
maka sejumlah pasal dalam Pasal 5 ayat (1) ke-1 tersebut tetap dapat diberlakukan
hukum pidana Indonesia.
Pasal 5 ayat (1) ke-2 menentukan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga
negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap
kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan di luar negeri tempat tindak pidana
dilakukan diancam dengan pidana. Angka ke-2 ini bertujuan agar orang Indonesia yang
melakukan tindak pidana kejahatan di luar negeri dan kemudian pulang ke Indonesia
sebelum diadili di luar negeri tidak bebas dari pemidanaan.
Asas perlindungan menentukan bahwa hukum pidana suatu negara berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika perbuatan tersebut melanggar
kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga diberlakukan di Indonesia,
sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang menyerang
kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia
maupun
Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4, 7, dan 8 KUHP, diperluas juga dengan UU
Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU Nomor 7 Drt Tahun 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang
dikelompokkan ke dalam asas perlindungan adalah:
1. Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Pasal 104, 106,107,
108, 110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).
2. Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerinta Indonesia :
Pada zaman Romawi kuno, suatu perbuatan dianggap tindak pidana dan jenis pidananya
ditentukan raja, tanpa adanya aturan yang jelas perbuatan mana yang dianggap tindak
pidana dan jenis pidana apa yang diterapkan. Hal ini dianggap kejam dan sangat
bergantung kepada pendapat pribadi raja. Oleh karena itu, pada saat memuncakknya
reaksi terhadap kekuasaan raja yang absolut, ide asas legalitas dicetuskan oleh
Montesqueau tahun 1748 (L’esprit des Lois) dan J.J.Rousseau tahun 1762 (Du Contract
Social) untuk menghindari tindakan sewenang-wenang raja/penguasa terhadap
rakyatnya. Asas ini pertama kali disebut dalam Pasal 8 Declaration des droits de
L’homme et du citoyen (1789), sebuah undang-undang yang keluar pada tahun
pecahnya Revolusi Perancis. Selanjutnya Napoelon Bonaparte memasukkan asas
legalitas dalam Pasal 4 Code Penal dan berlanjut pada Pasal 1 WvS Nederland 1881 dan
Pasal 1 WvSNI 1918.
Pasal 1 Ayat (1) KUHP mengatur asas legalitas tersebut sebagai berikut:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.
Anselm von Feuerbach dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Recht (1801)
merumuskan asas legalitas dengan “nullum delictum nulla poena siena praevia lege
poenali” (tidak ada tindak pidana, tidak ada pidana, tanpa undang-undang pidana yang
mendahului) yang berkaitan dengan teori paksaan psikis yang dicetuskannya.
Peraturan perundang - undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.
Konsekuensi aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retro aktif), dasar pikirannya:
Menurut asas legalitas formil di atas, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana kecuali telah ditentukan dengan aturan pidana. Hal ini menjadikan
masalah, jika menurut hukum adat/masyarakat adat ada sebuah perbuatan yang menurut
mereka kejahatan, namun menurut KUHP bukan kejahatan (dengan tidak dicantumkan
di dalam KUHP). Oleh karena itu dahulu Pasal 14 Ayat (2) UUDS 1950 telah
menyebutkan aturan ini, bahwa asas legalitas meliputi juga aturan hukum tidak tertulis.
Sedangkan di dalam KUHP hanya menggunakan kata-kata "perundang - undangan”
yang berarti bersifat asas legalitas formil (tertulis).
Dengan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, posisi hukum pidana adat/tidak tertulis tetap
diakui. Hal ini di dasarkan pada Pasal 5 Ayat (3) sub b Undang-undang No. 1 Drt. 1951.
Bahwa suatu perbuatan menurut hukum yang hidup harus dianggap suatu perbuatan
pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka
dianggap dengan hukuman yang tidak lebih tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus
rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak
diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan
oleh hakim dengan dasar kesalahan si terhukum.
Pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan -
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”
Dengan demikian, Indonesia yang mengakui hukum yang hidup yang tidak tertulis.
Artinya tidak menganut asas legalitas formil secara mutlak, namun juga berdasar asas
legalitas materiil, yaitu menurut hukum yang hidup/tidak tertulis/hukum adat. Artinya
suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup/adat dianggap sebagai tindak pidana,
walaupun tidak dicantumkan dalam undang-undang pidana, tetap dapat dianggap
sebagai tindak pidana. Asas ini berdasar pada Pasal 5 (3) sub b Undang-undang No. 1
Drt. 1951 dan Pasal 27 (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas.
