Anda di halaman 1dari 21

KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

Nama : Gilang Ramadhan Ginting


NIM : 170200018
BAB I
PENDAHULUAN

Di dalam konteks hukum administrasi negara, frasa "penindasan atau


penghisapan", mendapat penghalusan makna, yakni abuse of power
(penyalahgunaan kekuasaan). Dalam kaitannya dengan sifat manusia,
penyalahgunaan kekuasaan disebabkan oleh sifat mendua hasrat manusia,
yakni hasrat untuk merusak tatanan kehidupan yang tanpa batas (sisi
destruktif) dan hasrat untuk membangun gerak kehidupan kearah yang lebih
baik (sisi konstruktif) Untuk membangun gerak kehidupan ke arah yang
lebih baik, tentunya sebuah negara mengharapkan sisi konstruktif hasrat
manusia lebih dominan daripada sisi yang lain. Salah satu upaya untuk
mencegah sisi destruktif hasrat manusia menonjol daripada sisi konstruktif
adalah dengan membuat peraturan (regeling) sebagai konkretisasi dari
hukum yang merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur tingkah laku
manusia dalam masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu.
Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan
(machtsstaat), adalah sebuah perspektif yang menunjukkan bahwa ada
upaya- upaya untuk membangun peradaban masyarakat Indonesia di atas
keadaban. Negara yang dipahami dalam kerangka pemikiran Logemann dan
Krannenburg sebagai organisasi kekuasaan, kadang-kadang bisa
disalahtafsirkan oleh para pemangku kepentingan (stake holders), sehingga
kadang-kadang menggeser paradigma rechtsstaat pada pola machtsstaat.
Akibatnya, kerangka ontologis keberadaan sebuah negara tidak tercapai,
sehingga menurut Karl Max negara hanya dimengerti sebagai alat
kekuasaan (kaum kapitalis) untuk menindas kelas yang dikuasai (proletar).
Di dalam konteks kajian hukum administrasi negara, perlu kiranya
dibedakan secara tegas pengertian negara dan pemerintah, serta ruang
lingkup hukum administrasi negara dengan hukum tata negara yang
seringkali dicampuradukkan. Secara sederhana, negara dalam segala
kebijakannya merupakan sesuatu yang abstrak, sedangkan pemerintah yang
melakukan perbuatan hukum adalah sesuatu yang konkret. Pemerintah
sebagai badan administrasi negara di samping sebagai alat kelengkapan
negara dalam penyelenggaraan administrasi negara (besturen), memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi hak-hak rakyat, sedangkan
kata "pemerintahan" dalam ranah hukum administrasi negara juga
dibedakan dalam pengertian pemerintahan umum dan pemerintahan negara,
yang dipahami melalui dua pengertian, yaitu fungsi pemerintahan (kegiatan
memerintah) dan di pihak lain sebagai organisasi pemerintahan (kumpulan
dari kesatuan-kesatuan pemerintahan). Di sisi lain, hukum administrasi
negara mempelajari negara dalam keadaan bergerak, sedangkan hukum tata
negara mempelajari negara dalam keadaan diam.
Pemerintah Indonesia sebagai besturen atau penyelenggara negara
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi hak-hak
rakyat Indonesia. Hal ini secara jelas diatur di dalam alinea ke empat
pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
negara Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Dalam berperkara di peradilan tata usaha negara, banyak gugatan yang
ditolak oleh pengadilan tata usaha negara. Hal ini disebabkan minimnya
pengetahuan masyarakat atas syarat-syarat untuk berperkara di peradilan
tata usaha negara. Mulai dari para pihak yang bersengketa, kewenangan
pengadilan tata usaha negara dalam mengadili perkara, objek sengketa dari
pengadilan tata usaha negara, cara-cara pengajuan gugatan hingga hal-hal
administrasi seperti batas waktu pengajuan gugatan. Namun dalam artikel
ini, penulis akan memfokuskan pada objek sengketa di peradilan tata usaha
negara.

