Anda di halaman 1dari 20

Resume Hukum Pidana I Prof.

Sudarto, SH

Bab 1
Pendahuluan

1.Di Fakultas Hukum mahasiswa diberikan mata kuliah PIH (bersifat filsafat dan mengemukakan teori
hukum) dan PHI (yang menjelaskan lingkungan hukum di Indonesia). Di antara lapangan-lapangan
hukum terdapat hubungan yang terkait.

 Selain itu diberikan pula mata kuliah non-yuridis seperti ekonomi (perilaku masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya) dan sosiologi (tindak laku manusia dalam masyarakat dan ilmu
kemasyarakatan).
 Ilmu-ilmu tersebut mengalami problem kemasyarakatan sehingga diperlukan simpulan untuk
mengatasinya. Berhubung itu mempelajari hukum tidak boleh terlepas dengan disiplin ilmu yang
lain dan hubungannya dengan masyarakat. Seorang Sarjana Hukum haruslah bisa
meintegrasikan antara pendekatan yuridis dan ilmu kemasyarakatan.
 Ilmu Hukum merupakan ilmu kemasyarakatan yang normative yaitu ilmu normative tentang
hubungan manusia. Seorang ahli mengatakan bahwa Ilmu Hukum lebih membutuhkan disiplin
ilmu lain daripada sebaliknya.
 Pelajaran selanjutnya merupakan diferensiasi dari berbagai bidang hukum seperti Hukum
Perdata, Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, dll. Bidang-bidang ini memiliki perkembangan dan
pengertiannya sendiri-sendiri sehingga timbulah suatu Bahasa hukum.

2.Norma, nilai, sanksi, dan peraturan

 Dalam mempelajari hukum kita akan menemukan banyak anggapan yang sedikit-banyak
mengikat perbuatan seseorang/kelompok dalam bermasyarakat. Anggapan ini memberi kita
petunjuk bagaimana kita harus bertindak (boleh atau tidak boleh), anggapan ini disebut norma.
 Istilah normative artinya sesuatu yang diharapkan (ideal). Norma mengandung apa yang
sepatutnya dilakukan dan yang tidak sepatutnya dilakukan.
 Di belakang norma terdapat nilai yang merupakan dasar bagi norma. Nilai itu lebih abstrak dari
norma.
 Sistim nilai suatu bangsa berbeda satu sama lain oleh karena itu tidak dapat disamakan.
 Norma dapat dikatakan berlaku apabila terdapat faktor sosial yang membuat masyarakat
menjalankan norma tersebut (conform), masyarakat yang tidak mau menjalankan norma
tersebut disebut conformist.
 Sebagian dari norma merupakan norma hukum, suatu norma dapat dikatakan sebagai norma
hukum apabila masyarakat dan alat perlengkapannya dapat memaksakan berlakunya. Norma
hukum ini dapat menjadi suatu peraturan hukum apabila berbentuk suatu rumusan, rumusan
yang tertulis.
 Dalam suatu peraturan hukum terdapat suatu norma hukum. Dalam norma hukum terdapat
sebuah nilai.

3.Adresat dari norma hukum

Yang menjadi adressat dari norma hukum adalah


 Warga masyarakat
 Alat-alat perlengkapan negara (hakim, jaksa, polisi, jurusita, dsb)

Hukum pidana dari suatu bangsa menjadi indikasi yang penting untuk mengetahui peradaban etik,
moral, dan kemasyarakatan bangsa tersebut .

A. Pengertian hukum Pidana


1. Definisi Hukum Pidana
 Hukum pidana dapat didefinisikan sebagai : aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu
perbuatan yang memenuhi syarat2 tertentu suatu akibat yg berupa pidana. (Merger)
Hukum pidana berpokok pd 2 hal, yaitu:
Ad 1
 Perbuatan yang memenuhi syarat tertentu
 Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang memungkinkan adanya pemberian pidana.
“perbuata yg dpt dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat”
Ad 2 Pidana

 Ialah penderitaan yang sengaja dibebanankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat2 tertentu. Di dalamnya meliputi tindakan tata tertib. Perlakukan suatu pidana
maka akan mendapatkan nestapa (penderitaan)

2. Ius Poenale dan Ius Puniendi

 Poenale : memiliki arti yang sama dengan aturan hukum pidana


 Keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh Negara untuk menegakkan hukum yang apabila
dilanggar diancam dengan nestapa
 Puniendi :
Arti luar : hak dari Negara/ alat perlengkapan Negara untuk mengenakan atau mengancam
pidana terhadap perbuatan tertentu.
Arti sempit : hak untuk menuntut perkara2 pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana
terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh peradilan
untuk mengenakan pidana.
Ius Puniendi harus berdasarkan Ius Poenale

3. Jenis- jenis Hukum Pidana

a. Hukum pidana materiil dan formal

o Materiil : memuat aturan2 yang menetapkan dan merumuskan perbuatan2 yang dapat
dipidana, memuat syarat2 dapat dipidana dan ketentuan mengenai pidana. Contoh : KUHP
o Formal : mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat2 perlengkapannya melaksanakan
haknya untuk mengenakan pidana (hukum acara). Contoh : KUHAP

b. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus

o Umum : memuat aturan2 yang berlaku bagi setiap orang. Contoh : KUHP
o Khusus : mengenai golongan2 tertentu atau berkenaan denan jenis perbuatan2 tertentu.
Contoh :HP tentara ~> berlaku untuk anggota tentara dan yang dipersamakan
HP fiskal ~> memuat delik berupa pelanggaran pajak
HP ekonomi ~> mengenai pelanggaran ekonomi.

c. Hukum. Pidana yang dikodifikasikan (KUHP, KUHD, & KUHPT) dan Hukum. Pidana tidak
dikodifikasikan (di luar KUHP) uu tipikor (uu khusus)

o dikodifikasikan : pembukuan kumpulan perundang-undangan secara terstruktur, sistematis,


lengkap, dan disahkan
o Tidak dikodifikasikan : ordonasi2. Contoh :ordonansi obat bius, ordonansi lalu lintas, dsb.

d. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana lokal

o Hukum Pidana umum : dibentuk oleh pembentuk UU Pusat dan berlaku untuk seluruh negara.
o Hukum Pidana lokal : dibentuk oleh pembentuk UU Daerah (provinsi atau kabupaten/kota) dan
berlaku hanya didaerah yang bersangkutan.

e. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis (hukum pidana adat).
f. Hukum Pidana Internasional dan Hukum Pidana Nasional.