Rancangan KUHP memperluas eksistensi hukum tak tertulis sebagai dasar patut
dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan itu tidak ada persamaannya atau tidak
diatur dalam perundang-undangan. Ini untuk mewujudkan asas keseimbangan antara
kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat dan antara kepastian hukum
dengan keadilan. Pasal 1 (3) Konsep KUHP menyebutkan: “Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) (tentang asas legalitas formil, pen.) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-
undangan.”
- Jika setelah putusan pemidanaan telah memperoleh kekuatan hukum tetap perbuatan
yang dilakukan atau yang tidak dilakukan tidak lagi merupakan tindak pidana menurut
peraturan perundang-undangan yang baru, maka narapidana dikeluarkan dari lembaga
pemasyarakatan.
- Jika setelah pitisan pemidanaan telah memperolejh kekuatan hukum tetap, perbuatan
yang dilakukan atau yang tidak dilakukan diancam dengan pidana yang lebih ringan
menurut peraturan perundang-undangan yang baru, maka putusan pemidanaan tersebut
disesuaikan dengan batas-batas pidana menurut peraturan perundang-undangan yang
baru.
Sedangkan Pelanggaran adalah yang termasuk wetsdecten, yaitu perbuatan yang oleh
masyarakat tidak dipandang sebagai perbuatan tercela yang pemubutanya harus
dipidana, tetapi oleh pembentuk undang-undang ditetapkan sebagai delik untuk
menjamin keamanan umum, memelihara dan mempertahankan ketertiban umum atau
untuk memajukan kesehatan umum. Pidana penjara hanya diperuntukkan bagi pembuat
kejahatan sedangkan untuk pelanggara hanya dikenal pidana kurungan.
Untuk pelanggaran tidak ada ketentuan harus adanya aduan sebagai syarat penuntutan,
sedangkan delik aduan yang merupakan kejahatanm mensyaratkan adanya pengaduan
dari pihak yang dirugikan. Misalnya dalam pasal 284, 332, 367, 376 KUHP.
1. Delik Formil dan Delik Materiil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu
perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan atau tidak
memerlukan timbulnya suatau akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian
tindak pidana, melaiinkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian
(pasal 362 KUHP) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan
mengambil. Contoh-contohnya: Delik formil: pencurian (362) Delik materiil: kejahatan
terhadap nyawa (338)
2. . Delik Communia dan Delik Propria
Pada umumnya, itu dibentuk untuk berlaku kepada semua orang. Akan tetapi, ada
perbuatan-perbuatan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
berkualitas tertentu saja. Delik Proporia sering menimbulkan kesulitan bilamana delik
dilakukan oleh pelaku peserta (medepleger) atau doen pleger (pembuat yang membuat
sehingga orang lain melakukan) tidak mempunyai kualitas seperti yang disyaratkan oleh
undang-undang. Misalnya : dapatkah seorang biasa yang turut serta melakukan delik
jabatan jabatan pasal 413 – 436 KUHP delik yang dilakukan oleh pegawai negeri
membuat sehingga seorang Pegawai Negeri (yang sakit jiwa) melakukan delik jabatan ?
(akan dipelajari dalam Hukum Pidana Lanjutan). Contoh-contoh dalam jenis delik ini,
Delik Communia: pembunuhan (338), penganiayaan (351, dll) Delik Propria: pegawai
negri (pada kejahatan jabatan), nakhoda (pada kejahatan pelayaran) dll.
Walaupun telah ada kodifikasi (KUHP), tetapi adanya tindak pidana diluar KHUP
merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari. Perbuatan-perbuatan tertentu
yang dinilai merugikan masyarakat dan patut diancam dengan pidana itu terus
berkembang, sesuai dengan perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan,
yang tidak cukup efektif dengan hanya menambahkannya pada kodifikasi (KUHP).
Tindak pidana diluar KUHP tersebar didalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang ada. Peraturan perundang-undangan itu berupa peraturan perundang-undangan
pidana. Contoh-contohnya: Delik umum: KUHP. Delik khusus: UU No. 31 th 1999
tentang tindak pidana korupsi, UU No. 5 th 1997 tentang psikotropika, dll.