Keputusan Tata Usaha Negara (yang selanjutnya disebut KTUN) adalah


suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata. Berdasarkan pengertian KTUN yang dapat
menimbulkan akibat hukum tentu mempunyai kemungkinan untuk
terjadinya konflik kepentingan antara badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan KTUN dengan seseorang atau badan hukum perdata.

Menurut Yuslim, unsur-unsur dari KTUN adalah:

1.      Penetapan tertulis;

Pengertian penetapan tertulis harus diperhatikan baik-baik. Karena


penetapan tertulis bukan berarti harus dinyatakan atau dibuat secara formal
seperti halnya surat keputusan atau surat izin mendirikan bangunan. Namun,
penetapan tertulis cukup hanya dengan tertulis di atas kertas. Hal ini
dikarenakan penetapan tertulis hanya dimaksud untuk pembuktian nantinya

2.      Badan atau pejabat tata usaha negara;


Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 bahwa
badan atau pejabat yang mengeluarkan KTUN tersebut harus bersifat
eksekutif yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

3.      Tindakan hukum tata usaha negara;

Untuk tindakan hukum perlu diketahui bahwa tindakan hukum tidak hanya
terbatas pada penerbitan atau dikeluarkannya suatu KTUN. Namun tindakan
hukum di sini harus diartikan bahwa tindakan tersebut juga termasuk
tindakan faktual. Tindakan yang dimaksud faktual adalah hal-hal yang
merupakan pelaksanaan dari KTUN yang tujuan untuk melaksanakan fungsi
dari pemerintahan khususnya administrasi seperti persiapan dari
pelaksanaan suatu KTUN misalnya persiapan perbaikan jalan. Tindakan
Administrasi Pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan
perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

4.      Peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Tentunya dalam dikeluarkannya atau ditetapkan suatu KTUN perlu


berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mulai dari
kewenangan yang diberikan dari peraturan yang berlaku kepada pejabat
tersebut. Selain itu, isi dari penetapan tersebut tidak boleh melanggar
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5.      Konkret;

Konkret berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986


bahwa artinya tidak abstrak, namun masih berwujud tertentu atau dapat
ditentukan.

6.      Individual;
Untuk individu artinya bersifat khusus untuk hal tertentu saja. Misalnya jika
KTUN ditujukan kepada orang-orang tertentu, maka KTUN tersebut harus
menyebutkan nama-nama tersebut. Konkret bertujuan untuk menuangkan
hal-hal yang bersifat umum dan abstrak ke dalam peristiwa yang jelas
dengan mengeluarkan KTUN agar hal tersebut dapat dilaksanakan seperti
pemberhentian si A sebagai pegawai negeri atau izin usaha bagi B; dan

7.      Final; dan

KTUN harus bersifat definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat


hukum yang artinya KTUN harus final. Untuk KTUN yang belum
mendapatkan persetujuan dari instansi atasan membuat KTUN itu belum
final dan karenannya belum dapat menimbulkan hak dan kewajiban.

8.      Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Untuk unsur terakhir adalah KTUN harus menimbulkan akibat hukum.


KTUN disini tidak hanya sebagai keputusan yang telah menimbulkan akibat
hukum saja, namun keputusan harus dilihat memiliki kemungkinan / potensi
untuk menimbulkan kerugian. Misalnya suatu KTUN yang bersifat
mencabut izin suatu badan hukum tanpa alasan yang jelas. Akibat hukum
harus berupa (a) terjadi perubahan hak, kewajiban atau kewenangan, (b)
terjadi perubahan kedudukan hukum pada badan hukum perdata atau
seseorang, (c) terdapat hak, kewajiban, kewenangan atau status yang
ditetapkan.

Sebagai kesimpulan, KTUN yang menjadi objek sengketa di Pengadilan


Tata Usaha Negara (PTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang
menimbulkan suatu akibat hukum karena tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah dan memberikan kerugian atau potensi kerugian terhadap pihak
masyarakat. Perlu diketahui, dalam berperkara di PTUN juga harus
memperhatikan syarat-syarat lainnya agar terhindar dari ditolaknya gugatan.
Maka dari itu, masyarakat perlu teliti dan mempelajari terlebih dahulu
terkait syarat-syarat tersebut yang meliputi objek yang disengketakan yaitu
KTUN.