B. Fungsi Hukum Pidana


Dapat dibedakan menjadi 2 yaitu umum dan khusus.
Fungsi Umum: fungsi hukum pidana pada umumnya, ialah mengatur hidup kemasyarakatan
atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat
Fungsi Khusus: ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak
memperkosanya, dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika
dibandingkan dengan sanksi pada cabang hukum lainnya. Kepentingan hukum di sini
dimaksud hartabenda, kehormatan, badan, dan nyawa.

Ultimum remedium atau obat terakhir: yaitu jalan terakhir apabila sanksi lain tidak mempan.
Kalau masih ada jalan lain jangan sampai menggunakan hukum pidana

Pedang bermata dua atau mengiris daging sendiri: maknanya yaitu melindungi benda
hukum dalam pelaksanaannya, tetapi apabila ada pelanggaran terhadap larangan dan
perintahnya justru mengadakan perlukaan terhadap benda hukum si pelanggar sendiri.

C. Hukum Pidana dan Kriminologi


Ilmu Hukum Pidana memberi keterangan tentang hukum pidana yang berlaku. Objek dari ilmu
ini yaitu Hukum Pidana itu sendiri. Tujuannya agar para petugas hukum dapat menerapkan
aturan hukum pidana secara tepat dan adil.

Ilmu Kriminologi mempelajari sebab2 dari kejahatan dan bagaimana pemberantasannya. Objek
dari kriminologi adalah kejahatan sebagai social phenomenon.
Terdapat hubungan yang sangat kuat diantara kedua ilmu ini, untuk dapat menerapkan aturan
Hukum Pidana, para petugas hukum harus bisa menganalisa dari 2 sumber ilmu ini.

D. Sumber Hukum Pidana


o Tertulis = KUHP (berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946)
o Tidak tertulis = hukum adat (dashum Ps. 13 IS Jo. AB. UUDS 1950)
o Memorie Van Toelichting (Mvt) = Penjelasan atas rencana UU Pidana. sebutan lain KUHP adl
W.V.S. dari Mvt dapat dicari pada penjelasan pasal diKUHP.
o Sumber Hukum Pidana tertulis lainnya di luar KUHP. Contoh Undang-Undang Darurat No. 12
Tahun 1951.

E. Bagian Umum dan Bagian Khusus dalam Hukum Pidana


Menurut jenisnya, ketentuan hukum pidana dibagi 2 yaitu:
o Umum -> berlaku untuk seluruh lapangan hukum pidana (KUHP atau Luar KUHP[kecuali
apabila ditentukan lain]) yaitu Buku ke-1 KUHP
o Khusus -> menyebut perbuatan2 mana yang dapat dipidana serta ancaman pidananya.
(Buku II & III KUHP).
Terdapat hubungan yang erat diantara 2 jenis tadi.

F. Berlaku UU Pidana menurut waktu


1. Asas Nullum Delictum
Asas legalitas atau “Nulla Poena, Sine lege” = Pasal 1 ayat (1) KUHP
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
Jika diperinci lagi, maka pasal 1 ayat (1) berisi :
 Suatu tindak pidana harus dirumuskan/ disebutkan dalam peraturan perundang-
undangan. Terdapat dua konsekuensi: konsekuensi pertama ialah bahwa perbuatan
seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana
juga tidak dapat di pidana. konsekuensi kedua adalah bahwa larangan penggunaan
analogi (memperluas berlakunya suatu peraturan dengan mengabstaksikannya
menjadi aturan hukum) untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak
pidana sebagaimana dirumuskan dalam UU.
 Peraturan UU ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. dengan kata lain
peraturan UU pidanan tidak boleh berlaku surut (retro-aktif) sehingga menjamin
kebebasan individu terhdap kesewenang-wenangan Penguasa (peradilan).
Aturan dalam KUHP merupakan sistem yang beridiri di tengah. Dasarnya adalah “lex
temporis delicti” akan tetapi kalau perbuatan yang baru itu lebih meringankan terdakwa,
maka peraturan inilah yang berlaku.
Jadi asas “lex temporis delicti” itu tidak berlaku dengan perkataan lain ada retroaktivitas.
 Apabila sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan dalam
perundang-undangan.
 Apabila peraturan baru itu menguntungkan terdakwa.

2. Asas retroaktif = Pasal 1 ayat (2)


“jika sesuatu perbuatan dilakukan ada perbuatan dalam perundang-undangan, dipakai
aturan yang paling meringankan terdakwa”
UU yang bisa berlaku surut contohnya pelanggaran HAM berat seperti genosida,dll

G. Ruang berlakunya peraturan pidana menurut tempat

A. Pembentuk UU dapat menentukan ruang berlakunya UU yang dibuatnya. Apabila


pembentuk UU pusat maka akan berlaku di suatu negara dan apabila pembentuk UU daerah
maka peraturan itu akan berlaku di daerah itu saja. Mengenai ruang berlakunya dapat
disebutkan beberapa asas:
1. Asas Teritorial
pasal 2 KUHP “Aturan pidana dalam UU indonesia berlaku bagi setiap orang yg melakukan
sesuatu tindak pidana di wilayah Indonesia”
Aturan pidana berlaku bagi setiap orang baik WNI/WNA yang melakukan delik di wilayah Indonesia
(wilayah : darat, laut, udara, kapal, pesawat (kedaulatan Indonesia)

2. Asas Personalitas (nasional aktif)


Aturan pidana Indonesia berlaku bagi setiap wni yang melakukan delik baik dalam/luar
negeri. Dalam asas ini peraturan hukum pidana seakan-akan ‘menempel’ pada WNI bahkan
di luar negeri.

3. Asas Perlindungan (nasional pasif)


Aturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap delik yang menyerang kepentingan
hukum Indonesia. Baik dilakukan WNI/WNA yg dilakukan di luar Indonesia. Kejahatan
tersebut dapat dibagi kedalam 5 golongan :
 Kejahatan2 terhadap keamanan Negara dan martabat presiden
 Kejahatan2 tentang materai atau merk yg dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia
 Kejahatan2 pemalsuan surat-surat hutang dan sertifikat-sertifikat hutang atas beban
Indonesia, daerah, atau sebagian daerah
 Kejahatan jabatan
 Kejahatan pelayaran

4. Asas Universal
Aturan pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana baik itu dilakukan di dalam negeri
atau luar negeri dan juga WNI/WNA. Asas ini juga dikatakan asas mengenai ketertiban
hukum dunia. Perlu diperhatikan bahwa perkara pidana di Indonesia hanya diadili dengan
Hukum Pidana Indonesia berbeda dengan perkara perdata yang bia menerapkan Hukum
Perdata Internasional
Asas pengadilan yang dipakai yaitu peradilan cepat dan berbiaya murah (tergantung
kebijakan negara-negara yang bersangkutan).
B. Ekstradisi (penyerahan)
Merupakan bantuan hukum yg bersifat internasioal. Dengan bantuan ini maka negara asing
yang merasa berhak untuk menuntut seseorang yang ada di negara kita, dapat melakukan
haknya itu, demikian pula sebaliknya.

C. Locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana)


Untuk menetapkan apakah UU pidana dapat diberlakukan dan pengadilan yg berwenang
mengadili. Asas ini hanya teori dan tidak bersifat mutlak.
 Teori perbuatan materiil (perbuatan jasmaniah)
 Teori instrument (tempat bekerjanya alat)
 Teori akibat (dimana akibat terjadi)

Bab 2 Tindak pidana


Sebelumnya, Hukum PIdana berpokok pada perbuatan yang dapat dipidana. Perbuatan yang dapat
dipidana itu merupakan objek Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, perbuatan pidana menurut gejala
masyarakat dan menurut KUHP harus dibedakan:
 Perbuatan jahat menurut gejala masyarakat ialah perbuatan manusia yang menyalahi norma
dasar manusia yang konkreto
 Pebuatan jahat menurut Hukum Pidana ialah sebagaimana terwujud in abstrcto atau sudah
terumuskan dalam KUHP
Perbuatan yang dapat dipidana tersebut bisa dibagi lagi menjadi perbuatan yang dilarang oleh undang-
undang dan orang yang melanggar larangan itu.

A. Tentang Istilah
Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti “strafbaar feit”, istilah lain yang dapat ditemukan
yaitu peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang
diancam dengan hukum dan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman. Para Sarjana Hukum punya
pilihannya masing-masing dalam penyebutan istilah strafbaar feit ini.

B. Pengertian dan Unsuri-Unsur Tindak Pidana


Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” yang
bisa diartikan secara hukum. Mengenai isi dari pengertian tindak-pidana tidak ada kesatuan
pendapat di antara para sarjana, tetapi Prof. Muljatno, Guru Besar Hukum Pidana UGM secara tegas
menyatakan “dapat dipidananya perbuatan” dan “dapat dipidannya orang” dan sejalan dengan ini
beliau memisahkan antara “perbuatan pidana” dan “pertanggungan jawab pidana”, pandangan
beliau dapat disebut pandangan dualistic yang merupakan penyimpangan dari pandangan monistic
yang dianggap sudah kuno. Berikut salah satu contoh dari pandangan monistic dan dualistic :
Menurut D.Simons (Monistic)

Strafbaar feit

Pidana

Anca Mela Orang


Perb man wan Kesal mampu
uatan Pidan Huku ahan bertangg
a m ung
jawab

Menurut Prof. Soedarto, SH


Syarat Pemidanaan:
-Perbuatan :
1. Memenuhi rumusan UU
2. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf)
-Perbuatan : Pidana

1. Mampu bertanggung jawab


2. Dolus & culpa (tidak ada alasan pemaaf)

C. Rumusan Tindak Pidana


Sumber Hukum Pidana ada yang tertulis dan tidak tertulis. Agar orang dapat mengetahui bagaimana
hukumnya tetang suatu persoalan, maka peraturan itu hukum itu harus dirumuskan.
Syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia)
yang memenuhi rumusan delik dalam UU. Ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini
penting sebagai prinsip kepastian karena UU Pidana bersifat pasti. Arti perbuatan “yang memenuhi atau
mencocoki rumusan delik dalam UU yaitu perbuatan konkrit dari si pembuat itu harus mempunyai sifat-
sifat atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam UU. Dalam KUHP biasanya
delik tersebut dimulai dengan “barang siapa” kemudian perbuatan yang dapat dipidana. Pembuatan
perumusan delik yang tidak pasti dapat disebut Pasal Karet
D. Jenis-jenis Tindak Pidana (Delik)
1. Kejahatan dan pelanggaran
- Kejahatan : perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu UU atau tidak, jadi yang benar2 dirasakan oleh masyarakat
sebagai bertentangan dengan keadilan. Misal pembunuhan, pencurian, delik seperti ini
disebut “kejahatan (Mala per se)”. (KUHP buku II)
- Pelanggaran: perbuatan yang oleh umum disadari sebagai suatu tindak pidana setelah
tercantum dalam UU. (KUHP buku III)
2. Delik Formal materiil
- Formal: delik yag perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yg dilarang. Delik tersebut
telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.
Contoh : pencurian (362 KUHP), pemalsuan surat (pasal 263 KUHP), sumpah palsu (pasal 242
KUHP)
- Materiil: delik yg perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki
(dilarang). Delik selesai apabila akibat yg dikehendaki telah terjadi, kalua belum maka paling
banyak hanya ada percobaan. Contoh : pembakaran (187 KUHP), penipuan (378 KUHP)
pembunuhan (338 KUHP)
3. Delik Commisionis, Delik Omissionis, dan , Delik Commisionis per omnissionem comisa
- Delik Commisionis : delik berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu
yang dilarang. Contoh pencurian, peggelapan, penipuan.
- Delik Omissionis : pelanggaran terhadap perintah, tidak melakukan sesuatu yang
diperintahkan. Contoh : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (552 KUHP)
- Delik Commisionis per omnissionem comisa : pelanggaran terhadap larangan dengan cara
tidak berbuat. Contoh : ibu yang tidak memberikan asi pada anaknya sehingga anaknya
meninggal
4. Delik Dolus dan Delik Culpa
- Delik Dolus : delik yang mengatur tentang unsur kesengajaan. Contoh : 338 pembunuhan,
187, 197
- Delik Culpa : Delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur. Contoh : 359 kealpaan
yang menyebabkan org lain mati, 195, 197
5. Delik Tunggal dan Delik berganda
- Delik Tunggal : delik yang dilakukan dengan sekali perbuatan
- Delik Berganda : delik yang baru menjadi delik setelah beberapa kali/ menjadi kebiasaan.
Contoh : penadahan sbg kebiasaan (Pasal 481 KUHP)
6. Delik yang Berlangsung terus dan Delik yang Tidak Berlangsung Terus
- Berlangsung terus : delik yang keadaan terlarang tersebut berlangsung terus menerus.
keadaan ada tenggang waktu delik terjadi. Contoh : psl 333 (merampas kemerdekaan
seseorang)
- Tidak berlangsung terus : delik selesai apabila perbuatan sudah dilakukan.
7. Delik aduan dan Delik bukan aduan
- Delik aduan : penuntutan dilakukan apabila ada pengaduan. Ada dua : absolut (berdasarkan
pengaduan) missal pasal 284 dan relatif (ada hubungan istimewa antara pembuat dengan
korban) missal pasal 367
- Bukan aduan : tidak perlu ada aduan untuk penuntutan
8. Delik Sederhana dan Delik yang ada pemberatannya
- Delik sederhana contohnya penganiayaan
- Delik yang ada pemeberatnya contoh penganiayaan yang meyebabkan luka berat atau
matinya orang
9. Delik ekonomi dan bukan ekonomi
Terdapat dalam UU Darurat mengenai Tindak Pidana Ekonomi
10. Kejahatan ringan contoh pasal 364, 373, 375, 379 KUHP