4. Delik yang selesai seketika (afiopenden delicten) dan delik yang terus menerus
(yoordurende dalicten)
Delik yang selesai seketika terdiri atas perbuatan positif ataupun aktif ataupun
perbuatan pasif atau negative (pengabaian) yang selesai seketika itu juga, termasuk juga
perbuatan yang mewujudkan delikakibat. Contoh ialah pencurian, pembunuhan,
pembakaran. Dapat disimpulkan bahwa delik tersebut terdiri atas perbuatan (dan
mungkin juga akibat) yang selesain seketika setelah dilakukannya perbuatan.
Delik terus menerus ialah suatu perbuatan yang dilakukan untuk melangsungkan
keadaan yang dilarang. Pembunuhan menurut pasal 338 KUHP adalah delik yang
selesai seketika, tetapi delik tersebut pada pasal 333 (1) KUHP sebaliknya termasuk
delik terus menerus. Keadaan terus menerus yang dilarang disimpulkan dari kata
“meneruska penahanan” di dalam pasal 333 (1) KUHP, sedangkan perkataan menahan
bermakna suatu perbuatan yang dilakukan dan selesai seketika itu juga.
Misalnya : Tindak pidana yang diatur dalam pasal 333 KUHP yaitu tindak pidana
merampas kemerdekaan orang. Dalam tindak pidana ini, selama orang yang dirampas
kemerdekaannya itu belum dilepas ( misalnya disekap didalam kamar ), maka selam itu
pula tindak pidana itu masih berlangsung.
5. Delik tunggal atau delik sederhana (enkelvoudige delicten) dan delik majemuk
Delik Majemuk pada hakikatnya terdiri atas dua atau lebih delik yang dipersatukan atau
delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan,
misalnya delik kebiasaan tentang penadahan dalam pasal 481 KUHP (membuat
kebiasaan dengan sengaja membeli dan seterusnya… barang diperoleh karena
kejahatan), delik menurut Pasal 296 KUHP delik yang mensyaratkan adanya pekerjaan
tertentu sebagai sumber penghasilan utamanya, juga mengandung delik kebiasaan atau
delik majemuk yang dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul
dengan orang lain.
Kebiasannlah merupakan unsure konstitutif delik tersebut yang dapat disimpulkan dari
kenyataan bahwa terdakwa beberapa kali melakukan perbuatan yang dilarang.
Kemajemukan perbuatan-perbuatan melawan hukum bukanlah perbuatan yang secara
kebetulan beriringan, tetapi mempunyai hubungan tertentu satu sama lain ditinjau dari
sifat perbuatan-perbuatan itu (objektif), serta ditinjau dari secara subjektif menyangkut
arah kebijakan pembuat delik.
Delik Tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan. Artinya
delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan. Misalnya :
Pencurian, penipuan, pembunuhan dan lain sebagainya.
Delik Aduan adalah delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan
dari pihak yang terkena atau yang dirugikan / korban. Dengan demikian, apabila tidak
ada pengaduan, terhadap tindak pidana tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan.
Tindak pidana aduan dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu :
Delik dalam bentuk pokok atau delik biasa adalah bentuk tindak pidana yang paling
sederhana, tanpa adanya unsure yang bersifat memberatkan.
Delik yang dikualifikasikan yaitu delik dalam bentuk pokok yang ditambah dengan
adanya unsur pemberatan, sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat. Sebagai
contoh dapat dikemukakan sebagai berikut :
Delik dalam pasal 362 KUHP merupakan bentuk pokok dari pencurian, sedangkan delik
dalam pasal 363 KUHP dan 365 KUHP merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan dari
tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok (pasal 362 KUHP).
Delik dalam pasal 372 KUHP merupakan bentuk pokok dari penggelapan, sedangkan
delik dalam pasal 374 KUHP dan 375 KUHP merupakan bentuk kualifikasi/pemberatan
dari delik penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372 KUHP).
Untuk memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana perbedaan tindak pidana
dalam bentuk pokok dan tindak pidana yang dikualifikasikan, berikut akan kami berikan
contoh pasal-pasal yang mengatur hal pengertian dimaksud :
”Barang siapa mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak
enam puluh rupiah”.
Ketentuan pasal 362 KUHP diatas merupakan bentuk delik pencurian yang pokok, jadi
merupakan bentuk pencurian yang paling sederhana. delik pencurian dalam bentuk
pokok diatas apabila diikuti adanya unsur-unsur pemberat, maka akan berubah menjadi
delik pencurian yang dikualifikasikan pencurian dengan pemberatan.