B. Jenis

Menurut Van Der Wel menyatakan bahwa keputusan tata usaha Negara
terdiri dari:

1. De Rechtsvastellende Beschikkingen
2. De Constitutieve Beschikkingen, yang terdiri atas:

 Belastande Beschikkingen (Keputusan yang memberi beban)


 Begunstigende Beschikkingen (Keputusan yang menguntungkan)
 Statusverleningen (Penetapan status)

1. De Afwijzende Beschikkingen (Keputusan Penolakan)

Adapun E.Utrecht menyatakan bahwa ada beberapa macam-macam


keputusan tata usaha Negara, diantaranya

 Ketetapan Positif dan Ketetapan Negatif

Ketetapan Positif merupakan ketetapan yang menimbulkan hak/ dan


kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Sedangkan Ketetapan
Negatif merupakan ketetapan yang tidak menimbulkan perubahan
dalam keadaan hukum yng telah ada. Adapun ketetapan negatif ini
dapat berbentuk:

A. Pernyataan tidak berkuasa (Onbevoegd-Verklaring)


B. Pernyataan tidak diterima (Nietontvankelijk Verklaring)
C. Atau suatu penolakan (Afwijzing)

 Ketetapan Deklaratoir atau Ketetapan Konstitutif


Ketetapan Deklaratoir merupakan ketetapan yang hanya menyatakan
bahwa hukumnya demikian (Rechtsvastellende Beschikking).
Sedangkan ketetapan konstitutif adalah ketetapan dalam membuat
hukum (Rechtsheppend).

 Ketetapan Kilat (Eenmalig) dan Ketetapan yang Tetap atau


Permanen (Blijvend)

Ketetapan Eenmalig adalah ketetapan yang hanya berlaku sekali atau


ketetapan sepintas lalu atau ketetapan yang bersifat
kilat (Vluctige Beschikking). Sedangkan Ketetapan Permanen adalah
ketetapan yang memiliki masa berlaku yang lama.
Menurut WF. Prins, ada 4 macam ketetapan kilat:

1. Ketetapan yang bermaksud mengubah redaksi (teks) ketetapan lama


2. Suatu ketetapan negatif
3. Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan
4. Suatu pernyataan pelaksanaan (Uitvoerbaarverklaring)

 Ketetapan yang Menguntungkan dan Ketetapan yang Memberi


Beban

Ketetapan bersifat menguntungkan artinya ketetapan itu memberi


hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu
yang tanpa adanya ketetapan itu tidak akan ada atau bilamana
ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin
ada. Sedangkan ketetapan yang memberikan beban adalah ketetapan
yang meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau
ketetapan mengenai penolakan terhadap permohonan untuk
memperoleh keringanan.

 Ketetapan yang Bebas dan Ketetapan yang Terikat


Ketetapan yang bersifat bebas adalah ketetapan yang didasarkan
pada kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat tata usaha
Negara. Sedangkan Ketetapan yang terikat adalah Ketetapan itu
hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya ruang
kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan.

 Ketetapan Perorangan dan Ketetapan Kebendaan

Ketetapan Perorangan adalah ketetapn yang diterbitkan berdasarkan


kualitas pribadi orang tertentu. Sedangkan ketetapan kebendaan
adalah keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan.