E. Subjek Tindak Pidana


1. Manusia (natuurlijke personen), pidana yang dapat dikenakan pada tindak pidana yang
dilakukan seseorang yaitu pidana pokok (pidana mati, penjara, kurungan, denda) dan pidana
tambahan (pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, diumumkannya
keputusan hakim).
2. Badan Hukum/Korporasi ( Pasal 59 KUHP) yang berbunyi “Dalam hal-hal ini di mana karena
pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris-
komisaris, maka pengurus, anggota badan pengur atau komisaris-komisaris yang ternyata tidak
ikut campur melakukan sesuatu fungsi dalam korporasi. Seorang anggota pengurus dapat
membebaskan diri, apabila dapat membuktkan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut
campurnya

F. Perbuatan
1. Unsur perbuatan yaitu berbuat dan tidak berbuat
2. Ada gerakan badan yang tidak termasuk pengertian seperti diatas :
a. Gerakan badan yang tidak dikehendaki. Contoh : orang didorong masa sehingga menggencet
mati orang lain
b. Gerakan refleks yg timbul karena rangsang yang tiba-tiba dari urat syaraf. Contoh terkejut
karena suara letusan sehingga menjatuhkan gelas di tangan.
c. Gerakan jasmaniah yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Contoh :
penyakit(ayan,epilepsy,dll), mabok, berbuat pada waktu tidur, pingsan, di bawah pengaruh
hipnotis.
G.Hubungan Sebab Akibat
Dalam membicarakan soal akibat ada:
- Delik Formal, dalam delik formal terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan
suatu essentialia
- Delik Materiil, dalam delik materiil akibat itu merupaan essentialia dari delik tersebut, sebab
jika di sini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik itu tidak ada, paling
banyak ada percobaan. Persoalan sbab-akibat dalam delik ini sangat penting.
Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, maka
terjadilah beberapa teori kausalita antara lain:
1. Teori ekivalensi
Tiap syarat adalah sebab, semua syarat nilainya sama. Satu syarat hilang maka akibat akan
berbeda. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter, di tengah jalan ia kejatuhan
genting, lalu mati. Penganiayaan A dapat menjadi sebab dari matinya.
2. Teori Individulisasi (post faction/ in concreto artinya setelah peristiwa)
Dari serentetan factor yg aktif dan pasif, dipilih sebab yg paling menentukan dr peristiwa
tersebut. Sedangkan factor lainnya hanyalah syarat belaka. Satu2nya sebab ialah factor terakhir
yang menimbulkan akibat.

3. Teori generalisasi (ante factum/sblm kejadian/ in abstracto)


Dari sebab2 sebelumnya itu dilihat mana yang dapat menimbulkan akibat semacam itu. Dalam
teori ini dicari sebab yang adekuat untuk timbulnya akibat yg bersangkutan.

Untuk mengetahui suatu sebab cocok untuk menimbulkan akibat tertentu ada beberapa
pendirian yaitu:
- Penentuan subjektif -> sipembuat
- Penentuan objektif -> keadaan

H.Sifat melawan Hukum


Adalah salah satu sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian objektif terhadap
perbuatan, dan bukan terhadap si pembuat. Bilamana sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan
hukum , orang akan menjawab “perbuatan yang memenuhi rumusan delik” dan tidak ada alasan
pembenar. Namun tidak semua perbuatan yang melanggar delik bisa ditahan, tergantung bagaimana
kasusnya. Contoh seorang tentara yang menembak mati seorang terhukum karena dijatuhi pidana mati,
walaupun tentara tersebut melakukan delik (membunuh) tapi ia tiak bisa dikenakan pidana.
a. Sifat melawan hukum formal : perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai delik dalam
UU-> melawan UU. Jadi menurut ajaran ini, melawan hukum sama dengan melawan/
bertentangan dengan UU. (hukum tertulis)
b. Sifat melawan hukum materiil : tidak dari UU saja tetapi dilihat dari hukum tidak tertulis
termasuk tata susila dsb.
Mengenai pengertian SMH materiil dibedakan menjadi :
1. Fungsi negative : mengakui bahwa adanya hal-hal di luar UU menghapus sifat melawan
hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan UU. Jadi hal tersebut sebagai alasan
penghapus SMH
2. Fungsi positif : menganggap suatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak
dinyata diancam diancam dengan pidana dalam UU. Apabila bertentangan dengan hukum
ukuran2 lain yang ada di luar UU.