Soal 5. Jelaskan bagaimana pemidanaan yang memberatkan dan menringankan
dalam hukum pidana
Keadaan Memberatkan (Aggravating Circumstances)
Secara umum, faktor pemberatan pidana dapat dibedakan menjadi :
1. Legal Aggravating Circumstances, yaitu faktor pemberatan pidana yang diatur dalam
undang-undang, terdiri dari:
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana yang dirumuskan sebagai unsur
tindak pidana; Sebagaimana pendapat Moeljatno, bahwa “keadaan tambahan
yang memberatkan pidana” merupakan salah satu unsur atau elemen perbuatan
pidana.
Pemberat pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan;
2. Judicial Aggravating Circumstances
Merupakan keadaan-keadaan memberatkan yang penilaiannya merupakan kewenangan
pengadilan. Sekalipun sama-sama sebagai faktor pemberatan pidana, keduanya harus
dibedakan, karena memiliki pengaruh yang berbeda dalam penjatuhan pidana. Legal
aggravating circumstances menentukan batas pemidanaannya, sementara judicial
aggravating circumstances menentukan bentuk dan tingkat pidana yang dijatuhkan..
Dikatakan sebagai qualifying circumstances karena dengan adanya unsur berupa
keadaan tambahan yang memberatkan pidana, maka suatu tindak pidana mempunyai
kualifikasi tersendiri seperti “pencurian dalam keadaan memberatkan” dan
“penganiayaan dalam keadaan memberatkan”, sementara keadaan memberatkan dalam
pengertian aggravating circumstances tidak mengakibatkan tindak pidana masuk dalam
kualifikasi tersendiri.
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana (qualifying circumstances) dalam
rumusan unsur tindak pidana, antara lain adalah:
Korupsi yang dilakukan saat negara dalam keadaan bahaya, pada waktu terjadi
bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada
waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Ayat (2) UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 20 Tahun
2001, merupakan pemberatan dari Pasal 2 Ayat (1) undang-undang tersebut,
karenanya diancam dengan pidana mati.
Pencurian yang dilakukan pada waktu ada kebakaran letusan banjir, gempa
bumi, gunung meletus, kapal karam, kecelakaan kereta api, huru-hara dan
sebagainya sebagaimana diatur dalam Pasal 363 Ayat (1) ke-2 KUHP
merupakan pemberatan dari Pasal 362 KUHP.
Putusan pengadilan tingkat pertama tersebut kemudian dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi DKI dalam Putusan No. 118/PID/2013/PT DKI yang kemudian menjatuhkan
pidana mati dengan pertimbangan bahwa pertimbangan keadaan meringankan pada
putusan PN tidak tepat dan tidak relevan dan PT DKI memberikan pertimbangan
keadaan memberatkan antara lain sebagai berikut:
Jumlah narkotika yang dikuasai dan akan diedarkan oleh para terdakwa dalam
jumlah besar (30 kilogram shabu-shabu dan 300.000 butir pil ekstasi).
Narkotika dalam jumlah besar tersebut telah berhasil diedarkan ke masyarakat;
Putusan PN Gunungsitoli No. 08/Pid.B/2013/PN GS yang menjatuhkan pidana mati
terhadap Terdakwa Yusman Telambanua karena terbukti melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana, memuat pertimbangan keadaan memberatkan sebagai
berikut:
Perbuatan terdakwa sadis, keji dan tidak berperikemanusiaan
Perbuatan terdakwa diikuti dengan perbuatan lain, mengambil uang korban,
membakar mayat korban dan memenggal kepala korban
Perbuatan terdakwa menimbulkan kesedihan mendalam pada keluarga korban.
Motivasi terdakwa menunjukan sikap atau karakter kurang dapat memberi
penghargaan terhadap kehidupan manusia;
Putusan PN Jakarta Barat No. 2267/Pid.Sus/2012/PN Jkt. Bar. yang menjatuhkan
pidana mati dan pidana denda terhadap Terdakwa Fredi Budiman als. Budi dalam
perkara narkotika, dengan pertimbangan keadaan memberatkan sebagai berikut:
Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang sedang giat
memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika.
Barang bukti narkotika sangat banyak (1.412.476 butir pil ekstasi).
Perbuatan terdakwa dilakukan berulang kali dan masih menjalani hukuman
dalam perkara narkotika sebelumnya.