C. Aspek

Peradilan Tata Usaha Negara adalah pengadilan yang mempunyai


wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus sengketa tata
usaha negara. Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut Undang-
undang Peradilan Tata Usaha Negara) menyatakan bahwa:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan
badan atau pejabat tata usaha negara, baik di Pusat maupun di Daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang- undangan yang
beraku.”
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara merupakan sumber
hukum materil dari hukum tata usaha negara dan sumber hukum formil
dari hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 1 sampai Pasal 52
merupakan hukum materil yang mengatur mengenai hukum tata usaha
negara dan Pasal 53 sampai Pasal 145 merupakan hukum formil yang
mengatur mengenai hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara juga mengatur mengenai
hukum tata
usaha negara (materil) termasuk mengatur mengenai Keputusan Tata
Usaha Negara dan prosedurnya, sehingga Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara memberikan kesempatan kepada seseorang atau
Badan hukum perdata untuk memperoleh keadilan dari keputusan tata
usaha negara yang dianggap merugikan masyarakat. Keputusan ini
diterbitkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang
melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan. Sebagaimana hakikat
dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara, dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dari
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang atau tindakan
sewenang-wenang oleh pemerintah.
Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa yang objeknya adalah Keputusan Tata
Usaha Negara. Keputusan yang menjadi objek sengketa di Peradilan
Tata Usaha Negara ini diatur dalam Pasal 1 sampai Pasal 52 Undang-
undang Peradilan tata usaha Negara, karena undang-undang ini juga
berperan sebagai hukum materi. Penerbitan Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut merupakan tindakan administratif yang dilakukan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sebagai pelayan publik yang
melayani masyarakat di bidang administratif, setiap tata laksana
Badan/Pejabat tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan inilah
yang dimaksud dengan administrasi pemerintahan.
Dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan muncul berbagai
kendala yang dialami oleh pemerintah selama ini. Kendala yang
dimaksud antara lain adalah adanya kebutuhan untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap masyarakat, dibutuhkannya aturan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara penyelenggara administrasi
negara dan masyarakat. Hal-hal tersebut menuntut agar dibentuknya
aturan-aturan baru yang dapat diakomodir menjadi landasan hukum
bertindak bagi setiap aparatur administrasi pemerintah.
Hukum administrasi negara berkaitan erat dengan kekuasaan dan
kegiatan penguasa itu dilaksanakan, maka lahirlah hukum administrasi
negara. dengan kata lain, hukum administrasi negara, sebagaimana
hukum tata negara, berkaitan erat dengan persoalan kekuasaan
(administrative law deal with one aspect of the problem of power).1
Mengingat negara itu merupakan organisasi kekuasaan
(machtenorganisatie), maka pada akhirnya hukum administrasi negara
akan muncul sebagi instrumen untuk mengawasi penggunaan kekuasaan
pemerintah. Dengan demikian, keberadaan hukum administrasi negara
itu muncul karena adanya penyelenggaraan kekuasaan negara dan
pemerintahan dalam suatu negara hukum, yang menuntut dan
menghendaki penyelenggaraan tugas-tugas kenegaraan, pemerintahan
dan kemasyarakatan yang berdasarkan atas hukum.2
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan)
mengatur tertib administrasi pemerintahan dalam menjalankan
pemerintahan, termasuk
mengatur mengenai keputusan dan prosedurnya. Dalam konteks
penegakan hukum di bidang penyelenggaraan Negara, Undang- undang
Administrasi Pemerintahan ini juga menjadi landasan baru bagi
Peradilan Tata Usaha Negara dalam menguji sengketa Tata Usaha
Negara, hal ini dikarenakan Undang-undang Administrasi Pemerintahan
juga mengatur mengenai objek sengketa di Peradilan Tata usaha Negara
yaitu KTUN, permohonan yang didiamkan oleh Badan atau Pejabat Tata
usaha Negara, pengajuan gugatan yang melalui upaya administratif,
(prosedurnya), sebagaimana diketahui bahwa ketentuan tersebut juga
telah diatur sebelumnya di dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara.
Pemberlakuan Undang-undang Administrasi Pemerintahan menjadikan
hukum administrasi negara bergerak menuju paradigma baru, sehingga
dibutuhkan penyelarasan dengan
hukumacaraPeradilanTataUsahaNegaraagar
terciptanyasinkronisasidanharmonisasidalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Pelaksanaan sinkronisasi dan harmonisasi
peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah merupakan suatu
kebutuhan yang mendesak karena permasalahan pembangunan hukum
semakin hari membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif.
Bahwa menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara upaya
administratif hanya diberlakukan dan diwajibkan terhadap sengketa-
sengketa tata usaha negara tertentu yang memang oleh peraturan
perundang-undangannya disediakan upaya administratifnya. Dalam hal
ini dapat dikatakan bahwa Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
hanya mengambil sikap untuk mengakui dan menghormati lembaga
administratif yang telah ada. Sebaliknya, Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara tidak mewajibkan upaya administratif bagi sengketa tata
usaha negara yang oleh undang- undangnya memang tidak disediakan
upaya administratifnya.