Bab III Pengertian Tentang Kesalahan


A.
Dalam dipidananya seseorang tidak cukup orang tersebut dipidana karena melakukan suatu delik yang
terumus dalam uu saja, tetapi dibutuhkan suatu syarat2 tertentu, yaitu syarat2 bahwa orag tersebut
bersalah (subjective guilt). Intinya orang ersebut harus bisa mempertanggungjawabkan kesalahannya
tersebut.
B. Peranan unsur kesalah sebagai syarat penjatuan pidana
Mens rea (evil mind) yaitu subjective guilt yang melekat pada masing2 si pembuat kesalahan. Subjective
guilt ini dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. Jadi di sini suatu indak pidana tidak dapat dijatuhkan
kalo tidak ada kesalahan.. baik itu sengaja maupun alpa
C.
Trias dalam Hukum Pidana
1.Kaum Indeterminis : manusia memiliki kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala
pengambilan keoutusan. Tanpa adanya kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan. Apabila tidak da
kesalahan tidak ada pencelaan sehingga taka da pemiidanaan
2.Kaum determinis : mansia tidak memiliki free will tetapi keputusan ditentukan olef watak (nafsu) dan
motif2 lain yaitu rangsanagan dari dalam atau luar yang mengaktifkan watak tesebut (tidak dapat dicela
karena tidak memiliki kehendak bebas), tetapi jstru karena tidak ada kehendak bebas itu seseorang
dapat mempertanggungjawabkan kesalahannya
3. Golongan lai mengatakan ada tidaknya free willtidak menjai soal bagi Hukum Pidana (kesalahan
seseorang tidak bergantung itu)
KUHP Indo = indetermenisme
E.
Kesalahan arti luas :pertanggungjawaban dalam hukum pidana di dalamnya terkandung celaan terhadap
si pembuat terhadap perbuatannya
Kesalahan arti sempit: kealpaan
Kesalah dapat berupat dolus (kesengajaan) dan culpa (alpa)
F.
- Pengertian kesalahan psychologist : kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan batin antara
pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin juga bisa berupa kesengajaan (mengahendaki perbuatan
beserta akibat) dan kealpaan (tidak ada kehendak demikian)
- Pengertian kesalahan normative : pandangan yang normative tentang kesalahan , penentuan
keselahan seseorang tidak hanya terdapat pada perbuatan hubungan batin saja (mens rea) tetapi harus
ada unsur penilaiannya(normatf) terhadap suatu perbuatan. Penilain normati di sini maksudnya
penilaian dari luar mengenai hubungan antara si embuat dan perbuatannya. Penilaian ini menggunakan
ukuran yang ada di masyarkat, yaitu apa seharusnya yang dilakukan oleh si pembuat. Bahkan ada
penapat bahwa kesalahan seorang tidak terdapat di dalamkepala si pembuat melainkan di dalam kepala
orang lain. Di sini dolus dan culpa hanya diaggap suatu unsur saja, selain itu ada unsur2 lain sprt
keadaan jwa si pembuat, kemampuan pertanggungjawaban, dan tidak ada alas an penghapus kesalahan
G. Unsur2 dari Kesalahan
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa pembuat sehat
2. Hubungan batin (mens rea) antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa dolus dan culpa
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alas an pemaaf
Untuk dikatakan sesorang melakukan kesalahan, harus diyatakan terlebih dahulu bahwa perbuatannya
melawan hukum.

Bab IV Kemampuan Bertanggung Jawab


A. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab
- Untuk mempertanggungjawabkan pidana diperlukan syarat mampu bertanggungjawab
- KUHP tidak memberikan rumusan ukuran adanya kemampuan bertanggungjawab
Ada beberapa definisi mengenai kemampuan bertanggung jawb:
 Simons : kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai stu keadaan psychis
sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik
dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya . Seorang mampu bertanggungjawab
jika jiwanya sehat yakni:
- Ia mampu untuk mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum
- Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut

 Van Hamel: kemampuan bertanggungjawab yaitu keadaan normalitas psychis dan


kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan:
- Mampu untuk mengerti nilai dari akibat2 perbuatannya sendiri
- Mampu untuk menyadari,bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak
dibolehkan
- Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan2 itu
Dalam mendefinisikan memang mudah, tetapi dalam praktik konkret di peradilan sangatlah
susah untuk menilai jiwa seorang terdakwa
Dalam persoalan kemampuan bertanggungjawab ditanyakan apakah seorang merupakan
normaadressat (sasara norma) yang mampu bertanggungjawab, karena pada dasarnya seorang
terdakwa dianggap mampu bertanggungjawab kecuali dijelaskan sebaliknya.
KUHP Pasal 44
B. Isi Pasal 44 KUHP
- Penentuan bagaimana keadaan jiwa si pembuat (persaksian keadaan pribadi sipembuat
berupa keadaan akal/jiwa yang cacat pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit yang
diselidiki oloh seorang psikiate mengenai kondisi kejiwaan saat sipembuat melakukan
perbuatannya tersebut)
- Adanya penentuan hubungan kausal antara keadaan jiwa sipembuat dengan perbuatannya
(yang menentukan hakim, penilaian apakah dapat dipertanggungawabkannya suatu
perbuatan oleh tersangka)
Sistim penilaian dalam KUHP yaitu deskriptif-normatif. Deskriptif berarti keadaan jiwa sipembuat
dijelaskan secaa apa adanya oleh psikiater dan Normatfi maksudnya hakimlah yang menilai
berdasar hasil deskriptif tadi, apakah dapat disimpulakan mampu atau tidak mampu tersangka
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Keadaan jiwa yang cacat pertumbuhan : gila/idiotic (biologis), apabila suatu penyakit gagu, tuli,
dan buta memengaruhi keadaan jwa disebut psychose = masuk dalam pasal 44
Cacat kemasyarakatan missal kurang Pendidikan, terlantar yang mengakibatkan menjadi liar dan
kejam ; watak yang sangat perasa dan mudah tersinggung tidak dimasukan ke pasal 44
C. Tidak mampu bertanggung jawab Sebagian
1. Kleptomania : penyakit jiwa berupa dorongan untuk mengambil barang seseorang, tetapi
tak sadar perbuatannya dilarang
2. Pyromanie : penyakit jiwa suka melakukan pembakaran tanpa memiliki alasan sama sekali
3. Claustrophobia: penyakit jiwa yang berupa ketakutan apabila berada dalam ruang yang
sempit missal penderita lalu memecahkan kaca jendela dan merusak perabotan
4. Achtervolgingswaan: penyakit berupa perasaan selau dikejar2 oleh musuhnya
Apabila penderita gangguan jiwa Sebagian ini melakukan suatu tindak pidanan berkaitan
penyakitnya maka ia dianggap tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, tetapi apabila
mereka melakukan tindak pidana lain yang bukan merupakan penyakitnya maka ia dapat
dinyatakan bertanggungjawab secara penuh atas perbuatannya (perbuatannya tuidak memiliki
hubungan kausal dengan penyakitnya). Contoh pengidap kleptomania melakukan pembakaran
D. Kekurangmampuan untuk bertanggungjawab

Tedakwa yang dianggap kurang mampu bertanggung jwab tetap dianggap bmampu
bertanggungjawab dan dapat dipidana tetapi faktor tersebut dipakai sebagai faktor untuk
memberikan keringanan dalam pemidanaan.