Perbuatan terdakwa dilakukan dari dalam lembaga pemasyarakatan;
Putusan Mahkamah Agung RI No. 1036 K/Pid.Sus/2008 dengan Terdakwa Le Van
Huy, majelis hakim tingkat kasasi menyatakan putusan pengadilan tingkat banding
kurang pertimbangan hukum (onvoldoende gemotiveerd). Hal ini dikarenakan kurang
mempertimbangkan keadaan yang memberatkan, yaitu digunakannya jenis alat
penangkap ikan yang dapat merusak ekosistem perairan Indonesia, sehingga Mahkamah
Agung memperberat pidana yang dijatuhkan.
Keadaan Meringankan (Mitigating/Attenuating Circumstances)
Batasan keadaan yang meringankan yang termasuk judicial mitigating
circumstances dapat dilihat dalam Hukum Pidana Romania, sebagai berikut:
1. Upaya pelaku untuk menghilangkan atau mengurangi tingkat keseriusan dari tindak
pidana.
2. Keadaan-keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan, yang
mengurangi tingkat keseriusan dari tindak pidananya atau ancaman bahaya dari
pelakunya.
Contoh pertimbangan keadaan meringankan dapat dilihat antara lain dalam
beberapa putusan sebagai berikut:
Putusan PN Jakarta Timur Nomor 151/Pid.Sus/2013/PN Jkt. Tim., dalam perkara
Terdakwa M. Rasyid Amrullah Rajasa, yang menjatuhkan pidana percobaan dalam
perkara kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia, korban
luka dan kerusakan barang, dengan pertimbangan keadaan meringankan sebagai berikut.
Terdakwa berlaku sopan dan tidak mempersulit jalannya persidangan.
Terdakwa masih berusia muda dan masih berstatus mahasiswa.
Terdakwa maupun keluarga terdakwa telah meminta maaf kepada keluarga
Putusan No. 499/Pid.B/2009/PN Jkt Sel. dengan Terdakwa Selviana alias Selvi,
menjatuhkan pidana percobaan dalam perkara penggelapan dalam jabatan dengan
pertimbangan keadaan meringankan sebagai berikut:
Terdakwa mengakui terus-terang dan menyesali perbuatannya.
Terdakwa belum pernah dihukum.
Terdakwa telah mengembalikan uang perusahaan yang dipakainya.
Putusan PN Kutacane No. 571/Pid.B/2004/PN KC, dengan terdakwa H. Muhammad
Nya’kup Pagan dan Jalaluddin Rifa, B.A, yang menjatuhkan putusan pidana percobaan
dalam perkara tindak pidana korupsi, dengan pertimbangan keadaan
meringankan sebagai berikut:
Para terdakwa belum pernah dihukum.
Para terdakwa bersikap sopan di persidangan;
Para terdakwa mengakui kesalahannya dan berjanji tidak mengulanginya lagi. Di
samping pertimbangan tersebut, PN Kutacane juga mempertimbangkan bahwa
dalam perkara tersebut terdapat hal-hal yang bersifat eksepsional.
Para terdakwa adalah pihak yang berada dalam suatu sistem pelaksanaan proyek
yang menggunakan keuangan negara dengan kondisi yang rentan
penyimpangan, dimana mereka hanyalah sebagai yang melaksanakan penyaluran
bantuan secara administratif harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang
terjadi dalam sistem tersebut.
Para terdakwa hanyalah menikmati sebagian kecil dari dana yang
disalahgunakan.
Para terdakwa sebenarnya masih memiliki waktu untuk memperbaiki kesalahan
yang dilakukan karena batas waktu pelaksanaan proyek belum berakhir, namun
karena sistem yang ada ketika itu, masalah tersebut ditangani secara hukum.
Di samping kedua batasan keadaan meringankan tersebut, dalam putusan-putusan
pengadilan Indonesia terdapat hal-hal lain yang merupakan pertimbangan dari aspek
sosiologis, untuk mencapai kemanfaatan dalam penjatuhan putusan. Pertimbangan
tentang sifat baik terdakwa tersebut selain sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat (2) UU
RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga sesuai dengan pendapat
Hessick bahwa memberatkan pidana atas dasar sifat jahat (prior bad acts) tetapi
menolak meringankan pidana atas dasar sifat baik (prior good acts), menciptakan
ketidakseimbangan dalam pemidanaan. Terkait pertimbangan bahwa terdakwa bersikap
sopan di persidangan, hal itu tidak termasuk kriteria dan batasan di atas, karenanya hal
itu kurang tepat dipertimbangkan sebagai keadaan meringankan. Selain itu bersikap
sopan di persidangan adalah kewajiban setiap orang.