D. Kerangka KTUN

Teknik Penyusunan Keputusan Administrasi Pemerintahan menyangkut


penyusunan substansi dan bentuk keputusan. Penyusunan substansi
keputusan menyangkut perumusan materi muatan sebagai suatu norma
hukum, atau berkenaan dengan penormaan. Prihal bentuk keputusan
menyangkut struktur keputusan.
Penormaan dalam keputusan adalah proses merumuskan suatu materi
muatan sebagai suatu proposisi yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat (sebagai norma hukum). Norma hukum dari segi sifatnya
meliputi norma umum-abstrak, umum- konkret, individual-abstrak, dan
individual-konkret. Suatu keputusan (KTUN) harus memuat norma
hukum individual-konkret, atau paling tidak individual-abstrak (A.
Hamid S. Attamimi 1990: 316-317, dan Philipus M. Hadjon, dkk, 2002:
125). Sebagai objek sengketa TUN, ditambah persyaratan: norma
hukum yang bersifat final. Berkaitan dengan penormaan dalam
keputusan, maka norma yang dirumuskan dalam KAP adalah individual-
konkret, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian Konsep KAP di
depan.
Struktur norma hukum. Norma hukum dalam suatu keputusan tersusun
dalam struktur sebagai berikut:
1. Subjek norma, yakni harus jelas kepada siapa norma hukum
(keputusan) itu ditujukan. Dengan perkataan lain, harus jelas adresatnya.
Dalam KTUN, adresatnya bersifat individual.
2. Operator kaidah, yakni harus jelas penanda yang mengoprasionalkan
norma hukum itu. Seperti “harus” atau “wajib” (norma perintah),
“dilarang” (norma larangan), “dikecualikan dari kewajiban” (norma
dispensasi), dapat (norma izin).
3. Objek norma, yakni harus jelas peristiwa atau perbuatan yang
ditetapkan dalam keputusan, dan bersifat konkret.
4. Kondisi norma, yakni kondisi atau situasi yang menyebabkan norma
itu dioperasionalkan atau tidak dioperasionalkan. Ini tidak selalu ada
dalam keputusan (Laboratorium Hukum FH Unpar 1997: 3-4, dan ,
Maria Farida Indriati S, 2007: 37).
Norma hukum adalah pedoman berperilaku yang mempunyai akibat
hukum. Norma hukum sebagai norma perilaku meliputi: perintah,
larangan, dispensasi, dan izin (A. Hamid S. Attamimi 1990: 314-315,
dan , Maria Farida Indriati S, 2007: 36). Masing-masing norma hukum
itu bermakna:
1. Norma perintah adalah keharusan melakukan sesuatu. Penandanya
adalah kata “wajib” atau “harus”.
2. Norma larangan adalah keharusan tidak melakukan sesuatu.
Penandanya adalah kata “dilarang”.
3. Norma dispensasi adalah kebolehan khusus tidak melakukan sesuatu
yang secara umum diperintahkan. Penandanya adalah kata-kata
“dikecualikan dari kewajiban”.
4. Norma izin adalah kebolehan khusus melakukan sesuatu yang secara
umum dilarang. Penandanya adalah kata “dapat”.