E. Tempat unsur kemampuan bertanggungjawab dalam rangka pembicaraan tindak pidana

Menurut pandangan dualistis syarat2 pemidanaan bukan unsur dari tindak pidana

Hazewinkel-Suringa menyebutkan isi dan tindak pidana menurut rumusan delik dalam uu:
kemampuan bertanggungjawab bukanlah isi dari delik tetapi hanya syarat (bukan unsur)
menjatuhkan pidana secara normal, ia tidak bersangkut paut dengan sifat “dapat dipidananya”
suatu perbuatan

Hoge Raad juga berpenapat demikian. Terhadap suatu kasus H.R menyatakan alasannya yaitu
kemampuan bertanggungjawab tidak dapat dianggap suatu unsur dan karenanya harus
dibuktikan dengan alat pembuktian yang sah. Tetapi tidak adanya kemampuan
bertanggungjawab merupakan alasan pengahpusan pidana(ada pada jiwa sipembuat sendiri)

F. Keadaan Mabok

Mabok (keracunan,kebiusan) yang mengakibatkan euphoria (perasaan hebat, gembira, high)


yang menjurus ke perbuatan ketiakmampuan bertanggungjawab atau kekurangan kemampuan
itu.

Harus dibedakan antara orang yang mabok dengan kehendak sendiri dan tanpa kemauan sendiri
mabok.

Tingkat kemabokan susah ditentukan secara pasti, sehingga tidak dapat dijadikan ukuran untuk
menetapkan mampu dan tidak mampunya kemampuan bertanggungjawab sesorang.
Apabila ada seseorang yang sengaja memabokkan diri sebelum melakukan suatu kejahatan
makai ia dianggap menyadari perbuatannya dan karena itu dapat dipertanggungjawabkan.
Karena pada hakekatnya hubungan antara kehendak dengan pebuatannya tidak putus.

G. Batas mampu dan tak mampu beranggung jawab

Dari uraian di atas maka tidak mudah menentukan batas yang tegas antara mampu bertanggung
jwab dan tidak bertanggungjawab karena sebab beralihmya suatu keadaan ke keadaan yang lain
itu berangsur2

H. Keragu2an tentang kemampuan bertanggungjawab

- Si pembuat tetap dapat dipidana, selama tidak dibuktikan sebaliknya


- Si pembuat tidak dipidana, karena dianggap tidak mampu bertanggungjawab, dalam
keputusan ini dipakai keputusan yang menguntungkan tersangka (in dubio pro reo)

I. Tindakan terhadap orang yang tidak mampu bertanggungjawab


- Menurut pasal 44 ayat 2 KUHP, apabila tersangka ternyata tidak mampu bertanggungjawab
karena keadaan dalam pasal 1 maka Hakim memasukkan orang ke dalam rumah sakit jiwa
selama suatu masa percobaan, tidak lebih dari 1 tahun.
- Menurut HIR ada pula ketentuan Hakim untuk memasukakkan orang dalam RSJ bai katas
permintaan keluarga sendiri atau Jaksa dengan alasan guna menjaga ketertiban dan guna
mencegah kecelakaan (yang dimasukkan karena tindak lakunya buruk dan melampaui
batas, tidak cakap untuk dibiarkan mengurus diri sendiri atau membahayakan keamanan
orang lain (Pasal 234 H.I.R)

Bab V: Kesengajaan (Dolus, Intent, Opzet, Vorztz)


A. Hubungan batin sipembuat dengan perbuatannya

 Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas2nya (pertanggungjawaban pidana)
adalah hubungan batin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakakan kepada
siembuat, hubungan batin ini bisa sengaja atau alpa.
 KUHP tidak memberi definisi tentang kesengajaan, petujuk umumnya dapat kita ketahui
di MvT. Yaitu kesengajaan sebagai mengkehendaki atau mengetahui.
 Hal ini sama dengan pasal 18 KUHP Swiss yang mengatakan bahwa sengaja berarti
menghendaki perbuatan itu dan didampingi itu mengetahui/menyadari apa yang
dilakukan. Contoh seseorang yang sengaja bermain api di dekat pom bensin

B. Teori2 Kesengajaan

 Teori kehendak : inti kesengajaan yaitu kehendak untuk mewujudkan delikdalam


rumusan uu. Yang menganut Simons dan Zevenbergen
 Teori pengetahuan atau membayangkan : sengaja berarti membayangkan akan
timbulnya. Orang tak bisa mengkehendaki timbulnya akibat katena perbutannya
tetapi hanya bisa membayangkannya. Yang dititikberatkan adalah apa yang
diketahui dan dibayangkan oleh sipembuat mengenai akibat yang akan timbul saat
waktu ia berbuat.
 Persamaannya : mengakui bahwa saat sengaja berbuat ada kehendak, hasil
keduanya sama dalam praktiknya
 Perbedaan : dalam istilah saja

C. Corak Kesengajaan

Dibedakan 3 corak sikap batin yang menunjukan tingkatan bentuk kesengajaan :


 Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai tujuan (dolus directus) : Perbuatan
sipembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat dilarang, kalau akibat ini tidak akan
ada maka ia tak berbuat demikian. Contoh A menyandra C dengan menghendaki
agar B takut dan gelisah (C anak dari B), sengga tujuannya tercapai yaitu A
mendapatkan uang tebusan dari B
 Kesengajaan dengan sadar kepastian dibagi 2 yaitu :
- Akibat yang memang dituju si pembuat. Ini merupakan delik sendiri atau tidak.
- Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan,
sehingga akibat ini pasti terjadi. Contoh A adalah seorang pembunuh bayaran. Ia harus
membunuh B, tetapi karena si B mengetahuinya, B lari menggunakan taxi. A harus tetap
menyelesaikan misinya, ia menembak taxi tersebut dan B Bersama sopir taxi mati. A tidak
mengkehendaki supir taxi mati, tetapi A tetap harus menembak supir agar taxi tersebut
berhenti. Dalam hal ini ada kesengajaan sebagai terhadap matinya A dan sadar kepastian
terhadap matinya supir taxi contoh salah
 Kesengajaan dengan sadar kemungkinan ( dolus eventualis) : dalam hal ini ada
keaaan tertentu yang semula mngkin terjadi kemudian ternyata benar terjadi.
Contoh: B merusak rem mobil si A karena marah dan menghendaki agar A celaka,
dalam perbuatannya ia sadar kalau saja nanti si A membawa penumpang lain maka
penumpang lain tersebut akan celaka juga, tetapi ia tetap melakukannya. Saat A
membawa mobil ia bersama C dan D, karena rem rusak maka rem mobil tersebut
blong sehingga mengakibatkan kecelakaan dan A, C, dan D meninggal. Dalam hal ini
ada kesengajaan sebagai terhadap matinya A dan sadar kemungkinan terhadap
matinya C dan D.