Struktur Keputusan Administrasi Pemerintahan


Teknik Penyusunan Keputusan dan/atau bentuk keputusan harus
berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk peraturan
perundang-undangan. Pasal 97 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya
disebut UU P3) menentukan:
Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang
ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau
bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan
Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua
Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan
Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank
Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan
Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat,
Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan
Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota,
Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.
Dua soal yang perlu mendapat pencermatan, pertama, teknik
penyusunan dan/atau bentuk Keputusan selain yang disebut dalam pasal
tersebut, seperti Keputusan Rektor, atau Keputusan Dekan, dan
sebagainya, apakah teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur
dalam UU P3 berlaku juga secara mutatis mutandis. Kedua, apakah
keseluruhan teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam UU
P3 berlaku bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan
Administrasi Pemerintahan (KAP).
Pencermatan atas soal pertama, menempatkan Keputusan Presiden, dan
sebagainya tersebut ke dalam posisinya sebagai Keputusan Administrasi
Pemerintahan (KAP), yang intinya adalah ketetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang berisi norma hukum yang bersifat
individual dan konkret. Keputusan Rektor dan Keputusan Dekan juga
merupakan KAP, maka teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur
dalam UU P3 berlaku bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk
Keputusan Rektor dan Keputusan Dekan, dan keputusan administrasi
pemerintahan (KAP) lainnya.
Pencermatan soal kedua. Karakter peraturan perundang-undangan
adalah berbeda dengan karakter KAP. Perbedaannya adalah, peraturan
perundang- undangan dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat yang
berwenang di bidang perundang-undangan dan memuat norma hukum
umum-abstrak, sedangkan KAP dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat
yang berwenang di bidang pemerintahan dan memuat norma hukum
individual-konkret. Berdasarkan perbedaan itu, maka ketentuan “berlaku
secara mutatis mutandis” mesti dimaknai teknik penyusunan keputusan
dan/atau bentuk keputusan dapat disesuaikan dengan karakter KAP atau
KTUN. Jadi, tidak sepenuhnya teknik penyusunan dan/atau bentuk
peraturan perundang-undangan dapat diterapkan dalam pembuatan KAP.
Misalnya, dalam kolom pembukaan KAP, selain terdapat “Menimbang”
dan “Mengingat”, dapat ditambahkan “Membaca” dalam hal KAP
dikeluarkan karena adanya permohonan dan “Memperhatikan” sesuai
dengan keperluan.

Merujuk pada struktur atau kerangka peraturan perundang-undangan,


maka struktur KAP terdiri atas:
a. judul;
b. pembukaan;
c. batang tubuh;
d. penjelasan (jika diperlukan);
e. lampiran (jika diperlukan).
Pada umumnya materi muatan dalam batang tubuh peraturan perundang-
undangan dikelompokkan ke dalam: a. ketentuan umum; b. materi
pokok yang diatur; c. ketentuan pidana (jika diperlukan); d. ketentuan
peralihan (jika diperlukan); dan e. ketentuan penutup. Merujuk materi
muatan dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan dan
mengingat karakter KAP, maka materi muatan dalam batang tubuh KAP
dikelompokkan ke dalam: a. materi pokok yang diputus; dan b.
ketentuan penutup.
Tulisan ini akan focus pada kolom pembukaan, khususnya
“Menimbang” (alasan pertimbangan KAP), dan kolom batang tubuh
(materi pokok yang diputuskan dan ketentuan penutup), serta bagian
penutup.
Alasan Pertimbangan KAP. Pasal 55 U AP menentukan: (1) Setiap
Keputusan harus diberi alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan
filosofis yang menjadi dasar penetapan Keputusan. (2) Pemberian alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan jika Keputusan
tersebut diikuti dengan penjelasan terperinci. (3) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga dalam hal pemberian
alasan terhadap keputusan Diskresi.
Menyangkut alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis yang
menjadi dasar penetapan KAP, Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU AP
menjelaskan:
Yang dimaksud dengan “pertimbangan yuridis” adalah landasan yang
menjadi dasar pertimbangan hukum kewenangan dan dasar hukum
substansi.
Yang dimaksud dengan “pertimbangan sosiologis” adalah landasan yang
menjadi dasar manfaat bagi masyarakat.
Yang dimaksud dengan “pertimbangan filosofis” adalah landasan yang
menjadi dasar kesesuaian dengan tujuan penetapan Keputusan.
Pasal 55 ayat (2) UU AP, sebagaimana telah dikutip menentukan,
pemberian alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan filosofis tidak
diperlukan jika Keputusan tersebut diikuti dengan penjelasan terperinci.
Penjelasannya menjelaskan, yang dimaksud dengan “penjelasan
terperinci” adalah penjelasan yang menguraikan alasan penetapan
Keputusan sampai ke hal yang bersifat detail dan jelas.
Terhadap KAP Diskresi diperlukan juga pemberian alasan pertimbangan
yuridis, sosiologis, dan filosofis yang menjadi dasar penetapannya,
namun jika KAP Diskresi tersebut diikuti dengan penjelasan terperinci,
maka tidak pemberian alasan pertimbangan yuridis, sosiologis, dan
filosofis yang menjadi dasar penetapannya. Demikian pemaknaan
terhadap Pasal 55 ayat (3) UU AP.
Merujuk pada Pasal 23 UU AP, maka Keputusan Diskresi atau KAP
Diskresi adalah KAP yang diambil:
a. berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
memberikan suatu pilihan;
b. karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas;
dan
d. karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih
luas.