D. Teori Apa Boleh Buat

 Bagaimana menerangkan adanya kesengajaan dan sadar kemungkinan


(doluseventualis) :

- Teori kehendak : jika sipembuat menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih


mengkehendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun nanti ada akibat yang tidak ia
harapkan daripada tak berbuat, maka kesengajaannya ditujukan juga bagi akibat yang tidak
diharapkan.
- Teori pengetahuan : sipembuat membayangkan/mengetahui kemungkinan terjadinya suatu
akibat yang tak dikehendaki, tetapi yang diabyangkan tersebut tak mencegah ia untuk
berbuat, , maka kesengajaannya ditujukan juga bagi akibat yang mungkin terjadi itu.
 Dalam teori di atas ditunjukan ada proses dalam batin si pembuat, antara
tetapmelakukan atau mengurungkan niatnya. Disini masih terdapat ketidakjelasan
sehingga ada tori lain yaitu Teori apa boleh buat, dalam teori ini dijelaskan keadaan
batin sipembuat terhadap perbuatannya:

- Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci/takut terhadap kemugkinan


timbulnya akibat itu
- Akan tetapi meskipun ia tidak mengkehendakinya, tetapi apabila toh keadaan akibat itu
timbul, apa boleh buat hal itu diterima juga. Berarti di sini ia berani mengambil resiko

 Menteri Modderman mengatakan apabila kehendak kita langsung ditujukan pada


kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu
masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan
terjadinya hal yang kita ketahui itu. Dengan teori apa boleh buat sebenarnya tidak
perlu lagi ada pembedaan antara kesengajaadn dengan sadar
kepastian/kemungkinan

E. Kesengajaan yang diobjektifkan

Teori2 di atas tersebut diusahakan untuk menetapkan kesengajaan sipembuat. Dalam


kejadian konkret tidklah mudah bgi Hakim untuk menentukan bahwa sikap
kesengajaan( atau alpa) itu benar2 ada pada pembuat, terlebih bagaimana keadaan batin
sipembuat saat melakukan perbuatnnya tersebut. Apabila sipembuat tersebut mengaku
maka akan mudan, tetapi jika tidak maka akan sangat sukar dan Hakim harus berhati2 dalam
menyikapi hal ini. Dalam suatu kasus harus benar2 ada alasan yang masuk akal, kuat dan
logis yang bisa membuat sipembuat dapat terbebas apabila terbukti demikian.

F. Kesengajaan berwarna (gekleurd) dan tidak berwarna (kleurloos)

Berhubungan dengan apakah sipembuat sadar perbuatannya bersifat melawan hukum.


Terdapat 2 hal yang mengatakan bahwa:
- Kesengajaan itu berwarna : Sipembuat sadar bahwa perbuatannya melawan hukum.
Hubunagn batin antara sipembuat dan perbuatnnya berupa kesengajaan serta merupakan
dolus malus (sengaja berbuat jahat). Jadi menurut pendirin ini, untuk adanya kesengajaan
perlu bahwa sipembuat menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya adalah
Zevenbergen
- Kesengajaan itu tidak berwarna : Adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pembuat
mengkehendaki perbuatan yang dilarang itu (kesengajaan), Ia tak perlu tahu kalau
perbuatannya tersebut melawan hukum. Penganutnya adalah Simons, Pompe, Jonkers.
Menurut M.v.T dikatakan “akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu apakah sipembuat
tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan sesuatu perbuatan yang menurut tata Susila
tidak dibenarkan. Cukuplah dengan adanya kesengajaan saja atau perlu adanya kesengajaan
jahat (booz opzet), jawabannya tidak akan lain daripada itu.” Apabila ia sama sekali tidak
sadar kalo perbuatan itu dilarang makai ia tak dapat dipidana

G. Kekeliruan/kesesatan (salah kira,dwaling,ignorance,mistake)

Dalam diri seseorang terdapat kesesatan/ salah kira. Berikut macam-macam kesesatan:
 Kesesatan yang mengenai peristiwanya (error facti), contohnya seseorang yang
mengambil barang yang dikiranyatidak pemiliknya samsek (res nullius), seseorang
ayah yang memukul anak, yang dikira anaknya sendiri, juga termasuk dalam error
facti yaitu kesesatan mengenai Hukum Perdata, peraturan2 H.Administrasi.
Kesesatan mengenai peristiwanya tidak mendatangkan pemidanaan (error facti non
nocet)
 -Kesesatan mengenai hukumnya (error iuris), kesesatan ini tidak dapat
menghapuskan pemidanaan (error iuris nocet), jadi orang tak dapat mengatakan
kalau ia tak tahu perbuatanya dapat dipidana. Berlaku asas fictie yaitu semua orang
dianggap mengetahui uu. Kesesatan ini banyak terdapat pada pelanggaran dari
kejahatankarena banyaknya uu baru yang mengandung kejahatan tetapi tidak
segera diketahui oleh orang yang mempunyai tingkat pengetahuan normal,
peraturan semacam ini banyak dalam peraturan ekonomi.
-Pelanggar kesesatan ini tetap dapat dipidana karena pembentuk uu tidak
menghiraukan pandangan subjektif dari sipembuat. Namun apabila orang tersebut
benar2 tak mungkin dapat mengetahui kalau perbuatan yang ia lakukan terlarang,
maka ia tidak dipertanggungjawabkan. Contoh orang pedalaman hutan

H. Error in Objecto dan Error in Persona

 Kekeliruan mengenai objek:


- Objek yang nilai/sifatnya sama : maka kekeliruan sipembuat tak
menguntungkan sipembuat. Contoh A ingin membakar Gedung BNI pusat
tapi karena ia tak tahu yang mana Gedung BNI pusat, ia malah membakar
Gedung BNI cabang. Dalam hal ini ia sengaja membakar( pasal 187 KUHP)
walaupun salah sasaran ia tetap dipidana kebalik.
- Objek yang tidak sama secara hakiki (persona) misal A ingin membunuh J
yang seorang presiden tetapi yang ternyata yang ia bunuh adalah R seorang
warga biasa yang dikiranya presiden, maka Ia di sini A tidak apat dikenakan
pasal makar untuk membunuh Presiden (104 KUHP) tetapi ia tetap terkena
pidana pembunuhan biasa (338 KUHP)

I. Aberrato Ictus

Ini bukan suatu kesesatan, contoh A menembak B tapi B menghindar dan kenalah C yang
berakibat matinya C. Kualifikasi hukumnya di sini ialah perbuatan percobaan pembunuhan G
dan perbuatan pembunuhan C karena kealpannya atau dolus eventualis.