E. Aspek Legal Drafting Dari KTUN

Pengertian legal dafting secara sempit adalah penyusunan/perancangan


Peraturan Perundang-undangan. Pengertian legal drafting secara luas
adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai
contoh; Pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan; Hakim
membuat keputusan Pengadilan yang mengikat publik; Swasta membuat
ketentuan atau peraturan privat seperti; perjanjian/kontrak, kerjasama
dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau
kontrak.

Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7


UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan adalah:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
hukum
dasar dalamPeraturanPerundang-undangan.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap
Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang- undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal
kegentingan.
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang- undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang- undangan yang
ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan
Perundang- undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan
kekuasaan pemerintahan.
Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan
persetujuan bersama Gubernur. Termasuk dalam Peraturan Daerah
Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi)
yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.
Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang
berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain tersebut di atas mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi
Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang
setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan tersebut
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

F. Perbedaan Kerangka KTUN

Keputusan (beschikking) Peraturan (regeling)


Selalu bersifat individual and Selalu bersifat  general and
concrete. abstract.
Pengujiannya melalui gugatan  di Pengujiannya untuk peraturan di
peradilan tata usaha negara. bawah undang-undang (judicial
review) ke Mahkamah Agung,
sedangkan untuk undang-undang
diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Bersifat sekali-selesai (enmahlig). Selalu berlaku terus-menerus
(dauerhaftig).

BAB III

PENUTUP

Keputusan Tata Usaha Negara (yang selanjutnya disebut KTUN) adalah


suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata. Berdasarkan pengertian KTUN yang dapat
menimbulkan akibat hukum tentu mempunyai kemungkinan untuk
terjadinya konflik kepentingan antara badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan KTUN dengan seseorang atau badan hukum perdata.
Di dalam konteks kajian hukum administrasi negara, perlu kiranya
dibedakan secara tegas pengertian negara dan pemerintah, serta ruang
lingkup hukum administrasi negara dengan hukum tata negara yang
seringkali dicampuradukkan. Secara sederhana, negara dalam segala
kebijakannya merupakan sesuatu yang abstrak, sedangkan pemerintah yang
melakukan perbuatan hukum adalah sesuatu yang konkret5. Pemerintah
sebagai badan administrasi negara di samping sebagai alat kelengkapan
negara dalam penyelenggaraan administrasi negara (besturen)6, memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi hak-hak rakyat, sedangkan
kata "pemerintahan" dalam ranah hukum administrasi negara juga
dibedakan dalam pengertian pemerintahan umum dan pemerintahan negara,
yang dipahami melalui dua pengertian, yaitu fungsi pemerintahan (kegiatan
memerintah) dan di pihak lain sebagai organisasi pemerintahan (kumpulan
dari kesatuan-kesatuan pemerintahan)7. Di sisi lain, hukum administrasi
negara mempelajari negara dalam keadaan bergerak, sedangkan hukum tata
negara mempelajari negara dalam keadaan diam.

Daftar Pustaka
Francisca Romana Harjiyatni, et.al., Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam Menyelesaikan Sengketa Lingkungan (Studi Gugatan
Organisasi Lingkungan Hidup), Jurnal Mimbar Hukum, Volume 26
– Nomor 2, Juni 2014, halaman 261.
Dola Riza, Hakikat KTUN Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara Vs Undang-Undang Admnistrasi Pemerintahan, Jurnal
Soumatera Law Review, Volume 2–Nomor 2, 2019, halaman 211.
https://jdih.jogjakota.go.id/index.php/articles/read/55

Anda mungkin juga menyukai