J. Delik Putatif

Kebalikan darikesesatan. Sipembuat mengira ia melakukan perbuatan melawan hukum dan


dapat dipidana tetapi ternyata ia tidak dipidana. Contoh sipembuat mencuri barang yang
dikiranya milik orang lain yang ternyata milik istrinya, hal ini tidak dimasukkan dalam
kategori pencurian (pasal 367 ayat 1 KUHP). TIdak semua perbuatan bisa seperti ini, semua
haryus diatur dalam KUHP.

K. Unsur kesengajaan dalam rumusan delik


Dalam KUHP Indonesia tidak terdapat ketentuan entang makna kesengajaan. Dalam
rumusandelik dalam uu ada yng menyebutkan unsur kesengajan dengan tegas, tetapi ada
juga yang menggunakan istilah lain seperti:
- Dengan sengaja (333,338)
- Sedang ia mengetahui (204,279)
- Yang ia ketahui (480)
- Dengan tujuan (maksud) -> 362
- Bertentangan dengan apa yang diketahui (311)
- Dengan tujuan yang ia ketahui (310)
- Kadang tidak mencakup yang di atas, tetapi pengertian kesengajaan
disimpulkan dari kalimat seluruhnya

L. Unsur melawan hukum yang subjektif

Pada delik yang memuat unsur “met het oogmerk om…( dengan tujuan untuk…)” misal pada
delik pencurian (362), pemalsuan surat (263), ialah apa yang disebut Abischt delikte, ada
pendapa bahwa unsur tersebut bukan unsur kesengajaan melainkan melawan hukum yang
subjektif. Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan
delik yang bersangkutan.

M. Hal2 yang diliputi oleh unsur2 kesengajaan

 Dalam M.v.T unsur yang terletak di muka perkataan diobjektifkan yangartinya


dilepaskan dari kekuasaan kesengajan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa
kesengajaan si pembuat ditujukan kepada hal tersebut seperti pasal 152.
 Dalam M.v.T unsur delik yang terletak di belakang perkataan “dengan sengaja”
dikuasai atau diliputi olehnya seperti pasal 151. Oleh karena itu letak perkataan
“dengan sengaja” ditetapkan oleh pembentuk uu secara seksama.
 Asas tersebut tidak termasuk dalam semua delik, ada pengecualiaan, conth pasal
187. Di sini keadaan yang disebut di belakang pengertian sengaja, diobjektifkan,
sehingga tak perlu dibuktikan bahwa kesengajaan sipembuat ditujukan ke hal
tersebut
 Yang diobjektifkan maksudnya yang tidak perlu ditanyakan apakah sipembuat
mengetahui atau mengkehendakinya, ialah dapat terjadinya bahaya umum atau
bahaya maut tersebut.

N. Penggunaan sinonim kesengajaan

O. Tidak digunakan kata sngaja dalam rumusan undang-undang


P. Perumusan unsur melawan hukum dan kesengajaan
Q. Sikap Prof. Moeljatnio dalam menerjemahkan W.v.S

Dari terjemahan Prof. Moeljatno (pasal 333 dan 372 W.v.S) dpat disimpulkan perkataan
“dan” di antara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum” tidak mempunyai
arti.Beliau menganut pendirian bahwa kesengajaan itu berwarna maka sifat melawan
hukum harus dikuasai oleh unsur kesengajaan, si pembuat harus tahu perbuatannya
melawan hukum.

R. Macam2 kesengajaan

Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam kesengajaan:


 Dolus premeditates : dalam delik ini terdapat unsur “dengan rencana terlebih
dahulu”. Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya “kesengajaan” dan
bukan merupakan corak atau tingkat kesengajaan. Menurut M.v.T diperlukan saat
memikirkan dengan tenang. UNtuk dapat dikatakan ada rencana terlebih dahulu
sipembuat sebelumnya telah memikirkan secara wajar tentang apa yang akan ia
lakukan. Cara menentukan adanya unsur tersebut ialah dari apa yang terjadi
sebelumnya. Contoh pasal 340,353,342
 Dolus determinates dan indeterminates: Unsurnya ialah pendirian bahwa
kesengajan dapat lebih pasti atau tidak. Dalam dolus determinates pembuat
misalnya menghendaki matinya orang tertentu (pasti). Dalam dolus indeterminates
misalnya pembuat meracun reservoir air minuman sehingga menimbulkan korban
acak (tidak pasti)
 Dolus indirectus, versari in re illicita :
- Dous indirectus : semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau
tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang
ditimbulkan dengan sengaja
- Versari in re illicita (Hukum Kanonik): tentang pertanggungjawaban,
menurut ajaran ini seseorang yang melakukan prbuatan terlarang,
dipertanggungjawabkan atas semua akibatnya (meskipun akibat itu tidak
dapat dibayangkan sama sekali olehnya dan timbul secara kebutulan)

 Dolus directus : berarti bahwa ksengajaan si pembuat tidak hanya ditujukan pada perbuatannya
saja melainkan akibatnya juga
 Dolus Generalis : pada delik materiil harus ada hubungan kausal antara pebuatan terdakwa dan
akibat yang tidak dikehendaki uu. Dolus generalis, yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada
orang banyak atau kesengajaan tidak ditujukan kepada orang banyak melainkan kepada
seseorang akan tetapi untuk mencapai tujuanya diperlukan lebih banyak perbuatan yang
dilakukan.
- Misal A ingin membunuh B, ia mencekik B lalu melemparkannya ke dalam
sungai (saat itu kondisi masih hidup). Saat otopsi dinyatakan matinya B
karena tenggelam, menurut ajaran dolus generalis harapan umum dari A
yaitu B mati terpenuhi sehingga tujuannya tercapai waaupun secara
kualifikasi hukum perbuatan mencekiknya termasuk dalam percobaan
pembunuhan dan melempar ke kali terletak di luar lapangan H.Pidana atau
dianggap tindakan alpa. Jenis dolus ini disetujui oleh Simons dan
Hazewinkel-Suringa
- Pendapat tadi disangkal oleh Von Hippel dengan memberi contoh seorang
ibu yang menelantarkan anakya di pantai dengan tujuan agar bayi tu
meninggal terseret ombak, tetapi ternyata bayi tersebut meninggal karena
sebab lain yaitu kelaparan dan kedinginan. Walaupun yang direncanakan
berbeda tetapi tujuannya tercapai dan menurut Von Hippel ini termasuk
pembunuhan yang direncanakan

Anda mungkin juga menyukai